pita deadline

pita deadline

Kamis, 12 Desember 2013

Liputan 25th WECOC: A Quarter Century of Achievement In Cardiovascular Science and Technology

Minggu 10 November 2013, bertempat di ruang Mutiara 1 Hotel Ritz Carlton Kuningan Jakarta, telah diadakan workshop on heart failure dengan tema tantangan klinis pada gagal jantung sebagai bagian dari acara 25th Weekend Course On Cardiology (WECOC). Para pembicaranya yang sudah dikenal handal dibidangnya, yaitu dr Erwinanto SpJP, dr Nani Hersunarti SpJP(K) dan Dr dr Bambang B Siswanto SpJP(K).
Sebagai pembicara pertama, dr Erwinanto SpJP membicarakan pendekatan klinis dalam menangani gagal jantung akut. Gagal jantung masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pada klinis yang menjadi topik adalah gagal jantung akut karena prognosisnya yang  buruk.
Gagal jantung akut didefinisikan onset baru atau rekurensi perburukan gejala dan tanda gagal jantung yang membutuhkan pertolongan segera. Walaupun demikian  belum ada defines universal mengenai kondisi gagal jantung akut. Pasien mungkin akan muncul dengan kondisi yang beragam dari edema pulmoner yang mengancam nyawa atau syok kardiogenik sampai ke kondisi hanya edema perifer.
Kondisi gagal jantung dapat dibagi menjadi tujuh keadaan, acute de novo, gagal jantung akut dekompensata, gagal jantung akut hipertensif, edema pulmoner, syok  kardiogenik, high output failure dan gagal  jantung kanan. 
Tujuan dari pengobatan gagal jantung akut adalah untuk memperbaiki gejala dan menstabilkan kondisi hemodinamik pasien. Terapi tradisional seperti oksigen, diuretik loop, nitrat dan morfin masih tetap dipakai pada terapi awal sampai sekarang. Walaupun vasodilator seperti nitrogliserin mengurangi preload dan afterload serta meningkatkan isi sekuncup, tidak terdapat bukti yang nyata mengurangi dispnea atau memperbaiki hasil keluaran.
Vasodilator mungkin lebih berguna pada pasien dengan hipertensi. Penggunaan inotropik seperti dobutamin seharusnya digunakan pada pasien dengan penurunan berat cardiac output sehingga perfusi organ dapat tercapai. Obat-obat vasopressor dengan kemampuan vasokonstriksi arteri  perifer seperti norepinefrin diberikan pada pasien dengan hipotensi berat.
Pembicara kedua dr. Nani SpJP (K) membicarakan tentang pengobatan volume overload pada resistensi diuretik. Dimana keadaan volume overload merupakan manifestasi tersering dari gagal jantung dekompensasi. Interaksi Antara disfungsi ginjal dan fungsi jantung sangatlah penting dalam mekanisme patofisiologi yang menyebabkan kongesti.
Tujuan pemberian diuretik adalah untuk mencapai keadaan yang euvolumia dengan pemberian dosis yang terendah yang mungkin dapat diberikan. Perkumpulan gagal jantung Amerika merekomendasikan diuretik loop pada dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan diuresis yang cukup hingga mencapai status volum yang optimal.
Sindroma resistensi diuretik tidak terdefinisi dengan baik, dimana diduga jika terjadi edema perifer yang masih nampak walau telah diberikan dosis diuretik loop yang adekuat, terdapat pada 30% pasien dengan gagal jantung tingkat lanjut. Hal ini mungkin diakibatkan oleh karena terjadinya edema intestinal, penurunan sekresi  diuretic serta retensi garam post diuretik.
Adapun beberapa manajemennya adalah, kurangi asupan garam < 2 gram/hari, restriksi cairan 1-1.5 liter/hari, hindari penggunaan NSAID, pemberian diuretic infus kontinu 3  mg/jam sampai 10-20 mg/jam, kombinasi dengan hidroklorotiazid 25 – 100 mg, penggunaan dopamine dosis renal 2.5 mcg/kg/menit, dapat diberikan nitrat jika tekanan darah > 110 mmHg.
Dan pembicara terakhir Dr dr Bambang B Siswanto SpJP(K), membicarakan aritmia pada gagal jantung, dengan aritmia terbanyak adalah fibrilasi atrium (AF), disusul dengan PVC serta non sustained VT. AF  dapat menyebabkan perburukan gagal jantung, juga dapat memicu gagal jantung pada pasien asimptomatik disfungsi ventrikel kiri, dan akan meningkatkan risiko tromboemboli.
AF dalam gagal jantung, kita harus mencari penyebab timbulnya seperti hipertiroid, kelainan elektrolit, hieprtensi yang tidak terkontrol serta penyakit katup mitral. Kita juga harus mencari faktor penyebabnya seperti riwayat pembedahan, PPOK atau asma, iskemia miokard akut ataupun alcohol. Serta kita harus memberikan profilaksis tromboembolisme.
ESC merekomendasikan untuk mengatur denyut jantung pada pasien gagal jantung simptomatik, disfungsi sistolik ventrikel kiri, persisten atau permanen AF dan tanpa bukti dekompensasi akut dapat diberikan beta blocker, sementara alternatifnya dapat diberikan digoksin ataupun amiodaron.
Adapun target denyut jantung berdasarkan studi AF-CHF adalah 80 kali per menit pada saat istirahat dan 110 kali per menit pada saat tes jalan 6 menit. Adapun kontrol ritme ternyata tidak lebih superior dari  kontrol denyut jantung. Kontrol ritme baik pada pasien dengan sebab sekunder yang reversible (hipertiroid) dan penyebab yang nyata seperti pneumonia. Adapun obatnya dalah amiodaron, sementara pasien dengan gagal jantung akut lebih baik dilakukan kardioversi emergensi pada kondisi hemodinamik tidak stabil.
Aritmia ventrikuler sering kali terjadi pada ventrikel kiri yang mengalami dilatasi dan penurunana fraksi ejeksi. Aritmia ventrikuler mungkin akan asimptomtik atau simptomatik (palpitasi, pusing, pre sinkop atau sinkop dan perburukan gagal jantung). PVC frekuen dan non sustained VT dihubungkan dengan kaluaran yang buruk pada gagal jantung.                      
(SL Purwo)

