pita deadline

pita deadline

Kamis, 04 Juli 2013

PERKI JAYA Selangkah Menapaki Sukses & Meraih Impian

(Laporan Khusus The 2ndJakarta Cardiovascular Summit 2013)

Sebagian Panitia dan para Instruktur The 2ndJakarta Cardiovascular Summit 2013.

ATAS kerja keras panitia The 2nd Jakarta Cardiovascular Summit (JCS) 2013 yang dikomandoi oleh dr. Frits RW Suling SpJP beserta jajaran pengurus PERKI Jaya, event ini bisa terselenggara dengan sukses dan lancar. Secara resmi JCS dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta yang diwakili oleh Dinkes Provinsi DKI Jakarta, mendapat sambutan antusias dari peserta yang sejak awal sudah standby menanti opening ceremony sambil menyimak plenary session.
Tercatat setidaknya 750 peserta hadir dari berbagai wilayah seluruh Indonesia. Untuk event sekelas ini, dianggap prestasi gemilang, mengingat event kedua Perki Jaya ini berlangsung bersamaan dengan berbagai event ilmiah lainnya. Jadi bisa dikatakan sebagai langkah kedua yang gemilang.

Tak henti belajar
Sebagaimana disampaikan oleh Dr. dr. Indriwanto SpJP, Ketua Perki Jaya, dalam sambutan pembukaan, bahwa salah satu kewajiban dokter terhadap diri sendiri ialah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Panggilan etik ini senantiasa diupayakan terus-menerus karena seperti kata Mahatma Gandhi belajar itu tak mengenal batas waktu. “Hiduplah seolah-olah Anda akan mati besok, belajarlah seolah-olah Anda akan hidup selamanya”.
Tahun ini JCS menyelenggarakan 4 workshops, bertambah dua topik dibandingkan tahun lalu, yakni Acute Heart Failure, Acute Coronary Syndrome, Arrhythmias, dan Anticoagulant. Selain simposia menggelar juga pameran buku, pameran farmasi dan alat kesehatan. Informasi terkini tentang obat dan alat penunjang medik mutakhir dapat diperoleh langsung dari partisipan dalam expo tersebut. Bahkan order pembelian disertai diskon jumbo sangat sayang untuk tidak 'dimampiri' sambil belanja.
Bahkan Perki Jaya dalam rangkaian JCS ini, Minggu malam, 26 Mei 2013, menyelenggarakan Pembinaan Etika untuk menyegarkan anggota akan pentingnya relationship dan integrity dalam menjalankan profesi sebagai dokter jantung. Perki Jaya menghadirkan narasumber Prof. dr. Asikin Hanafiah, SpJP dan Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF, SH.

Kardiologis muda
Tema JCS 2013 ialah “Cardiovascular Emergency: From Learning to Adapting”. Tema ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan penanganan yang bermutu terhadap tingginya kejadian acute cardiovascular event, baik pada  dewasa maupun anak. Karena itu selain menyajikan empat simposium bernuansa sindroma koroner akut pada dewasa, juga menyajikan Emergency in Congenital Heart Disease Symposium dan Valvular Emergencies Symposium yang lebih sering terjadi pada usia anak-anak. Simultan dengan simposium ilmiah ini, juga disajikan ilmiah populer bagi masyarakat umum dalam bentuk Seminar Awam dengan judul Menghindari  Serangan Jantung.
Mencermati seluruh rangkaian simposium yang berlangsung dua hari itu, ada yang tetap istimewa. Bahwa sebagian besar pembicara didominasi oleh kardiologis muda anggota Perki Jaya. Mereka disandingkan dengan para senior yang memandu sebagai moderator. Perpaduan senior-yunior ini tak semata mengisyaratkan harmoni, lebih dari itu menyiratkan kesuksesan regenerasi di tubuh PERKI, khususnya PERKI Jaya.   

Model pengembangan jantung-sehat
Menariknya lagi, JCS 2013 menampilkan plenary session yang di-arrange sedemikian rupa menjadi suatu sarana komunikasi Perki Jaya dalam merespons salah satu tugas dan fungsi organisasi meningkatkan pencegahan dan penanggulangan penyakit kardiovaskular, khususnya dalam wilayah DKI Jakarta.
Sejalan dengan rangkaian kegiatan ilmiah yang lebih bernuansa kuratif, melalui presentasi dari Wakil Ketua Perki Jaya, dr. Dolly RD Kaunang SpJP, SpKP, Perki Jaya menggulirkan sebuah gagasan yang bernuansa preventif-promotif, yakni sebuah Model Pengembangan Jantung-Sehat DKI Jakarta, yang akan disampaikan kepada semua pemangku kepentingan khususnya Gubernur DKI Jakarta.
Lebih jauh dr. Dolly memaparkan tujuan dan strategi pencapaian, prioritas program serta target waktu yang diinginkan. Pada hakekatnya mengacu pada konsep bahwa peningkatan cardiovascular endurance akan melipat gandakan efek preventif yang dijalaninya. Gagasan model pengembangan jantung-sehat ini memperoleh sambutan positif dari Ketua Terpilih PP PERKI, Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP, sebagaimana disampaikan dalam sambutan pembukaan JCS. Lebih jauh beliau menyampaikan, bahwa model tersebut dapat menjadi acuan bagi kegiatan perki cabang lainnya.
Pada kesempatan lain dikemukakan, bahwa PERKI Jaya sudah menyiapkan infrastruktur berkomunikasi, yakni melalui media online (website) perkijaya.com. Diakuinya belum lancar sekali, mengingat belum semua anggota meregistrasi, nama, alamat, username dll. Karenanya pada kesempatan itu dr. Dolly Kaunang mengimbau sejawatnya agar sesegera mungkin registrasi di media online perkijaya.com. Perki Jaya mengharapkan respons dan dukungan dari semua pihak, bahu-membahu, pegang tangan bersama, melangkah menuju cita-cita meraih “Jakarta Sehat.”
Rekomendasi dari perhimpunan agar lebih baik lagi, menjadi catatan penting demi kemajuan PERKI di masa mendatang. Diantara rekomendasi yang mencerahkan adalah diharapkan lebih mengintensifkan workshop, khusus untuk SpJP dan bagi dokter umum/dokter spesialis bidang lainnya. The Jakarta Cardiovascular Summit (JCS) 2013 bagi panitia dan pengurus, dinilai cukup berhasil. Bahkan telah ditentukan akan bertemu lagi dalam The 3rd JCS 2014 pada 17 -18 Mei 2014 di Ritz Carlton, Jakarta.
(Sy)


Preventif Primer Fibrilasi Atrium pada Penyakit Ginjal?

