pita deadline

pita deadline

Senin, 04 Juni 2012


Bedah Pintas Koroner On-pump vs Off-pump pada Pasien Usia Lanjut

“Baik konvensional CABG maupun OPCAB merupakan prosedur yang aman dilakukan pada pasien usia lanjut”

Konvensional bedah pintas koroner (CABG) dilakukan dengan bypass kardiopulmoner merupakan pengobatan yang diakui untuk penyakit jantung iskemik.
Off-pump CABG (OPCAB) telah menjadi pertimbangan untuk mengurangi jumlah komplikasi perioperatif terutama pasien usia lanjut.
Oleh karena itu dilakukanlah studi DOORS (the Danish On-Pump Versus Off-Pump Randomization Study), multisenter, terrandomisasi, yang menggunakan 900 pasien usia > 70 tahun yang dilakukan konvensional CABG atau OPCAB.
Setelah 30 hari post operasi dilakukanlah evaluasi  kematian, stroke, infark miokard. Berdasarkan nilai acuan dan 6 bulan post operasi, penilaian kualitas hidup pasien dinilai dengan kuesioner EuroQol-5D. Selama follow-up 6 bulan mortalitas dicatat dalam data registri nasional Denmark.
Proporsi pasien yang mengalami kombinasi kejadian akhir dalam 30 hari berkisar 10.2% pada kelompok CABG dan 10.7% pada kelompok OPCAB.
Perbedaan risiko berkisar 0.4% (95% CI -3.6 sampai 4.4) memperlihatkan tidak signifikannya tes standar untuk ekualitas (p = 0.83) dan noninferioritas dengan batas inferioritas 0.5% (p = 0.49).
Selama 6 bulan follow-up, mortalitas berkisar 4.7% dibandingkan 4.2% (p = 0.75). Kedua kelompok memperlihatkan perbaikan klinis yang signifikan pada kualitas hidup pribadi.
Kedua tindakan bedah pintas koroner merupakan prosedur yang aman dimana dapat memperbaiki kualitas hidup pribadi jika dilakukan pada pasien usia lanjut. Tidak terdapat perbedaan hasil keluaran yang didapatkan dari kedua tindakan. (Circulation 2012; 125: 2431-9)
SL Purwo