Kardiologi Kuantum (23): Hati Nurani Adalah Suara Kebenaran, Benarkah?


“Through pride we are ever deceiving ourselves. But deep down below the surface of the average conscience a still, small voice says to us, something is out of tune.”
~ C.G. Jung ~

Salam Kardio. Amatlah menarik kalau menjelang akhir tahun 2013 kolom Kardiologi Kuantum membicarakan hati nurani yang sering dianggap sebagai suara hati yang harus diikuti dengan penuh semangat, karena ia adalah sejatinya kebenaran. Rasanya tidak demikian, masih memerlukan pertimbangan fikiran dan perasaan kita. Jung sendiri masih memandang bahwa hati nuranipun bertingkat-tingkat dari permukaan kesadaran manusia sampai yang terdalam yang sering disebut-sebut sebagai pusat arketip.
Hati nurani berasal dari kata bahasa Latin Conscientia yang berarti kesadaran. Conscientia terdiri dari dua kata yaitu CON dan SCIRE. Con berarti bersama-sama dan Scire berarti mengetahui. Jadi Conscientia  berarti mengetahui secara bersama-sama/turut mengetahui. Artinya, bukan saja saya mengenal seseorang tetapi saya juga turut mengetahui bahwa sayalah yang mengenal. Atau, sambil mengenal, saya (subyek) sadar akan diri (obyek) sebagai subyek yang mengenal. Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan dua arti dan makna hati nurani yaitu: 1. Arti luas: Hati nurani berarti kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia; 2. Arti sempit: Hati nurani berarti penerapan kesadaran moral diatas dalam situasi konkret.
Kembali kepada pertanyaan apakah hati nurani itu suara kebenaran? Nah, benar-tidaknya hati nurani itu dapat dibuktikan secara empiris berdasarkan norma obyektif yang ada di masyarakat, hati nurani  menjadi benar atau keliru/tidak cocok ketika berhadapan dengan norma masyarakat. Mestinya secara moralpun dapat dipastikan kepastiannya setelah dicocokkan dengan yang ada di masyarakat, bila masih bimbang dan ragu dapat didiskusikan dengan peer grupnya. Di sini kardiologi kuantum mengikuti apa yang disarankan oleh Alfred Adler agar norma di dalam masyarakat (social feeling) dijadikan sebagai acuan sebab kalau terlalu sering/banyak perbedaannya dapat menjadi gangguan kejiwaan yang dimulai sebagai stres atau neurosis.
Peranannya dengan perbuatan kita berdasarkan perjalanan sang waktu ia dapat berperanan sebelum terjadinya suatu perbuatan untuk menyuruh kearah perbuatan yang baik atau melarangnya untuk perbuatan-perbuatan yang buruk. Pada saat rangkaian perbuatan kita sedang berlangsung ia masih dapat menyuruh atau melarang. Konon sesudah perbuatan kita selesai dilaksanakan pun masih dapat memberikan peranannya untuk memuji jika perbuatan itu baik dan menyesal jika perbuatan itu buruk. Hati nurani dapat berperanan dalam menyadarkan manusia akan eksistensi, nilai-nilai dan harga dirinya.
Hati nurani dalam kehidupan kita sehari-hari dapat dipakai sebagai pegangan, pedoman atau norma yang nyata yang sudah ada di masyarakat ideal. Norma ini telah disampaikan oleh mereka yang berkompeten termasuk apa yang telah disampaikan oleh orang yang secara psikologis dianggap oleh kardiologi kuantum sebagai psikolog yang “berkelas super” yaitu para nabi/utusan Tuhan. Pedoman atau norma tersebut dapat dipakai sebagai acuan apakah tindakan itu baik atau buruk. Mengapa Nabi berkelas super karena pesan-pesan yang disampaikannya diikuti oleh jutaan manusia selama ribuan tahun. Walaupun Sigmun Freud tidak percaya kepada Tuhan dan Alfred Adler tidak dapat merumuskan konsep metafisika ketuhanan di dalam candra jiwanya namun Alfred Adler secara jujur mengakui adanya dampak positif peranan agama di dalam kehidupan masyarakat. Freud menganggap penghormatan seorang manusia kepada agama adalah  mirip dengan penghormatan seorang anak terhadap bapaknya.
Dalam kehidupan sehari-hari ditemukan banyak pengalaman hidup. Ada beberapa hal yang mungkin dapat kita pakai  sebagai pegangan atau panduan hidup. Jika kita merasa bahwa hati nurani sudah benar dan pasti maka perbuatan yang baik dapat dan harus dilakukan dan perbuatan buruk harus dielakkan. Sekiranya keyakinan kita bahwa hati nurani belum jelas benar kepastiannya maka harus dipilih perbuatan yang minimalis/minus-malum yaitu perbuatan yang paling sedikit keburukannya. Jika menyangkut penyakit, bencana alam/peperangan dan kematian maka keselamatan nyawa harus didahulukan.