DALAM 5 tahun terakhir ini kita belajar  tentang aktifitas imiah yang mendalami berbagai aspek hubungan antara fibrilasi atrium (AF) dengan penyakit ginjal (KD). Pada awalnya dimulai dengan sampel kecil dengan hasil yang kurang kuat dalam melakukan generalisasi. Demikian Winkelmayer WC mengawali tulisan editorialnya pada Circulation 2013; 127: 560-2. Pendalaman pengetahuan ini memerlukan suatu penelitian kohort dengan sampel yang besar. Pertama, realisasi penemuan prevalensi fibrilasi atrium yang meningkat secara monoton dengan fungsi ginjal yang memburuk, bersamaan dan independen. Terdapat gambaran estimasi glomerular filtration rate (eGFR) yang menurun disertai meningkatnya ekskresi albumin urin (McManus DD dkk, 2009). Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir, yang memerlukan dialisis memiliki prevalensi AF yang tinggi lebih dari 10%, dengan >17% pda usia diatas 65 tahun terdiagnosis memiliki aritmia yang paling sering terjadi (Winkelmayer WC dkk, 2009). Tidak mengejutkan lagi ketika ditemukan insiden AF juga meningkat pada mereka yang memiliki fungsi ginjal yang menurun (Alonso A dkk, 2011). Prognosis pasien-pasien kombinasi AF dan KD menjadi buruk, termasuk pasien-pasien yang didialisis dan didiagnosis AF memiliki mortalitas 1 tahun mendekati 40%, dua kali lebih banyak pada populasi pasien yang sama tanpa AF.
Observasi epidemiologi ini meningkatkan pertanyaan tentang strategi terapinya ketika menemukan pasien dengan kombinasi AF dan KD. Walaupun secara umum antikoagulan direkomendsikan sebagai prevensi sekunder bagi pasien AF, pasien dengan KD lanjut memiliki risiko perdarahan dan meningkatkan risiko iskemik strok. Hubungan antara keuntungan-kerugian pemberian antikoagulan oral pada  populasi KD lanjut masih tetap belum jelas, terutama pada KD tahap akhir (Shen JL dkk, 2012). Walaupun antikogulan oral baru telah berhasil meningkatkan kemampuan pengobatan penyakit pada pasien tanpa KD, penggunaan dan keamanannya masih dipertanyakan pada pasien dengan eGFR yang menurun, hal ini termasuk di dalam area aktifitas investigasi ilmuwan saat ini. Sangat menarik studi Bansal N dkk pada Circulation 2013 ini memfokuskan pada AF dan KD yang sebelumnya lepas dari perhatian. Peneliti mengajukan alternatif hipotesis pada populasi KD relatif lanjut, angka kejadian AF yang dihubungkan dengan peningkatan risiko penurunan KD yang   lebih cepat dibandingkan populasi yang sama tetapi tanpa KD. Rupanya Bansai N dkk mempertajam penelitian Studi Niigata dengan sample yang lebih besar dari organisasi penyelenggara kesehatan di California Utara. Organisasi ini menyelenggarakan pemeriksaan laboratorium, elektrokardiogram dengan kode diagnosis yang lebih baik. Penelitian pada eGFR yang menurun (<60m L/min/1.73 m2) pada >2 pemeriksaan yang berbeda waktu, studi eksposur, keberadaan AF yang tergantung waktu meningkatkan nilai penelitian.Pendapat bahwa AF secara nyata menyebabkan percepatan menurunnya fungsi ginjal dan meningkatkan risiko KD tahap akhir, beberapa penyebab atau mekanismenya memerlukan penelitian lanjut termasuk kemungkinan inflamasi sistemik, profibrotik, dan faktor hemodinamik. Observasi yang menarik adalah terdapatnya perbaikan fungsi ginjal pada pasien yang sukses diablasi AF-nya dibandingkan dengan pasien AF yang menetap pascatindakan tersebut (Takahashi Y dkk, 2011). Akhirnya, penelitian terhadap obat-obat yang digunakan untuk AF dicurigai sebagai biang keladi percepatan penurunan fungsi ginjal. Secara spesifik, warfarin memperlihatkan kontribusinya pada kerusakan struktur dan menurunkan fungsi ginjal, terutama pada pasien yang telah menurun eGFR-nya dan mencapai INR, international normalized ratio yang tinggi (Brodsky SV dkk, 2011).
Kesimpulan akhir Bansal dkk mengemukakan bahwa diperlukan studi lanjut untuk memastikan penyebab (kalau ada) dari percepatan penurunan fungsi ginjal pada pasien AF (baru). Justru disinilah seharusnya dilakukan upaya preventif AF pada pasien yang dicurigai mengidap KD. Preventif primer sangat dianjurkan oleh penulis editorial ini. Penemuan-penemuan tersebut jelas mengindikasikan agar prioritas penelitian mengklarifikasi hubungan dua arah antara AF dan KD. (Circulation 2013; 127: 560-2)
Budhi Setianto

Kardiologi Kuantum (19) TheSource


“As Morpheus told Neo, only the door can be shown but he is the one who has to walk through it, this book ‘Journey to The Source’ holds the door open and illuminates our path”
Don Davis, Music Composer of The Matrix Trilogy Movies*)