Minuman soda berhubungan dengan peningkatkan risiko PJK

MINUMAN soda ternyata berhubungan erat dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner (PJK) serta membuat perubahan yang signifikan pada terhadap lipid, faktor-faktor inflamasi, dan leptin, seperti yang dilaporkan oleh Dr. Lawrence de Koning (Children’s Hospital Boston, MA) menurut hasil Health Professionals Follow-up Study dalam Circulation, 12 Maret 2012.
Studi kohort prospektif ini menganalisa hubungan antara konsumsi minuman berpemanis gula asli (seperti minuman soda) dan minuman berpemanis buatan (diet soda) dengan insiden Penyakit Jantung Koroner (PJK) fatal dan nonfatal pada 42.883 pria.
Dimulai tahun 1986 dan setiap empat tahun sampai Desember 2008, peserta diminta menjawab kuesioner seputar konsumsi harian baik minuman berpemanis gula asli (seperti: caffeinated cola, caffeinated-free cola, carbonated, dan non-carbonated seperti fruit punch¸ lemonade¸ dan lain-lain) maupun minuman berpemanis buatan (seperti: caffeinated low-calorie, non-carbonated low calorie). Sampel darah diambil saat pertengahan penelitian.
Baik kategori minuman berpemanis gula asli maupun buatan, para partisipan dibagi menjadi empat kuartil menurut jumlah konsumsi minuman berdasarkan waktu tertentu. Kuartil satu: tidak mengonsumsi sama sekali, kuartil dua: 2/bulan, kuartil tiga: 2/minggu, kuartil 4: 4.5/minggu – 7.5/hari.
Didapatkan 3683 kasus PJK selama 22 tahun masa follow-up. Untuk kategori minuman berpemanis gula (soda), mereka yang berada kuartil teratas memiliki risiko relatif PJK 20 % lebih tinggi dibanding kuartil bawah (RR 1.20 dengan p < 0,001) setelah penyesuaian untuk usia, merokok, aktivitas fisik, alkohol, konsumsi multivitamin, riwayat keluarga, kualitas makanan, asupan energi, indeks massa tubuh, perubahan berat badan sebelum masuk penelitian, dan diet. Sementara itu, hubungan antara konsumsi minuman pemanis buatan (seperti diet soda) dengan PJK ternyata tidak bermakna secara statistik (RR multivariat 1.02, p = 0,28).
Penyesuaian terhadap kolesterol tinggi, trigliserida tinggi, hipertensi, dan DM tipe 2 hanya melemahkan sedikit asosiasi ini, yang menunjukkan bahwa soda memang memiliki dampak risiko yang cukup besar terhadap PJK.
Penelitian ini juga menunjukkan soda (tapi tidak diet soda) berhubungan erat dengan peningkatan trigliserida, C-Reactive Protein (CRP), Interleukin-6 (IL-6), dan TNF-receptor 1 dan 2, serta penurunan HDL, lipoprotein (a), dan leptin (p < 0.02).
Untuk setiap penambahan konsumsi satu minuman berpemanis gula asli per hari, risiko PJK meningkat 19 – 25 % (p < 0.02), tetapi temuan serupa tidak didapatkan pada penambahan konsumsi minuman pemanis buatan.
Menurut penelitian ini, inflamasi merupakan faktor kunci dalam patogenesis penyakit kardiovaskular dan penyakit kardiometabolik dan mungkin merepresentasikan jalur tambahan di mana minuman manis memberikan pengaruh untuk risiko penyakit jantung koroner. Asupan minuman soda dapat menstimulasi respon inflamasi melalui hiperglikemia, sehingga mengaktivasi rangkaian transpor elektron untuk memproduksi radikal bebas.
Para peneliti tidak menemukan asosiasi peningkatan risiko PJK dengan minuman berpemanis buatan, walaupun pada studi sebelumnya dikatakan berhubungan   dengan peningkatan berat badan dan  penyakit metabolik. Menurut Dr. Frank B Hu (Harvard School of Public Health, Boston, MA), “Problem diet soda adalah rasa manisnya yang memiliki intensitas sangat tinggi, sehingga sangat bergantung pada selera masing-masing individu. Masih menjadi pertanyaan apakah diet soda dapat menjadi alternatif yang baik untuk soda. Untuk itu, kita butuh data lebih banyak. “
Hu juga menambahkan, minuman terbaik adalah air mineral, atau kopi atau teh. Jus buah bukanlah alternatif yang baik karena kandungan gulanya sangat besar, tapi masih lebih baik daripada sekaleng soda.
Sebagai kesimpulannya, edukasi ke pasien untuk mengurangi atau bahkan menghentikan konsumsi soda sangatlah penting, mengingat gaya hidup ini jauh lebih mudah dimodifikasi daripada edukasi untuk berhenti merokok atau menambah intensitas berolahraga. (de Koning L, Malik VS, Kellogg MD, Rimm EB, Willett WC, Hu FB. Sweetened beverage consumption, incident coronary heart disease, and biomarkers risk in men. Circulation. 2012;125:1735-1741)
Dwita Rian Desandri

Rivaroxaban Memperkecil Resiko Terjadinya Kejadian Kardiovaskular pada Pasien Sindroma Koroner Akut