Mengapa Hati Nurani Dapat Menjadi Jahat?
Hati Nurani adalah candra manusia dan candra dunia karena berkembang dalam pertemuannya dengan dunia luar (tempat bercampurnya kenyataan baik, buruk dan kejahatan) serta dunia dalamnya manusia (sentra-sentra vitalitas) baik yang sadar maupun yang tidak sadar. Hati Nurani disimpan dalam angan-angan manusia dalam arti sempit yang bersifat asadar, tetapi berbeda tempat dengan nafsu-nafsu yang juga bersifat asadar. Hati Nurani dapat dikatakan sebagai lapis dalam dari dunia aku, dan dapat merekam warisan kuno yang disampaikan secara turun temurun sebagai konsep yang disebut filogenetis. Menjadi jelas bahwa ia memiliki sumber kejahatan yang didapat dari pertemuannya dengan dunia nyata di dalam masyarakat. Kardiologi kuantum juga menganggap hati nurani   sejajar dengan konsep Superego (Freud), Rasa Kemasyarakatannya Adler, dan Persona-nya Jung.
Bagian terdalam dari manusia setelah hati nurani adalah suatu alam sejati ialah pusat imateri sebagai pusat kebenaran. Hati nurani secara “pasif” artinya dapat memohon saja tetapi tidak dapat memaksa untuk mendapat informasi yang benar dari Sang Kebenaran itu sendiri. Jelas bahwa Hati nurani bukan Sang Kebenaran, yang paling benar. Ada interaksi psikis antara dunia aku dengan dunia luar, dan karena pengaruh-mempengaruhi ini yang berupa kontak dan pertemuan, maka berkembanglah angan-angan, perasaan dan nafsu-nafsu. Bertumpuk-tumpuklah pengalaman orang dan masyarakat. Orang yang mengalami beribu-ribu kejadian, beribu-ribu suka dan duka, mengumpulkan bahan untuk membentuk suatu konsepsi dan gambaran bagaimana ia harus hidup dan bagaimana ia harus  memandang dunia sekitarnya. Ia membentuk suatu candra manusia dan suatu candra dunia. Candra dunia dan candra manusia ini menjadi pedomannya, polanya, bagaimana ia harus menolong dirinya sebaik-baiknya, apa yang harus ia perbuat untuk menyelamatkan eksistensinya dan keseimbangannya. Candra dunia dan candra manusia ini ialah hati nuraninya.
Ada automatisme di dalam diri manusia, yang terjadi karena penerangan angan-angan oleh hati nurani. Automatisme ini seolah-olah meletakkan kaca di muka angan-angan kita sendiri, perasaan dan keinginan kita sehingga kita dapat melihat sendiri keadaan kita yang rusak. Kaca ini adalah ’kaca ajaib’, sebab kekurangan yang dilihat itu di satu pihak selalu cukup besar untuk menyuruh orang menyadari diri dan mendorong dia berbuat, tetapi di pihak lain tidak cukup besar untuk membuat dia berputus asa atau untuk dirasakan sebagai trauma.
Menjadi sadarnya perbedaan antara gambaran keadaan diri pada suatu ketika dengan gambaran yang dari hati nurani, menimbulkan rasa bersalah yang harus ditebus dengan salah satu cara. Penebusan dosa berupa keharusan untuk mengarahkan diri, menyerahkan diri, mengorbankan diri kepada candra manusia idealnya, yang mempunyai kewibawaan tertentu. Rasa berdosa ini adalah pencurahan rasa tanggung jawab, yang memancar dari hati nurani.
Demikianlah Kardiologi Kuantum berusaha mengupas tentang hati nurani yang statusnya asadar merupakan hasil interaksinya dengan dunia luar, informasi  turun-temurun yang filogenetis, bahkan  kemungkinan adanya intervensi dari Sadar Kolektif Dinamis di dalam pusat imateri berupa suatu intuisi atau ilham. Terima kasih dan Salam Kuantum.

