pita deadline

pita deadline

Rabu, 08 Februari 2012

ESMR, Alternatif Terapi untuk Angina Pektoris Refrakter

Dewasa ini, tatalaksana penyakit jantung koroner (PJK) berkembang sangat cepat, mulai dari ditemukannya obat-obat yang terbukti dapat mengurangi gejala PJK dan prognosis pasien hingga perkembangan tindakan intervensi koroner (PCI) maupun bedah pintas arteri koroner (CABG). Akan tetapi, terdapat sebagian populasi pasien dengan PJK yang masih mengalami gejala angina walaupun telah mendapatkan terapi medikamentosa optimal dan revaskularisasi (angina pektoris refrakter). Di Amerika Serikat, pasien dengan angina pektoris refrakter (RAP) ini mencapai 900,000 jiwa dengan 75,000 kasus baru pertahunnya. Belum ada data epidemiologi tentang subset pasien PJK ini di Indonesia.

Beberapa obat dan metode terus dikembangkan untuk mengatasi masalah ini, beberapa di antaranya adalah teknik stimulasi saraf transkutan (TENS), terapi pulsasi eksternal (EECP), stimulasi medula spinalis (SCS), revaskularisasi laser transmiokard perkutan (PTLMR) dan extracorporeal shockwave myocardial revascularization (ESMR). ESMR merupakan salah satu teknik yang saat ini mulai banyak diteliti dan diterapkan, termasuk di Indonesia. Metode ini menggunakan gelombang akustik khusus yang diarahkan ke daerah-daerah tertentu miokard. ESMR memiliki prinsip kerja yang sama seperti ESWL di bidang urologi yang telah lebih dahulu populer, akan tetapi dengan intensitas akustik yang jauh lebih kecil (1/10 ESWL). Perlu diperhatikan bahwa teknik ini bukan ditujukan untuk menghancurkan plak aterosklerosis sehingga aliran darah pada pembuluh darah koroner yang tersumbat menjadi lebih lancar, akan tetapi untuk merangsang pembentukan kolateral pembuluh darah.

Nishida dkk (2004) melaporkan bahwa terapi shockwave in vivo merangsang upregulation dari vascular endothelial growth factor (VEGF) dan reseptornya yang sangat esensial dalam angiogenesis. Penelitian lain oleh Fukumoto dkk (2006) menunjukkan bahwa terapi ini juga dapat meningkatkan produksi NO endogen sehingga dapat memperbaiki kapasitas fungsional dan mengurangi penggunaan nitrat. Manfaat lain ESMR, yaitu supresi remodeling ventrikel kiri paska infark miokard akut oleh ESMR telah diteliti oleh Uwatoku dkk (2007), dengan hasil yang baik. Beberapa studi lain pada manusia juga telah melaporkan manfaat teknik ini dari segi perbaikan gejala (kelas CCS), peningkatan kapasitas fungsional, berkurangnya penggunaan nitrat, serta peningkatan perfusi miokard dan fungsi ventrikel kiri. Sayang sekali studi-studi tersebut umumnya dilakukan dengan jumlah sampel yang kecil dan dengan metodologi yang berbeda sehingga harus sangat berhati-hati dalam menerapkannya dalam praktik sehari-hari. Sampai saat ini, beberapa institusi besar seperti ESC, ACC atau AHA belum merekomendasikan ESMR sebagai salah satu terapi untuk angina pektoris mengingat terbatasnya evidence yang ada.

Secara umum, ESMR dapat diaplikasikan pada pasien PJK yang telah mendapatkan terapi medikamentosa optimal dan intervensi koroner standar (PCI atau CABG), akan tetapi masih mengalami gejala angina atau pada kasus-kasus di mana terapi standar tidak dapat dilakukan karena terdapat kontraindikasi, terdapat penyakit komorbid, secara teknis sulit dilakukan, faktor ekonomi atau faktor psikologis pasien. ESMR relatif aman, hingga saat ini belum ada laporan mengenai efek samping metode ini. Saat ini, di Indonesia, termasuk di Rumah Sakit jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita tengah berlangsung studi mengenai ESMR pada pasien PJK, diharapkan hasil studi ini dapat memberikan informasi lebih lanjut efikasi teknik ini, termasuk subset pasien PJK mana yang akan mendapatkan manfaat dari terapi ini.

Estu

Referensi:

1. Nishida T, Shimokawa H, Oi K et al. Extracorporeal cardiacshock wave therapy markedly ameliorates schemia-inducedmyocardial dysfunction in pigs in vivo. Circulation, 2004; 110:3055–3061.