JOURNEY to the Source: Decoding Matrix Trilogy adalah sebuah buku mengenai film trilogi The Matrix. Telah dipublikasikan oleh Sakthi Book Inc pada tahun 2004, penulisnya adalah Pradheep Chhalliyil seorang  ilmuwan Genetic-ID dari Fairfield, Iowa. Sesungguhnya ia adalah co-founder dari Yayasan Sakthi, suatu organisasi chariti yang beroperasi di USA dan India.
Kata pengantar buku tersebut ditulis oleh Don Davis, komposer musik dari film Trilogi Matriks. Komentarnya tentang “Journey to The Source” sebenarnya sama dengan komentar Morpheus, karakter fiksi guru spiritual yang mengatakan kepada Neo bahwa ‘pintu’ dapat diperlihatkan, tetapi hanya dialah yang dapat melaluinya.. tentu saja setelah memiliki kuncinya dari the keymaster. Kelak Morpheus menawarkan kepada neo dua pil, satu berwarna biru dan satu lagi berwarna merah. Pil biru (untuk melupakan the Matrix dan meneruskan hidup di dalam dunia ilusi), atau pil merah (untuk memasuki realitas dunia yang menyakitkan).
Dalam mitologi Yunani sebenarnya Morpheus adalah dewa impian, yang sesuai dengan karakter yang berlaku dalam film-film The Matrix. Secara mistik Morpheus dan keluarganya, termasuk dua saudaranya (Phobetor dan Phantasos), hidup dalam dunia impian yang dipisahkan hanya oleh jembatan “the Gates of Morpheus” dengan dua monster penjaganya. Di seberang jembatan, terdapat kehidupan impian dan sungai   pelupanya.
Film Trilogi The Matrix menceritakan Thomas A Anderson (dibintangi oleh Keanu Reeves) seorang programer komputer ingin sekali memecahkan rahasia kode-kode enkripsi “the Matrix”. Trilogi Matrix adalah film tahun 1999 yang disutradarai oleh Larry dan Andy Wachowski ini ingin menggambarkan kejadian tahun 2199, seratus tahun ke depan setelah mesin-pintar diciptakan dengan catu energi matahari. Panas dan biolistrik tubuh manusia sebagai bahan fusi nuklir dapat dipakai untuk menggantikan energi matahari. The Source diyakinkan sebagai pusat utama komputer untuk mesin-mesin di kotanya sekaligus sebagai lokasi yang bekerja mandiri di dalam kode-kode Matrix sehingga tidak memerlukan program lain. Semuanya itu (film maupun bukunya) adalah cerita dunia maya yang berupa program komputer.
Kardiologi kuantum kali ini masih ingin mengulangi pengetahuan bahwa manusia juga berkecimpung sedikitnya dalam tiga dunia. Sementara itu dunia ke-4 adalah alam sejatinya yang berada di lubuk hati yang terdalam tempat beradanya TheSource (Suksma Kawekas) sumber dan tujuan hidup akunya manusia yang imateri. Dunia-1 adalah dunia realitas yaitu alam semesta dan seisinya, disebut juga makrokosmos. Penghuninya adalah mineral dan segala manifestasinya, tumbuh-tumbuhan, hewan, dewa (makhluk halus), dan manusia. Dunia-2 sampai dunia-4 berada di dalam diri manusia sebagai mikrokosmos. Nah, dunia-2 adalah dunia fisik manusia yang di dalamnya berlaku hukum-hukum fisika, kimia dan biologi terbagi dalam sistim-  sistim antara lain kardiovaskular, respirasi, digestif dan neurologi. Dunia-3 adalah   dunia angan-angan, dunia aku karena kristalisasi angan-angan menjadi akunya manusia. Dunia-3 adalah dunia psike, jiwa, mind dan mentalnya manusia. Dunia-3 inilah yang digeluti oleh ilmu-ilmu humaniora seperti filsafat, psikologi, psikiatri, psikosomatik dan kardiologi kuantum ingin ikut membicarakannya dan menitik beratkan acuannya kepada Candra Jiwa Indonesia seraya membandingkan sekali-sekali dengan Candra Jiwa Freud, Jung maupun Adler.
Ketiga dunia yang telah disebutkan di atas tadi merupakan dunia fisik/materi. Materi yang masih dapat diraba dengan pancaindra di kuantifikasi secara fisik dimasukkan dalam materi kasar yaitu dunia-1 (makrokosmos) dan dunia-2 (mikrokosmos) yaitu fisik manusia. Dunia-3 (mikrokosmos) adalah dunia angan-angan manusia karena dialah yang memiliki fungsi sadar (kalimat mutiaranya: pikir itu pelita hati), memiliki varabel yang tak terbatas, oleh karena itu mendapat mandat untuk mengatur nafsu-nafsu. Dunia mental ini dapat juga disebut sebagai dunia-Aku karena aku adalah kristalisasi angan-angan, secara fungsionil sang-aku ini mewakili  seluruh mikrokosmos misalnya aku makan, aku minum padahal fokus geraknya di  mulut.
Yang paling istimewa adalah Dunia-4 sebagai alam sejatinya manusia, sebagai pusat imateri di dalam dirinya manusia. Jati dirinya manusia ada di situ karena Roh Suci (TheSelf), sifat Ketuhanan yang dibungkus oleh jiwanya adalah sang-Aku-nya yang imateriil, yang abadi. TheSelf inilah yang akan dituntun oleh TheForce kembali ke sumber dan tujuan hidupnya ialah TheSource (Suksma Kawekas). Tidak usah menunggu manusia meninggal, kapan saja asal bekalnya cukup. Konon bekalnya adalah kesucian hati yang penampilannya di masyarakat sebagai kasih sayang yang tanpa pamrih. Sesudah itu mengalihkan titik berat kesadaran ke dunia-4 tersebut dengan introspeksi berupa sadar, percaya dan taat kepada TheSource, seraya mendapat tuntunan dari penuntun dan gurunya sang-Aku yang abadi yaitu TheForce. Peristiwa pertemuan TheSelf dengan TheForce adalah intuisi, pencerahan yang mengubah peradaban. Peristiwa peleburan, bertunggalnya TheSelf dengan TheForce adalah akhir dari evolusinya sang-Aku manusia, disebut sebagai peristiwa Panunggal, pembebasan atau Pamudaran. Di dalam terminologi Carl Gustav Jung sebagai proses yang disebut sebagai werden zur Persönlichkeit, atau Selbstverwirklichung, Verselbstung atau sebagai Individuationprozess.
Andaikata TheSource (Suksma Kawekas) adalah matahari, maka TheForce (Suksma Sejati) adalah bulannya dan manusia adalah kelelawar-kelelawar (Sang Aku) yang tidak mungkin menatap sang matahari. Sinar sang rembulan, yang sejuk itu memungkinkan kelelawar dapat melangsungkan kehidupannya. TheForce adalah penuntunnya manusia atas nama TheSource, sumber hidup dan tujuan hidupnya. TheForce dan TheSource adalah sadar kolektif, TheForce adalah sadar kolektif yang dinamis, adalah utusan abadi dari TheSource, sadar kolektif yang statis, tujuan akhir dari evolusinya sang-Aku manusia. Semua kekuasaan adalah kekuasaan TheSource berada di tangan TheForce, dan manusia ada di dalam kekuasaan TheForce.