 Hati nurani dalam status asadar terletak diantara 3-sentra vitalitas (IAngan-angan, IIPerasaan, dan IIINafsu-nafsu) dan sentra vitalitas ke-IV adalah IVTripurusa sebagai pusat imateri. TreFoil, TriAspect (Tripurusa), merupakan pusat hidupnya Alam Sejati di dalam diri manusia. Ketiga aspek tersebut adalah TheSource (Suksma Kawekas) sebagai aspek (sadar kolektif) statis; sumber hidup dan asal mula hidup, TheForce (Suksma Sejati) adalah aspek dinamis; yang meng-hidup-i, dan TheSelf yang di-hidup-i. (Purwowiyoto BS. Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia. Penerbit H&B PERKI, Jakarta 2012)

Budhi S Purwowiyoto

New Long-Term Treatment Data Confirms Consistent Benefit and Safety Profile of Pradaxa® Beyond 6 Years

  • Pradaxa® (dabigatran etexilate) is the only novel oral anticoagulant with more than 6 years of long-term data supporting its beneficial role for stroke prevention in atrial fibrillation1
  • The efficacy and safety profiles of both doses of Pradaxa® during up to 6.7 years of extended treatment remain consistent with the pivotal results seen in the registration trial RE-LY®1,2,3
  • Presented during the American Heart Association’s Scientific Sessions, new data add to the body of evidence for Pradaxa®
Ingelheim, Germany, 19 November 2013 – Results from a new combined analysis of the pivotal Phase III RE-LY® trial and its extension study RELY-ABLE® show that, in long-term treatment, the efficacy and safety profiles of both doses of Pradaxa® (dabigatran etexilate, 150mg bid and 110mg bid) remain consistent with the results seen in the 18,000 patient-strong RE-LY® registration trial.1,2,3 The new data were presented during the American Heart Association’s  Scientific Sessions 2013.
“This is important news for physicians and patients who use either dose of dabigatran etexilate to reduce the lifetime risk of stroke associated with atrial fibrillation,” said Prof. Michael D. Ezekowitz, Thomas Jefferson Medical College, Philadelphia, USA. “They can feel reassured that dabigatran etexilate will provide sustained stroke prevention and a favourable long-term safety profile.”
The combined analysis includes all patients from RE-LY® and RELY-ABLE® who were treated with either Pradaxa® 150mg bid or Pradaxa® 110mg bid. Median follow-up lasted an average of 4.6 years, with maximum follow-up extending to 6.7 years in several hundred patients. The new findings show that for Pradaxa®:1
  • The rates of stroke or systemic embolism were 1.25 and 1.54 percent / year on dabigatran 150mg bid and 110mg bid respectively
    • The rates of ischaemic stroke were 1.03 and 1.29 percent / year on dabigatran 150mg bid and 110mg bid respectively
    • The rates of haemorrhagic stroke were 0.11 and 0.13 percent / year on dabigatran 150mg bid and 110mg bid respectively
  • The rates of major haemorrhage were 3.34 and 2.76 percent / year on dabigatran 150mg bid and 110mg bid respectively
  • The safety profile was consistent over time, with no new safety issues identified compared to the original RE-LY® results.






