pita deadline

pita deadline

Senin, 29 April 2013

Pidato Sambutan Ketua PP PERKI pada Pembukaan The 22nd ASMIHA

Assalamualaikum wr. wb.
Pertama-tama dan yang utama mari kita panjatkan puji syukur pada Allah SWT karena atas rahmat-Nya kita dapat berkumpul pada forum ASMIHA dalam keadaan sehat wal’afiat.
The 22nd Annual Scientific Meeting of The Indonesian Heart Association ini merupakan suatu pertemuan ilmiah yang rutin diselenggarakan oleh PP PERKI setiap tahun. Sehingga diharapkan dapat menjadi icon academic kardiovaskular di tingkat nasional maupun internasional.

Teman sejawat yang saya hormati.
Ajang pertemuan ASMIHA ini sangat penting karena adanya joint session dengan kardiolog-kardiolog di ASEAN melalui Asean Federation of Cardiology, Asia Pacific diantaranya dengan Taiwan Society of Cardiology, China Society of Cardiology, serta joint session dengan European Heart Association dan American College of Cardiology. ESC dan ACC sangat mengapresiasi hasil dari pertemuan ilmiah ini sehingga pada kesempatan berikutnya memberi peluang bagi PERKI untuk turut serta dalam forum ilmiah di ESC dan ACC. Kesempatan ini haruslah dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh anggota PERKI, termasuk para kardiolog muda agar suatu saat bisa berkiprah sebagai peneliti dan pembicara pada level Internasional.
ASMIHA merupakan suatu sarana untuk mengekspresikan hasil riset baik klinis maupun non klinis para kardiolog di seluruh Indonesia. Selain itu ASMIHA juga menjadi media transfer of knowledge dari kardiolog di pusat-pusat  pendidikan Kardiovaskular kepada dokter yang berada di pelayanan kedokteran Primer maupun pelayanan Sekunder terutama dengan akan diberlakukannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional pada awal tahun 2014.

Teman sejawat yang saya hormati.
Saat ini anggota Perki di seluruh Indonesia berjumlah 550 orang dan mempunyai 12 Pusat Pendidikan Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah di seluruh Indonesia dengan jumlah PPDS nya 350 orang, maka diperkirakan pada tahun 2020 jumlah anggota PERKI menjadi 2.000 orang di seluruh Indonesia.
ASMIHA adalah forum ilmiah utama yang dilaksanakan setiap tahun oleh PERKI. Saat ini PERKI memiliki 11 Pokja (kelompok kerja = Working Group) yang akan membentuk forum-forum ilmiah yang lebih kecil, lebih fokus, tetapi dengan kualitas terbaik, dan diberi nama sesuai Pokja-nya, contohnya INA-Echo, INA Vaskular, INA Heart Failure, INA Hipertensi, dan lain-lain yang diharapkan akan lebih memajukan Ilmu Kardiovaskular dimasa datang, sebagaimana dilaksanakan oleh organisasi kardiologi Uni Eropa yang menjadi  Referensi  PERKI.
Dan insya Allah mulai tahun depan pada forum ASMIHA akan dipresentasikan Indonesian Guideline mengenai kardiovaskular yang akan diserahkan kepada  Kementerian Kesehatan untuk menjadi rujukan Guidelines Kardiovaskular di Indonesia.
Para Peserta ASMIHA yang saya hormati, disamping presentasi ilmiah pada ASMIHA ini terdapat satu materi khusus yakni mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan diberlakukan tahun 2014. Kami berharap rekan-rekan sekalian termasuk teman-teman dokter umum dapat dengan seksama mengikuti materi tersebut, oleh karena nantinya diharapkan rekan-rekan dokter di Pelayanan Kedokteran Primer akan berjenjang mengirimkan pasien jantung dan pembuluh darah ke Pelayanan Kedokteran Sekunder / RS tipe C / RS Tipe B dan selanjutnya ke RS Tingkat Tersier.
Demikian sambutan dari saya, semoga forum ASMIHA ini menjadi forum yang dapat mempererat persaudaraan, kerja sama serta memberikan ilmu yang bermanfaat bagi rekan-rekan yang hadir dan nantinya dapat menjadi bekal untuk memberikan sumbangsih pada bangsa ini.
Wassalamualaikum wr. wb.

Sambutan Ketua PP PERKI pada Acara Konvokasi SpJP Baru

Assalamualaikum wr. wb.
Pertama-tama dan yang utama mari kita panjatkan puji syukur pada Allah SWT karena atas rahmat-Nya kita dapat berkumpul pada acara Konvokasi SpJP baru dan pemberian sertifikat sub spesialis dalam keadaan sehat wal’afiat.
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan selamat kepada para wisudawan yang telah menyelesaikan tahapan pendidikan untuk menjadi kardiolog dengan gelar dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah.
Saya berharap nantinya saudara dapat menjadi agent of change di dalam masyarakat. Perubahan di sini dalam arti meningkatkan kualitas pendidikan, pelayanan dan hasil riset, khususnya di bidang kardiovaskular yang tidak hanya bermanfaat untuk kesejahteraan saudara sekalian tetapi juga untuk peningkatan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

Saudara wisudawan yang saya banggakan.
Saya ingin memberikan sedikit penjelasan mengenai PERKI yang lahir hampir 60 tahun lalu, di suatu Ruangan di RS Saint Carolus, hanya berbeda 1 jam dengan kelahiran Organisasi Profesi PAPDI pada ruangan yang sama. Saat ini PERKI telah memiliki 24 Cabang dan 15 Komisariat dengan anggota 550 orang dan 350 orang lagi dalam pendidikan.
Ketua PAPDI terpilih saat itu adalah Prof dr Biran, dan Sekretarisnya adalah Prof dr Gan Tjong Bing, dan kemudian Prof Gan Tjong Bing yang merupakan seorang internist lulusan Belanda menjadi Ketua PERKI yang pertama.
Ada kalimat monumental yang disampaikan oleh Prof Gan Tjong Bing pada saat pelantikan: “Mengapa disamping PAPDI harus didirikan pula PERKI? Karena dalam kurun waktu lebih 10 tahun terakhir ini, kemajuan di lapangan Ilmu Kardiologi amat pesat. Kemajuan tersebut sebagian besar disebabkan karena adanya cara pemeriksaan baru yaitu Cardiac Catheterization, Angiokardiografi, Balistokardiografi, Vectorkardiografi dan Electrocardiografi."
Pemeriksaan-pemeriksaan ini begitu cepat kemajuannya sehingga sukarlah bagi Internist umum untuk mengikuti dan menguasai kemajuan-kemajuan tersebut.
Oleh karena itu mudahlah kita fahami mengapa Ilmu kardiologi sebaiknya terpisah dan mendapat tempat tersendiri disamping ilmu Penyakit Dalam, tentulah dengan kerjasama yang erat.
Maka berdasarkan gagasan itu Pendidikan Ilmu kardiologi di Indonesia yang mengikuti pola pendidikan Kardiologi di Uni Eropa serta hampir 70% pendidikan Kardiologi diseluruh dunia tanpa melalui pendidikan internist terlebih dahulu berkembang sangat pesat. Sebagaimana terlihat pada kondisi PERKI saat ini yang mempunyai kerjasama keilmuan dengan European Society of Cardiology, American College Cardiologi, Chinese dan Taiwan Society Cardiology, Jepang, Australia, Timur tengah, Korea, Amerika Selatan, serta negara-negara Asean.
Para perintis Kardiologi lainnya yaitu dr Sukaman, dr Lutfi Usman, dr Tagor, Prof Lily Rilantono dan Prof Asikin Hanafiah yang masih ada saat ini, serta Prof Moh Saleh dari Surabaya dan Prof Budhi Darmoyo dari Semarang, serta generasi berikutnya telah meninggalkan jejak sejarah yang harus diikuti, diteladani dan dikembangkan oleh kita semua. Utamanya para wisudawan yang muda-muda agar bisa berkiprah dan sejajar dengan kardiolog dari regional Asia Pasifik.
Kepada sejawat SpJP yang menerima sertifikat sub spesialis, kami mengucapkan selamat dan semoga kepandaian dan keterampilan tersebut dapat memberikan nilai lebih di rumah sakit dengan pelayanan tersier, sesuai dengan rancangan Pemerintah dalam melakukan program SJSN di tahun 2014 mendatang dan PP PERKI akan terus mengembangkan pendidikan 8 jenis subspesialis pada 12 Pusat Pendidikan Kardiovaskular.

Saudara-saudara sekalian.
Kami tambahkan pula, bahwa PP PERKI telah mengangkat beberapa anggota Dewan Pengawas Pokja yang saat ini menaungi 11 Pokja/Working Group dengan kriteria mereka yang telah berjasa besar pada pengembangan Pokja, yaitu diantaranya Prof dr Lily Rilantono, Prof Asikin Hanafiah, dr Otte J rachman, dr Ann Sunarta dengan harapan bahwa beliau-beliau tersebut masih bersedia memberikan bimbingan, pemikiran dan sumbangsih untuk pengembangan Pokja di masa mendatang yang merupakan tulang punggung PERKI dalam bidang keilmuan Kardiovaskular.
Dalam kesempatan kali ini yang perlu saya tekankan adalah pentingnya menjalankan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dengan tidak melanggar kode etik kedokteran.
Sejawat SpJP yang baru, kami mengajak saudara sekalian untuk membesarkan PERKI dan memberikan pikiran-pikiran yang cerdas guna mengembangkan organisasi PERKI yang kita cintai. Kami juga berharap sejawat SpJP yang baru untuk bergabung dalam Pokja-pokja yang dibentuk oleh PERKI.
Berdasarkan pengalaman saya menekuni profesi kardiolog ini, ada beberapa hal yang ingin saya nasehatkan secara pribadi untuk saudara sekalian :
1.    Pentingnya menjaga keseimbangan antara profesi, keluarga, dan kesehatan
2.    Selalu menyertakan do'a kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap aktivitas karena segala kesuksesan yang kita dapatkan saat ini adalah atas kehendak-Nya
3.    Semangat untuk terus belajar oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik di tingkat regional maupun global semakin pesatnya dan diharapkan kardiolog Indonesia mampu bersaing dengan negara manapun.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Terimakasih
Wassalamualaikum wr. wb.

ASMIHA 22nd 2013 dan Sistem Jaminan Sosial Nasional 2014

ANNUAL Scientific Meeting of Indonesian Heart Association (Asmiha), acara pertemuan ilmiah rutin yang selalu diadakan tiap tahun oleh Pengurus Pusat (PP) PERKI, adalah suatu sarana untuk mengekspresikan, mengevaluasi dan mengapresiasi hasil riset, baik klinis maupun non-klinis, dari para kardiolog di seluruh Indonesia dan sebagai wahana kerja sama antar asosiasi jantung tingkat mancanegara. Oleh karena itu, Asmiha diharapkan dapat menjadi media sarana pertukaran pengetahuan dari kardiolog di    pusat-pusat pendidikan kardiovaskular kepada dokter di pelayanan primer maupun sekunder, demikian sepenggal kutipan dari sambutan Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni, SpJP(K), FIHA, FAsCC selaku Presiden PERKI pada Opening Ceremony Asmiha ke 22 tahun 2013 ini.Asmiha yang dilangsungkan di Ritz Carlton Hotel pada 5-7 April 2013 dan dibuka resmi oleh Prof. Dr. dr. Med Akmal Taher, SpU(K) selaku ketua Bina Upaya Kesehatan mewakili Menteri Kesehatan RI ini, memfokuskan diri pada update inovasi-inovasi baru di bidang kedokteran jantung, namun bukan terhadap sponsor penyedia produk-produk yang berkaitan dengan kardiologi. Hal ini dibuktikan melalui pagelaran 60 poster penelitian, pengumpulan 130 paper penelitian dari seluruh Indonesia, serta penganugerahan Young Innovator Award 2013 seperti tahun-tahun sebelumnya.
Konsep acara tahun ini serupa dengan tahun-tahun sebelumnya. Acara dikemas menjadi acara pre-congress yang terdiri dari 9 workshop berbeda yang dilaksanakan pada 4 April 2013 dan main symposium yang diadakan dalam bentuk plenary session pada 5-7 April 2013. Asmiha kali ini mendatangkan lima belas pembicara mancanegara dan mengadakan joint symposium dengan berbagai asosiasi jantung dunia, antara lain American Heart Association, European Heart Association, China Heart Association, Taiwan Heart Association, dan tentu saja asosiasi jantung Asia Tenggara.
Ada perbedaan mendasar antara Asmiha kali ini dengan tahun-tahun sebelumnya, Asmiha kali ini memberdayakan juga narasumber dari kalangan muda yang berpotensi dan handal di bidangnya. Hal ini diharapkan akan membawa energi positif dan semangat khas kaum muda ke dalam perhelatan akbar ini. Tidak hanya sekedar mengenai ilmiah saja, Asmiha juga menjunjung nilai-nilai seni dan kebersamaan melalui Gala Dinner dan Cultural Night. Terobosan yang tidak kalah menarik tahun ini adalah PERKI CUP yang merupakan ajang pertandingan futsal antar residen kardiologi dari 12 pusat kesehatan jantung di Indonesia.
Sesuai dengan tema yang diusung tahun ini yakni Paradigm Shift in Management of  Cardiovascular Disease, Asmiha kali ini ingin mengubah paradigma tata laksana penyakit jantung, demikian penuturan Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K), FIHA selaku ketua Asmiha ke 22 ini.
"Penyakit jantung tidak selalu memerlukan tindakan invasif dan rehabilitatif seperti valve replacement atau stenting. Tindakan noninvasif dan terapi regenerative sudah menemukan titik temu di belahan dunia lain, khususunya di Eropa dan Amerika. Selain itu, pendekatan multidisiplin dalam penanganan gagal jantung sebagai penyakit komorbid dari berbagai penyakit degeneratif juga ingin ditekankan pada Asmiha kali ini," lanjut Yoga.