RIVAROXABAN, suatu penghambat faktor Xa, terbukti mengurangi kejadian kardiovaskular (kematian kardiovaskular, stroke, atau serangan jantung) pada pasien sindroma koroner akut dibandingkan dengan tatalaksana standar. Penlitian ini dipresentasikan pada uji klinis Sunday’s Late Breaking.
Penelitian Anti Xa Therapy Rivaroxaban To Lower Cardiovascular Events in Addition to Standart Therapy in Subject with Acute Coronary Syndrome-Thrombolysis in Myocardial Infarction 51 (ATLAS ACS 2-TIMI 51) menunjukkan adanya penurunan semua penyebab mortalitas lebih dari 30% dan trombosis Stent sebanyak 31% pada pasien dengan Rivaroxaban.
ATLAS ACS 2-TIMI 51 merupakan suatu penelitian tahap 3 dengan randomisasi, tersamar ganda, placebo-controlled, event-driven yang mengikutsertakan 15.526 pasien sindroma koroner akut rawat inap. Semua pasien diterapi dengan aspirin dosis rendah dan distratifikasi dengan petunjuk dokter berdasarkan penggunaan thienopyridin (Clopidogrel atau Ticlodipin; Stratum 2) atau tidak (Stratum 1). Pasien dirandomisasi dengan rasio 1:1 untuk menerima Rivaroxaban 2,5 mg 2 kali sehari (5.174 pasien), rivaroxaban 5 mg 2 kali sehari (5.176 pasien) atau plasebo 2 kali sehari.
Sasaran efektivitas primer adalah gabungan dari kematian kardiovaskular, infark miokard atau stroke. Pendarahan mayor merupakan sasaran keamanan primer dari penelitian.
Analisis awal dilaksanakan pada pasien-pasien yang menerima Rivaroxaban dengan kedua dosis. Pada akhir tahun ke 2, pasien dengan Rivaroxaban mengalami penurunan resiko kematian kardiovaskular, stroke, dan serangan jantung sebanyak 16% dibandingkan dengan pasien yang menerima tatalaksana standar (Hazard ratio: 0,84 ; 95% interval kepercayaan: 0,74-0,96)
Pada sasaran primer didapati 8,9%  pasien dengan Rivaroxaban dan 10% pasien dengan tatalaksana standar mengalami kematian kardiovaskular, stroke, serangan jantung.
Ketika dianalisa berdasarkan dosis, pasien yang menerima rivaroxaban 5 mg 2 kali sehari mengalami penurunan 15% resiko kematian kardiovaskular, stroke, dan serangan jantung dibandingkan tatalak-sana standar, tetapi risiko kematian kardiovaskular sama pada kedua kelompok.
Rivaroxaban 2,5mg 2 kali sehari terbukti bermanfaat pada semua sasaran termasuk kematian kardiovaskular dan kematian dengan segala penyebab. Data-data ini juga menunjukkan hasil yang signifikan ketika dianalisa pada pasien yang menerima aspirin dan thienopyridine yang menjadi 93% populasi pasien.
Untuk ukuran keamanan primer, Rivaroxaban meningkatkan insiden perdarahan mayor secara signifikan. Insiden perdarahan selama 2 tahun adalah 2,4% untuk Rivaroxaban 5 mg 2 kali sehari, 1,8% untuk Rivaroxaban 2,5 mg 2 kali sehari, dan 0,6% untuk pasien dengan plasebo (p<0,001 dibandingkan dengan tatalaksana standar). Walaupun resiko perdarahan lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan Rivaroxaban, insiden perdarahan fatal sama antara pasien dengan Rivaroxaban dengan  terapi standar.
Michael Gibson, MD, MS, peneliti senior dari TIMI Study Group dan kepala peneliti ATLAS ACS STUDY mengatakan “Rivaroxaban sebagai tambahan terhadap terapi  antiplatelet merupakan strategi efektif untuk mengurangi kejadian kardiovaskular pada pasien sindroma koroner akut.”
Walaupun resiko perdarahan mayor dan perdarahan intrakranial lebih tinggi pada pasien yang menerima Rivaroxaban jangka panjang, Gibson mengatakan bahwa tidak ada resiko perdarahan intrakranial fatal atau perdarahan fatal yang berlebihan. Apakah Rivaroxaban sebaiknya diberikan kepada pasien lebih dari 2 tahun masih merupakan diskusi terbuka. Efektifitas Rivaroxaban dengan latar belakang terapi antiplatelet menimbulkan pertanyaan apakah pantas untuk mengurangi terapi lain sementara terapi baru dimulai.
Hasil-hasil ini dipublikasikan secara berkesinambungan pada The New England Journal of Medicine edisi Nov.13.

