pita deadline

pita deadline

Jumat, 13 Januari 2017

Meningkatkan Kompetensi Profesi dengan The 8th ISICAM-InaLIVE 2016

PIKI kembali mengadakan pertemuan ilmiah nasional ISICAM. Teknologi dan kasus intervensi semakin berkembang. PIKI berharap dapat mencetak dokter sub intervensi semakin cepat dan banyak.


Setidaknya sekitar 500-an dokter jantung dari berbagai kalangan hadir di lantai 3 Hotel Fairmont, Jakarta, akhir November 2016. Bahkan beberapa ahli jantung dari luar negeri turut serta dalam pertemuan tersebut. Ada apa gerangan? Tak pelak lagi, inilah perhelatan penting tahunan Perhimpunan Intervensi Kardiologi Indonesia (PIKI): The 8th Indonesian Society of International Cardiology Annual Meeting (ISICAM) -- InaLIVE, 18-20 November 2016.


Berbagai topik kasus dan keilmuan penyakit jantung didiskusikan dan dipaparkan. Acara ini terbuka untuk para kardiologis general, kardiologis intervensi, spesialis internis, radiologis intervensi, neurologis intervensi, hingga dokter umum dan perawat.


Tentu saja, ISICAM 2016 ini juga bertaburan pakar dari dalam maupun luar negeri seperti dari Cina, Amerika Serikat, Korea, Malaysia, Singapura serta Brunei Darussalam dan Singapura. Beberapa pakar yang akan tampil dalam perhelatan ini antara lain: Prof. Teguh Santoso, MD, PhDm (Senior Interventional Cardiologist, Universitas Indonesia), Dr. Sunarya Soerianata (Senior Interventional Cardiologist Universitas Indonesia), Dr. Muhammad Munawar (Senior Interventional Cardiologist Bina Waluya Cardiac Center Jakarta), Al Fazir (Malaysia), Ehrin Amstrong (Amerika Serikat), Jung Min Ahn (Korea Selatan), Seung Jung Park (Korea Selatan), Tao Ling (Cina) serta Manish Parikh (Amerika Serikat).
“Atas nama seluruh pengurus PIKI, saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran para ahli, tamu undangan, juga seluruh anggota yang turut berpartisipasi dalam kegiatan ini,” tutur Dr. Muhammad Munawar, Ketua PIKI dalam sambutan tertulisnya. Ketua PIKI terpilih, Dr. Sunarya Soerianata menambahkan, “Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mendidik para dokter dan tenaga profesi medis lainnya yang bekerja atau tertarik dalam bidang ini. Sebab itu, tema ISICAM kali ini adalah Optimizing Outcome with Innovations in Cardiovascular Intervention,” katanya.
Pengurus PIKI memang berusaha mengoptimalkan ISICAM kali ini. Proses interaksi tak hanya berupa ceramah dan presentasi, tetapi juga diisi dengan live demo, abstrak, studi kasus dan sesi teknologi. “Serangkaian workshop juga diselenggarakan dalam acara ini, termasuk berbagai teknik terbaru tentang transseptal technique, carotid intervention, imaging and physiology dan transradial intervention,” tutur Dr. Doni Firman, Ketua Organizing Committee The 8th ISICAM-InaLIVE 2016.
Tak ketinggalan, komite ilmiah PIKI juga dengan cermat memilih topik yang menarik lainnya termasuk menghadirkan produk teknologi terbaru dan inovatif pada bidang intervensi jantung. “Di dunia sub spesialis intervensi aspek teknologi memang paling cepat berkembang dari tahun ke tahun,” kata Doni. Jadi, lanjutnya, “Saya kira tahun ini banyak sekali yang baru seperti pembahasan teknologi intervensi katup jantung, intervensi struktural lain seperti penutup apendiks, atrium kiri dan sebagainya,” katanya. Tidak hanya alat, tapi juga obat-obatan dan masalah seputar layanan kesehatan juga ditelaah. “Tak kalah pentingnya, kita juga membahas tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Begitu dinamikanya dari tahun ke tahun,” tutur Doni.

Pertumbuhan kebutuhan layanan jantung semakin tinggi 
Salah satu peserta, ISICAM 2016, Dr. Daniel Tobing, SpJP(K), sangat menghargai kegiatan yang diselenggarakan PIKI. Salah satu hal yang patut ditandai dari pertemuan kali ini adalah animo para dokter yang ikut terlibat dalam acara ini. “Kalau dilihat semangat mereka untuk hadir dan mengikuti workshop cukup tinggi…banyak diminatilah. Bandingkan dengan di Taiwan, acara sejenis seperti ini cuma dihadiri 17 orang. Bandingkan dengan ISICAM yang dihadiri ratusan orang. Jadi semangat kita cukup baik dalam hal ini,” kata Daniel.
Apalagi, lanjut Daniel, perkembangan layanan sub spesialis intervensi memang semakin maju termasuk untuk layanan kesehatan di daerah. “Kini pertumbuhan kebutuhan pasien jantung di daerah juga makin tinggi. Kita butuh SDM-SDM (sumber daya manusia) yang harus menguasai masalah itu,” kata Daniel. Sebab itu, ISICAM inilah yang memberi kesempatan kepada insan medik untuk menambah wawasan. “Bukan hanya untuk para dokter di pusat, tetapi juga di daerah, mulai dari pengetahuan basic sampai advance,” katanya lagi.
Sebab itulah, Doni berharap para dokter, terutama anggota PIKI, dapat mengambil hikmah dari penyelenggaraan pertemuan ilmiah tahunan ini. “Kita tidak hanya bicara tentang segi ilmiahnya saja tetapi juga tentang etika. Misalnya kapan dengan secara pasti kita menentukan sesuatu tindakan yang baik, dengan suatu indikasi yang baik, dengan pengetahuan dan skill yang baik dan hubungan yang baik pula dengan pasien,” kata Doni.
Ia melanjutkan, dengan bekal pengetahuan, keterampilan yang baik tadi, para dokter dapat menghasilkan cost effective yang baik bagi pasien. “Ini sesuai dengan era BPJS saat ini. Dalam era ini, seorang dokter tidak hanya dituntut profesinya sendiri, tetapi juga dituntut untuk berpikir secara ekonomis karena dia juga harus memikirkan biaya kesehatan agar tidak memberatkan pasiennya,” katanya.
Maklum saja, BPJS saat ini menjadi titik sentral layanan kesehatan Indonesia. “Pemerintah berniat dan berambisi agar seluruh masyarakat mendapatkan layanan kesehatan dan tanpa memberatkan. Itu diterapkan dengan anggaran finansial yang harus diaplikasikan para dokter atau rumah sakit di tempat mereka bekerja. Dan itu tidak mudah. Itu menjadi tantangan yang harus dihadapi,” kata Doni.