Mengintip Jendela Masa Depan Kardiologi Indonesia
Pada konferensi pers yang dimoderatori oleh Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K), FIHA, membahas dan menjelaskan arahan masa depan kardiologi Indonesia. Salah satu arahan tersebut terkait dengan program kerja pemerintah, yakni Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada implementasi SJSN nanti, akan diberlakukan sistem perujukan berjenjang yang lebih terstruktur dan komprehensif, mulai dari pelayanan primer, sekunder, hingga tersier. Perujukan akan dilakukan dengan benar  dan tepat sesuai kondisi dan keperluan. Rancangan sistem tersebut masih berada dalam tahap perencanaan sampai sekarang. Buku Pedoman Layanan Penyakit Jantung Indonesia yang dikeluarkan oleh PERKI nantinya akan diadopsi oleh pemerintah untuk sistem perujukan terkait penyakit  jantung.
Hal lain yang patut mendapat perhatian adalah rencana pendirian fasilitas pusat   jantung nasional pada 11  rumah sakit pendidikan di Indonesia. Daerah yang menjadi target, antara lain Medan, Bandung, Padang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya, Denpasar, Makassar dan Manado. Daerah-daerah tersebut dipilih karena dokter-dokter lulusan universitas tersebut berkontribusi pada Asmiha sejak dulu dan kini. Rumah Sakit Harapan Kita sebagai pusat jantung nasional saat ini akan memberikan arahan dan nasihat kepada 11 calon pusat pendidikan jantung nasional tersebut. "Harapan kami nantinya 11 pusat jantung nasional baru tersebut dapat berimbang dengan pusat jantung nasional yang sekarang. Nantinya, orang Indonesia tidak perlu lagi berobat ke luar negeri," jelas dr. Hananto Andriantoro, SpJP.
Pakar-pakar dari 12 pusat jantung nasional baru tersebut nantinya akan membentuk Komite Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah yang diketuai Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA. Komite tersebut akan berkolaborasi dengan PERKI dan Rumah Sakit Pendidikan Kardiovaskular untuk membuat konsep pelayanan prevensi, promosi dan pengobatan penyakit jantung dan pembuluh darah. Setiap komponen dalam komite tersebut memiliki peran masing-masing dalam simposium Asmiha sebagai wadah keilmuan, Rumah Sakit Harapan Kita sebagai wadah pendidikan, dan PERKI sebagai wadah sumber daya manusia spesialis jantung dan pembuluh darah. "Peran utama komite itu adalah think tank yang memberikan saran dan informasi, baik diminta atau tidak mengenai masalah jantung di Indonesia," ujar Hananto.(Dikutip dari terbitan harian Asmiha 22)

Peringatan Hari Kesehatan Dunia: ”Tekanan Darah dan Denyut Jantung yang Sehat”

Tanggal 7 April 2013 ini kita memperingati hari Kesehatan seDunia, hari yang  diabadikan sejak tahun 1948 seiring dengan berdirinya organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO), tema tahun ini adalah seputar tekanan darah dan denyut jantung yang sehat, yang sejalan dengan hari hipertensi dunia pada tanggal 17 Mei 2013 dengan tema yang sama.
Hipertensi merupakan kondisi tekanan darah yang melebihi nilai acuan yang dianggap normal dimana keadaan ini membutuhkan pengobatan seumur hidup, akan tetapi banyak penderita hipertensi tidak menyadarinya. Kebanyakan hipertensi ini tidak menimbulkan gejala klinis yang khas, jika tensi yang tinggi tidak dikontrol maka akan merusak arteri dan organ vital lainnya. Sehingga hipertensi ini sering kali disebut sebagai pembunuh yang tenang atau tidak terdeteksi.
Tekanan darah yang tinggi atau sering kali disebut sebagai peningkatan tekanan darah atau hipertensi akan meningkatkan risiko serangan jantung, stroke dan gagal ginjal. Jika dibiarkan tidak terkontrol akan menyebabkan kebutaan, ketidakteraturan denyut jantung dan gagal jantung. Risiko untuk berkembangnya kondisi tersebut akan bertambah sejalan dengan peningkatan faktor risiko kardiovaskuler seperti diabetes.
Satu dari tiga orang dewasa di dunia memiliki tekanan darah tinggi. Proporsinya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dari satu dalam 10 orang di usia 20 tahun dan 30 tahun serta sampai 5 dalam 10 orang pada usia 50 tahun. Prevalens hipertensi tertinggi pada negara  dengan pendapatan rendah seperti Afrika, dengan lebih dari 40% orang dewasa di  kebanyakan negara Afrika akan terkena  hipertensi.
Tekanan darah tinggi dapat dicegah dan diobati. Di beberapa negara berkembang, baik dengan upaya prevensi dan pengobatan bersamaan dengan pengendalian faktor risiko kardiovaskuler dapat mengurangi kematian akibat penyakit jantung. Risiko untuk terkena hipertensi dapat dikurangi dengan pola hidup yang baik dengan cara pengurangan asupan garam, makan makanan yang seimbang gizi, mencegah minum minuman yang berakohol, rutin berolah raga, pertahankan berat badan yang ideal dan tidak merokok.
Secara global, 9.4 juta orang meninggal setiap tahunnya dan 1.5 miliar orang menderita hipertensi di seluruh dunia. Hipertensi ini menjadikan faktor risiko tunggal terbesar yang dapat menyebabkan mortalitas yang disebabkan oleh penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal dan diabetes. Setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai hari hipertensi dunia (yang dimulai sejak tahun 2005 dan dicanangkan oleh Liga Hipertensi Dunia - WHL), untuk mengingatkan akan bahayanya penyakit ini yang dapat menyebabkan stroke, penyakit jantung dan ginjal dan sebagai alat media informasi ke publik mengenai prevensi, deteksi dan pengobatan.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) depkes tahun 2007, didapatkan prevalensi penyakit jantung di Indonesia sebesar 7,2%. Sedangkan di Kepri, prevalensi tertinggi terdapat di Natuna sebesar 1,2%, diikuti Tanjung Pinang dan terdapat di semua kabupaten/kota.
Tekanan darah yang tinggi (hipertensi) dihubungkan dengan peningkatan kejadian penyakit jantung. Prevalensi hipertensi pada umur 18 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Menurut kabupaten/kota di Kepri, prevalensi hipertensi berdasarkan tekanan darah berkisar antara 23,6% - 53,3%, dan prevalensi tertinggi ditemukan di Natuna, sedangkan terendah di Tanjung Pinang.
Kejadian penyakit jantung makin meningkat jumlahnya pada penderita kencing manis (diabetes mellitus, DM), apalagi jika disertai dengan hipertensi, sehingga kedua penyebab itu disebut dengan deadly duo   penyakit jantung. Prevalensi penyakit DM di Indonesia sebesar 1,1% dan di Kepri prevalensi tertinggi ditemukan di Natuna sebesar 5,6%.
Hipertensi dan fibrilasi atrium (AF) sering kali beriringan. AF akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, terutama pada usia 75 tahun ke atas, sekitar satu dalam sepuluh orang akan terkena AF. AF merupakan masalah tersering ketika jantung memompa secara ireguler dan biasanya cepat. AF biasanya tidak menimbulkan gejala dan hanya dapat dirasakan adanya denyutan yang tidak beraturan atau dengan direkam melalui EKG. Ketika denyut jantung tidak teratur akan menyebabkan terbentuknya suatu jendalan darah di dalam ruang jantung, jika jendalan darah tersebut lepas akan menyebabkan stroke.
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya AF dan keduanya tersebut akan meningkatkan risiko stroke. Individu dengan AF akan meningkatkan risiko stroke sebesar 3-5 kali lipat dibandingkan tanpa AF. Adapun terapi AF pada dasarnya adalah mengatur rate atau ritme jantung. Tergantung dari tiap-tiap kasus yang ada.
Untuk mewujudkan jantung yang sehat diperlukan beberapa upaya. Upaya jantung sehat yang dilakukan negara-negara di Eropa diatur oleh ESC (European Society of Cardiology). Dengan mengeluarkan panduan klinis untuk mencegah penyakit jantung, yang berupa model angka-angka yang mudah diingat. Angka-angka tersebut mencerminkan orang sehat yang jauh dari penyakit jantung, 0-3-5-140-5-3-0.
Angka 0 merupakan tidak merokok, 3 adalah berjalan 3 km tiap hari ataupun melakukan aktivitas moderat selama 30 menit. Angka lima yang pertama bermaksud makan buah dan sayuran 5 x sehari, 140 menunjukkan tekanan darah kurang dari 140 mmHg.
Lima yang kedua berarti kolesterol total < 5 mmol/L atau 190 mg/dL, sedangkan tiga untuk kolesterol LDL < 3 mmol/L atau 115 mg/dL dan angka terakhir 0 berarti mencegah berat badan (BB) berlebihan dan diabetes.
Angka-angka ini diadopsi di Indonesia oleh PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) dalam “Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskuler (CVD) di Indonesia 2009” dan Amerika pun tidak mau ketinggalan dengan Eropa, AHA (American Heart Association)/ACC (American College of Cardiology) membuat panduan pencegahan primer CVD dan stroke, yang isinya hampir sama.
Yayasan Jantung Indonesia (YJI) juga memberikan pedoman yang mudah bagi masyarakat, yaitu Panca Usaha Pencegahan YJI “SEHAT”, dimana: S-eimbang gizi, E-nyahkan rokok, H-indari stress, A-wasi tekanan darah, dan T-eratur berolahraga.
Upaya jantung sehat lainnya berupa  harmoni lima rasa, yaitu asin, manis, gurih, pahit dan kecut. Tiga rasa pertama merupakan rasa yang harus dikendalikan karena rasa asin akan mengakibatkan hipertensi, rasa manis yang berlebihan dapat menyebabkan diabetes. Sementara gurih yang  berasal dari daging, lemak, keju, kuning  telur, makanan gorengan mengarah pada penyakit gangguan lemak darah, dislipidemi. Dua rasa terakhir merupakan rasa penyeimbang. Rasa pahit dihubungkan  dengan anti oksidan atau anti ketuaan, seperti yang terkandung dalam teh hijau. Rasa kecut seperti yang terkandung dalam jeruk nipis digunakan sebagai zat peluruh lemak.
Adapun tujuan diperingatinya hari kesehatan dunia setiap tahunnya adalah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap hipertensi dengan meningkatkan pola hidup yang sehat. Sementara tujuan utamanya adalah untuk mengurangi serangan jantung dan stroke dengan cara meningkatkan kesadaran mengenai bahaya hipertensi, memberikan informasi pencegahan dan memberikan dorongan terhadap usia dewasa untuk mengecek tekanan darah mereka serta memberikan saran untuk memeriksakan ke petugas kesehatan yang profesional. Juga kampanye WHO dalam rangka hari kesehatan dunia ini untuk memberi semangat tentang pentingnya kesehatan individu dalam mencegah hipertensi, membuat pengukuran tekanan darah yang murah sehingga dapat digunakan oleh semua masyarakat dan mengajak autoritas lokal dan nasional untuk menciptakan lingkungan dengan tingkah laku yang sehat.
Diharapkan dengan perilaku yang sehat dapat mencegah terjadinya hipertensi dan AF, “tekanan darah yang sehat, denyut jantung pun sehat”.