Administrasi abciximab
Pada presentasi terkini abciximab bolus yang diberikan intrakoroner terbukti mempunyai efektivitas yang sama dengan pemberian intravena selama intervensi koroner perkutan (Percutaneous Coronary Intervention /PCI) setelah ST Elevation myocardial infarction (STEMI). Akan tetapi, pemberian intrakoroner mempunyai hubungan yang erat dengan menurunnya kejadian gagal  jantung di masa mendatang. Kata Holder Thiele, MD, Kepala Penelitian Abciximab Intracoronary versus Intravenously Drug Application in ST/Elevation myocardial infarction (AIDA STEMI) dan wakil direktur departemen Penyakit Dalam dan Kardiologi University of Leipzig. Abciximab menghambat agregrasi platelet dan merupakan penghambat reseptor IIb/IIIa yang ditemukan pada platelet.
AIDA STEMI merandomisasi 2.065 pasien untuk menerima Abciximab baik secara  intrakoroner (1.032 pasien) atau intravena (1.033 pasien). AIDA STEMI merupakan penelitian dengan randomisasi pertama yang mempunyai kekuatan yang cukup untuk meneliti sasaran klinis dari morbiditas dan mortalitas kardio dari pasien STEMI yang menjalani PCI. Sasaran utama dari penelitian AIDA STEMI Jerman merupakan suatu sasaran gabungan dari kematian dengan segala sebab, infark berulang atau gagal jantung kongestif baru dalam 90 hari setelah mendapatkan obat.
Thiele menunjukkan adanya 7% kematian dalam 90 hari, menderita serangan    jantung berulang atau gagal jantung baru dari pasien yang menerima abciximab intrakoroner dan 7,6% dari pasien yang menerima abciximab secara intravena. Perbedaan ini tidak signifikan karena penelitian ini mempunyai kekuatan untuk menunjukan 4% pengurangan absolut pada penggunaan abciximab intrakoroner.
Pada sasaran primer gabungan tidak ditemukan adanya kematian atau infark berulang pada pasien yang menerima abciximab. Akan tetapi, insiden gagal jantung lebih rendah secara signifikan ditemukan pada pasien yang menerima abciximab intrakoroner (2,4% vs 4,1% untuk pemberian intravena, p=0,04). Akan tetapi penelitian tidak bisa dikonfirmasi dengan melihat pada ukuran infark pada saat resolusi segmen ST.
AIDA STEMI dilaksanakan karena laporan sebelumnya mengatakan abciximab intrakoroner menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi pada daerah terapi, menjaga jaringan dan fungsi jantung, akan tetapi, pada populasi yang besar ini, efektifitas Abciximab s intrakoroner dan intravena mempunyai efektivitas yang sama. Masih perlu dicari tahu apakah penyebab perbedaan hasil disebabkan oleh pasien risiko rendah, distribusi cepat abciximab intravena atau administrasi antiplatelet ganda.  Selain itu, apakah abciximab intrakoroner tidak dapat diberikan pada pasien dengan infark luas dan thrombus masih harus ditentukan. Panduan PCI 2011 mengindikasikan pemberian Abciximab intrakoroner pada pasien yang menjalani PCI primer.