Manfaat yang dapat diambil dari ISICAM
Tak dapat dipungkiri, para dokter jantung harus dapat mengambil seoptimal mungkin manfaat yang ada dalam ISICAM. “Masalah intervensi jantung itu ibarat pisau bermata dua. Kalau dilihat dari sisi kepentingan pasien, tindakan intervensi bisa baik bagi pasien tetapi sebaliknya bisa saja harmful. Jadi ini sudah menjadi tugas pengurus PIKI untuk meningkatkan dan mengingatkan kembali skill teman-teman,” katanya.

Harapan dari semua ini, lanjut Doni, adalah terciptanya angkatan dokter jantung yang lebih cepat. “Masalah yang menjadi primadona pengurus PIKI saat ini adalah bagaimana mencetak dokter jantung yang sub spesialis intervensi dengan lebih cepat dan lebih banyak,” katanya.
Salah satu caranya, selain tentu saja mengadakan beragam pertemuan ilmiah seperti ISICAM, PIKI juga sudah mengadakan kerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan kedokteran. “Tahun ini kita sudah berhasil menyelenggarakan kerja sama pendidikan dengan sembilan center lembaga domestik. Untuk luar negeri kita sudah bekerja sama dengan empat atau lima center. Para peserta pendidikan ini secara rutin kita kirimkan keluar negeri. Jadi mudah-mudahan kita bisa mencetak dokter sub spesialis lebih cepat dan lebih banyak,” katanya. Semoga! 
[Tim InaHeartnews]

Mari Selaraskan Budaya Lokal!

PERKI Makassar & Yogyakarta

KUMISNYA melintang melewati bibir. Matanya tajam melotot, bersemangat dengan tangan merentang menyapa siapa pun yang melihat. Dia mengenakan sarung sutra dan Passapu merah, topi tradisional khas Makassar, lengkap dengan kaos putih dengan gambar jantung besar di dada. Wow, siapakah gerangan? Itulah maskot Perki Makassar, sang “Daeng Jantung”, begitu ia disapa.
Daeng Jantung memang hampir selalu hadir dalam tiap kegiatan Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Makassar. Daeng inilah yang menampilkan nuansa adat istiadat dalam aktivitas Perki Makassar. “Daeng Jantung menggambarkan karakter pria Bugis Makassar yang berani dalam menegakkan kebenaran sekaligus memiliki sifat yang ramah dalam menerima kunjungan kerabat,” tutur DR. Dr. Idar Mappangara, SpPD, SpJP, FIHA, FINASIM, FICA, Ketua Perki Makassar kepada InaHeartnews.
Idar menunjukkan tak hanya pada maskot saja, nuansa adat istiadat itu juga terlihat pada pemilihan seragam kegiatan. “Contohnya pada kegiatan rutin tahunan Makassar Cardiovascular Update (MCVU) 2016, Agustus lalu, seragam yang digunakan adalah kain sutra Sengkang dan sutra bercorak huruf Lontara,” tutur Idar.
Sejak didirikan pada 1982 yang dipelopori oleh Prof. Dr. Junus Alkatiri, SpPD, SpJP(K) dan Prof. DR. Dr. Santa Jota, SpPD, SpJP(K), Perki Makassar kini telah memiliki 31 anggota. “Sebanyak 10 orang telah terdaftar di database Perki Pusat, sedangkan selebihnya menunggu pelantikan pengurus baru periode 2016-2018,” kata Idar. 
Kegiatan ilmiah yang rutin dilaksanakan adalah Pelatihan Kardiovaskular yang telah terjadwal setiap dua bulan berselang seling, misalnya EKG Dasar, Basic Cardiac Life Support (BCLS), dan Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS). Jumlah peserta untuk pelatihan ini mencapai sekitar 35 orang/kelas. “Untuk ACLS sendiri sampai 2016 telah dilaksanakan 68 kali, BCLS 29 kali, EKG Dasar 50 kali dan EKG Advanced 8 kali (dilaksanakan setahun sekali),” kata Idar.
Untuk kegiatan akbar tahunan, yang telah dilaksanakan sejak 2001 adalah Simposium MCVU dengan jumlah peserta rata-rata 300-500 orang per tahun. Selain itu terdapat kegiatan ilmiah berupa workshop, simposium mini yang pelaksanaannya bekerjasama dengan pihak luar, seperti farmasi dengan peserta yang berasal dari anggota Perki Makassar maupun wilayah Indonesia Timur.
“Ada pula kerjasama ilmiah berupa workshop dengan Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, dan lain-lain dengan peserta berasal dari instansi masing-masing,” tutur Idar. Animo peserta dalam menyikapi kegiatan tersebut, lanjut Idar, mengalami peningkatan setiap waktu. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan kerjasama dari pihak luar untuk melaksanakan pelatihan kardiovaskular.
Perki Makassar juga telah rutin mengadakan kerja sama pelayanan kesehatan. Misalnya dengan pihak manajemen rumah sakit di daerah, “Yaitu dengan RS Sorowako, Palopo, Pare Pare dan Polman. Kunjungan ke rumah sakit daerah dilaksanakan terjadwal sebulan sekali,” tutur Idar.
Selain itu karena anggota Perki Makassar sudah banyak dan ditempatkan di Rumah Sakit daerah maka hal ini berimbas pada jumlah rujukan penderita kardiovaskular yang dikirim ke Makassar lebih tepat sasaran.
Tentu saja, aktivitas Perki Makassar tak melulu yang serius. Kegiatan santai dan keakraban juga rutin dilaksanakan. Mulai dari sepeda santai, funwalk dan senam jantung sehat. Kegiatan ini selain diikuti oleh anggota Perki Makassar, juga melibatkan masyarakat sekitar. Tak hanya itu, anggota Perki Makassar juga banyak terlibat dalam bakti sosial, sekaligus wisata, misalnya ke Pulau Balang Lompo, Pangkep, Mei silam. Aktivitas rekreasi ini, menurut Idar, akan terus memelihara jalinan kerja sama dan kebersamaan antar anggota Perki Makassar dan antar warga sekitar.
Nah, yang menarik dalam berbagai kegiatan tersebut, pengurus Perki selalu menghidangkan makanan khas Makassar. Mulai dari pisang ijo (pisang yang dilapisi tepung berwarna hijau dan disajikan dengan saos putih dan sirup khas Makassar), barongko (kue dari pisang dihaluskan dan dibungkus menggunakan daun pisang), bassang (bubur jagung), dan coto (hidangan sup berisi daging dan jeroan) serta lainnya. “Selain itu hidangan yang paling sering disajikan adalah jenis makanan seafood yang merupakan salah satu wisata kuliner andalan di Sulawesi Selatan, misalnya ikan bakar, kepiting, udang dan sebagainya,” tutur Idar lagi.