SL Purwo

Omega-3 PUFA sebagai Petanda: Prediksi Mortalitas dan Kejadian Kardiovaskular pada Analisis CHS

KADAR tertinggi Omega-3 PUFA yang  didapat pada plasma (diukur dalam > 2500 dewasa tanpa PJK atau riwayat stroke) memprediksikan tingkat mortalitas yang terendah dalam Cardiovascular Health Study yang bersifat prospektif dan observasional.
Dalam perbandingan antara kadar Omega-3 PUFA kuintil tertinggi dengan  terendah, penurunan laju mortalitas-semua-sebab turun sebanyak 27%, di mana manfaat terbanyak didapatkan pada reduksi  kematian kardiovaskular. Laju mortalitas akibat aritmia, fell nearly one-half. Namun  hasil ini bervariasi untuk jenis-jenis Omega-3 PUFA. Manfaat terhadap mortalitas  kardiovaskular dan mortalitas aritmia,  didapatkan lebih tinggi pada kadar tertinggi docosahexanoicacid (DHA) dibandingkan pada kadar tertinggi eicosapentaenoic acid (EPA) dan bahkan akan lebih banyak lagi manfaat jika yang diukur adalah kadar total dari Omega-3 PUFA.
Terkait efek terhadap mortalitas penyakit kardiovaskular, efek yang ditampakkan DHA lebih kuat daripada EPA. Efek ini paling nyata terlihat pada perbedaanya pada kematian akibat aritmia. Namun EPA memiliki efek yang sedikit lebih baik untuk MI nonfatal (p=0.04) dibandingkan DHA yang tidak signifikan secara statistik. Namun menurut Mozzafarian, melihat p value yang di ambang batas untuk EPA, mungkin sebenarnya baik EPA maupun DHA tidak memiliki efek terhadap MI nonfatal.
Efek yang cukup menjanjikan terhadap kardiovaskular ini cukup konsisten dengan bukti-bukti dari berbagai studi klinis dan laboratoris bahwa Omega-3 PUFA bermanfaat pada denyut nadi, tekanan darah, kontraktilitas miokard, stabilitas elektrik jantung, serta fungsi endotel, otonom, dan hemostatik. Pernyataan ini ditulis Dr. Dariush Mozaffarian (Harvard School of Public Health, Boston, MA) dipublikasikan 2 April 2013 dalam Annals of Internal Medicine.
Studi CHS ini juga memperkirakan menfaat pada populasi dewasa lebih dari 65 tahun, orang dengan kadar omega-3 PUFA plasma tertinggi memiliki usia 2,2 tahun lebih banyak.
CHS mengikutsertakan 5.201 peserta diatas 65 tahun asal USA dan 687 peserta asal Afrika-Amerika dari tahun 1992-1993. Analisis pada akhirnya mengikutsertakan 2692 orang tanpa PJK, stroke, atau gagal  jantung yang tidak mengonsumsi suplemen minyak ikan dan kadar Omega-3 diukur antara tahun 1992-1993. Sekitar 64% peserta adalah wanita, 88% berkulit putih. Mereka diamati hingga tahun 2000.
Adjusted hazard ratio untuk total mortalitas pada EPA dengan kuintil tertinggi adalah 0.83, sementara DHA 0.80, dan total omega-3 PUFA adalah 0,73 (p < 0.001). Penurunan hazard ratio untuk mortalitas  kardiovaskular hanya signifikan pada DHA (p=0.003) dan total omega-3 PUFA (p=0.002). Hasil yang mirip didapatkan pada mortalitas akibat aritmia: DHA (p-0.028) dan omega-3 PUFA total (p=0.008).
Karena ini adalah studi observasional, maka hubungan sebab akibat tak dapat diperlihatkan. Mozaffarian menambahkan, setidaknya hasil ini menunjukan bahwa  kadar tinggi dari omega-3 PUFA bermanfaat langsung untuk survival.
Mozzafarian menyimpulkan bahwa studi ini mendukung DHA bermanfaat dalam menurunkan mortalitas kardiovaskular sementara manfaat EPA masih dipertanyakan. Jika ingin mengonsumsi Omega-3, sebaiknya terdapat DHA di dalamnya, dan tidak hanya EPA sendiri. Ia juga menambahkan, mengonsumsi keduanya mungkin akan lebih baik, karena keduanya memiliki efek komplementer.
Lebih lanjut lagi Mozzafarian menambahkan, melihat efek DHA dalam plasma lebih baik daripada EPA, masuk akal jika suplementasi DHA memberikan elevasi LDL yang lebih tinggi dibanding EPA.   Namun ia tidak menemukan bukti dari  paradoks ini. Peningkatan kadar LDL pada omega-3 menurutnya hanya biasa-biasa saja. Jika terdapat efek, itu hanyalah partikel LDL menjadi lebih besar dan lembut, sehingga menjadi lebih tidak aterogenik. Kesimpulannya, isu yang mengatakan lebih baik memilih suplemen omega-3 PUFA yang hanya mengandung EPA dibandingkan gabungan EPA/DHA karena efek EPA terhadap LDL lebih baik, itu hanyalah “hype” belaka. (www.medscape.com)

Dwita Desandri

Kardiologi Kuantum (17): Catatan Kecil Menyambut HUT Ke-19 Tabloid Kardiovaskuler

IBARAT seorang pemuda, diusia 19 tahun (7 April 2013) adalah sedang gagah-gagahnya, tidaklah heran bila Paskibraka baik di ibukota provinsi maupun di istana negara (nasional), pengibar bendera pada tiap-tiap tanggal 17 Agustus terdiri dari pemuda-pemudi usia 18-20 tahunan. Tabloid Kardiovaskuler adalah salah satu produk pembawa bendera PERKI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Kardiologi kuantum pertama kali dikemukakan juga di media ini. Kardiologi kuantum dapat dikatakan sebagai pendekatan fisik, mental, dan spiritual kardiovaskular melalui fisika kuantum dan Candra Jiwa Indonesia. Kardiologi kuantum selalu memandang Tabloid Kardiovaskuler sebagai “Kawah Candradimuka” tempat ia dilahirkan, dibesarkan dan dikomunikasikan kepada masyarakat kardiovaskular Indonesia.
Dalam dunia pewayangan ia menganggap dirinya sebagai GATOTKACA, ksatria berkumis tebal dari Pringgodani. Anaknya Bima (Werkudara) ksatria ke-2 Pandawa dengan Dewi Arimbi. Menurut Ki  Dalang, ototnya bagaikan kawat dan tulangnya ibarat besi, dapat terbang sampai ke langit sap tujuh. Di jaman sekarang, kira-kira seperti penerbang-tempur (fighter) pesawat Harrier milik Angkatan Udara Kerajaan  Inggris. Ia memiliki kemampuan hovering seperti helikopter (rotary wing) walaupun di kategorikan sebagai pesawat-jet-tempur fixed wing, yang mampu hadir di segala cuaca sebagai penjaga dirgantara.
Kardiologi kuantum menghormati pendapat Alfred Adler yang menempatkan humaniora, pekerjaan dan kasih sayang kepada masyarakat pada posisi yang paling tinggi. Respek kepada hierarki yang ada di masyarakat dalam bidang profesi, pekerjaan dan penghargaan yang diberikan kepadanya. Namun memberikan catatan bahwa bentuk keterikatan itu bagaikan  mengawini kedudukan, harta-kekayaan, dan pelampiasan asmara berlebihan akan berdampak terjadinya stres, disharmoni, neurotik, psikosomatik, bahkan mengganggu integritas pribadi.
Dengan “kacamata” kardiologi kuantum, diyakini amat mudah terlihat di lingkungan petugas kesehatan dan masyarakat kardiovaskular akhir-akhir ini, sungguh-sungguh memprihatinkan. Diperlukan hubungan yang nyaris longgar dengan masyarakat di depan pancaindra, suatu hubungan perkawanan (bukan perkawinan) saja, yang sewaktu-waktu lebih mudah untuk mengucapkan selamat tinggal sesuai perjalanan sang waktu. Tanpa meninggalkan semangat joang yang tinggi, rasa bertanggung jawab yang besar, serta tercapainya cita-cita luhur. Pelaksanaannya dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi sebagai bukti cintanya kepada masyarakat.
Di dalam kawah ‘candradimuka’-nya Tabloid Kardiovaskuler, lahirlah ‘jabang-tetuko’ Kardiologi Kuantum yang berusaha dengan tertatih-tatih menempatkan diri sejajar dengan pemikiran-pemikiran yang sudah mapan seperti psikologi, psikiatri dan psikosomatik. Memilih pendekatan mental-spiritual yang bersifat ekliktik-holistik dari pemikir-pemikir psikologi/psikiatri Carl Gustav Jung, Alfred Adler dan Candra Jiwa Indonesia (Soenarto). Ia terlihat malu-malu menampakkan dirinya bahkan lebih nyaman menggolongkan dirinya sebagai filsafat-terapan saja. Bagi mereka yang jeli dalam ilmu humaniora telah lama menganggap bahwa psikologi, psikiatri, dan psikosomatik pun adalah dalam rumpun yang sama; filsafat-terapan itu juga. Tidak ada yang tahu apakah kelak juga akan menjadi salah satu divisi kardiovaskular, lebih dari itu, di seberang lautan sana, pendekatan sebagai spesialis psikiatri-kardiologi sudah mulai difikirkan oleh para ahli di USA karena sindroma koroner akut, gagal jantung, dan kardiomiopati berhubungan erat dengan ilmu psikiatri-psikologi. Walahualam bisawab.
Tulisan ke-17 Kardiologi kuantum yang bertepatan dengan HUT ke-19 Tabloid Kardiovaskuler ini perlu mengumumkan dirinya menggunakan ikon Gatotkaca atau Antareja, karena wayang, batik, keris, dan angklung sudah menjadi UNESCO world (intangible cultural) heritages sejak awal tahun 2010, yang harus dilestarikan sepanjang zaman oleh setiap manusia yang merasa terpanggil untuk itu. Bila TheSource, Sadar Statis, Sumber Hidup, Tuhan dan TheForce, Sadar Dinamis, Utusan Tuhan yang Abadi, Yang Menghidupi (TheSelf,  Rohaninya manusia, Ego-nya yang Abadi di dalam diri setiap manusia) mengizinkan, Kardiologi Kuantum seyogyanya menjadi buku yang bernomor 2018. Ia harus bersampul ‘angkasa’ biru dengan Gatotkaca di atas sana sebagai ikonnya. Kardiologi kuantum tentu saja memiliki pilihan lainnya yaitu tokoh Antareja yang dapat menyelam di ‘samudra’, badannya bersisik, dan warna biru adalah warna birunya samudra. Tokoh Ontosena patut dipertimbangkan karena  kemampuannya ambles bumi, beraktifitas di dalam tanah. Ia sangat sakti, bahkan jika lidahnya menjilat bekas tapak kaki musuhnya, maka matilah musuh tersebut, ia tidak mempunyai lawan yang setara, oleh karena itu “diabsenkan” oleh tokoh Kresna di dalam perang saudara Bharatayudha. Bukankah Candra Jiwa Indonesia adalah Transcendence to the depth of the heart and beyond? Berarti Ksatria Antreja lebih pas  untuk itu? Penulisnya memang harus menutup serial 7-buku sebagai postquel (2018) Pentalogi Candra Jiwa Indonesia (Studium Generale 2012, Psike 2013, Ego 2014, Intuisi 2015, dan Magnum Opus 2016). E-book Prequel-nya yang bernomor 2017, sudah beredar melalui internet, di share gratis, sebagai Perkenalan, istilah gaulnya sebagai “Intro”-nya serial Pentalogi.
Beberapa hari yang lalu Dekan Fakultas Kedokteran UI Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM (K) atas nama seluruh civitas academica FKUI menyampaikan selamat kepada penulisnya bahwa Magnum Opus (763 hal.) bersama 19 buku lainnya dari berbagai fakultas di lingkungan UI, mendapat bimbingan untuk menjadi buku ajar nasional. Semangat menulis tersebut agar dipelihara, diteruskan, dan disebarluaskan kepada staf akademik yang lebih muda. Magnum Opus telah menunjukkan elan vitale-nya karena seperti buku pentalogi  lainnya masing-masing telah memiliki 6 ISBN dari Perpustakaan Nasional dengan penerbitnya: H&B/Heart and Beyond PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia). Penerbit ini  selalu siap kapan saja melayani setiap anggota PERKI untuk membantu mendapatkan ISBN gratis, dan PERKI sama sekali tidak memungut biaya, bahkan PERKI merasa wajib mendorong semangat untuk menjadikan setiap anggotanya (kalau mau) menjadi penulis (buku) profesional dalam bidang kardiovaskular dan selebihnya (beyond).
Kardiologi kuantum juga telah memperkenalkan 4-Dimensi (dunia) yang terdiri dari Makrokosmos (D-1), alam semesta dan seisinya, dengan makhluk-makhluk seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan dewa, si makhluk halus. Mikrokosmos yang berada di dalam makrokosmos ini terdiri dari 3-Dimensi. Dimensi fisik-biologis (D-2), Dimensi mental, jiwa, atau jasmani halus (D-3), dipersepsikan adanya Dimensi-4 ialah Pusat (hidup) Imateri. Di dalam pusat imateri inilah dipersepsikan tempat keberadaan pusat, sumber, dan tujuan hidup egonya manusia ialah Sadar Statis (Suksma Kawekas, TheSource) serta utusan-Nya yang abadi, Sadar Dinamis yang menjadi Guru Dunia (Suksma Sejatinya manusia, penuntunnya di dalam kalbu-hati, TheForce). Suksma Sejati inilah sesungguhnya pemicu dan yang menghidupi TheSelf, jati dirinya manusia, Egonya yang abadi (Roh Suci, sifat kuasa Tuhan). Bukan Egonya yang kita kenal sehari-hari yang hanya bersifat sementara, sepanjang hayat dikandung badan sesuai teorinya Sigmun Freud. Evolusi perjalanan Ego manusia menemukan jati dirinya dan “bertemu” dengan   TheForce adalah peristiwa INTUISI (pencerahan yang mengubah peradaban manusia), dan akhir evolusi manusia adalah diterimanya kembali eksistensi TheSelf oleh TheForce, di dalam peristiwa PAMUDARAN, telah dipersepsikan oleh Carl Gustav Jung sebagai Individuisasi.
Kardiologi kuantum mengajak ego/ angan-angan agar mengendalikan sentra vitalitas nafsu dengan baik. Diawali dengan membuka kunci pertama dengan mengendalikan, menekan, dan menetralkan nafsu egosentripetal (semua perilaku negatif, egoistik, tamas, atau luamah) dengan tapabrata/puasa, keberhasilannya dinamakan dalam istilah psikologi sebagai sublimasi. Kunci kedua, juga tidak mudah karena mengembangkan ke-jujur-an lahir dan batin. Kalau kita sebagai bangsa sudah mampu berbuat demikian maka KPK, kejaksaan, dan kepolisian diyakini tidak ada pekerjaan lagi atau setidaknya meringankan tugas-nya. Oleh karena itu sifat  unggulan lainnya seperti ikhlas, sabar, syukur, dan budi luhur menjadi suatu keniscayaan, sesuai dengan teori kemasyarakatannya Alfred Adler. Akhirnya, kunci ketiga yaitu percaya (belief, iman) kepada Sumber Hidup dan Yang Menghidupi jati dirinya manusia senantiasa dipakai. Kunci tersebut transendental sifatnya dan harus dibawa dalam introspeksi menuju kalbu terdalam. Kardiologi kuantum mencatatnya sebagai fungsi yang tertinggi dari sentra vitalitas perasaan manusia. Maka, sadar (eling, consciousness) dan taat (takwa, obedience) berturut-turut  sebagai fungsi tertingginya dua vitalitas jiwa lainnya yaitu angan-angan dan nafsu-nafsu juga akan eksis dengan sempurna. Sementara itu evolusi perjalanan ego manusia ke dalam dirinya (introversi) seharusnya terus dilanjutkan untuk menuju pusat (hidup) imateri.
Akhirnya, terbuka kesempatan membuktikan adanya peristiwa intuisi dan pamudaran baik secara teoritis maupun hipotetis kepada siapa saja anggota masyarakat kardiovaskular untuk menjadikan kenyataan, sebagai tujuan akhir kehidupan manusia, mengikuti teori Jung dan Candra Jiwa Indonesia (Soenarto). Selamat Hari Ulang Tahun, semoga panjang umur, banyak rejeki dan berbahagia selalu.