Makrokosmos/alam semesta berada di dunia/dimensi-1 mewadahi mikrokosmos. Mikrokosmos/dunia kecil terdiri dari 1] Fisik (badan/jasmani kasar, soma, body, dunia-2), 2] Mental (badan/jasmani halus, jiwa, psike, mind, dunia-3), dan 3] Spiritual (rohani, alam sejati, Pusat Imateri, spirit, dunia-4). 
(Purwowiyoto BS. Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia. Penerbit H&B PERKI, Jakarta 2012)

Sekiranya seorang dokter dapat memberikan semangat spiritual kepada pasien-nya agar selalu mendekat kepada Tuhan dan Utusannya Yang Abadi. Agar senantiasa memohonan pemberian kesembuhan kepadanya melalui doa, dzikir, sembah kalbu, atau meditasi transendental dalam arti seluas-luasnya, niscaya akan lebih sering kita dengar tentang keajaiban-keajaiban yang terjadi di dalam proses penyembuhannya, sangat mungkin merupakan bagian dari peristiwa intuisi.     

Budhi S. Purwowiyoto

*) http://en.wikipedia.org/wiki/Journey_ to_the_Source:_Decoding_Matrix_Trilogy cited at June15, 2013
http://en.wikipedia.org/wiki/Journey_to_the_ Source:_Decoding_Matrix_Trilogy cited at June15, 2013
http://thefuturebuzz.com/wp-content/uploads/2010/12/source-mainframe.jpg cited July 1, 2011.

New European Survey Highlights Ischaemic Stroke Protection as Treatment Priority for Patients with Atrial Fibrillation

  • Over two thirds of physicians point out preventing ischaemic stroke as the most important treatment goal for patients with atrial fibrillation (AF)1
  • Physicians highlight the vital need for awareness of the true incidence of ischaemic stroke1
  • 92% of all strokes in patients with AF are ischaemic strokes2, making ischaemic stroke prevention a key treatment priority

Ingelheim, Germany, 28th May, 2013 – New findings from a pan-European online survey of 1,000 physicians have demonstrated that for over two thirds of physicians, preventing ischaemic stroke is the most important treatment goal for patients with atrial fibrillation (AF).1 Ischaemic stroke is the most common type of stroke suffered by patients with AF2, and as such   physicians across Europe have highlighted the vital need for increased awareness of the true incidence and impact in this patient population. The survey findings were announced in parallel with the European Stroke Conference in London (28th-31st May) and highlight the need for additional information and education about the risk and impact of ischaemic stroke on the lives of AF patients.
Every year, up to three million patients with AF have a stroke.3,4 92% of strokes in AF patients are ischaemic.2 They occur when a blood vessel supplying the brain with blood is blocked e.g. by a blood clot. This reduction or complete prevention of blood flow to the brain may result in severe and burdensome physical impairment, paralysis or even death.5 Atrial fibrillation is the most common sustained heart rhythm condition6 affecting approximately 2% of the total population.7 The condition leads to a five-fold increase in the risk of stroke.7






Professor Hans-Christoph Diener, Professor of Neurology and Chairman of the Department of Neurology, University of Essen, Germany


“Every physician who treats patients with atrial fibrillation needs to recognise the risk of ischaemic stroke in these patients,” commented Professor Hans-Christoph Diener, Professor of Neurology and Chairman of the Department of Neurology, University of Essen, Germany. “Today, we have great and new possibilities at hand to prevent many of these devastating events. It is our responsibility as treating physicians to identify the patients in need for stroke prevention through screening, diagnosis and risk assessment and then protect them as best as we can from the possible consequences of an ischaemic stroke or an intracranial haemorrhage.”
Cardiologists and general practitioners (GPs) in seven European countries were surveyed via a MedLIVETM PULSE online survey to ascertain their perspectives on treatment priorities in AF. The survey explored factors affecting prescribing behaviours, such as the importance of stroke prevention in AF, the comparative need for treatment experience and convenience, and the perceived awareness of the incidence of ischaemic stroke. Key findings demonstrated:1
  • 67% of physicians state that preventing ischaemic stroke is the most important treatment goal for patients with AF
  • 84% of physicians highlight the vital need for awareness of the impact of ischaemic strokes for patients with AF, stating that the true  incidence may be underestimated*
  • When questioned on important factors that affect prescribing decisions, 56% of physicians responded that protecting patients against ischaemic stroke is the single most important factor affecting their prescribing decisions, followed by general treatment efficacy (protection against all strokes) and treatment safety (minimising the risk of bleeding in  patients)
When asked which attributes were most important when choosing treatments for patients with AF, 50% of physicians stated that the availability of clinical data was the most important attribute to consider and 39% selected experience in clinical practice over the treatment’s convenience for daily management





Trudie Lobban, MBE, Founder & CEO of Atrial Fibrillation Association (AFA)


“Ischaemic stroke is a real concern; not only because the risk is so high, but also because of the potential life-changing impact that it may have on patients with atrial fibrillation. Ischaemic strokes can be devastating for both patients and their families, and have a significant impact on their daily lives. They also increase health-care utilisation and the need for long-term care,” stated Trudie Lobban, MBE, Founder & CEO of Atrial Fibrillation Association (AFA). “It is essential that more work is undertaken to raise awareness of the risk of ischaemic stroke and to ensure that patients with AF receive    treatments that provide the most comprehensive protection.”
Appropriate anticoagulation therapy can help to prevent strokes experienced by patients with AF and improve overall outcomes.8 Major treatment guidelines in Europe, the US and worldwide recognise the benefits of anticoagulant treatments for stroke prevention in atrial fibrillation.9 Pradaxa® (dabigatran etexilate) 150mg bid is the only novel oral anticoagulant, for which its trial (RE-LY®**, comparing Pradaxa® vs. warfarin) has shown a relevant reduction of ischaemic stroke: In patients with non-valvular AF, Pradaxa® 150mg reduced the risk for ischaemic stroke by 25% compared to warfarin.10,11 In addition, patients taking Pradaxa® 150mg had a 59% lower risk of  intracranial bleeding, the most feared side-effect of anticoagulation.10,11
Overall in the RE-LY® trial, Pradaxa® 150mg bid provided a 35% reduction in the overall risk of stroke and systemic embolism versus warfarin.10,11Pradaxa® 110mg bid was shown to be non-inferior compared to warfarin for the prevention of stroke and systemic embolism.10,11 Pradaxa® 150mg showed a similar risk of major bleeds versus warfarin and Pradaxa® 110mg bid demonstrated significantly lower major bleeding.10,11 Both doses of Pradaxa® were associated with significantly lower total, intracranial and life-threatening bleeding compared to warfarin.10,11
Clinical experience of Pradaxa® exceeds that of all other novel oral anticoagulants: It equates to over 1.6 million patient-years in all licensed indications and spans over 100 countries worldwide.12