Perki Yogyakarta: mari berkunjung
Menyelaraskan kegiatan ilmiah maupun santai dengan keberagaman khas budaya setempat juga sudah menjadi hal rutin bagi Perki Yogyakarta.
Perhimpunan ini berdiri dan dibentuk pada 2004. Adalah Dr. RM Arjono SpPD, SpJP(K) menjadi ketua Perki Yogyakarta pertama. Sekian tahun berdiri tumbuh dan berkembang menjadikan lembaga ini semakin besar. Hingga hari ini Perki Yogyakarta telah memiliki anggota sebanyak 29 anggota SpJP.
“Keseluruhan anggota Perki Yogya menunjukkan adanya keberagaman yang menyatukan. Para anggota tidak hanya dokter alumni dari UGM saja, tetapi berasal dari UI, Unair, Unpad, UNS, Undip, Unbra dan lain-lain,” tutur Dr. Hariadi Hariawan SpPD, SpJP(K), FIHA, FINASIM, FICA, FAsCC, FAPSIC, yang telah menjadi Ketua Perki Yogya, untuk dua periode berturut-turut.
Menurut Hariadi, keberagaman inilah yang membuat Perki Yogyakarta bernuansa “sangat Indonesia”. “Lahir dan tumbuh di kota Kraton menjadikan Perki Yogyakarta memiliki ciri khas yang memadukan citarasa modern namun tetap dengan warna tradisi Kraton yang kental,” kata Hariadi.


Hal itu kemudian tercermin dari berbagai kegiatan rutin yang diluncurkan Perki Yogyakarta. Tak hanya yang ilmiah tetapi juga yang santai. “Ciri khas tersebut antara lain melahirkan paguyuban pesepeda yang diikuti oleh anggota Perki senior dan junior. Mereka kemudian mendirikan Cardiac Cycling Community Yogya. Paguyuban ini rutin mengadakan kegiatan olahraga bersepeda minimal tiap dua minggu sekali dengan rute penjelajahan di area Yogya dan sekitarnya.
Acara sepeda santai ini, selain untuk olahraga dan kebersamaan, juga sekaligus memupuk kecintaan anggota terhadap budaya Indonesia yang tersaji di Yogyakarta. Candi Prambanan dan Taman Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, merupakan rute pilihan. Di rute ini pesepeda akan disuguhi pemandangan pedesaan yang memanjakan mata, dengan tantangan jalan yang tidak menanjak membuat kayuhan kaki tetap terjaga. “Di garis finish kita akan disuguhi oleh kecanggihan dan keanggunan arsitektur Jawa kuno yang menakjubkan, hasil karya budaya yang tidak kalah dengan Colosseum di Roma atau menara Pisa di Paris.
Setelah lelah bersepeda dilanjutkan dengan menikmati kuliner khas Yogyakarta. Salah satu menu wajib adalah gudeg Yogya yang lezat. “Rasanya tidak ke Yogya kalau belum mencicipi makanan khas kota Pelajar ini. Citarasa yang menyuguhkan rasa manis gurih dan krecek yang pedas di dalam satu masakan yang sangat memikat lidah. Juga dengan wedang uwuh untuk menghilangkan dahaga. Kesan pertama terkadang membuat penasaran pencicipnya, setelah mencobanya tak elak rindu ingin datang kembali ke Yogya,” katanya.
Lantas Perki Yogyakarta mengundang para sejawat lain untuk bertandang ke kota budaya itu. “Jadi kapan rawuh (datang) ke Yogya lagi?” tanya Hariadi.
[Tim InaHeartnews]