Budhi S. Purwowiyoto

Clinical Experience with Pradaxa® Crosses One Million Patient-Years of Treatment 40,000 People Estimated to be Saved from A Stroke Related to Non-Valvular Atrial Fibrillation

Munich, Germany, August 27, 2012 -- Boehringer Ingelheim has announced today that the combined treatment experience with Pradaxa® has crossed one million patient-years1 in the prevention of thromboembolic events in patients after surgery and in patients with non-valvular atrial fibrillation (AF), providing the greatest body of clinical experience among all novel oral anticoagulants. The announcement, made during the European Society of Cardiology (ESC) Congress 2012 in Munich, Germany, reaffirms the confidence physicians have in Pradaxa® to effectively prevent stroke and systemic embolism in patients with non-valvular AF and venous thromboembolic events following hip or knee replacement surgery.
One million patient-years of treatment experience is unprecedented for a novel oral anticoagulant and highlights a broad adoption of Pradaxa® in more than 70 countries worldwide following regulatory approvals in stroke prevention in AF. This level of clinical use shows strong endorsement for the substantial benefits Pradaxa® has demonstrated in the RE-LY® trial*2,3, and for its positive benefit-risk profile, as recently reconfirmed by the European Medicines Agency.4


 




Professor Klaus Dugi, 
Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim 

“It is great to see this treatment being accepted and adopted all over the world for the benefit of patients being effectively protected against thromboembolic events,” commented Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “One million patient-years is an important milestone, but even more important is how many strokes our treatment already is likely to have prevented, protecting patients and their families from the impact of this devastating event.”
The benefit of Pradaxa® in stroke prevention in patients with non-valvular AF compared to no treatment can be derived from the reduction in the risk of stroke   observed in the pivotal clinical RE-LY® study2,3 and by comparing against historical trials in AF patients receiving no treatment.5,6 Taking into account the overall    real-world exposure achieved since the first approval of Pradaxa® in this indication, it can be calculated that Pradaxa® may have already prevented up to 40,000 strokes in non-valvular AF patients, compared to no treatment.1-3,5,6






Professor Hans-Christoph Diener, 
Department of Neurology, University of Duisburg-Essen, Germany


Commenting on the news, Professor Hans-Christoph Diener, Department of Neurology, University of Duisburg-Essen, Germany said, “Preventing ischaemic stroke is of utmost clinical importance for healthcare professionals treating patients with AF. With dabigatran 150mg bid, clinicians have a treatment available that prevents more ischaemic strokes than well controlled warfarin and reduces intracranial haemorrhage at the same time. The estimated number of strokes prevented shows the relevance of dabigatran as a safe and efficacious preventive treatment for patients with AF at risk of stroke.”
Pradaxa® 150mg bid is the only novel oral anticoagulant, study of which has shown a significant reduction of ischaemic strokes in patients with non-valvular AF compared to warfarin, offering a relative risk reduction of 25%.2,3 In RE-LY®, a PROBE trial (prospective, randomized, open-label with blinded endpoint evaluation), Pradaxa® 150mg bid provided a 35% reduction in the overall risk of stroke and systemic embolism versus well-controlled warfarin (INR 2-3, median TTR 67%7).2,3 Pradaxa® 110mg bid, which is indicated for certain patients, was shown to be non-inferior compared to well-controlled warfarin for the prevention of stroke and systemic embolism.2,3 Both doses of Pradaxa® were associated with   significantly lower total, intracranial and life-threatening bleeding compared to well-controlled warfarin, and Pradaxa® 110mg bid additionally demonstrated significantly lower major bleeding versus warfarin.2,3

NOTES TO THE EDITORS
Stroke Prevention in Atrial Fibrillation AF is the most common sustained heart rhythm condition8, with one in four adults over the age of 409 developing the condition in their lifetime. People with AF are more likely to experience blood clots, which increases the risk of stroke by five-fold.9,10 Up to three million people worldwide suffer strokes related to AF each year.11-14 Strokes due to AF tend to be severe, with an increased likelihood of death (20%), and disability (60%).15
Ischaemic strokes are the most common type of AF-related stroke, accounting for  92% of strokes experienced by AF patients and frequently leading to severe debilitation.16-20 Appropriate anticoagulation therapy can help to prevent many types of AF-related strokes and improve overall  patient outcomes.6
Worldwide, AF is an extremely costly public health problem, with treatment costs equating to $6.65 billion in the US and over €6.2 billion across Europe each year.21,22  Given AF-related strokes tend to be more severe, this results in higher direct medical patient costs annually.23 The total societal burden of AF-related stroke reaches €13.5 billion per year in the European Union alone.10

References
1  Boehringer Ingelheim data on file
2  Connolly SJ, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2009; 361:1139-51.
3  Connolly SJ, et al. Newly identified events in the RE-LY trial. N Engl J Med. 2010;363:1875-6.
4  European Medicines Agency. Press Release, dated May 25th 2012. Available at http://www.emea.europa.eu/ema/index.jsp?curl=pages/medicines/human/public_health_alerts/2012/05/human_pha_detail_000061.jsp&mid=WC0b01ac058001d126
5  Eikelboom JW, et al. Dabigatran efficacy–safety assessment for stroke prevention inpatients with atrial fibrillation. J Thromb Haemost. 2012;10: 966–8.
6  Hart RG, et al. Meta-analysis: Antithrombotic Therapy to Prevent Stroke in Patients Who Have Nonvalvular Atrial Fibrillation Ann Intern Med. 2007;146:857-67.
7  Pradaxa European Summary of Product Characteristics, 2012
8  Stewart S, et al. Cost of an emerging epidemic: an economic analysis of atrial fibrillation in the UK. Heart. 2004;90:286-92.
9  Lloyd-Jones DM, et al. Lifetime risk for development of atrial fibrillation: the Framingham Heart Study. Circulation. 2004;110:1042-6.
10  Fuster V, et al. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation – executive summary. Circulation. 2006;114:700-52.
11  Global Atlas on Cardiovascular Disease Prevention and Control, World Health Organization in collaboration with the World Heart Federation and the World Stroke Organization 2011. Viewed May 2012 at http://www.world-heart-federation.org/fileadmin/user_upload/documents/Publications/Global_CVD_Atlas.pdf.
12  Atlas of Heart Disease and Stroke, World Health Organization, September 2004. Viewed Dec 2010 at http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_15_burden_stroke.pdf.
13  Wolf PA, et al. Atrial fibrillation as an independent risk factor for stroke: the Framingham Study. Stroke. 1991;22:983-8.
14  Marini C, et al. Contribution of atrial fibrillation to incidence and outcome of ischaemic stroke: results from a population-based study. Stroke. 2005;36:1115-9.
15  Gladstone DJ, et al. Potentially Preventable Strokes in High-Risk Patients With Atrial Fibrillation Who Are Not Adequately Anticoagulated. Stroke. 2009;40:235-240.
16  Paolucci S, et al. Functional outcome of ischemic and hemorrhagic stroke patients after inpatient rehabilitation. Stroke. 2003;34:2861−5.
17  Petrea RE, et al. Gender differences in stroke incidence and poststroke disability in the Framingham Heart Study. Stroke. 2009;40:1032-7.
18  Meschia JF, et al. Genetic susceptibility to ischemic stroke. Nat Rev Neurol. 2011;7:369−78.
19  Andersen KK, et al. Hemorrhagic and ischemic strokes compared: stroke severity, mortality, and risk factors. Stroke. 2009; 40:2068−72.
20  Roger VL, et al. AHA Statistical Update. Heart Disease and Stroke Statistics—2011 Update. A Report From the American Heart Association. Circulation 2011; 123:e18−e209.
21  Coyne KS, et al. Assessing the direct costs of treating nonvalvular atrial fibrillation in the United States. Value Health 2006; 9:348-56.
22  Ringborg A, et al. Costs of atrial fibrillation in five European countries: results from the Euro Heart Survey on atrial fibrillation. Europace 2008; 10:403-11.
23  Brüggenjürgen B, et al. The impact of atrial fibrillation on the cost of stroke: the Berlin acute stroke study. Value Health 2007; 10:137-43.
24  Di Nisio M, et al. Direct thrombin inhibitors. N Engl J Med 2005; 353:1028-40.