NOTES TO THE EDITORS

About the Survey1
The survey was conducted via a MedLIVETM PULSE to 1,000 GPs and Cardiologists in France, Germany, Spain, Italy, Belgium, The Netherlands and Ireland on behalf of Boehringer Ingelheim GmbH. The survey consisted of five key questions in English language, with responses received from 556 GPs and 444 Cardiologists. The survey explored factors affecting prescribing behaviours in atrial fibrillation, including the respective importance of treatment attributes and the perceived overall incidence of ischaemic stroke, and provided consensus on the need for ischaemic stroke prevention to become a treatment priority.

Stroke Prevention in Atrial Fibrillation
AF is the most common sustained heart rhythm condition6, with one in four adults over the age of 406 developing the condition in their lifetime. People with AF are more likely to experience blood clots, which increases the risk of stroke by five-fold.7 Up to three million people worldwide suffer strokes related to AF each year.3,4 Strokes due to AF tend to be severe, with an increased likelihood of death (20%), and disability (60%).5
Ischaemic strokes are the most common type of AF-related stroke, accounting for 92% of strokes experienced by AF patients and frequently leading to severe debilitation.2 Appropriate anticoagulation therapy can help to prevent many types of AF-related strokes and improve overall patient outcomes.8 Pradaxa® 150mg bid is the only novel oral anticoagulant, for which the pivotal trial vs. warfarin has shown a statistically significant and clinically relevant reduction of both ischaemic and haemorrhagic strokes.10,11 Additionally, treatment with Pradaxa® is associated with >2-fold lower rates of both fatal and non-fatal intracranial haemorrhage, one of the most devastating complications of anticoagulation therapy.13,14
Worldwide, AF is an extremely costly public health problem, with treatment costs equating to $6.65 billion in the US and over €6.2 billion across Europe each year.15,16 Given AF-related strokes tend to be more severe, this results in higher direct medical patient costs annually.17 The total societal burden of AF-related stroke reaches €13.5 billion per year in the European Union alone.9

References
1MedLIVE PULSE online survey, data on file with Boehringer Ingelheim.
2Andersen KK, et al. Hemorrhagic and ischemic strokes compared: stroke severity, mortality, and risk factors. Stroke. 2009;40:2068−72.
3Atlas of Heart Disease and Stroke, World Health Organization, September 2004. Viewed Nov 2012 at http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_15_burden_stroke.pdf
4Camm JA, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation. Eur Heart J. 2010;31:2369–429.
5Gladstone DJ, et al. Potentially Preventable Strokes in High-Risk Patients With Atrial Fibrillation Who Are Not Adequately Anticoagulated. Stroke. 2009;40:235-240.
6Lloyd-Jones DM, et al. Lifetime risk for development of atrial fibrillation: the Framingham Heart Study. Circulation. 2004;110:1042-6.
7Camm JA, et al. 2012 focussed update of the ESC Guidelines for the management of atrial fibrillation. Eur Heart J. 2012;33:2719-41.
8Aguilar MI, Hart R. Oral anticoagulants for preventing stroke in patients with non-valvular atrial fibrillation and no previous history of stroke or transient ischemic attacks. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2005, Issue 3. Art. No.: CD001927.
9Fuster V, et al. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation – executive summary. Circulation. 2006;114:700-52.
10Connolly SJ, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2009;361:1139-51.
11Connolly SJ, et al. Newly identified events in the RE-LY® trial. N Engl J Med. 2010;363(19):1875-76.
12Boehringer Ingelheim data on file.
13Hart RG, et al. Intracranial hemorrhage in atrial fibrillation patients during anticoagulation with Warfarin or Dabigatran: The RE-LY® Trial. Stroke. 2012; 43(6):1511-1517.
14Fang MC, et al. Death and disability from warfarin-associated intracranial and extracranial hemorrhages. Am J Med. 2007; 120:700 –705.
15Coyne KS, et al. Assessing the direct costs of treating nonvalvular atrial fibrillation in the United States. Value Health 2006; 9:348-56.
16Ringborg A, et al. Costs of atrial fibrillation in five European countries: results from the Euro Heart Survey on atrial fibrillation. Europace 2008; 10:403-11.
17Brüggenjürgen B, et al. The impact of atrial fibrillation on the cost of stroke: the Berlin acute stroke study. Value Health 2007;10:137-43.