“Nyeri Dada dari A Sampai Z” Panduan untuk Dokter dan Umum

Peluncuran buku karya, Prof. Sutomo


Prof. Dr. Sutomo Kasiman meluncurkan buku tentang kardiovaskular. Buku ini diharapkan tidak saja untuk kalangan profesi tetapi juga untuk kalangan umum.
Tanggal 30 April merupakan hari istimewa bagi Prof. Dr. Sutomo Kasiman SpPD, SpJP(K). Betapa tidak, saat itu merupakan hari kelahiran pria berumur genap 70 tahun ini sekaligus menjadi acara peluncuran buku karyanya yamg berjudul “Nyeri Dada dari A Sampai Z”. Walikota Medan, Drs. H.T. Dzulmi Eldin S. MSi. diwakili Sekda Kota Medan Ir. H. Syaiful Bahri menyempatkan diri mengikuti acara peluncuran buku tersebut di Function Room Hotel JW Marriot Medan, pada Sabtu (30/4).
Selain itu, tampak hadir Ketua Kolegium Ilmu Penyakit Jantung Indonesia Dr. Sunarya Suryanata SpJP(K), Ketua Perki Pusat DR. Dr. Anwar Santoso SpJP(K), Rektor USU Prof. Dr. Runtung Sitepu SH. MHum., GM Rumah Sakit Columbia Asia Renhard Lumban Tobing.
“Buku ini sebenarnya sudah sejak lama diniatkan untuk diterbitkan saat saya akan memasuki usia pensiun lebih kurang 5 tahun yang lalu. Namun karena kesibukan sehari-hari baik di departemen kardiologi maupun tugas tambahan sebagai Ketua Senat Universitas Sumatera Utara, maka menjadi tertunda penerbitannya,” kata Prof. Sutomo kepada InaHeartnews.
Dampaknya, lanjut Prof. Sutomo, dengan berjalannya waktu sebagian besar panduan yang sudah pernah ada menjadi usang, tidak update lagi. “Jadi materi panduan itu membutuhkan penyesuaian lagi dengan datangnya berbagai guidelines yang berhubungan dengan masalah penyakit jantung koroner,” katanya.
Selain itu, Prof. Sutomo juga menginginkan sebuah buku yang lumayan lengkap dengan pembaca yang tidak hanya dari kalangan profesi kedokteran tetapi juga dapat melayani masyarakat umum.
Pada buku ini dibahas segala aspek nyeri dada yang disebabkan oleh penyakit jantung koroner dari A sampai Z. Pembahasan yang diberikan dimulai sejak awal, dari mengenali penyakit jantung, membuat diagnosa, melakukan tatalaksana pengobatan medis serta intervensi dan rehabilitasi. “Jadi dalam buku ini diuraikan berbagai kondisi seseorang yang mengalami nyeri dada dengan membedakan nyeri dada yang disebabkan oleh penyakit lain dan penyakit khusus jantung,” kata Prof. Sutomo.
Selain itu judulnya memang dibuat sederhana untuk mendapatkan perhatian masyarakat yang selalu mencari tahu sakit apa sebenarnya yang dialaminya ketika merasakan nyeri dada. “Memang banyak yang mengalami nyeri dada, namun banyak pula yang tidak tahu penyebab nyeri dada tersebut timbul,” ujar Walikota Medan, Dzulmi menanggapi terbitnya buku ini.
Dalam sambutannya, Walikota Medan berharap buku ini dapat membuat masyarakat semakin cerdas dalam memahami penyakit yang ada, khususnya nyeri dada dan bagaimana penanganan awalnya. “Semoga buku ini nantinya juga dapat menjadi referensi kepada para mahasiswa di bidang kesehatan untuk menunjang akademisnya,” katanya lagi.
Prof. Sutomo memang berharap, informasi yang disampaikan dalam buku tersebut dapat menjadi panduan dalam menata laksana dan melakukan intervensi terhadap penderita yang mengalami nyeri dada. “Kondisi ini kemudian lebih menjurus pada sindroma koroner akut yang akhirnya mengerucut menjadi diagnose akhir IMA-elevasi ST, IMA non elevasi ST dan angina pectoris tidak stabil serta bagaimana menanganinya,” katanya.
Prof. Sutomo mengaku dorongan untuk membuat buku ini mengingat banyaknya kasus yang dihadapi para kardiologist juga praktisi yang lain yang selalu muncul dengan berbagai kondisi sekaligus masalah yang dihadapi. “Tentunya juga para peserta PPDS Kardiologi dan juga mahasiswa S1 Kedokteran yang turut belajar dan melayani pasien,” katanya.
Ia berharap dengan terbitnya buku ini para peserta didik selain mendapat informasi yang sangat luas dari berbagai media yang mudah diakses, “Mereka lebih mudah memperoleh jawaban dari masalah yang sedang dihadapinya dalam menangani nyeri dada kardiak,” kata Prof. Sutomo.
Tak ketinggalan, masyarakat juga diharapkan dapat mengikuti perkembangan pengetahuan di bidang ini. “Jadi ketika seseorang mengalami gejala yang mirip dengan penjelasan di buku, ia dapat segera menyampaikan pada dokternya sehingga mereka dapat cepat mengambil tindakan yang tepat,” katanya lagi.
Selain buku “Nyeri Dada dari A Sampai Z”, Prof. Sutomo juga telah menerbitkan dua buku lainnya, yakni Kehamilan pada Penyakit Jantung Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 (Sutomo Kasiman, Y. Wijaya dan AASt. Bagindo, Edisi Pertama, PB. PAPDI UI Press, April 1992) serta Fisik Diagnostik (Sutomo Kasiman, & T. Renardi Haroen, USU Press).
Saya berharap buku karya saya yang walaupun sedikit jumlahnya dapat disumbangkan buat khasanah pengetahuan. Hanya itu yang dapat saya usahakan,” kata Prof. Sutomo.
Pada kesempatan tersebut, Prof. Sutomo juga mengucapkan terima kasih kepada para sejawat yang memberikan kontribusi dan yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dan sumber dalam penyusunan tersebut sehingga buku ini dapat terbit. 
[Tim InaHeartnews]