Prof. Dr. Klaus Dugi


“These unique long-term treatment results presented during the AHA Scientific Sessions show consistent safety and efficacy profiles for both doses of Pradaxa® over more than 6 years of clinical follow-up,” said Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Among the novel oral anticoagulants, such long-term data are only available for Pradaxa®. Especially for a chronic condition that requires life-long treatment like stroke prevention in atrial fibrillation, results such as these provide key insights for physicians and patients.”
The favourable efficacy-safety profile of Pradaxa® is supported by safety assessments from regulatory authorities including the European Medicines Agency and the U.S. Food and Drug Administration (FDA).4,5 Clinical experience with Pradaxa® continues to grow and equates to over two million patient-years in all licensed indications to date.6 Pradaxa® is the longest studied novel oral anticoagulant.6
Pradaxa® is currently approved in over 100 countries worldwide for the prevention of stroke and systemic embolism in patients with non-valvular atrial fibrillation and for the primary prevention of venous thromboembolism following total hip replacement or total knee replacement surgery.6,7

(SPONSORED ARTICLE)

References
  1. Ezekowitz M, et al. RE-LY and RELY-ABLE: Long-term Follow-up of Patients With Non-valvular Atrial Fibrillation Receiving Dabigatran Etexilate for Up to 6.7 Years. Oral presentation #10684 on Monday 18 November 2013 at the American Heart Association’s Scientific Sessions, Dallas, Texas, USA.
  2. Connolly SJ, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2009;361:1139-51.
  3. Connolly SJ, et al. Newly identified events in the RE-LY trial. N Engl J Med. 2010;363:1875-6.
  4. FDA Drug Safety Communication: Update on the risk for serious bleeding events with the anticoagulant Pradaxa (dabigatran) – 2 November 2012 http://www.fda.gov/Drugs/drugsafety/ucm326580.htm Last accessed 11 November 2013.
  5. European Medicines Agency Press release - 25 May 2012: EMA/337406/2012. European Medicines Agency updates patient and prescriber information for Pradaxa. http://www.ema.europa.eu/ema/index.jsp?curl=pages/news_and_events/news/2012/05/news_detail_001518.jsp&mid=WC0b01ac058004d5c1 Last accessed 11 November 2013.
  6. Boehringer Ingelheim data on file.
  7. Pradaxa® European Summary of Product Characteristics 2013.

Natrium Klorida vs Natrium Bikarbonat dalam Prevensi Nefropati Terkait Media Kontras