2. Fukumoto Y, Ito A, Uwatoku T et al. Extracorporeal cardiacshock wave therapy ameliorates myocardial schemia in patientswith severe coronary artery disease. Coron Artery Dis, 2006;17: 63–70.

3. Uwatoku T, Ito K, Abe K et al. Extracorporeal cardiac shockwave therapy improves left ventricular remodeling after acutemyocardial infarction in pigs. Coron Artery Dis, 2007; 18:397–404.

4. Manchanda A, Aggarwal A, Aggarwal N et al. Management of refractory angina pectoris. Cardiol Journal, 2011; 18: 343-51.

Akhirnya, Guidelines Seputar Aktivitas Sex bagi Pasien dengan Penyakit Jantung.

Pertanyaan seputar seks sering diajukan pasien dengan penyakit jantung koroner yang kita temui di poliklinik rawat jalan. Ada yang malu-malu mengungkapkannya, ada yang tidak sungkan-sungkan bertanya. Kita pun sebagai dokter menanggapi pertanyaan seputar seks dengan beragam reaksi dan jawaban. Baru-baru ini jurnal Circulation mempublikasikan scientific statement American Heart Association (AHA) berjudul Sexual Activity and Cardiovascular Disease, yang telah mendapat persetujuan beberapa asosiasi lintas profesi seperti American Urology Association, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society of Thoracic Surgeons, American Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation, Internal Society of Sexual Medicine, American College of Cardiology Foundation, Heart Rhythm Society, and Heart Failure Society of America.

Keberadaan scientific statement ini tentu memberikan kita kesamaan persepsi di atas dasar data yang kuat, dalam memberikan jawaban-jawaban pertanyaan pasien dan pasangannya, seputar aktivitas seksual yang aman bagi pasien dengan penyakit jantung. Artikel tersebut diawali pendahuluan tentang pentingnya aktivitas seksual sebagai komponen parameter kualitas hidup pasien dengan penyakit jantung dan pasangannya, sehingga dokter tidak perlu merasa sungkan membicarakan aspek tersebut dengan pasien dan pasangannya.

Berikut beberapa poin rekomendasi aktivitas seks bagi pasien dengan penyakit jantung kami rangkum sebagai berikut:

1. Pasien yang ingin memulai aktivitas seks perlu dievaluasi secara klinis

2. Aktivitas seks diizinkan pada pasien yang berisiko rendah mengalami komplikasi kardiovaskular.

3. Exercise testing diperlukan pada pasien yang tidak termasuk risiko rendah, atau yang belum diketahui risikonya.

4. Aktivitas seks diizinkan pada pasien yang dalam exercise stress test mampu mencapai lebih dari sama dengan 3 hingga 5 METS tanpa keluhan, hipotensi, sianosis, aritmia atau perubahan segmen ST pada EKG.

5. Rehabilitasi jantung dan olahraga rutin dapat menurunkan risiko komplikasi akibat aktivitas seks.

6. Pasien gagal jantung kelas NYHA I dan II diizinkan beraktivitas seks.

7. Pasien yang tidak stabil (aritmia), dekompensasi (kelas NYHA III & IV) dan gangguan katup yang simtomatik atau mengalami angina yang dipicu aktivitas seks, perlu menghindari aktivitas seks hingga kondisinya stabil dan telah ditatalaksana secara optimal.

8. Aktivitas seks diizinkan pada pasien 1 minggu pasca infark miokard tanpa komplikasi dan tanpa keluhan dengan aktivitas ringan dan sedang.

9. Pasca PCI aktivitas seks diizinkan beberapa hari pasca PCI dengan catatan tidak ada komplikasi di lokasi akses vaskular.

10. Pasca operasi jantung terbuka aktivitas seks diizinkan setelah 6 hingga 8 minggu dengan catatan luka sternotomi sudah sembuh.

11. Pasien dengan katup prostetik yang berfungsi normal, pasca repair katup atau intervensi katup transkateter, aktivitas seks diperbolehkan.

12. Pada pasien dengan atrial fibrilasi atau atrial flutter normorespon, serta memiliki riwayat SVT yang terkontrol, aktivitas seks diperbolehkan.

13. Pada pasien dengan pacemaker dan ICD yang dipasang untuk primary prevention, aktivitas seks diperbolehkan.

14. Pada pasien yang dipasang ICD untuk secondary prevention perlu dibuktikan tidak mengalami VT/VF dengan aktivitas >3-5 METS.