Preventif-Rehabilitas Kardiovaskular Berbasis Rumah, Prevensionis dan Cita-citanya

Kardiologi Kuantum No.36.


Cardiac rehabilitation (rehab) is a medically supervised program that helps improve the health and well-being of people who have heart problems. Rehab programs include exercise training, education on heart healthy living, and counseling to reduce stress and help you return to an active life. (The National Heart, Lung, and Blood Institute, USA)

SALAM KARDIO. Judul tersebut terasa agak memaksa, tetapi kalau benar-benar dirasa-rasakan memang seharusnya demikian seperti konsep “rehabilitasi kardiovaskular” yang telah dikemukakan oleh The National Heart, Lung, and Blood Institute salah satu lembaga kesehatan di Amerika Serikat yang amat bergengsi. Ada unsur komunikasi, informasi dan edukasi tentang hidup sehat, mengurangi stres dan mengembalikan pasien jantung ke kehidupan aktifnya.
Nah, siapa saja pasien yang dianjurkan untuk dikelolanya? Mereka memasukkan kelompok-kelompok yang selamat dari serangan jantung atau paskabedah jantung. Melakukan upaya preventif agar terhindar dari rawat-inap ulang di rumah sakit, masalah jantung lanjut, dan meninggal mendadak akibat penyakitnya.
Berbasis Rumah. Lagi-lagi kata-kata berbasis rumah memaksakan diri seolah-olah lebih hebat dari sentra PRKV, Preventif-Rehabilitasi KardioVaskular kita sebut saja sentra-rehab yang canggih, tidak semua rumah sakit pendidikan jantung memilikinya. Sekiranya ini benar-benar berkembang seperti di Australia maka sentra rehab yang canggih tersebut dengan entengnya disebut sebagai “Sentra Rehab Tradisionil”.
Dr. Aulia Sani SpJP pada suatu hari bertanya kepada penulis: “Sudahkah Home-based cardiac rehabilitation anda kembangkan? Itu sangat penting lho. Zaman saya menjadi Direktur Utama, saya kirim orang ke Australia untuk studi banding!” Karena beliau beberapa kali menanyakan tergetar juga hati saya untuk mencari tahu apa yang beliau maksudkan. Tidak tanggung-tanggung Dr. dr. Hananto Andriantoro, SpJP Direktur Utama RS Harapan Kita berlantang kata agar Tim Rehab siap memberikan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang upaya penanggulangan penyakit jantung. Seperti gayung bersambut saja Dr. dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP menugaskan penulis untuk memberikan Kuliah Senior di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI. Terpilihlah topik “Home-based Cardiac Rehabilitation from The Desk of a Doctor” dalam arti yang paling sederhana yang mungkin dikembangkan oleh seorang dokter. Idealnya memang menggunakan teknologi masa kini.
Rehab berbasis rumah menganjurkan pasien-pasien jantung untuk berolah raga di rumahnya sendiri walaupun hanya memiliki jalur olahraga 2 x 1 meter. Andalannya adalah jalan kaki dengan menggerakkan tangan dan kaki dengan penuh semangat. Semangat menjadi penting apalagi disertai dengan percaya diri. Boleh sambil melihat acara di televisi bahkan ngobrol dengan keluarga. Olah raga diteruskan ukuran intensitasnya masih dapat ngobrol atau menyanyi dengan baik, tidak ngos-ngosan.
Menurut Dr. Mia Amira Callista, peserta program studi kardiovaskular di unit Preventif-Rehabilitasi Kardiovaskular, upaya preventif ini perlu diberi muatan spiritual seperti pendekatan Kardiologi Kuantum. Meminjam konsep Candra Jiwa Indonesia, dipersepsikan olahraga ini merupakan bagian dari ibadah kita kepada Tuhan YME. Dengan menjaga kesehatan maka banyak yang dapat kita kerjakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.

Mengikuti kaidah FITT alias Frekwensi, Intensitas, Time (waktu) dan Tipe olah-raganya. Untuk frekwensi dapat dilakukan 3-7 kali dalam seminggu. Intensitasnya ringan sampai sedang saja, kalau mau diukur denyut nadinya lebih bagus. Denyut nadi maksimalnya 120 saja untuk pasien jantung, untuk yang sehat dapat ditambah menjadi 130-140.
Bagi pasien jantung ada 2 pendekatan:
1) umum (FITT), sasaran frekwensi jantung, dianggap sama dengan denyut nadi, ialah DJB= denyut jantung berdiri/duduk/istrahat yaitu
--- Target denyut jantungnya; TDN= [DJB + (10 s/d 20)] < 120 dpm=denyut per menit; sebagai denyut jantung maksimal.
2) progresif dalam rentang waktu 3 bulan (FITTPro); pada bulan pertama sasarannya: TDN BL1= [DJB + (10 s/d 30)] dpm
--- bulan kedua: TDN BL2= [DJB + (10 s/d 40)] dpm
--- bulan ketiga: TDN BL3= [DJB + (10 s/d 50)]dpm
--- frekwensi maksimalnya masih tetap 120 dpm.