Perubahan akut pada fungsi renal akibat media kontras radiografi biasanya bersifat ringan dan sementara, tetapi dapat menghasilkan disfungsi ginjal yang menetap dan membutuhkan terapi pengganti ginjal.
Nefropati terkait kontras (CIN) merupakan penyebab tersering gagal ginjal onset dini pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dengan risiko tertinggi pada pasien yang sebelumnya dengan gangguan fungsi ginjal.
Hal ini dihubungkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas di rumah sakit serta jangka panjang, peningkatan perkembangan penyakit ginjal kronis dan tingginya biaya perawatan.
Karena tidak ada terapi spesifik untuk CIN dan penyakit ini merupakan iatrogenic, prevensi merupakan  hal terpenting. Patofisiologi CIN tidak  dipahami secara sempurna tetapi mungkin terdapat vasokonstriksi akut yang menghasilkan hipoperfusi ginjal, hipoksia memicu stress oksidatif dan radikal bebas menghasilkan   suasana asam medulla renalis.
Beberapa pendekatan telah diajukan untuk mencegah terjadinya CIN dengan target pada pato mekanismenya. Satu hari pemberian natrium klorida 0.9% secara umum diterima dalam penggunaan klinis praktis dalam mencegah dan dianggap sebagai tolak ukur pencegahan CIN.
Studi terbaru telah mengevaluasi pemberian natrium bikarbonat lebih superior dibandingkan pemberian natrium klorida 0.9%. berdasarkan hipotesis alkalinisasi  tubulus renal dengan bikarbonat mungkin akan mengurangi jejas renal.
Studi oleh Merten et al. memperlihatkan pemberian natrium bikarbonat selama 7 jam, nampaknya lebih superior dari pemberian 7 jam natrium klorida 0.9%. Akan tetapi, pemberian 24 jam natrium klorida 0.9% untuk menunjang suatu dugaan bahwa dengan pemanjangan pemberiannya mungkin merupakan mekanisme yang   efektif, namun hal tersebut belum pernah dilakukan.
Sehingga dilakukanlah studi oleh Klima et al, untuk membandingkan pembe-rian natrium klorida 0.9% selama 24 jam dengan natrium bikarbonat untuk mencegah CIN. Studi ini merupakan studi prospektif, randomisasi yang dilakukan selama Maret 2005 sampai Desember 2009, melibatkan 258 pasien konsekutif dengan insufisienfi renal yang menjalani prosedur kontras intra vaskuler.
Pasien dirandomisasi untuk diberikan   intravena natrium klorida 0.9% 1cc/kg/jam (kelompok A) selama 12 jam sebelum dan sesudah atau natrium bikarbonat (166 mEq/L) 3 cc/kg (kelompok B) selama 1 jam sebelum dan 1 cc/kg/jam selama 6 jam setelah tindakan atau pemberian natirum bikarbonat (166 mEq/L) 3 cc/kg (kelompok C) selama 20 menit   sebelum tindakan ditambahkan natrium bikarbonat tablet (500 mg setiap 10 kg).
Hasil keluaran primer berupa perubahan estimasi nilai filtrasi glomerulus (eGFR) dalam 48 jam setelah tindakan. Sedangkan hasil keluaran sekunder berupa perkembangan CIN. Perubahan maksimum eGFR secara signifikan lebih besar pada kelompok B dibandingkan dengan kelompok A [perbedaan rerata -3.9 (95% CI -6.8 sampai -1) cc/menit/1.73m2; p = 0.009] dan sama diantara kelompok C dan B [perbedaan    rerata 1.3 (95% CI,  -1.7 – 4.3) cc/kg/1.73m2, p = 0.39]. Insidensi CIN secara signifikan lebih rendah pada kelompok A (1%) dibandingkan kelompok B (9%, p = 0.02) dan sama diantara kelompok B dan C (10%, p = 0.9).
(Eur H Journal 2012; 2-9)
SL Purwo

Kateterisasi Jantung: Seuntai Sejarah Panjang (1)

“Khairunnaas anfa’uhum linnaas” 
 (Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain)
(Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
“Where’s the glory in repeating what others have done?” (Rick Riordan)


Perkembangan Kardiologi
Kardiologi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran dan ranting ilmu pengetahuan tentu saja tidak lepas dari sifat ilmu pengetahuan itu sendiri yang dinamis. Kedinamisan ilmu kedokteran tercapai, salah satunya, karena adanya penemuan-penemuan teori, metode, terapi, dan alat-alat. Begitu pun kardiologi, ia sudah sedemikian berkembangnya di era nanotechnology ini. Buah pikiran dari para cerdik cendekia seakan menjadi gaya dorong bagi bahtera kardiologi untuk bertolak dari zaman William Harvey, orang pertama yang menjelaskan sirkulasi darah,1 ke zaman transplantasi jantung sekarang ini. Karya-karya para pakar terwujud dalam bentuk yang beraneka ragam dan penemuan modalitas diagnostik adalah satu di antaranya.

Penemuan Terbesar Ketujuh dalam Kardiologi
Salah satu modalitas diagnostik yang penting dalam kardiologi adalah pemeriksaan kateterisasi jantung. Pemeriksaan ini terutama berguna dalam aspek evaluasi  hemodinamika yaitu untuk mengukur tekanan intrakardiak, saturasi darah dalam ruang-ruang jantung, serta cardiac output.2 Sukar dibayangkan bagaimana kita bisa mengukur ketiganya sekaligus tanpa modalitas ini. Tak heran, menjelang awal dekade ini, kateterisasi jantung dinobatkan dalam sebuah artikel menjadi salah satu dari sepuluh penemuan terbesar dalam   kardiologi pada abad ke-20. Ya, pada tahun 2002, Nirav J. Mehta dan Ijaz A. Khan dari Division of Cardiology, Creighton University School of Medicine menempatkan kateterisasi jantung pada urutan ketujuh di antara jajaran penemuan-penemuan kardiologi yang luar biasa abad kemarin.3