15. Pasien dengan penyakit jantung kongenital, hipertrofi kardiomiopati (HCM) yang stabil dan asimtomatik tidak dilarang untuk melakukan aktivitas seksual.

Setelah melihat beberapa poin rekomendasi terkait kondisi pasien dengan penyakit kardiovaskular, selanjutnya pasien sering mengeluh tentang pengaruh obat yang diminumnya terhadap fungsi seks mereka. Bagaimana dengan obat-obatan standar penyakit kardiovaskular yang kita berikan dan kaitannya dengan fungsi seks? Kadang kita menghentikan obat golongan statin atau betabloker akibat keluhan pasien terkait fungsi seksnya, rekomendasi terbaru menekankan bahwa obat yang terbukti (evidence based) mengurangi keluhan dan gejala dan memperpanjang kesintasan (survival) tidak boleh dihentikan hanya karena kekhawatiran bahwa obat tersebut berpotensi menurunkan fungsi seks. Untuk keluhan terkait obat ini, perlu ditelusuri apakah disfungsi seksual pasien tersebut lebih disebabkan oleh penyakit vaskular atau jantung yang belum teratas, efek nocebo (pasien diberitahu obat tersebut dapat menyebabkan disfungsi seks), atau kecemasan dan depresi.

Pertanyaan yang juga pernah diajukan pasien kita adalah, apakah mereka boleh menggunakan obat disfungsi seks? Soal obat disfungsi seks dari golongan herbal, para ahli menjadikan kekurangan bukti ilmiah akan efek dan kandungan obat herbal, sebagai dasar untuk tidak merekomendasikan konsumsi obat jenis tersebut bagi pasien dengan penyakit kardiovaskular. Sementara itu, penggunaan penghambat PDE5 terbukti aman pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, namun data dari pasien dengan stenosis aorta dan HCM belum ada, dengan catatan tidak boleh diberikan nitrat dalam 24 jam pasca sildenafil atau vardenafil, dan tidak memberikan penghambat PDE5 pada pasien yang mendapat nitrat.

Pasien perempuan dengan penyakit jantung yang sedang menopause atau post-menopause diizinkan untuk menggunakan estrogen non-sistemik yaitu lokal atau topikal. Rekomendasi terakhir adalah tentang perlunya konseling ulang untuk setiap pasien dan pasangannya sebelum memulai kembali aktivitas seks pasca kejadian jantung akut, diagnosis baru penyakit kardiovaskular dan pemasangan ICD.

(Circulation 2012; doi:10.1161/CIR.0b013e3182447787)

Sony HW

Risiko infark miokard pasca kematian orang yang berarti dalam kehidupan seorang pasien

Kematian seseorang yang berarti bagi seorang manusia umumnya akan mengakibatkan stress psikologis yang akut. Walau seiring berjalannya waktu mereka akan beradaptasi, namun terdapat peningkatan risiko mortalitas yang tiba-tiba tinggi pada hari dan minggu – minggu pertama pasca kehilangan. Namun hubungan sebab akibat antara kedua hal ini belum pernah diteliti dengan sistematis. Sebuah jurnal AHA terbaru diluncurkan 9 Januari 2012 lalu. Yang menarik dari jurnal ini adalah karena jurnal ini meneliti mengenai peningkatan risiko infark miokard pada pasien dalam beberapa hari setelah kematian seseorang yang berarti dalam kehidupannya.

Penelitian menggunakan metode case-crossover, varian dari kasus-kontrol. Studi ini sering dipakai jika ingin meneliti hubungan antara sebuah pajanan yang transien (dalam hal ini kematian seseorang yang disayangi) yang bersifat perubahan drastis yang mempengaruhi kejadian akut. (dalam hal ini infark miokard non-fatal). Penelitian ini membandingkan laporan subyek yang kehilangan seseorang yang disayangi beberapa hari sebelum onset MI sebagai kasus, dan laporan subyek yang sama periode 1 – 6 bulan sebelum onset MI sebagai kontrol. Metode self-matching ini mengeliminasi berbagai confounding sebab kasus dan kontrol adalah subyek yang sama dalam faktor risiko, aktivitas fisik dan obat-obatan yang dikonsumsi. Periode kontrol dipilih waktu 1 – 6 bulan (31 – 180 hari sebelum onset MI) dimaksudkan untuk mengurangi recall bias, karena pada periode ini subyek dianggap masih dapat mengingat dan melaporkan dengan jelas jika ia mengalami kehilangan seseorang yang disayangi.