*  RE-LY® was a PROBE trial (prospective, randomized, open-label with blinded endpoint evaluation), comparing two fixed doses of the oral direct thrombin inhibitor dabigatran etexilate (110mg and 150mg bid) each administered in a blinded manner, with open label warfarin.2,3

SPONSORED ARTICLE

Struktur dan Fungsi Atrium Kanan serta Hasil Keluaran Klinis pada Populasi Umum

ABNORMALITAS fungsional dan struktural kardiak secara subklinis mungkin mengidentifikasi individu–individu asimptomatis pada peningkatan risiko hasil keluaran kardiak yang tidak inginkan seperti mortalitas.
Walaupun jarang digunakan dalam studi dibandingkan abnormalitas ventrikel kiri (LV), baik peningkatan volum atrium kanan dan penurunan fraksi pengosongan atrium kiri (LAEF) mungkin berguna dalam fenotipe subklinis.
Determinan dan signifikansi peningkatan maksimum volume atrium kiri (LAmax) telah mendapatkan perhatian yang dapat dipertimbangkan, akan tetapi kurang dikenal tentang determinan dan signifikansi prognostic dari penurunan LAEF pada populasi umum.
Studi–studi sebelumnya memperlihatkan fungsi dan struktur LA memiliki kekurangan yang penting di antaranya kegunaannya pada studi selektif kohort dimana pencitraan dilakukan untuk alasan klinis, secara potensial memberikan suatu bias seleksi.
Kebanyakan studi sebelumnya memiliki sampel yang kecil dengan presentasi yang jelek dari etnis minoritas dan tidak mencerminkan kriteria eksklusinya.
Oleh karena itu, studi ini mengukur baik LAmax dan LAEF menggunakan MRI pada studi Dallas Heart Study (DHS), menggunakan sampel berdasarkan populasi yang memiliki peningkatan risiko hasil keluaran kardiak yang tidak diinginkan dan dilakukan penilaian sistematik dari determinan dan nilai prognostik incremental dari LAmax dan LAEF.
Maksimum LAmax dan LAEF diukur menggunakan MRI pada 1802 pasien pada DHS. Hubungan LAEF dan index LAmax terhadap area permukaan tubuh (LAmax/BSA) dengan faktor risiko tradisional, tingkat peptida natriuretik, dan struktur [EDV serta konsentrisitas (massa/EDV)] dan fungsi (fraksi ejeksi) LV dianalisis dengan regresi linier.
Nilai prognostik dari LAmax/BSA dan LAEF diantara faktor risiko tradisional, LV fraksi ejeksi, dan massa LV diukur dengan model hazard–proporsi Cox. Baik peningkatan LAmax/BSA dan penurunan LAEF dihubungkan dengan hipertensi dan tingkat peptida natriuretik (p < 0.05 untuk semua).
Pada analisis multivariat, LAmax/BSA memiliki hubungan yang kuat dengan LV EDV/BSA, dimana LAEF secara kuat dihubungkan dengan LV fraksi ejeksi dan konsentrisitas. Selama median follow-up 8.1 tahun, terdapat 81 kematian.
Penurunan LAEF [HR per 1 SD 8%: 1.56 (1.32-1.87)] tetapi tidak peningkatan LAmax/BSA [HR per 1 SD 8.6mL/m2 : 1.14 (0.97-1.34)] secara independen dihubungkan dengan mortalitas. Penambahan LAEF terhadap model skor risiko yang diadaptasi Framingham, diabetes, ras, massa LV dan fraksi ejeksi memperbaiki c-statistik (c-statistik: 0.78 vs 0.77; p < 0.05), sementara itu penambahan LAmax/BSA tidak terdapat perbaikan (c-statistik: 0.76; p = 0.20).
Dapat dikatakan dari studi ini pada populasi umum baik LAmax/BSA dan LAEF merupakan fenotipe subklinis yang penting tetapi LAEF lebih unggul dan incremental dibandingkan LAmax/BSA.(European Heart Journal 2013; 34: 278-85)
SL Purwo

Fibrilasi Atrial dan Risiko ESRD pada Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik

FIBRILASI atrium (AF) diperkirakan terjadi pada 7-20% diantara pasien dengan gagal ginjal terminal, end-stage renal disease (ESRD), kejadian ini merupakan 2-3 kali lebih tinggi dari yang dilaporkan pada masyarakat umum. Studi-studi menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi AF diantara penderita ESRD dan ini dihubungkan dengan perburukan penyakit seperti terjadinya stroke iskemik, dan kematian.
Akhir-akhir ini beberapa studi melaporkan tingginya angka kejadian dan prevalensi AF di dalam populasi pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik (CKD, chronic kidney disease) yang belum memerlukan dialisis. Soliman dkk melaporkan prevalensi AF adalah 18% pada kohort multisenter dengan rentang fungsi ginjal yang lebar. Walaupun demikian telah menjadi jelas bahwa AF dihubungkan dengan penampilan klinik yang buruk baik pada populasi umum maupun pada pasien ESRD. Masih sedikit diketahui dampak jangka panjang AF pada pasien dengan CKD.
Walaupun secara umum sudah diterima bahwa CKD meningkatkan risiko berkembangnya AF, beberapa studi mengevaluasi kemungkinan adanya hubungan dua arah antara AF dan CKD. Satu studi kohort di Jepang menemukan bahwa AF pada waktu pertama kali di diagnosis kemudian diikuti perkembangannya berhubungan dengan sedikitnya 2 kali peningkatan risiko berkembang menjadi CKD atau proteinuria. Walaupun demikian dampak jangka panjang perkembangan AF pada terjadinya risiko perburukan gambaran klinis ginjal pada pasien yang telah diketahui menderita CKD masih belum jelas. Barangkali kelompok risiko tinggi pasien-pasien ini potensial memerlukan penanganan khusus.
Nisha Bansal dkk meneliti orang dewasa dengan CKD (yang didefinisikan sebagai estimated glomerular filtration rate eGFR <60 mL/min per 1.73 m2 oleh Chronic Kidney Disease Epidemio-logy Collaboration equation) yang terdaftar dalam Kaiser Permanente Northern California dan tercatat antara 2002 dan 2010 serta tidak menderita ESRD sebelumnya atau tercatat sebelumnya sebagai AF. Kejadian AF diidentifikasi berdasarkan diagnosis ketika keluar dari rumah sakit primer atau 2 atau lebih kunjungan rawat jalan dengan AF. Kejadian ESRD diidentifikasi berdasarkan registri rencana kesehatan komprehensif untuk dialisis dan transpalntasi ginjal. Diantara 206 229 orang dewasa dengan CKD, 16 463 berkembang menjadi AF. Pasien diikuti rata-rata (mean) selama 5,1+2,5 tahun, terdapat 345 kasus ESRD yang terjadi setelah terjadinya AF (74 per 1000 orang-tahun) dibandingkan dengan 6505 kasus ESRD selama periode tanpa AF (64 per 1000 orang-tahun, P<0,001). Setelah penyesuaian untuk konfonder potensial, kejadian AF telah dihubungkan dengan peningkatan sebesar 67% dari ESRD (hazard ratio, 1,67; 95% confidence interval, 1,46-1,91).
Diskusi—Di dalam studi kohort yang luas pada orang dewasa dengan CKD, peneliti menemukan kejadian AF secara mandiri berhubungan dengan 67% lebih tinggi relatif mengikuti terjadinya ESRD, walaupun setelah dilakukan penyesuaian terhadap konfonder potensial yang luas.
Lebih jauh lagi hubungan tersebut konsisten terhadap seluruh usia, seks, ras dan data dasar subgrup eGFR. Walaupun literatur sebelumnya menunjukkan bahwa CKD dihubungkan dengan angka kejadian dan prevalensi yang tinggi terhadap AF, penelitian ini justru mendukung pendapat bahwa AF mungkin berperanan dalam mempercepat perkembangan CKD menuju ESRD secara mandiri dibandingkan dengan faktor risiko lainnya yang telah diketahui.
Beberapa mekanisme kemungkinan mengapa AF dapat meningkatkan risiko ESRD. AF meningkatkan peradangan sistemik, hal ini sangat kuat hubungannya dengan terjadinya ESRD pada pasien-pasien dengan CKD. AF juga telah dianggap menginduksi fibrosis di dalam miokard, sangat mungkin proses fibrosis tersebut dengan cara yang sama terjadi di ginjal, mungkin melalui kecenderungan profibrotik secara sistemik (mekanisme ini masih belum definitif). AF berperanan menurunkan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri sepanjang waktu, yang akan memperburuk CKD berdasarkan perubahan hemodinamik, kongesti vena, dan aktifasi sistim renin-angiotensin-aldosteron. AF mungkin juga prothrombotik yang menyebabkan terjadinya mikroinfark pada ginjal, seperti terjadinya mikroinfark pada serebral secara tersembunyi. Beberapa obat yang digunakan dalam terapi AF juga berkontribusi untuk menurunkan fungsi ginjal seperti diuretik. Oleh karena itu para klinisi harus waspada memilih obat (anti trombotik, penghambat beta, anti aritmia, dan diuretik) dan kalau perlu menggantinya dengan obat lain yang lebih ramah terhadap ginjal.
Kesimpulan—Kejadian AF secara mandiri dihubungkan dengan peningkatan risiko relatif terhadap terjadinya ESRD pada orang dewasa diantara penderita CKD.  Kejadian ini bersifat mandiri terhadap faktor-faktor risiko klinik maupun terapi medik. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui adanya potensi mengubah alur peranan AF dalam mengarahkan risiko perkembangan CKD menuju ESRD. (Circulation 2013;127:569-574)
Budhi Setianto

Selasa, 09 April 2013

CT Koroner Memiliki Makna Prognostik untuk PJK pada Pasien dengan Resiko Sangat Rendah

LESI yang obstruktif ataupun non-obstruktif biasa ditemui pada hasil pemeriksaan CT angiografi koroner (coronary CT angiography-CCTA) pasien yang dicurigai memiliki Penyakit Jantung Koroner (PJK), dimana pasien tersebut juga tidak memiliki faktor risiko untuk menderita PJK (seperti dislipidemia atau hipertensi). Bahkan, meskipun pada kondisi risiko rendah berdasarkan  pengukuran standar, risiko kejadian kardiovaskular menjadi signifikan pada pasien yang ternyata memiliki PJK pada hasil pemeriksaan CCTA.
Pengamatan ini didasarkan pada registry Kohort Internasional, mengatakan bahwa CCTA memiliki makna untuk menjadi bagian triase pasien seperti ini dalam menentukan pemeriksaan lanjutan yang bersifat invasif menurut peneliti yang melaporkan hasil penelitiannya tersebut secara online pada 19 Februari 2013 melalui Jurnal Radiologi.
"Pasien-pasien ini, yang telah kami nilai melalui berbagai penilaian faktor risiko, ternyata memiliki risiko relatif rendah, dan termasuk populasi yang sulit untuk distratifikasi", ungkap Dr. Jonathon Leipsic (Universitas British-Kolumbia, Vancouver Kanada).

Bermakna prognostik dan memiliki nilai yang sangat kuat"Kelompok ini pastinya akan dikirim untuk pemeriksaan test diagnostik yang noninvasif, seperti nuklir test ataupun treadmill test, untuk meningkatkan likelihood temuan positif pada angiografi koroner --bila mengambil jalur tersebut--, atau untuk menilai risiko. Tetapi test-test ini sebenarnya hanya dapat menyingkap keadaan PJK dengan tingkat yang cukup berat, dimana keadaan tersebut telah menyebabkan iskemia," begitu penjelasannya. Dan ini berbeda dengan kemampuan CCTA, yang  memiliki nilai prognostik bahkan pada pasien dengan memiliki PJK yang ringan, hingga tidak memiliki PJK.
"Istimewanya CCTA ini adalah anda tidak lagi menduga-duga. Anda dapat  mengidentifikasi PJK yang masih ringan, kemudian anda dapat juga mengidentifikasi penyempitan bermakna arteri koroner dan ini menjadi dasar untuk memahami keadaan prognosis pasien ini," kata Leipsic.
"Berdasarkan alasan ini, dengan pemilihan populasi pasien yang tepat dengan gejala atipikal dan dengan kecurigaan ada PJK, menurut kami CCTA adalah pemeriksaan lini depan yang sangat baik. Apa yang penting pada analisa kami adalah, bahkan pada keadaan gejala yang tidak khas, dan pasien tidak memiliki resiko untuk terjadinya PJK, beberapa dari mereka ternyata telah memiliki PJK yang bermakna, dan jika pemeriksaan ini telah membuktikan hal tersebut, karena itu kami beranggapan pemeriksaan ini memiliki nilai prognostik penting dan bermakna," tambahnya.