Hubungan Tingkat Asam Urat Serum dengan Insiden Fibrilasi Atrium Pasien DMT2

PENINGKATAN asam urat serum (SUA) telah dijadikan sebagai predictor independen penyakit kardiovaskuler termasuk panyakit jantung koroner. Diantara pasien gagal jantung, telah dilaporkan hiperurisemia dihubungkan dengan peningkatan tekanan pengisian atrium, disfungsi sistolik ventrikel dan penurunan kerja atrium kiri.
Sehingga hal tersbut dapat dispekulasikan bahwa metabolisme SUA berimplikasi pada remodeling atrium, karena peningkatan tekanan pengisian atrium yang mungkin menyebabkan abnormalitas struktur dan elektrofisiologi, menyumbangkan terbentuknya fibrilasi atrium (AF).
Beberapa studi terbaru menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan SUA dengan peningkatan prevalens AF. Baru-baru ini studi Atherosclerosis Risk in Communities yang melibatkan 15,382 pasien dewasa kulit hitam dan putih tanpa AF, melaporkan bahwa peningkatan SUA secar independen berhubungan dengan peningkatan insiden AF, khususnya pada kulit hitam dan wanita.
Dua studi kecil lainnya menyebutkan bahwa peningkatan SUA dapat memprediksikan rekurensi AF setelah ablasi kateter atrium kiripada pasien asimptomatis, refrakter terhadapa obat, AF paroksismal maupun persisten. Akan tetapi, kurangnya informasi yang tersedia mengenai hubungan hiperurisemia dengan risiko insiden AF pada pasien DMT2. Sehingga dilakukanlah studi oleh Fillipo et al untuk mengetahui apakah peningkatan SUA memprediksikan perkembangan insiden AF pada pasien DMT2.
Studi ini melakukan follow up selama 10 tahun terhadap 400 pasien sampel DMT2 dengan baseline irama AF di poliklinik. Selama 10 tahun, terdapat 42 insiden AF dengan insiden kumulatif sebesar 10.5%. Peningkatan SUA dihubungkan dengan peningkatan risiko insiden AF (OR 2.43, 95% CI 1.8-3.4, p < 0.0001 untuk setiap 1-SD peningkatan SUA).
Penyesuaian usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, hipertensim penyakit ginjal kronis, gambaran elektrokardiografi (hipertrofi ventrikel kiri dan interval PR) dan penggunaan diuretic serta allopurinol tidak terdapat hubungan antara SUA dengan insiden AF (adjusted OR 2.44, 95% CI 1.6-3.9, p < 0.0001).
Penyesuaian lebih lanjut dengan skor AF 10 tahun studi Jantung Framingham tidak melemahkan hubungan tersebut. Hasil tetap tidak berubah walau SUA dibentuk sebagai model variabel kategorikal, dan pasien-pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner atau gagal jantung diekslusikan dari studi ini.
Mekanisme yang mendasarinya sampai saat ini belum diketahui. Namun, terdapat banyak studi yang menyebutkan adanya inflamasi kronis dan peningkatan stress oksidatif yang mungkin berperan pada patofisiologi untuk terjadinya AF ini. Data eksperimen memperlihatkan ketika asam urat memasuki sel melalui transporter spesifik (termasuk transporter fruktosa, SLC2-A9), dapat berperan sebagai pro-oksidan, mengaktifkan jalur protein kinase teraktivasi mitogen dan nuclear factor K-B serta menginduksi pelepasan berbagai mediator proinflamasi (contoh interleukin 6, interleukin 8, tumor necrosis factor dan monocyte chemoattractant protein 1) dan growth factor.
Tidak terdapat studi klinis yang dilakukan untuk menilai efek pengobatan allopurinol terhadap AF, telah diketahui pemberian allopurinol memperbaiki disfungsi endotel pada pasien dengan hiperurisemia, pasien DMT2 dan hipertensi dengan nilai SUA normal, pasien dengan angina stabil kronis dan pada pasien gagal jantung kronis.
Kesimpulannya berupa peningkatan SUA secara kuat dihubungkan dengan peningkatan insiden AF pada pasien DMT2 walau telah disesuaikan dengan faktor risiko multiple AF.(Am J Cardiol 2013; 04: 12)
SL Purwo

Manifestasi Kardiovaskuler pada Disfungsi Tiroid Subklinis

DISFUNGSI tiroid subklinis (STD) menggambarkan kondisi hormon tiroid yang sedikit berlebih atau berkurang, yang mungkin berhubungan dengan efek sampingnya. STD ini hanya terdeteksi sebagai abnormalitas TSH, sehingga penting menyingkirkan penyebab kelainan TSH serum sebelum mengobati disfungsi ini.
Pengobatan hipertiroidisme subklinis (SHyper) direkomendasikan pada pasien usia tua dengan tidak terdeteksinya TSH serum karena tingginya risiko terjadinya AF, osteoporosis dan fraktur tulang serta tingginya risiko progrsivitas suatu penyakit lainnya. Pengobatan hipotiroidisme subklinis seharusnya dipertimbangkan pada pasien dengan TSH serum di atas 10 mU/L karena akan terjadi peningkatan    risiko perburukan keadaan hipotiroidisme dan peningkatan risiko kejadian penyakit jantung koroner serta gagal jantung.
Hal tersebut terjadi pada pasien dengan TSH serum di atas 10 mU/L. Sekitar 75% pasien dengan STD memiliki disfungsi yang ringan. Bentuk ringan dari suatu STD berupa nilai yang rendah namun dapat terdeteksi TSH serum pada SHyper dan sedikit peningkatan TSH serum berkisar 5-9 mU/L pada SHypo, dihubungkan dengan risiko minor perkembangan penyakit sampai timbulnya suatu disfungsi.
Pengobatan terbaik untuk STD masih kontroversial. Pengobatan bentuk ringan suatu STD seharusnya dipetimbangkan dari segi usia, faktor risiko yang memperberat, efek potensial yang menguntungkan dan komorbid yang mendasarinya. SHypo ringan seharsnya diterapi pada wanita infertile dan hamil.
Hipo dan hipertiroidisme subklinis didefinisikan sebagai normalnya nilai ti-roksin (FT4) dengan peningkatan atau penurunan tirotropin (TSH), dihubungan dengan peningkatan risiko keluaran kardiovaskuler dibandingkan dengan keadaan eutiroid.
SHypo dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner, mortalitas oleh sebab PJK dan kejadian gagal jantung pada pasiendengan nilai TSH yang tinggi, biasanya terapat pada nilai TSH > 10 mIU/L. Sementara SHyper dihubungkan dengan peningkatan mortalitas total, mortalitas oleh karena PJK, gagal jantung dan AF, biasanya terdapat pada nilai TSH yang tersupresi < 0.10 mIU/L.
Temuan observasional ini dapat mengidentifikasikan batas TSH untuk pengobatan inisiasi tiroid berdasarkan risiko keluaran klinis, walaupun keputusan klinis tergantung data observasional tersebut masihlah perlu dipertimbangkan. Dampak penggantian tiroid pada pasien usia tua dengan kondisi SHypo masihlah dipelajari dalam studi TRUST (Thyroid Hormone Replacement for Subclinical Hypothyroidism Trial).
SHyper telah dilaporkan berhubungan dengan AF, gagal jantung maupun kejadian PJK termasuk mortalitasnya. Pendapat para ahli mengindikasikan bahwa AF merupakan hubungan yang mungkin antara SHyper dengan manifestasi kardiovaskuler. Sehingga dilakukanlah studi oleh Carpi et al, dengan menggunakan 60883 pasien dengan 2284 menderita SHyper.
Pada pasien tersebut, rasio antara kejadian AF dengan setiap kejadian kardiovaskuler didapatkan bervariasi dikisaran 0.14-0.4 pada SHyper dan di antara 0.2-2.4 pada eutiroidisme (ET). Pola umum dari rasio ini dibandingkan dalam enam bentuk perbandingan analisis ditemukan tidak didapatkan perbedaan yang lebih bermakna untuk SH dibandingkan ET.
Data ini memberikan masukan bahwa AF bukan merupakan hubungan mayor antara SHyper dengan manifestasi kardiovaskuler.
Studi ini memberi masukan bahwa hubungan yang lebih lanjut mungkin dapat dipertimbangkan pada tingginya frekuensi manifestasi aterosklerosis dini berupa penebalan dinding intima media karotis atau adanya gambaran backscatter yang terintegrasi pada karotis yang diamati pada pasien SHyper. Efek aterogenik yang terdapat pada SHyper ini dapat berdampak pada terjadinya semua manifestasi klinis kardiovaskuler.
(Intern Emerg Med 2013 Apr;8 Suppl 1: S75-7; Endocr Metab Immune Disord Drug Targets 2013; Best Pract Res Clin Endocrinol Metab. 2012: 26(4); 431-46)
SL Purwo