Heparin pada pasien Non-STEMI 
Adnan Kastrati, MD, Kepala peneliti dan direktur dari ISAR Research Center at Deutsches Herzzentrun di German Heart Center, Munich, menyatakan dua obat antikoagulasi-heparin dan bivalirudin mempunyai efektifitas yang sama mencegah kematian atau kejadian kardiovaskuler lanjutan.
Pada penelitian Intracoronary Stenting dan Anti-Thrombotic Regiment: Rapid Early Action For Coronary Treatment (ISAR-REACT 4), 1.721 pasien Non-STEMI menerima terapi PCI (biasanya Baloon Angioplasty), dirandomisasi untuk menerima abciximab dan heparin (861 pasien) atau bivalirudin (861 pasien).
Pada penelitian tersamar ganda, sasaran primer gabungan dari kematian segala penyebab, infark miokard berulang, revaskularisasi target segera atau perdarahan mayor mencapai 10,9% pada pasien yang menerima abciximab dan heparin dan 11% yang menerima bivalirudin.
Kurva insiden kumulatif pasien yang menerima abciximab atau bivalirudin hampir sama. Data ini tidak signifikan karena penelitian ini didisain untuk menunjukan 30% penurunan angka kejadian pasien yang menerima abciximab dan heparin. Tidak  ada manfaat dari pasien yang menerima abciximab. Hal ini tampak pada beberapa analisis sub grup meliputi umur, jenis kelamin, indeks masa tubuh atau fungsi ginjal. Ketika tiap sasaran dipelajari terpisah, kurva insiden kumulatif dapat dianggap sama untuk kematian miokard infark dan revaskularisasi pembuluh darah target segera.
Untuk sasaran keamanan sekunder, episode perdarahan mayor terjadi secara signifikan pada pasien yang menerima abciximab dan heparin (4,7% vs 2,6% untuk Bivalirudin), dan pasien yang menerima abciximab dan heparin mempunyai 80% resiko perdarahan lebih besar dibandingkan bivalirudin.
Pasien pada penelitian ini diterapi dengan aspirin dan clopidogrel. Prasugrel atau ticagrelor, dua obat antiplatelet baru tidak digunakan untuk penelitian ini. Akan tetapi hal ini tidak akan mengubah hasil penelitian ini.
Abciximab dan bivalirdin digunakan secara luas pada pasien Non- STEMI. Sampai sekarang belum ada penelitian yang membandingkan kedua obat ini.
“Hasil penelitian ini bersama dengan hasil penelitian yang dilaporkan untuk STEMI menunjukkan Bivalirudin lebih dipilih pada pasien infark myokard akut yang menjalani PCI, baik dengan atau tanpa elevasi segmen ST,” ungkap Kastrati.
Hasil ini di publikasikan secara berkesinambungan pada The New England Journal of Medicine edisi Nov.13.

Hasil ADOPT 
Suatu uji klinis terkini lainnya mengemukakan apixaban, suatu penghambat langsung aktif faktor Xa oral yang diberikan selama 30 hari terbukti sama efektif dengan 6-14 hari terapi enoxaparin ketika diberikan pada pasien sakit yang berisiko tromboemboli vena.
Penelitian The Apixaban Dosing to Optimize Protection from Thrombosis (ADOPT)  menganalisa lebih dari 6500 pasien rawat inap dengan gagal jantung kongestif, gagal nafas akut atau kondisi lain yang berisiko tinggi terjadi tromboemboli vena. Pasien dirandomisasi untuk menerima apixaban (3,255 pasien) atau enoxaparine (3,273 pasien). Pasien menerima oral apixaban (2,5mg 2 kali sehari) selama 1 bulan atau enoxaparin (40mg per hari) selama sedikitnya 6 hari.
Hasil pemeriksaan tungkai dengan ultrasound pada hari ke-10 dan hari ke-30 dilakukan pada semua pasien, namun sebanyak 800 dan 1.000 pasien pada setiap  kelompok tidak ditindaklanjuti karena   pemeriksaan ultrasound tidak lengkap. Sasaran primer penelitian ini adalah gabungan dari tromboemboli vena dan kematian yang berhubungan dengan tromboemboli vena.
Sebanyak 2,7% (60 dari 2.211) pasien yang diberi apixaban selama 30 hari mengalami kejadian tromboemboli vena seperti kematian, trombosis vena dalam atau emboli paru. Sedangkan pasien yang menerima enoxaparin mengalami kejadian  serupa sebanyak 3,1% (70 dari 2.284). Perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (resiko relatif apixaban 0,87; p=0,44).
Perdarahan terjadi pada 7,7% pasien  dengan apixaban dengan enoxaparine, namun hal ini tidak signifikan. Akan tetapi pasien yang menerima Apizaban mengalami perdarahan mayor sebanyak 0,47%, sedangkan pasien dengan enoxaparine sebesar 0,19%. Perdarahan mayor adalah perdarahan yang menyebabkan kematian, stroke atau kejadian serius lainnya.
Pasien berumur 40 tahun keatas mempunyai keterbatasan gerak dan di rawat inap sedikitnya 3 hari.
Samuel Z. Goldhaber,MD Kepala peneliti dan direktur Venus Thromboembolism Research Group di Brigham dan Woman’s Hospital di boston mengatakan “ADOPT memiliki kekuatan penelitian yang rendah karena 1/3 pemeriksaan ultrasound tidak dilakukan. Lagipula penggunaan enoxaparin lebih dari 6 hari bahkan setelah pasien pulang bukan merupakan terapi standar. Pemeriksaan ultrasound pada hari ke-10 juga bukan merupakan standar pelayanan pada pasien pulang dan pasien yang sedang menjalani   therapi trombosis vena dalam silent.”
ADOPT tidak diterima secara luas pada pasien-pasien  rawat inap sebab pemeriksaan rutin tromboemboli vena tidak dilakukan saat pasien pulang. Kelompok risiko tinggi harus di identifikasi agar dapat menerima profilaksis tromboemboli vena.
Hasil ini di publikasikan secara berkesinambungan pada The New England Journal of Medicine edisi Nov.13.