Dari 1985 peserta, 270 orang melaporkan kematian seseorang yang disayangi dalam 6 bulan sebelum onset MI. Dari 270 orang tersebut, 19 orang mengalami MI dalam kurun waktu 24 jam setelah kehilangan, 7 orang dalam 24-48 jam, 5 orang dalam 48 – 72 jam, 21 orang dalam 4-7 hari setelah kehilangan. Dari 19 orang yang mengalami MI dalam 24 jam, dikatakan orang yang kehilangan tersebut bersifat moderately dan extremely meaningful.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa incidence rate ratio (IRR) terjadi MI didapatkan paling tinggi pada kurun waktu 24 jam setelah kehilangan yaitu 21.1 (95% CI 13.1 – 34.1). IRR menurun secara progresif seiring bertambahnya hari setelah kehilangan orang yang disayangi, menjadi 5.8 pada hari ke-7 (95% CI 3.7 – 9.2), tapi peningkatan yang signifikan tetap ada selama kurang lebih satu bulan setelah kematian orang yang disayangi.

Secara berurutan pada kelompok MI 5%, 10%, dan 20% 10 year MI risk, didapatkan number needed to harm adalah 1 per 1394, 678, dan 320 secara berurutan (risiko berdasarkan Framingham Risk Score).

Studi ini juga menunjukkan bahwa pria lebih rapuh untuk terjadi penurunan kualitas kesehatan daripada wanita terkait kehilangan orang yang disayangi. Begitu pula kaum muda ternyata lebih rapuh daripada kaum yang lebih tua. Risiko juga dilaporkan meningkat pada mereka yang merasakan amarah, anxietas, atau depresi sekitar 2 jam sebelum onset (semua p < 0.001)



Hubungan antara kematian orang yang berarti sebagai faktor pemicu ini dengan onset akut MI secara patofisiologi dapat dijelaskan melalui jalur peningkatan afek negatif, seperti depresi, anxietas, dan amarah. Selain itu, stress emosional juga dapat menyebabkan stress fisik melalui berkurangnya waktu tidur, berkurangnya nafsu makan, penurunan kadar kolesterol dan LDL, serta kadar kortisol yang meningkat. Kortisol meningkatkan aktivitas simpatis, sehingga terjadi perubahan–perubahan hemodinamik akut seperti peningkatan resistensi vaskular, yang dapat menyebabkan iskemia miokard transien dan/atau disrupsi plak aterosklerosis.

Karena hasil penelitian menunjukkan bahwa asosiasi terkuat antara kehilangan dan onset MI adalah dalam hitungan hari setelah kehilangan, dapat disimpulkan bahwa onset MI bukanlah diakibatkan konsumsi obat kardiovaskular yang terlewat. Tidak juga ada yang melaporkan lupa untuk mengonsumsi beta-blocker yang dapat menyebabkan rebound dari hipertensi.

Stress emosional atau fisik dapat menyebabkan gejala – gejala yang mirip dengan infark miokard akut, seperti nyeri dada, elevasi segmen ST, dan peningkatan CK dan troponin. Sindrom yang bernama stress cardiomyopathy atau Takotsubo cardiomyopathy atau broken heart syndrome ini menyebabkan disfungsi ventrikel kiri yang berat namun bersifat transien dan akan pulih dalam beberapa hari sampai minggu. Tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa kasus infark miokard dalam penelitian ini mungkin sebenarnya adalah Takotsubo cardiomyopathy.

Studi ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, karena hanya 19 dari 270 orang yang melaporkan onset MI terjadi 24 jam setelah kehilangan orang yang disayangi, maka tidak dapat dievaluasi apakah hubungan tertentu antara yang meninggal dan yang ditinggalkan dapat menyebabkan variasi dalam hasil penelitian. Kedua, dapat terjadi overestimasi dari IRR karena subyek yang mengalami pajanan dalam periode kasus akan bercerita lebih detil dan mengeluarkan emosinya lebih daripada pajanan yang terjadi pada periode kontrol. Ketiga, beberapa subyek mungkin saja salah melaporkan detil waktu terjadinya kehilangan, namun kehilangan seseorang yang disayangi adalah sebuah kejadian yang jarang terlupakan, sehingga kemungkinan besar detil waktu yang dilaporkan memang benar adanya. Keempat, karena studi case-crossover menggunakan subyek sebagai kontrol-nya sendiri, maka perancu faktor risiko yang bersifat kronik dapat disingkirkan, namun kita tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya pemicu lain yang terjadi bersamaan dengan kematian seseorang yang disayangi.

(Mostofsky E, et al. http://circ.ahajournals.org/content/early/2012/01/09/CIRCULATIONAHA.111.061770)

Dwita RD