Tingkat Tekanan Darah, Risiko Kejadian Kardiovaskuler dan Mortalitas pada Pasien DMT2

(Suatu Studi Kohort)

PENURUNAN agresif tekanan darah (BP) merupakan aspek terpenting dari pengobatan diabetes yang sesuai dengan UKPDS dan HOT (Hypertension Optimal Treatment), dimana mengindikasikan prognosis yang baik dengan penurunan BP pada pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2). Studi dan meta analisis terbaru menyebutkan penurunan SBP dibawah 130 mmHg mungkin akan melindungi terhadap terkenanya stroke, tetapi tidak mengurangi risiko infark miokard atau mortalitas maupun morbiditas kardiovaskuler secara keseluruhan.
Hubungan antara kurva U atau J pada SBP dan DBP terhadap mortalitas telah diamati dalam studi-studi terda-hulu. Hubungan BP terhadap risiko kejadian kardiovaskuler sepertinya menyerupai kurva U atau J pada pasien dengan DMT2.
Untuk mengetahui bentuk kurva terhadap hubungannya SBP dan DBP dengan risiko kejadian kardiovaskuler serta mortalitas pada pasien DMT2 dalam populasi besar di perawatan primer dilakukanlah  studi oleh Johan et al.
Studi ini menggunakan 34009 pasien konsekutif penyakit kardiovaskuler dengan DMT2, usia 35 tahun atau lebih tua (usia rerata 64 tahun) pada 84 pusat perawatan   primer di daerah pusat Swedia antara tahun 1999 dan 2008. Dilakukan follow up sampai tahun 2009 pada registri nasional untuk   insidens kejadian mayor kardiovaskuler (hasil keluaran berupa infark miokard, stroke, gagal jantung atau mortalitas kardiovaskuler) ataupun total mortalitas.
Selama 11 tahun follow up, 6344 pasien (18.7%) memiliki kejadian kardiovaskuler primer dan 6235 pasien meninggal (18.3%). Hubungan tahunan yang dilihat dari SBP dan DBP dengan risiko kejadian kardiovaskuler mayor berupa kurva berbentuk U. Risiko terendah kejadian kardiovaskuler diamati pada SBP 135-139 mmHg dan DBP 74-76 mmHg, dan mortalitas terendah pada SBP 142-150 mmHg dan DBP 78-79 mmHg, juga pada penggunaan obat antihipertensi yang tidak diberikan dan pada pemberian obat antihipertensi.
Faktor perancu status sosioekonomi merupakan penjelasan yang mungkin untuk menjelaskan tingginya risiko distribusi BP pada batas bawah. Rendahnya SBP sesuai pola harian dihubungkan dengan rendahnya status sosial, fisik dan mental serta prevalens yang tinggi dengan anxietas dan depresi pasien-pasien tersebut.
Pada beberapa studi terdahulu, bentuk kurva U atau J yang dihubungkan dengan BP terhadap mortalitas telah diamati pada satu tahun pertama follow up penelitian, tetapi hubungan linear didapatkan pada periode waktu yang lama. Hal ini mungkin disebabkan karena kausa terbalik, yang ada pada penyakit sebelumnya dimana menimbulkan rendahnya BP dan mortalitas. 
Kurva bentuk U pada DBP yang dihubungkan dengan mortalitas penyakit jantung koroner telah diamati. Karena miokardium diperfusi selama diastolik, aliran darah koroner  fase diastolik yang rendah yang diakibatkan dengan rendahnya DBP aorta yang mungkin menjadi mekanisme patogenetik tersebut, terutama terdapat pada pasien dengan low coronary flow reserve.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, pada sampel berdasarkan perawatan primer yang besar pasien-pasien DMT2, didapatkan hubungan SBP dan DBP dengan risiko mayor kejadian kardiovaskuler serta mortalitas berupa bentuk kurva U. Hasil ini mempunyai implikasi untuk stratifikasi risiko dari pasien DMT2.(J Hypertension 2013; 31: 1-8)

SL Purwo

SEJARAH KARDIOLOGI (I)

“Lapangan kardiologi sebegitu luasnya, hingga bagi para Internis Umum tak mungkin lagi dapat tetap mengikuti dan menguasai kemajuan-kemajuan dalam lapangan ini”. (Gan Tjong Bing, 1957)

DEPARTEMEN Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI (dulu Bagian Kardiologi FKUI) yang berlokasi di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jalan S Parman Kav.87, Slipi-Jakarta ini adalah salah satu unsur Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi bidang Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (Kardiovaskular).
Bila ditelusuri jauh ke belakang, sebelum tanggal 10 Nopember 1976 (yang kini diperingati sebagai tanggal kelahiran Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI) mempunyai pengalaman sejarah yang penuh dengan perjuangan dan tantangan dalam pengembangannya.

Perkembangan Ilmu Kardiologi
Menyimak perkembangan Ilmu Kedokteran tidak dapat dilepaskan dari kiprah para ilmuwan yang berkecimpung dalam kedokteran, demikian juga perkembangan ilmu kardiovaskular yang pada tahun 1957 masih diberi istilah ilmu kardiologi. Perkembangan suatu ilmu sebagai proses belajar tidak dapat dipungkiri hanya dapat dikembangkan melalui suatu institusi pendidikan yang bernama Fakultas Kedokteran sebagai bagian dari suatu pendidikan dari suatu Universitas. Percabangan Ilmu kedokteran yang pada awalnya merupakan pendidikan akademik dan profesi menghasilkan lulusan dokter, atau dokter umum. Selanjutnya berkembang menjadi dokter ahli atau spesialis sebagai perkembangan dari kedokteran medikal dan surgikal. Pendidikan medikal yang tadinya menghasilkan dokter ahli penyakit dalam (internis) dan dokter ahli bedah. Tidak dapat dipungkiri pengembangan ilmu dan teknologi telah turut memacu pekembangan di bidang ilmu penyakit dalam maupun anak, sehingga memberi imbas pada perkembangan di tanah air.