Rujukan dikarenakan keluhan ataupun riwayat penyakit jantung dalam keluargaPenelitian yang melibatkan 5.262 pasien tanpa faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti merokok, dislipidemia ataupun diabetes pada 12 pusat penelitian Kohort prospektif dari lebih 12.000 pasien yang tidak diketahui apakah menderita PJK sebelumnya, dan kemudian dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan CCTA. Pengiriman didasarkan pada gejala atau "kewaspadaan klinis akibat sejarah PJK dalam keluarga. Sementara, 36% diantaranya tidak memiliki keluhan sama sekali atau asimtomatik.
PJK dikelompokkan sebagai obstruktif ( >= 50% stenosis) pada 12% pasien, nonobstruktif (>= 1% s/d 49% diameter luminal) pada 27% pasien, dan tidak memiliki PJK sebesar 61% pasien.
Setelah diikuti selama rata-rata 2,3 tahun, Kejadian Kardiovaskular Mayor (KKM) terjadi pada 106 pasien (2,0%), berupa kematian, non fatal infark miokard akut (IMA), angina pektoris tidak stabil (APTS), ataupun revaskularisasi lambat >90 hari di pembuluh yang terdapat lesi.
Lesi obstruktif memiliki Hazard Ratio (HR) KKM (risk-adjusted) sebesar 6,64 (CI 95%, 3,68-12,00; p<0,01). dengan variasi HR pada yang simptomatik 11,9 (p<0,01) dan 6,3 (p<0,01) untuk pasien asimtomatik.
Resiko KKM bervariasi dengan jumlah koroner obstruktif: HR 6,11 pada pasien dengan satu pembuluh darah, 5,86 pada pasien dengan dua pembuluh darah dan 11,69 pada pasien dengan tiga pembuluh darah koroner dengan lesi obstruktif.

Menjawab kebutuhan yang tak terpenuhi?
Penggunaan CCTA merupakan jawaban yang menarik untuk keperluan pemeriksaan dengan keadaan emergensi, (didasarkan pada trial klinis yang mendukung), tetapi tentunya bukan tanpa kontroversi. Penggunaan pada pasien-pasien yang stabil lebih menjadi andalan utama.
Leipsic dan koleganya mengakui bahwa pernyataan Guideline secara umum tidak mendukung pemeriksaan imaging test pada individual dengan risiko rendah PJK obstruktif", juga temuan terakhir belum menyarankan penyesuaian/modifikasi appropriateness criteria yang telah biasa digunakan.
Tetapi studi mereka (Leipsic dkk) menggaris bawahi kenyataan saat ini, bahwa tidak ada skoring/penilaian secara klinis yang  dapat digunakan untuk menuntun para  klinisi dalam menilai resiko akan terjadinya KKM pada pasien dengan kondisi stabil yang dicurigai memiliki PJK. (Diterjemahkan dari: ww.theheart.org/article/1510213/print.do)

Haryadi

Meta Analisis Terbaru tentang Terapi Antitrombotik Pasien Gagal Jantung dengan Irama Sinus

“Pemberian warfarin dibandingkan aspirin pada HFREF dengan irama sinus, secara signifikan mengurangi risiko stroke tetapi tidak terlihat keuntungannya pada mortalitas”.

GAGAL jantung (HF) merupakan keadaan protrombosis dengan peningkatan risiko trombosis vena dalam, emboli paru, stroke dan infark miokard.
Keuntungan penggunaan warfarin telah terlihat dibandingkan aspirin pada fibrilasi atrium dengan penurunan yang signifikan risiko stroke pada setting prevensi primer dan penggunaan warfarin didukung oleh bukti kelas 1 dan direkomendasi panduan klinis.
Secara kontras, tidaklah jelas terdapat keuntungan penggunaan antikoagulasi pada pasien HF dengan irama sinus ritme (SR).
Dengan keluarnya hasil studi WARCEF, studi terbesar penggunaan antitrombotik, peneliti ingin melakukan pemeriksaan ulang bukti studi klinis untuk melihat hasil keluaran yang lebih baik.
Oleh karena itu, dilakukanlah studi metaanalisis oleh Hopper et al untuk melihat efek antiplatelet (terutama aspirin) dibandingkan antikoagulan (terutama warfarin) dan antitrombotik (clopidogrel) pada kematian serta kejadian trombosis mayor pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (HFREF) dan irama SR.
Semua studi randominsasi yang menggunakan pasien HF kronis dan HFREF dengan irama SR (n > 100), serta efek aspirin, antiplatelet atau antikoagulan diikut sertakan dan dievaluasi secara prospektif.
Empat studi memenuhi kriteria inklusi, waktu intervensi sekitar 28 bulan.Tidak terdapat perbedaan mortalitas oleh semua sebab ketika aspirin diberikan yang dibandingkan dengan warfarin (n = 3701; RR 1.00; 95% CI 0.88-1.13; p = 0.94).
Dibandingkan dengan aspirin, secara signifikan kejadian stroke lebih sedikit pada kelompok warfarin (n = 3701; RR 0.59; 95% CI 0.41-0.85; p = 0.004) dan lebih sedikit stroke iskemik fatal dan non fatal (n = 3368; RR 0.48; 95% CI 0.32-0.73; p = 0.0006).
Warfarin meningkatkan dua kali lipat risiko perdarahan mayor dibandingkan aspirin (n = 3701; RR 2.02; 95% CI 1.45-2.80; p < 0.0001), akan tetapi perdarahan intracranial jarang ditemukan.
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada hospitalisasi HF pada pemberian aspirin maupun warfarin (n = 3701; RR 1.16; 95% CI 0.79-1.71; p = 0.45).
Dengan kata lain, pemberian warfarin dibandingkan aspirin pada pasien HFREF irama SR, secara signifikan terjadi penurunan risiko stroke tetapi tidak pada mortalitasnya serta perdarahan mayor terjadi dua kali lipatnya dengan kejadian perdarahan intrakranial yang jarang.
Temuan ini memberikan gambaran bahwa pemberian warfarin mempunyai  keuntungan yang lebih dibandingkan dengan risikonya. Penggunaan aspirin tidak meningkatkan angka hospitalisasi HF. Tidak terlihat keuntungan pada mortalitas dengan penggunaan warfarin dibandingkan aspirin, walaupun perdarahan sistem saraf pusat dan intrakranial jarang terjadi. (European Journal of Heart Failure 2013; 15: 69-78)

SL Purwo

Kardiologi Kuantum (16): Komputer Kuantum Biologis

“Manusia merupakan bagian dari keseluruhan, yang disebut Alam, bagian yang terbatas dalam ruang dan waktu. Manusia mengalami sendiri, pikiran dan perasaannya sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain, .. Semacam khayalan optik kesadaran.” –Albert Einstein–

Kardiologi kuantum? ...ah, ...kuantum lagi? berbau misterius, pasti mengada-ada yaitu sesuatu yang tidak ada diada-adakan.. hahaha. “Coba yang nulis ini saya, pasti sudah diketawain sama teman-teman,” tutur PemRed Tabloid Kardiovaskuler, Dr. Soni H. Wicaksono, SpJP. “Memang untuk menulis sesuatu yang misterius tadi disamping “Faktor-U” sebenarnya masih ada lagi yaitu “Faktor-X”. Faktor U adalah faktor umur, demikian penjelasanku. Mengubah konsep kardiologi kuantum dari diketawain menjadi ditersenyumin, bahkan diperhitungkan itu persoalan lain lagi... senyum, dimanapun juga terasa keindahannya, patut disyukuri.
Kalau kita mengikuti perjalanan fisika kuantum dan fisika klasik juga harus sering tersenyum, semua benda yang bergerak di angkasa pun harus mengikuti hukum Newton kecuali planet Uranus yang karena kecilnya terganggu gravitasi matahari. Ketika dilakukan pengamatan saat terjadinya gerhana matahari di Afrika Selatan membuktikan bahwa teori Albert Einstein yang benar, sehingga ia terkenal di dunia. Nah, begitu juga Einstein dengan teori relativitasnya (E=MC2) seolah-olah bagaikan  menerima sabda alam (baca: Sabda Tuhan kepada alam), semuanya terpaksa mengikuti teorinya! Sehingga majalah TIME Desember 1999 menobatkannya sebagai “Person of the century”, manusia abad ini, kita tersenyum saja karena selain si Albert, kita-kita ini bukan person, bukan manusia, hanya menyerupai manusia? Pernyataannya pun perlu kita perhatikan dengan seksama: apa yang sering dinyatakan sebagai realitas, menurut Einstein hanyalah bayangan, ilusi saja, kecuali sangat kuat kenyataannya dan satu-satunya yang sangat bermakna adalah intuisi. Penemuannya tentang  hukum alam tersebut diyakini masyarakat bukan semata-mata dari hasil kegiatan inteligensinya yang memang sudah istimewa, melainkan ada faktor lain yaitu faktor anugerah, harap dibaca sebagai ”Faktor X.”
Alam semesta, sebagai dimensi-1 menempatkan dunia di depan pancaindra kita sebagai dunia yang tanpa batas. Di era globalisasi ini membuat segala sesuatu tampak serupa, beda-beda sedikit. Oleh karena itu dapat saling memengaruhi satu  dengan lainnya. Demikian juga di dunia ilmu kesehatan dalam perspektif kultur budaya universitas yang memiliki ilmu-ilmu kesehatan masyarakat, keperawatan, kedokteran, psikologi, psikiatri dan psikosomatik harus dipandang sebagai dunia ilmiah yang terus berkembang dalam perspektif humaniora, untuk menembus batas realitas. Kardiovaskular sebagai entitas ilmiah yang bergengsi (dimensi-2: fisik), boleh dianggap memiliki kultur budaya-nya sendiri sudah saatnya mampu menampilkan ”kearifan lokal”-nya sendiri yang unik (kardiologi kuantum) agar mampu menyelaraskan dirinya dengan fenomena alam semesta (fisika kuantum;  dimensi-1); serta: fenomena psike/jiwa/mental dan neumena spiritualitas (candra jiwa Indonesia; dimensi-3 dan 4).
Di luar sana, kreativitas dalam mengolah budaya dan kearifan lokal yang sesuai dengan perkembangan jaman akan menjadi kunci persaingan global. Semangat  yang amat besar, passion yang menular, integritas pribadi, dan intuisi harus didasari dengan adanya niat, tekad dan sedikit nekat untuk memulai dan memelihara dinamikanya sendiri.