Vorapaxar pada pasien sindroma koroner akut
Vorapaxar, suatu antagonis reseptor trombin yang diberikan pada therapi standard gagal memenuhi sasaran primer pada penelitian Thrombin Receptor Antagonist for Clinical Event Reduction in Acute Coronary Syndrome (TRA•.CER).
TRA•.CER adalah suatu penelitian prospektif, dirandomisasi, tersamar ganda, dan placebo-controlled yang mengikutsertakan 12.944 pasien sindroma koroner akut dari 37 negara.
Pasien yang di ikut sertakan pada penelitian harus memiliki gejala Iskemi dalam 24 jam sebelum masuk rumah sakit, dan peningkatan dari salah satu baik troponin maupun CK-MB atau elevasi segmen ST, dan sedikitnya satu kriteria risiko tinggi tambahan: umur > 55, Infark miokard sebelumnya, menjalani revaskularisasi (PCI/CABG) diabetes mellitus atau penyakit arteri perifer.
Semua pasien menerima therapi stan-dar yaitu aspirin dan clopidogrel, PCI (seperti kateterisasi, stenting koroner atau operasi bila diperlukan). Sasaran primer gabungan meliputi kematian kardiovaskular, infark miokard, stroke, iskemia berulang dengan rawat inap, dan revaskularisasi koroner segera.
Pasien di randomisasi untuk menerima vorapaxar dengan dosis inisial 40 mg diikuti dosis rumatan 2,5 mg per hari (6473 pasien) atau plasebo (6471 pasien). Terapi dimulai sebelum PCI.
Vorapaxar tidak berbeda secara statistik dengan terapi standar ditinjau dari hasil klinis primer (18,5% vs 19,9%). Pasien dengan vorapaxar juga tidak menunjukkan  hasil yang signifikan untuk kematian kardiovaskular, infark myokard atau stroke.
Pasien dengan Vorapaxar memiliki 3 kali lipat risiko perdarahan dibandingkan pasien dengan plasebo. Hal ini tidak diharapkan dan hubungannya dengan penggunaan aspirin dan clopidogrel masih harus diteliti.
Vorapaxar adalah suatu penghambat PAR-1, yaitu suatu reseptor pada platelet. Anti platelet lain seperti clopidogrel, prasugrel, ticagrelor bekerja pada reseptor P2Y12 yang terletak di membran platelet. Suatu tahap 2 sebuah penelitian menunjukkan Vorapaxar lebih efektif dari placebo.
Kenneth W. Mahaffey, MD ketua peneliti dan co-director Institut Penelitian klinik Duke di Durham, N.C. menyatakan “Apakah penghambatan PAR-1 memberikan  hasil lebih baik dengan strategi medikasi lain atau pada populasi pasien penyakit   jantung koroner masih harus diteliti lanjut.
Hasil ini di publikasikan secara berkesinambungan pada The New England Journal of Medicine edisi Nov.13.
Starry HR

Pencitraan Non Invasif pada Sindroma Nyeri Dada Akut

Penggunaan terkini pencitraan jantung difokuskan pada tiga aspek untuk penanganan pasien dengan nyeri dada:
1.  Pencitraan diharapkan mampu meningkatkan kevalidan diagnosis pada situasi akut
2.  Pencitraan mempunyai peranan untuk penapisan selain koroner sebagai penyebab nyeri dada
3.  Penggunaan pencitraan untuk stratifikasi resiko jika infark miokard telah disingkirkan pada chest pain unit.