PERKEMBANGAN ILMU KARDIOLOGI DALAM URUTAN TAHUN
* 1954    Kuliah dan demontrasi klinik penyakit jantung
* 1956    Kateterisasi jantung di RS Yang Seng Ie
             Pemeriksaan Angiokardiografi kontras
             Poli khusus jantung di RSCM
             Pembedahan jantung tertutup di RS Carolus oleh Pouw Houw Die
             Pembedahan mitral stenosis di RSCM (Soekaryo)
             Penelitian epidemiologik penyakit jantung Ong Sie Tjong, Soehardo
* 1957    16 Nov 1957, PERKI didirikan
             Pemeriksaan Elektro kardiografik Hantaran I, II, III secara rutin oleh dokter
             Pembuatan EKG oleh paramedik
             Pembuatan EKG dilengkapi Unipolar
             Untuk anak ditambah CV3 kanan
* 1957 -1960 Pemeriksaan EKG menjadi suatu ilmu pengetahuan
* 1958    Kateterisasi jantung di RSCM
             Pemeriksaan Asto, PH dan Elektrolit
* 1959    Poli khusus jantung anak di RSCM
* 1960    Pemeriksaan analisa Radiologik dengan Barium
             Pemeriksaan sinar oleh ahli jantung
* 1961    Pembedahan jantung terbuka dengan hypotermi di RSCM oleh Dr. Irawan Santoso
* 1964    Pendidikan khusus ahli kardiologi
* 1964    Penyelidikan experimentil pada  anjing, ISF Ranti dkk
* 1964   Penelitian bising jantung dan apus tenggorok kuman streptococcus beta hemolistikus murid SD Suleiman dkk
* 1964    Kateterisasi jantung di RSPAD
             Pemeriksaan dengan phonokardiografi, di RSCM
* 1969  Pembedahan jantung terbuka dengan mesin jantung paru di RSCM, Lembaga Kardiologi Nasional oleh Dr. Irawan Santoso, Dr. Surarso dkk. 

(BERSAMBUNG)
(Untuk baca artikel sambungannya, klik disini)

Pre Diabetes, Saatnya Memulai Terapi

TAHUN 1997 dan 2003 The Expert Committee on Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus mengetahui adanya kelompok pertengahan dengan tingkat gula darah di antara normal dan tinggi walaupun tidak memenuhi kriteria DMT2, sehingga tidak dapat dikatakan terlalu tinggi untuk suatu keadaan normal.
Kondisi-kondisi ini dapat berupa glukosa darah puasa terganggu (100-125 mg/dl) atau toleransi glukosa yang terganggu (140 – 199 mg/dl). Individu-individu tersebut disebut sebagai pre diabetes, mengindikasikan risiko yang relatif tinggi untuk terjadinya DMT2 di masa depan
DMT2 dan penyakit non infeksi menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global. Sekitar 285 juta penduduk, atau berkisar 6.4% populasi dewasa dunia terkena diabetes. Diperkirakan mencapai 285 juta penduduk pada tahun 2030, 7.8% dari populasi dewasa dunia, dengan wilayah Afrika diperkirakan mencapai peningkatan yang terbesar. Segmen yang lebih luas lagi dari populasi dunia, diperkirakan mencapai 79 juta individu Amerika Serikat akan mengalami pre diabetes.
Faktor-faktor multipel seperti predisposisi genetik, resistensi insulin, peningkatan sekresi insulin, glukotoksisitas, lipotoksisitas, terganggunya pelepasan inkretin, akumulasi amylin dan penurunan masa sel B berperan dalam penyebab kausatif progresivitas disfungsi sel B sebagai karakteristik pre diabetes.
Beberapa studi randomisasi terkontrol menunjukkan individu dengan risiko tinggi untuk terjadinya DMT2, secara signifikan mengalami penurunan untuk terjadinya DMT2 dengan dilakukan intervensi yang tepat. Termasuk didalamnya modifikasi gaya hidup yang intensif dan penggunaan farmakologis metformin, peghambat alfa glukosidase, orlistat dan tiazolidinedion, setiap usaha tersebut menunjukkan penurunan insiden diabetes dengan derajat yang berbeda.
Intervensi yang mencegah progresi DMT2 seharusnya memperlambat atau mencegah kegagalan sel B. Penggunaan metformin seharusnya dipertimbangkan sebagai terapi awal pada pasien yang tidak bisa dikontrol gula darahnya dengan modifikasi gaya hidup atau bagi yang tidak efektif dalam mengurangi progresivitas DM tipe 2.
DMT2 merupakan 90% dari kasus diabetes dan dihubungkan dengan komplikasi makro dan mikrovaskuler dengan tingginya morbiditas dan mortalitas. Dikatakan  individu dengan peningkatan risiko untuk terjadinya DMT2 adalah dengan glukosa puasa yang terganggu (IFG), toleransi glukosa yang terganggu (IGT) ataupun kondisi keduanya. Individu tersebut termasuk dalam kelompok pre diabetes.
Kurang lebih sekitar 25% dari individu tersebut akan menjadi DMT2 dalam tiga sampai lima tahun. Hiperglikemia juga dihubungkan dengan peningkatan risiko   penyakit kardiovaskuler walaupun tanpa kondisi diabetes. Studi menunjukkan perubahan gaya hidup dan intervensi obat berguna dalam memperlambat atau mencegah DMT2 pada pasien pre diabetes.
Metformin merupakan pilihan obat yang dapat digunakan. IGT dan IFG dihubungkan dengan DMT2 dan kebanyakan studi menunjukkan pentingnya kondisi tersebut dalam perkembangannya menjadi penyakit makro dan mikrovaskuler. Intervensi terapeutik pada pasien pre diabetes merupakan prevensi primer yang penting dari DMT2 dan komplikasi kronisnya. (Endocrine 2013;43(3):504-13, Diabetes Care 2013; Suppl 1(36):1-50) 
SL Purwo