”Kardiologi kuantum dalam perspektif kultur budaya universitas, harus di dukung untuk menampilkan keunikan, kreativitas, dan ciri khasnya sendiri agar memiliki nilai tambah dan kekuatan dalam menghadapi era global yang kompetitif.” (BSP)

Heisenberg’s Uncertainty. Ketika teori Einstein sedang memuncak (1927), Werner Karl Heisenberg mengembangkan suatu teori yang bertentangan dengan Einstein yaitu teori ketidak-pastian. Menurut teori ini makin akurat kita menentukan posisi suatu benda, makin tidak akurat momentumnya (atau kecepatannya) dan sebalik-nya. Jadi benda tidak dapat ditentukan letaknya secara cermat, alias bisa di mana saja! Ini juga semakin membuat kita tersenyum sendiri. Teori ini tidak masuk akal menurut Einstein. Menurut Yohanes Surya, fisikawan Indonesia, Einstein menentang teori ini hingga akhir hayatnya. Ejekan Einstein .. masak posisi bulan tidak menentu, mana mungkin. Einstein lebih suka menganggap bulan mengorbit secara teratur, “I like to believe that the moon is still there even if we don’t look at it.” Einstein juga berargumen bahwa tidak mungkin Tuhan bermain dadu “God doesn’t play dice” dalam mengatur alam semesta ini.
Heisenberg maju terus mengembangkan teorinya, akhirnya teorinya menjadi salah satu pilar dari mekanika kuantum. Kini mekanika kuantum menjadi primadonanya fisika. Oleh Feynman, Elektrodinamika kuantum (mekanika kuantum yang digabung dengan teori relativistik Einstein) dijuluki “the jewel of physics”. Berkat mekanika kuantum inilah orang dapat mengembangkan berbagai teknologi mutakhir yang ada sekarang ini, mulai dari TV, kulkas, mainan elektronika, laser, bom atom yang dahsyat, hingga pembuatan-pembuatan chip-chip komputer super cepat. Heisenberg dianugerahi Nobel Fisika di tahun 1932 dan hadiah-hadiah bergengsi lainnya.
Sel-sel jantung ada yang unik, ia berbeda dengan sel-sel miokard yang bertanggung jawab terhadap gerak otot jantung, yaitu sel-sel purkinje ia bersifat seperti sel-sel saraf. Tidak terlalu salah sekiranya ada hipotesis bahwa jantung sampai sel-selnya berperanan dalam proses berfikir. Proses identifikasi variable dan prosesnya ada di otak, sementara penyimpanannya bisa jadi di saraf jantung, sangat spekulatif memang karena memerlukan program “super” komputer biologis di dalam mikrotubulus denrit yang ujung positif dan negatifnya berpasangan, sementara pada axonnya paralel. Sementara pada saraf jantung (purkinje) “tidak” ditemukan mikrotubulus. Konsep super komputer yang berdasarkan pemikiran Heisenberg yang dianugerahi Nobel 1932 saja sudah menghasilkan kedahsyatan luar biasa. Apalagi baru-baru ini 2012 hadiah Nobel diberikan kepada dua orang yaitu pada jaman ini menemukan konsep super posisi diantara 0 dan 1.      Hadiah Nobel Fisika tahun 2012 dianugerahkan kepada Serge Haroche (68) dari Perancis dan David Wineland (68) dari Amerika Serikat. Dua ilmuwan itu layak menerima Hadiah Nobel atas kerja keras mereka dalam menemukan metode eksperimen untuk mengamati dan mengontrol partikel kuantum. Nah, mereka telah membuka era baru dengan konsep 100x super komputer (biologi), dan jangan dilupakan kardiologi kuantum kini memiliki pijakan yang jauh lebih kuat, itu menurut pengakuannya sendiri. Kesadaran dianggap sebagai sebuah program komputer kuantum dalam otak, yang dapat tetap bertahan di alam semesta selamanya, dijelaskan berdasarkan persepsi sejumlah orang yang  pernah mengalami mati suri. Near death experience polanya berbeda untuk setiap orang yang mengalaminya. Penjelasannya dari psikologis sampai menurut keyakinan masing-masing.

“Spiritualitas adalah kendaraan untuk memahami alam raya melalui segenap kesadaran. Ia menghadirkan kepekaan akal, hati, dan nurani dalam setiap detak jantung dan tarikan nafas. Merayakan ikhtiar menembus batas realitas.” (www.gaptekupdate.com)

Dua ilmuwan fisika kuantum ternama menawarkan teori barunya. Hipotesisnya adalah pengalaman hampir mati terjadi   ketika zat yang membentuk jiwa manusia terlepas dan meninggalkan sistem syaraf, memasuki alam semesta. Maknanya kesadaran sejatinya dianggap sebagai sebuah program komputer kuantum dalam otak, yang bisa tetap bertahan di alam semesta bahkan setelah kematian. Ini menjelaskan persepsi sejumlah orang yang pernah mengalami mati suri. Teori kuasi-religius ini dikembangkan oleh Dr Stuart Hameroff, Profesor Emeritus pada Departemen Anestesi dan Psikologi dan Direktur Pusat Studi Kesadaran University of Arizona. Nah, Hameroff  yang dikutip oleh Daily Mail, mendasarkan teorinya pada teori kuantum kesadaran yang ia kembangkan bersama fisikawan Inggris, Sir Roger Penrose. Mereka sependapat bahwa pengalaman kesadaran adalah hasil dari efek gravitasi  kuantum dalam mikrotubula. Sebuah teori yang mereka sebut sebagai pengaturan   pengurangan obyektif (Orch-OR).
Teori ini menjelaskan bahwa jiwa kita bukan hanya interaksi antar neuron pada otak. Melainkan susunan yang terbangun dari intisari alam semesta, dan mungkin telah ada sejak waktu bermula. Konsep ini menganggap kesadaran adalah bagian integral dari alam semesta. Sepertinya mirip dengan konsep Karl Gustav Jung, hanya Jung membedakan kesadaran kolektif dan kesadaran pribadi, pertemuannya adalah intuisi dan invidualisasi adalah leburnya kesadaran pribadi di dalam kesadaran kolektif, senafas dengan Candra Jiwa Indonesia.

Referensi :
Thornell LE, Eriksson A. Filament systems in the Purkinje fibers of the heart. Am J Physiol. 1981 Sep; 241(3): H291-305

Budhi S. Purwowiyoto

RELY-ABLE®: Unprecedented Long-term Data Support Safety Profile and Sustained Efficacy of Pradaxa® for Stroke Prevention in AF

  • Presented at AHA’s Scientific Sessions 2012, first long-term results from RELY-ABLE® study demonstrate that advantages of Pradaxa® (dabigatran etexilate) treatment are maintained over more than 4 years
  • Pradaxa® is the first and only novel oral anticoagulant supported by long-term clinical data
  • Sustained benefits for both doses allow for persistent brain protection and tailored treatment according to patient needs
Los Angeles, CA, 8 November, 2012 – Pivotal data from the RELY-ABLE® study have provided additional data to support the long-term safety profile and efficacy of Pradaxa® (dabigatran etexilate) for stroke prevention in patients with non-valvular atrial fibrillation (AF).*<1> The new long-term results presented at the American Heart  Association’s (AHA) Scientific Sessions, are highly consistent with the findings from the landmark RE-LY® trial**, based upon which the treatment was approved in countries all over the world. The rates of stroke and  haemorrhage observed during the 2.3 years of blinded follow-up in RELY-ABLE® correspond to the initial RE-LY® results, supporting the benefit of both doses of Pradaxa® for tailored brain protection.<1-3>
The combined data from RE-LY® and RELY-ABLE® equates to over four years of experience and provides the most comprehensive evaluation of the benefits and safety of any novel oral anticoagulant for stroke prevention in AF to date.

 



Professor Stuart Connolly, Director of the Division of Cardiology at McMaster University, Hamilton, Ontario


“Most patients with atrial fibrillation need life-long anticoagulant treatment to be protected from ischaemic stroke. The unique long-term data we now have for dabigatran etexilate are reassuring for both patients and physicians,” said RELY-ABLE® lead investigator Professor Stuart Connolly, Director of the Division of Cardiology at McMaster University, Hamilton, Ontario. “RELY-ABLE® shows that the results seen in RE-LY® continue to be observed during long-term follow up. We see the similar rates of stroke or systemic embolism and the similar rates of major bleeding with similar rates of intracerebral bleeding and intracranial haemorrhage.”
The international multi-centre RELY-ABLE® study followed 5,851 patients on Pradaxa® for a further 28 months after completion of the RE-LY® trial. It examined the long-term benefits of the two treatment doses (110mg bid and 150mg bid) in an ongoing randomised and blinded comparison.
The results from RELY-ABLE® support sustained dose benefits in the long-term use of Pradaxa®:<1>
 
  • Rates of ischemic stroke 1.15%/year on 150mg bid and 1.24%/year on 110mg bid
  • Incidence of hemorrhagic stroke 0.13%/year on the 150mg bid and 0.14%/year on 110mg bid
  • Incidence of major bleeding 3.74%/year on 150 mg bid and 2.99%/year on 110 mg bid
  • Rates of intracranial bleeding 0.33 %/year on the DE 150mg bid and 0.25%/year on DE 110mg bid
The consistent incidences of ischaemic and haemorrhagic stroke as well as rates of intracranial bleeding observed indicate that Pradaxa® provides ongoing protection to the brain. Furthermore, both doses of Pradaxa® had similar net clinical benefit and mortality rates. The safety profile of Pradaxa® was consistent with the findings from the RE-LY® trial.





Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim


“The results from the RELY-ABLE® study are consistent with the excellent results we have seen in the RE-LY® trial and strongly support the long-term safety profile and  efficacy of Pradaxa® for stroke prevention in atrial fibrillation,” stated Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President   Medicine, Boehringer Ingelheim. “Physicians can be confident in the sustained brain protection and treatment advantages offered by both doses of Pradaxa®, and can tailor their treatment according to patient needs, as these first long-term clinical data for a novel oral anticoagulant show.”
Pradaxa® 150mg bid is the only novel oral anticoagulant, study of which has shown a significant reduction in the incidence of ischaemic strokes in patients with non-   valvular AF compared to warfarin, offering a relative risk reduction of 25%.<2> Nine out of ten strokes caused by AF are ischemic strokes,4 which can result in irreversible neurological injury with profound long-term consequences such as paralysis or    inability to move one’s limbs or formulate speech.<5>
Furthermore in RE-LY®, Pradaxa® 150mg bid provided a 35% reduction in the overall risk of stroke and systemic embolism versus warfarin (INR 2-3, median TTR 67%6). Pradaxa® 110mg bid, which is indicated for certain patients, was shown to be non-inferior compared to warfarin for the prevention of stroke and systemic embolism. Both doses of Pradaxa® were associated with significantly lower total, intracranial and life-threatening bleeding compared to warfarin. Pradaxa 150mg showed a similar risk of major bleeds versus warfarin and Pradaxa® 110mg bid additionally demonstrated significantly lower major bleeding.<2>
Clinical experience of Pradaxa® in all licensed indications is well established and continues to grow, equating to over one million patient-years in all licensed indications in over 70 countries worldwide <7> and exceeding that of all other novel oral anticoagulants.<8> 

References
<1> Connolly SJ, et al. Randomized Comparison of the Effects of Two Doses of Dabigatran Etexilate on Clinical Outcomes Over 4.3 Years: Results of the RELY-ABLE Double-blind Randomized Trial. CS.04. Clinical Science: Special Reports: Valvular Heart Disease, PAD, Atrial Fibrillation: International Perspectives.  Presented on 7 November 2012 at the American Heart Association Scientific Sessions 2012.
<2> Connolly SJ, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2009;361:1139-51.
<3> Connolly SJ, et al. Newly identified events in the RE-LY trial. N Engl J Med. 2010;363:1875-6.
<4> Hannon, N., et al. “Stroke Associated with Atrial Fibrillation – Incidence  and Early Outcomes in the North Dublin Population Stroke Study.” Cerebrovascular Diseases. 2010;29:43-49.
<5> NHLBI website. “What is Stroke?” Available at: http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/stroke. Accessed on: October 10, 2012.
<6> Pradaxa European Summary of Product Characteristics, 2012
<7> Boehringer Ingelheim data on file.
<8> Eikelboom JW. et al. Does dabigatran improve stroke-prevention in atrial fibrillation? Reply to a rebuttal. J Thromb Haemost. 2010;8:1438–9.
<9> Stewart S, et al. Cost of an emerging epidemic: an economic analysis of atrial fibrillation in the UK. Heart. 2004;90:286-92.
<10> Lloyd-Jones DM, et al. Lifetime risk for development of atrial fibrillation: the Framingham Heart Study. Circulation. 2004;110:1042-6.
<11> Fuster V, et al. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation – executive summary. Circulation. 2006;114:700-52.
<12> Global Atlas on Cardiovascular Disease Prevention and Control, World Health Organization in collaboration with the World Heart Federation and the World Stroke Organization 2011. Viewed May 2012 at http://www.world-heart-federation.org/fileadmin/user_upload/documents/Publications/Global_CVD_Atlas.pdf.
<13> Atlas of Heart Disease and Stroke, World Health Organization, September 2004. Viewed Dec 2010 at http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_15_burden_stroke.pdf.
<14> Wolf PA, et al. Atrial fibrillation as an independent risk factor for stroke: the Framingham Study. Stroke. 1991;22:983-8.
<15> Marini C, et al. Contribution of atrial fibrillation to incidence and outcome of ischaemic stroke: results from a population-based study. Stroke. 2005;36:1115-9.
<16> Gladstone DJ, et al. Potentially Preventable Strokes in High-Risk Patients With Atrial Fibrillation Who Are Not Adequately Anticoagulated. Stroke. 2009;40:235-240.
<17> Paolucci S, et al. Functional outcome of ischemic and hemorrhagic stroke patients after inpatient rehabilitation. Stroke. 2003;34:2861−5.
<18> Petrea RE, et al. Gender differences in stroke incidence and poststroke disability in the Framingham Heart Study. Stroke. 2009;40:1032-7.
<19> Meschia JF, et al. Genetic susceptibility to ischemic stroke. Nat Rev Neurol. 2011;7:369−78.
<20> Andersen KK, et al. Hemorrhagic and ischemic strokes compared: stroke severity, mortality, and risk factors. Stroke. 2009;40:2068−72.
<21> Roger VL, et al. AHA Statistical Update. Heart Disease and Stroke Statistics—2011 Update. A Report From the American Heart Association. Circulation 2011; 123:e18−e209.
<22> Hart RG, et al. Meta-analysis: Antithrombotic Therapy to Prevent Stroke in Patients Who Have Nonvalvular Atrial Fibrillation Ann Intern Med. 2007;146:857-67.
<23> Coyne KS, et al. Assessing the direct costs of treating nonvalvular atrial fibrillation in the United States. Value Health 2006; 9:348-56.
<24> Ringborg A, et al. Costs of atrial fibrillation in five European countries: results from the Euro Heart Survey on atrial fibrillation. Europace 2008; 10:403-11.
<25> Brüggenjürgen B, et al. The impact of atrial fibrillation on the cost of stroke: the Berlin acute stroke study. Value Health 2007;10:137-43.
<26> Di Nisio M, et al. Direct thrombin inhibitors. N Engl J Med 2005; 353:1028-40.