Tentu saja setelah terlatih selama tiga bulan tersebut, sekiranya pasien ingin ikut klub olahraga sudah lebih longgar. Ada baiknya konsultasi ke dokter terdekatnya sebelum menjadi anggota klub-klub olahraga. Jadi, waktunya 30 menit setiap hari, dapat juga 15 menit 2x sehari. Dibuat dengan santai tetapi cukup bersemangat. Tipenya ya jalan kaki, atau memakai sepeda statis. Kalau malas hitung menghitung, kita dapat melakukan tes bicara atau menyanyi. Asal masih dapat bicara atau menyanyi secara wajar tidak sampai ngos-ngosan, kita anggap intensitasnya ringan sedang. Cukup sebagai target kita latihan sehari-hari.
Bila ingin menilai kesegaran jasmani sebagai bagian dari kualitas hidup, ada baiknya sebelum dan sesudah melakukan program olahraga, kita dapat menggunakan kwesioner WHO-5 Indeks Kebugaran Subjektif di bawah ini.



WHO-5 Kwesioner/Indeks Kebugaran-Subjektif
Silahkan dilingkari lima pernyataan yang paling mendekati perasaan anda selama periode 2 minggu ini. Perhatian bahwa angka yang lebih tinggi diartikan sebagai (indeks) kebugaran-subjektif yang lebih baik. (WHO-5 Well-Being Index)*)


Jumlah keseluruhan dihitung dari angka total dari lima jawaban. Nilai skor-baku terletak di antara angka 0 sampai 25; angka 0 mewakili kemungkinan terburuk dan angka 25 mewakili kemungkinan terbaik dari kualitas hidup. Untuk mencapai skor-baru: persentase yang terstandarisasi dari 0 sampai 100 (desimal), skor bakunya dikalikan dengan angka 4. Skor yang terstandarisasi 0 mewakili kemungkinan terburuk sementara skor 100 mewakili kemungkinan terbaik dari kualitas hidup.
Interpretasi: Direkomendasikan untuk memakai the Major Depression (ICD-10) Inventory (Annex 2)*) jika angka bakunya dibawah 13 menunjukkan kebugaran-subjektifnya buruk dan merupakan petanda untuk dilakukan tes untuk depresi menggunakan inventory tersebut. Monitoring perubahan: Agar supaya kemungkinan adanya perubahan kebugaran-subjektif dapat dimonitor, maka digunakan standarisasi skor persentase. Perbedaan 10% menunjukkan adanya perubahan (John Ware, 1995) #) [BSP 160515]

Di Masa Datang, anggaplah ini sebagai suatu cita-cita. Kelompok peneliti Australia yang bermarkas di R.S. Prince Charles Brisbane Australia telah membagi pengalamannya kepada kita untuk mengembangkan rehab berbasis rumah. Tentu saja ini pemilihan yang logis mengingat Australia merupakan benua yang luas sementara penduduknya relatif sangat sedikit dibanding dengan luasnya negara tersebut.
Diagram Sistem Pelayanan. Telepon genggam berfungsi sebagai media komunikasi yang mencakup a) Tim Rehab yang memandu dan menetapkan program, b) pesan motivasi harian, video edukasi dan pengiriman audio relaksasi, serta observasi pribadi dan memasukkan data kesehatan ke aplikasi Kebugaran Harian. Seluruh data berbasis harian disinkronisasi dan disimpan ke Catatan Kebugaran Harian yang terhubung melalui portal pada server jauh. (Walters et al.BMC Cardiovascular Disorders 2010, 10:5; http://www.biomedcentral.com/1471-2261/10/5 cited May 15, 2016)
Perhatikan adanya 3 kelompok manusia disini yaitu pasien, tim rehab, dan provider servis. Pasien adalah mereka yang melakukan kegiatan rehab membawa alat komunikasi HP, handphone, memanfaatkan internet, dan teknologi komunikasi. Tim rehab adalah yang memberikan panduan aktifitas, dan provider servis yang menyiapkan web-server; portal web untuk, data kebugaran harian, pengukuran data, laporan kesehatan, materi edukasi, dan ruang diskusi dengan telpon. Kelompok ke-3 menyiapkan sinkronisasi data dari Tim Rehab terhadap data dasar pasien dalam webservernya; Pasien akan menerima pesan-pesan motivasi dan edukasi multimedia melalui SMS langsung ke HP-nya; pasien dapat membuka data kebugaran hariannya termasuk memasukkan data perubahan ukuran berat badan, denyut jantung, capaian langkahnya dalam satu hari itu, dan memantau kesehatan jantungnya sendiri.
Bila kelompok ke-3 ini memiliki fasilitas penjualan dan strategi pasar yang jitu maka akuntan perusahaan tersebut dapat menentukan “harga” pelayanan ini kepada pasien termasuk jasa siapa saja dan organisasi apasaja yang terlibat. Program ini dapat dijual kepada siapa saja yang membutuhkan. Maka konsep ini akan berkelanjutan sesuai hukum bisnis-profesional maupun bisnis-sosial.
Demikianlah artikel kardiologi kuantum kali ini, mengemukakan suatu perspektif kardiologi sosial (promotif, preventif, dan rehabilitasi kardiovaskular) dari yang paling sederhana, yang masih dapat dikembangkan dari meja seorang dokter kardio(angio)log sampai kolaborasi dengan pihak ke-3 provider servis berbasis teknologi internet. Ketika berolahraga di rumah diusulkan dengan intensitas ringan-sedang saja, cukup 30 menit sehari. Yang penting Pe-de, percaya diri! “May The Force be with us,” Salam Kuantum.