Sejarah Awal
Sejarah kateterisasi jantung, angioplasti, dan intervensi-intervensi kateter lainnya adalah perjalanan spektakuler yang  diwarnai oleh kisah orang yang bertindak jenius tanpa gentar akan risiko sekaligus kisah kemujuran dalam menemukan sesuatu yang tak terduga sebelumnya akan menjadi suatu tiang pancang historis.4 Menemukan sesuatu yang baru lalu mencetak sekaligus merintis kejayaan adalah apa yang telah ditorehkan para founding father kardiologi intervensi. Ini sangat sejalan  dengan kutipan Rick Riordan di atas; mencetak kesuksesan tidak bisa dicapai dengan mengulang apa yang telah diperbuat oleh orang lain.
Waktu yang tidak singkat, sekitar empat ratus tahun, telah dilewati untuk mengubah secara bertahap metode kateterisasi jantung sampai akhirnya menjadi semaju sekarang ini.5 Dengan kata lain, metode ini telah ber-evolusi.5 Salah satu langkah besar yang mengawali evolusi ini adalah terdeskripsikannya sirkulasi darah manusia oleh sang pionir, William Harvey, pada tahun 1628.5 Beliau adalah seorang dokter Inggris.1 Selanjutnya, pada tahun 1706, Raymond de Vieussens, seorang profesor anatomi dari Prancis, untuk pertama kali menggambarkan struktur ruang dan pembuluh darah jantung.1
Setelah pijakan awal yang dirintis oleh Harvey dan de Vieussens, usaha konkret untuk melakukan kateterisasi jantung dilakukan oleh Stephen Hales, seorang pendeta sekaligus ilmuwan Inggris, pada tahun 1711.1,4 Beliau melakukan kateterisasi biventrikular pada kuda.4 Dua puluh dua tahun kemudian, kira-kira seabad setelah deskripsi monumental Harvey, Hales untuk pertama kali mengukur tekanan darah arterial.1,5 Ini menjadi tonggak penting berikutnya dalam sejarah perkembangan kateterisasi jantung.5 Harvey dan Hales telah menjadi tokoh utama pada dua momen penting yang menjadi milestone tidak hanya perkembangan kateterisasi tetapi juga kardiologi.
Langkah konkret Hales diikuti oleh kemunculan tindakan kateterisasi-kateterisasi eksperimental lain pada abad ke-19.4 Claude Bernard, seorang peneliti fisiologi ternama dari Prancis, pada tahun 1844, menggunakan kateter untuk merekam tekanan intrakardiak pada hewan.3 Beliaulah yang menciptakan istilah kateterisasi jantung.3 Pencapaian ilmiah beliau bersama ilmuwan-ilmuwan lain, seperti Carl Ludwig dan Etienne-Jules Marey, menjadi tanda adanya masa keemasan perkembangan fisiologi kardiovaskular pada abad tersebut.5
Kateterisasi jantung manusia semakin berkembang selama abad ke-20.5 Langkah dramatis diambil oleh Werner Forssmann pada tahun 1929.4,5
(Bersambung ke sini)

Referensi: 
  1. History of the heart [Internet]. 2013 [cited 2013 Nov 18]. Available from: http://www.fi.edu/learn/heart/history/firsts.html.
  2. Braunwald E, Gorlin R, McIntosh HD, Ross RS, Rudolph AM, Swan HJ. Cooperative study on cardiac catheterization. Summary. Circulation 1968 May;37(5 Suppl): III93-101. 
  3. Mehta NJ, Khan IA. Cardiology's 10 greatest discoveries of the 20th century. Tex Heart Inst J 2002;29(3):164–71. 
  4. Mueller RL, Sanborn TA. The history of interventional cardiology: cardiac catheterization, angioplasty, and related interventions. Am Heart J 1995 Jan;129(1):146-72. 
  5. Bourassa MG. The history of cardiac catheterization. Can J Cardiol 2005 Oct;21(12):1011-4.

Rabu, 11 Desember 2013

Dari kasus Dewa Ayu: Stop Kriminalisasi Dokter!!!