*  Randomized Comparison of the Effects of Two Doses of Dabigatran Etexilate on Clinical Outcomes Over 4.3 Years: Results of the RELY-ABLE Double-blind Randomized Trial. Lead author: Stuart J Connolly. CS.04. Clinical Science: Special Reports: Valvular Heart Disease, PAD, Atrial Fibrillation: International Perspectives
**  RE-LY® was a PROBE trial (prospective, randomized, open-label with blinded endpoint evaluation), comparing two fixed doses of the oral direct thrombin inhibitor dabigatran etexilate (110 mg bid and 150 mg bid) each administered in a blinded manner, with open label warfarin.

SPONSORED ARTICLE

Peranan Nitric Oxide (NO) dan Asymetric dimethylarginine (ADMA) dalam sistem kardiovaskuler

AKHIR-akhir ini kelainan kardiovaskuler sering dikaitkan dengan disfungsi  endotel. Endotel memegang peranan penting dalam mempertahankan tonus dan struktur pembuluh darah. Endotel menghasilkan mediator vasoaktif terpenting yaitu Nitric Oxide (NO), mediator ini akan mempengaruhi beberapa mekanisme sistem  kardiovaskuler seperti, mengatur tonus pembuluh darah (mediator vasodilatasi pembuluh darah), struktur pembuluh darah (menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah). <1> 
Gangguan pembentukan NO akan mengganggu tonus, struktur pembuluh darah, dan menyebabkan terjadinya arteriosklerosis. Disfungsi endotel ditandai dengan penurunan bioavaibilitas dari produksi Nitric Oxide Synthase (NOS). NO terbentuk dari asam amino arginin melalui Nitric Oxide Synthase (NOS) yang bersamaan dengan Citruline, diketahui terdapat tiga  bentuk NOS; neuronal NOS (nNOS atau NOS1), endothelial NOS (eNOS atau NOS2), dan inducible NOS (iNOS atau NOS3). Dengan adanya disfungsi endotel akan menyebabkan peningkatan vasokonstritor dan atau panurunan vasodilatasi.<1>
Asymetric dimethylarginine (ADMA) adalah inhibitor endogen terhadap NOS, oleh karena itu adanya ADMA menghambat pembentukan NO sehingga fungsi endotel dalam mengatur tonus dan struktur pembuluh darah terganggu. Peningkatan kadar ADMA sering ditemukan pada penderita dengan diabetes mellitus, hipertensi, gagal jantung kronik dan penyakit arteri koroner. Dikarenakan dampak yang merugikan   dengan meningkatnya kadar ADMA, maka kelainan kardiovaskular dapat meningkat juga.<1>

1.   Nitric Oxide (NO)
Pada awal penemuannya pada tahun 1980 oleh Furchgott dan Zawadzki, Nitric Oxide dikenal sebagai Endhothelium Deriveted Relaxing Factor (EDRF). NO merupakan gas radikal bebas dan sangat reaktif. Nitric Oxide (NO) disintesa dari L-Arginine, dengan pengaruh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS). Terdapat tiga bentuk isoform NOS yaitu : neuronal NOS (nNOS atau NOS1), endothelial NOS (eNOS atau NOS2), dan inducible NOS (iNOS atau NOS3). Enzim eNOS, suatu bentuk enzim yang bersifat dependen Ca, berperan dalam produksi sebagian besar NO pada pembuluh darah yang sehat dilepas secara kontinyu oleh sel endotel arteri dan vena. nNOS merupakan bentuk khusus dari eNOS yang berfungsi pada sistem saraf. iNOS, merupakan suatu bentuk enzim yang dapat diinduksi, dapat ditemukan dan dilepas oleh miosit, makrofag, dan sel endotel pembuluh darah kecil yang diaktifkan serta dapat diinduksi oleh stimulus imunologis oleh sitokin dan endotoxin. Nitric oxide disintesis oleh sel  endotel dari L-arginine dan oksigen molekular. Aliran darah dan tekanan pada endotel yang disebabkan oleh aliran darah menginduksi sintesis NO melalui fosforilasi nitric oxide synthase (NOS). Nitric oxide synthase mengkatalisis reaksi dengan mengkonversi L-arginine menjadi citrulline dan NO serta memerlukan bantuan calmodulin dan pteridintetrahydrobiopterin (BH4) sebagai kofaktor. <2>
Efek biologik NO adalah: <3>
1.    Mencegah disfungsi endotel, menghambat beberapa molekul adesi (e-selektin, ICAM, VCAM), menghambat pengikatan monosit maupun PMN.
2.    Menghambat terjadinya agregasi trombosit sehingga mencegah terjadinya hiperkoagulasi darah.
3.    Vasodilatasi
4.    Mencegah Oksidasi LDL sehingga dapat menghambat terbentuknya foam cell.
5.    Menghambat terbentuknya growth factor sehingga menghambat terjadinya proliferasi ototpolos pembuluh darah.
6.    Mencegah terbentuknya stres oksidatif sehingga mencegah kematian endotel (apoptosis intriksi).

Gambar 1. Efek pleiotropic nitric oxide pada sistem kardiovaskular.

2.   Asymmetric dimethylarginine (ADMA)
Asimetris dimethylarginine (ADMA) adalah molekul endogen yang dapat dideteksi dalam darah manusia dan urin, sebagai   inhibitor dari NOS. Sintesis NO berasal dari prekursor asam amino L-arginin, dimana reaksi ini diperantarai oleh enzim yang disebut NO sintetase. Vallance et al melaporkan bahwa asimetris dimethylarginine adalah anggota salah satu kelompok zat yang hadir dalam konsentrasi cukup tinggi untuk menghambat sintesis NOS. Beberapa penelitian menunjukkan ADMA menghambat produksi NO secara in vitro dan konsentrasinya dapat diukur dalam plasma pasien dengan penyakit kardiovaskular.<5>
Asimetrik dimetilarginin disintesa ketika residu arginin pada protein mengalami metilasi oleh enzim Protein Arginine Methyl Transferase (PRMT). Selain ADMA, PRMT dapat menghasilkan Symmetric Dimethylarginine (SDMA) dan N-monomethyl L-arginine (L-NMMA). ADMA dan L-NMMA merupakan inhibitor terhadap NOS, sedangkan SDMA tidak dapat menginhibisi NOS. Jumlah ADMA dalam darah lebih besar 10 x lipat dibandingkan L-NMMA sehingga peningkatan kadar ADMA sangat bermakna terhadap penurunan jumlah produk NO.<1>
Metabolisme ADMA, asimetrik dimetilarginin yang dihasilkan dari metilasi protein melalui proteolisis akan diatur kadarnya dalam darah melalui dua mekanisme, yaitu melalui metabolism dihati dan ekskresinya oleh ginjal. Pada keadaan normal 80% ADMA akan dimetabolisme di hati menjadi sitrulin dan dimetilamin. ADMA di ekskresi kurang lebih 20% melalui ginjal dan 80% dimetabolisme dihati menjadi sitrulin dan dimetilamin, sedangkan SDMA hampir 100% di eksresi melalui ginjal tanpa modifikasi. Pada penyakit ginjal kronis, ada penurunan produksi nitric oxide dan terjadi peningkatan ADMA dan SDMA. Sehingga pada penderita penyakit ginjal kronis memiliki risiko tinggi terjadinya  kelainan kardiovaskuler.<1>
Gambar 2. Efek ADMA terhadap kardiovaskuler.<8>

3.   ADMA dan Nitric Oxide Synthase (NOS)
ADMA merupakan inhibitor reversibel yang cukup poten terhadap ketiga NOS (nNOS,eNOS,iNOS). Agar aktivitas NOS Optimal, maka dibutuhkan adanya sejumlah kofaktor termasuk nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH), tetrahydrobiopterin (BH4), substrat L-Arginine dan Ca++ NO berdifusi dari sel asal ke sel target. NO reversibel mengikat kelompok heme di guanylate cyclase (GC), larut untuk membentuk kompleks Nitrosyl dalam jaringan target yang mengarah ke produksi cGMP. cGMP pada gilirannya  mengaktifkan protein kinase G (PKG) di otot polos, menurunkan Ca++ intraselular, menghasilkan defosforilasi rantai ringan myosin yang menyebabkan penurunan   tonus vaskuler. Aksi dari cGMP dapat dihentikan pada keadaaan hidrolisis oleh golongan phosphodiesterases atau pemakaian jangka panjang phosphodiesterase  inhibitor. Ketika NO diproduksi dalam   jumlah cukup besar, seperti pada keadaan setelah induksi iNOS, NO mampu mengadakan umpan balik negatif untuk menghambat aktivitas NOS oleh enzim s-nitrosylating. Produk akhir dari aktivitas NOS  meliputi nitrat (NO2-) dan nitrit (NO3-), spesies oksigen dismutase (SOD), jika bereaksi dengan superoksida, menjadi bentuk peroxynitrite (ONOO-).<1>
Dalam kondisi patologis konsentrasi plasma ADMA meningkat tiga kali sampai sembilan kali lipat, itu berarti keluaran NO dapat dihambat sekitar 30-70%. Efek ini  dapat diperkuat oleh aksi transporter cationic amino acid transporter family (CAT) yang mampu meningkatkan konsentrasi methylarginin hingga 10 × lebih didalam daripada di luar sel. Beberapa transporter memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk methylarginin dari arginin dan karena itu akan cenderung meningkatkan methylarginine intraseluler. Dengan demikian, perubahan kecil dalam tingkat plasma ADMA dapat menghasilkan perubahan besar intrasel. Efek lain dari meningkatnya kadar ADMA intraseluler adalah uncoupling dari eNOS, yang mengarah ke produksi superoksida dan kenaikan stres oksidatif yang mendasari patologi banyak penyakit kardiovaskular. Sifat selektif metabolisme ADMA oleh DDAH adalah berarti ADMA /rasio SDMA efektif menunjukkan metabolisme DDAH. Akibatnya, tingkat SDMA ditentukan oleh aktivitas PRMT dan klirens ginjal dan karena itu dapat menjadi penanda yang berguna fungsi ginjal. Memang, SDMA berkorelasi dengan bersihan kreatinin, sementara tingkat ADMA tidak berkorelasi dengan tingkat filtration glomerulus.<1> 
Kesimpulan adanya ADMA dalam jumlah yang berlebih dapat menghambat pembentukan NO sehingga terjadi penurunan vasodilatasi, peningkatan adhesi sel, peningkatan agregasi platelet, dan peningkatan proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Peningkatan ADMA juga mengakibatkan peningkatan ROS yang diikuti peningkatan stres oksidatif. Pada akhirnya peningkatan ADMA memberikan efek negatif terhadap fungsi kardiovaskuler seperti penurunan fungsi sel otot jantung, penurunan fungsi endotel, penurunan perfusi otot jantung, dan penurunan angiogenesis. Sehingga peningkatan ADMA menunjukkan adanya gangguan fungsi kardiovaskuler. 
Ahmad Yasa
Residen Kardiologi FK UNS