__________
*) Wellbeing Measures in Primary Health Care/ The DEPCARE Project. Report on a WHO Meeting. Stockholm, Sweden, 12–13 February 1998. (EUR/ICP/QCPH 05 01 03; page 25; Annex 1; Annex 2).
#) Ware, J.E. & Davies, A.R. Monitoring health outcomes from the patient’s point of view: a primer. Kenilwork, New Jersey, Integrated Therapeutic Group, 1995.

Jangan Jadi Jago Kandang

Kode Etik & Etos Kerja Dokter Jantung.

Masyarakat semakin kritis dan teknologi layanan kesehatan semakin maju. Etika kedokteran harus dijaga dan etos kerja harus selalu dipupuk demi profesionalitas.

INDONESIA kini telah mampu menghasilkan setidaknya ratusan dokter spesialis baru tiap tahun. Lihat saja, pada acara Annual Scientific Meeting of Indonesian Heart Association (Asmiha) April, 2016, telah melantik setidaknya 150-an dokter jantung baru. Tentu kita harus berbangga dengan prestasi yang berhasil diraih. Kian tahun, jumlah produksi dokter jantung makin bertambah.
Namun di balik prestasi tersebut, tentu kemudian timbul tantangan baru. Saking banyaknya lulusan dokter pada umumnya, pasti ada nyeleneh alias keluar dari koridor etika dan etos kerja seorang dokter jantung,” tutur Dr. Santoso Karo Karo, Ketua Dewan Etik Perki 2016-2018.
Menurut Santoso, kondisi ini wajar saja. Dokter juga manusia biasa yang penuh dengan khilaf. Apalagi perkembangan zaman saat ini terjadi demikian cepat yang menyebabkan perubahan dan tuntutan pula pada layanan kesehatan jantung. “Teknologi dan layanan kesehatan semakin berkembang, tantangan dan masalah kesehatan juga berubah,” kata Santoso.
Maka para dokter sangat perlu menerapkan etika dan etos kerja yang baik untuk menyesuaikan perkembangan zaman. “Adanya perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi dan budaya menyebabkan para dokter perlu menjaga etos kerja dan etika yang telah ditetapkan,” tutur Santoso.
Kode etik kedokteran adalah pedoman moral dan perilaku. “Karena dokter itu suatu profesi yang luhur. Meskipun sudah ada kuliah kode etik, tapi tetap harus selalu dihayati,” kata Santoso.
Keberadaan kode etik terjadi sejak saat profesi kedokteran tercipta. Menurut Santoso pada awalnya profesi kedokteran masih sederhana, bisa disebut sebagai “solo career” yang mengobati hampir semua penyakit yang ada. Namun seiring dengan kemajuan profesi kedokteran, terjadilah pemilahan-pemilahan sesuai dengan perkembangan keilmuan. “Timbullah profesi dokter spesialis, ada jantung, paru, mata dan sebagainya. Nah semua itu memerlukan tuntunan pedoman etika,” kata Santoso.
Kondisi ini, menurut Santoso, pada gilirannya juga membuat kode etik berkembang menyesuaikan diri. Namun perkembangan itu tentu harus dipertimbangkan masak-masak sebelum menjadi suatu konsep kode etik. “Ini yang perlu mendapat perhatian dan pembahasan. Misalnya, dulu kita tidak boleh mempromosikan diri, sama sekali tidak boleh. Sekarang ada dokter yang mempromosikan dirinya, kalau buat kartu nama boleh, itu namanya kartu profesi,” kata Santoso.
Dalam skala lebih luas, profesi dokter yang dulu melakukan segala sesuatu praktek solo practice, “Kini menjadi room practice. Dulu semua fasilitas disediakan sendiri, kini semua fasilitas itu sudah ada di kamar praktek. Nah, hal-hal seperti itulah yang banyak berkembang saat ini,” kata Santoso.
Menurut Prof. DR. Dr. Djanggan Sargowo, SpPD, SpJP(K), Internist --Cardiologist senior dari RS Saiful Anwar, Malang, setidaknya ada empat kode etik paling krusial yang harus ditaati dan dilaksanakan seorang dokter jantung. Pertama adalah kode etik dokter dengan pasien, kedua kode etik dengan sejawat, ketiga dengan profesi dan masyarakat, serta keempat adalah kode etik dokter dengan diri sendiri.
Contohnya kode etik dengan sejawat profesi. “Sesuai kode etik, artinya tidak boleh menjelek-jelekkan sejawat kita. Malah harus saling mengingatkan. Jadi tidak menjatuhkan atau menjelekkan rekan sejawat,” tutur Santoso.
Lantas bagaimana upaya terbaik untuk menerapkan kode etik dengan benar? Baik Djanggan maupun Santoso menyatakan ada sejumlah langkah yang harus diterapkan para dokter jantung dalam mempertahankan etika dan etos kerja. Hal paling gampang diterapkan adalah usaha pencegahan.
“Yang pasti, tidak ada dokter yang mau mencelakakan pasiennya, kecuali kalau dia ada gangguan jiwa,” kata Santoso tersenyum. “Jadi jangan sampai terjadi kasus etik. Maklum saja, kasus etik kadang-kadang malah berubah menjadi kasus pidana. Jadi beda-beda tipis,” kata Santoso.
Sebab itulah Perki berusaha agar pelanggaran kode etik menjadi zero cases. Aktivitas pencegahan ini akan lebih berhasil jika juga dilaksanakan fungsi pengawasan. “Pencegahan dan pengawasan itu bisa juga dilakukan oleh peer group atau dokter seniornya. Jadi saling mengingatkan,” tutur Santoso.
Tindakan terakhir, jika pelanggaran etika tidak dapat dihindari maka sang dokter akan dipindahkan wilayah pekerjaannya. “Kalau sudah terjadi ada kasus, ya kita diskusikanlah bagaimana kasusnya, kenapa ini terjadi, yang pada intinya kita usahakan jangan sampai terjadi tindak pidana,” kata Santoso.
Selain itu, Djanggan memaparkan sejumlah kegiatan yang dapat mengatasi pelanggaran etika. “Misalnya secara rutin mensosialisasikan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Buku Pedoman Kode Etik Kardiologi,” katanya. Dalam kegiatan sosialisasi tersebut harus ditekankan pada pemahaman, contoh pelaksanaan kode etik kedokteran dalam hal moral dan akhlak.
“Saya juga menyarankan selalu diadakan pertemuan berkala antara Perki, tim kode etik, dengan para dokter spesialis pada tiap pertemuan ilmiah yang diadakan,” kata Djanggan. Sebelum menjatuhkan sanksi, lanjut Djanggan, bagi pelanggar etika dapat diberikan peringatan pertama, peringatan kedua dan peringatan terakhir untuk pembinaan ke depan dan kemungkinan dicabut surat izin prakteknya (SIP).