Ratusan dokter yang tergabung dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi (POGI), Sulut melakukan aksi solidaritas dokter di halaman kantor DPR Provinsi Sulut, kota Manado, Sulawesi Utara, Senin (18/11). Sejumlah dokter mengancam akan melakukan mogok kerja. Puluhan dokter di Gorontalo membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan kepada dr Dewa Ayu. Sejumlah dokter yang tergabung dalam IDI Kudus berdoa saat menuntut pembebasan dr Ayu. Reaksi keras dari para dokter itu adalah bentuk solidaritas profesi terhadap dokter Dewa Ayu yang ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara sejak 8 November lalu atas putusan Mahkamah Agung, nomor 365.K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2012. Selain itu para dokterpun menuntut stop kriminalisasi dokter atas tindakan medisnya.
Atas kejadian itu, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin mengharapkan dokter tidak melakukan mogok kerja karena ditahannya seorang dokter.
"Kami mengharapkan dokter tidak melakukan mogok kerja, karena kerja dokter adalah pelayanan," kata Zaenal di Jakarta, Senin (18/11).
Dia menambahkan, jika dokter melakukan mogok kerja maka masyarakat akan kesulitan mendapat pelayanan kesehatan.
Kasus ini berawal dari tindakan Sectio Caesaria Sito terhadap pasien bernama Julia Fransiska Makatey (25) pada 2010 di Rumah Sakit Prof. Kandou Manado yang dilakukan oleh dr Dewa Ayu Sasiary Prawani SpOG bersama dua rekannya dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian. Ketiga dokter spesialis kandungan tersebut melakukan tindakan itu karena riwayat gawat   janin, setelah sebelumnya pasien dirujuk ke puskesmas. Beberapa hari setelah dilakukan operasi, pasien meninggal dunia akibat masuknya angin ke jantung atau emboli udara. Kasus ini dibawa ke Pengadilan Negeri Manado sebagai  tindakan malpraktek. Disini, ketiganya divonis tidak bersalah. Tapi, di tingkat kasasi, ketiga dokter itu dianggap melakukan kealpaan yang menyebabkan pasien meninggal.
Zaenal berkeyakinan para dokter tersebut tidak bersalah, karena sudah berupaya maksimal menyelamatkan pasien.
"Kami (IDI) menyatakan menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap dokter", ujar Zaenal. "Pada prinsipnya kasus yang terjadi di Manado jadi pertanyaan bagi profesi kita."
IDI akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) pada peristiwa penahanan itu.
"Kasus ini harus dituntaskan, jika tidak, bisa mengganggu dunia kesehatan," jelas dia.
Jika tidak diselesaikan, lanjut dia, maka tidak akan ada lagi dokter yang mau mengerjakan kasus gawat darurat. Bayang-bayang ancaman penjara ini dikhawatirkan akan menyebabkan para dokter waswas ketika melakukan tindakan medis berisiko —padahal sangat diperlukan.
"Kasus gawat darurat itu, potensinya sangat kecil," ujarnya sembari menyatakan IDI fokus dalam urusan hukum.
IDI berjanji untuk berjuang membebaskan dokter Ayu dari tahanan dan dua dokter lainnya dari jerat hukum.
Koordinator Penasihat Hukum pada Tim Penanganan dan Pertimbangan Masalah Hukum Tertentu Kementerian Kesehatan Amir Hamzah Pane mengatakan: "Kalau dalam menjalankan profesinya tidak pantas dipidana, karena tujuannya mulia menyelamatkan nyawa pasien."
Dokter bisa dipidana jika unsur hukumnya terpenuhi misalnya melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau transplantasi ginjal dengan tujuan menjual ginjal tersebut.
"Kalau dalam konteks profesi tidak bisa, kalau pasien meninggal itu risiko medis," jelas Amir.
Amir juga menilai dokter yang melakukan kerja dalam tim tidak bisa dipidana sendirian.
Dia berharap polisi dan jaksa berkonsultasi terlebih dahulu dengan komite medik sebelum memperkarakan tenaga kesehatan.
Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Prof Dr Laila Marzuki SH MH mengatakan penahanan dr Dewa Ayu tidak pantas dilakukan karena tidak ada kelalaian dalam penanganan pasien.
"Tidak pantas ditahan karena tidak ada unsur kelalaian," ujar dia dalam seminar di Kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta, Senin (18/1).
Dia menambahkan, pasien tersebut meninggal karena emboli udara atau masuknya udara ke jantung. "Itu diluar perkiraan dari seorang dokter," jelas dia.
Kasus emboli udara, lanjut dia, sudah terjadi sejak dulu, bahkan ada perempuan yang tewas setelah melakukan hubungan badan akibat masuknya udara ke jantung.
"Kasus seperti itu, sudah lama terjadi. Dan diluar prediksi dokter," kata dia.*