Etos kerja dokter jantung
Hal tak kalah pentingnya dengan etika adalah soal etos kerja. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kedokteran, menurut Djanggan, adalah sangat penting bagi seorang dokter jantung menjalankan etos kerja yang baik.
Jika etos kerja dijalankan dengan baik, maka perkembangan iptek kedokteran dapat dijalankan dengan optimal. “Perkembangan ini sangat dibutuhkan dalam membuat diagnosis yang cepat dan tepat dan terapi yang rasional. Soalnya, kondisi tersebut punya peranan besar dalam hal tepat guna dan daya guna yang harus diimplementasikan setelah dilakukan verifikasi,” tutur Djanggan.
Menurut Djanggan, iptek harus memberikan penghematan dalam prosedur diagnostik dan terapi yang sangat menguntungkan pasien. “Perlu pertimbangan peran dan fungsi teknologi tepat guna yang ada untuk mendukung pelayanan kesehatan,” katanya.
Sesuai dengan dinamika etika global, maka kemajuan iptek tersebut harus memenuhi standard pelayanan dengan didasari etika moral yang luhur karena dengan kemajuan iptek tersebut. “Soalnya, setiap dokter jantung wajib menjaga etika terhadap pasien, profesi, dan antar sejawat dan pada masyarakat,” kata Djanggan lagi.
Etos kerja yang baik, menurut Djanggan juga diperlukan untuk melakukan pemerataan dalam bidang pelayanan kesehatan jantung. “Harus bisa mempersempit jurang layanan kesehatan jantung baik di pusat maupun di daerah,” tutur Djanggan.
Menurutnya, jurang layangan kesehatan jantung itu setidaknya dapat dipersempit atau bahkan dihilangkan sama sekali dengan mempertimbangkan hal-hal berikut. Pertama, semua stake holder layanan jantung bertindak dalam konteks efektifitas dan efisiensi, serta kredibel. Kedua, penempatan sumber daya manusia terutama spesialis jantung harus segera dilaksanakan dan fasilitas untuk pelayanan jantung di daerah segera harus dilengkapi.
Ketiga, program jejaring (networking) segera harus disusun seefektif dan seefisien mungkin antara pusat dan daerah. Keempat, “Adanya peningkatan kemampuan layanan, jumlah SDM dan daya dukung untuk mengurangi jurang atau perbedaan kualitas layanan pusat dan daerah,” tuturnya.  
Djanggan tak lupa menyinggung masalah gratifikasi yang turut berpengaruh dalam etos kerja dokter jantung. “Untuk mengurangi dan menghindari masalah gratifikasi ada beberapa hal juga yang dapat ditempuh,” katanya. 
Awalnya, adalah perlu membuat standard pelayanan kesehatan menyangkut tarif, jenis layanan, kesejahteraan para spesialis jantung. “Untuk itu perlu diawali dengan standardisasi setiap pelayanan di bidang kardiologi, membuat daftar e-katalog obat-obatan dan alat kesehatan,” katanya. Proses ini dapat dilanjutkan dengan standardisasi tarif untuk setiap pelayanan dilihat dari komponen jasa medik, peralatan, dan obat-obatan. 
Selanjutnya adalah membuat sistem jejaring yang baik dan terkontrol. “Jejaring ini sangat diperlukan untuk melakukan monitoring secara aktif ke daerah-daerah serta pengawasan internal yang efektif,” kata Djanggan. 
Menurut Santoso, setiap dokter tanpa kecuali, harus meningkatkan kemampuan etosnya. “Orang yang tidak meningkatkan hal itu, berarti dia sudah tidak etis dan dia sudah tidak profesional. Apalagi sekarang ini kita juga dihadapkan dengan fenomena MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Kita hanya bisa bersaing kalau profesionalitas ditingkatkan, kalau tidak ya... hanya jadi jago kandang,” katanya lagi. 
[Tim InaHeartnews]