Teknik pencitraan pada pasien dengan kecurigaan nyeri dada karena sebab iskemik
Untuk membantu diagnosis sindrom koroner akut (SKA), modalitas pencitraan dapat mengevaluasi perfusi miokard/fungsi ventrikel atau anatomi koroner. Bukti obyektif adanya iskemia atau sumbatan kroner dapat mengurangi waktu pengobatan pada pasien dengan dugaan SKA, sedangkan ekslusi dari adanya iskemi dapat mempercepat waktu kepulangan pasien dengan aman.

Ekokardiografi
Analisa adanya transient segmental hipokinesia atau akinesia mungkin dapat dideteksi selama iskemia, juga diagnosa banding seperti diseksi aorta, emboli paru, stenosis aorta, hipertrofi kardiomiopati, atau efusi perikard dapat diidentifikasi.
Perubahan regional wall motion abnormalities (RWMA) yang baru dapat menjadi petunjuk untuk membantu diagnosis SKA pada pasien dengan EKG yang sulit dievaluasi perubahannya (LBBB atau irama pacu jantung).
Penggunaan kontras atau myocardial contrast echocardiography pada pasien dengan nyeri dada berkelanjutan dikatakan sama akuratnya dengan resting MPI sebagai deteksi awal untuk kebutuhan revaskularisasi dini.
Stress echocardiography mempunyai kemampuan untuk stratifikasi resiko sebelum pasien pulang ke rumah. Sensitifitas dan spesifitas untuk endeteksi PJK obstruktif adalah masing-masing 86% dan 81%. Begitu pula dalam pemantauan 6 bulan, Negative Predictive Value (NPV) untuk cardiac event awal dan lanjut berkisar 91-96%.

Pencitraan nuklir
Sensitivitas rest MPI untuk akut MI >90% pada onset nyeri kurang dari 6 jam. Sementara NPV berkisar 99%, sehingga jika pasien dengan nyeri dada berkelanjutan mempunyai normal rest MPI, dikatakan kemungkinan besar pasien tidak dalam kondisi SKA. Pasien dengan rest MPI normal memiliki kemungkinan sangat kecil < 1% untuk 30 hari cardiac event rate dan jika memiliki abnormal rest MPI mempunyai kemungkinan 10-30% terjadinya 30 hari cardiac event rate. Walaupun single rest MPI tidak dapat membedakan antara SKA dan berkurangnya regional aliran darah karena infark sebelumnya.

CT Scan Jantung
Saat ini 64 slices CT scan merupakan syarat minimum untuk pengerjaan CT angiografi, dengan denyut nadi dibawah 60 kali permenit untuk mencapai kualitas pencitraan yang optimal. Pada pasien dengan denyut nadi tinggi, terdapat aritmia, obesitas yang ekstrem atau kesulitan untuk menahan nafas, penggunaan CT angiografi koroner (CTCA) hendaknya dikaji ulang.

Skor kalsium
Kalsifikasi didalam arteri koroner dapan dideteksi dan dikuantifikasi tanpa menggunakan cairan kontras. Kalsium pada arteri korener selalu disebabkan oleh proses aterosklerosis, kecuali pada pasien dialisis, kalsifikasi ini dapat tidak disebabkan oleh aterosklerosis. Kuantifikasi dari kalsium koroner ini dalam banyak penelitian merupakan prognostik yang sangat baik berkorelasi dengan kejadian kardiovaskular utamanya infark miokard dan kematian karena sebab jantung pada kondisi prevensi primer. Tetapi adanya kalsium koroner tidak berguna pada kondisi SKA, karena ketiadaan kalsium tidak untuk menapiskan SKA.

CT angiografi koroner
CTCA merupakan metode yang dapat memvisualisasikan arteri untuk mendeteksi dan terutama menapiskan stenosis. Banyak penelitian terkait dengan SKA, antara lain ACCURACY dengan pasien resiko rendah SKA, didapatkan sensitivitas 95-99%, spesifitas 64-83%, dan NPV 97-99% untuk mengidentifikasi sedikitnya satu arteri koroner yang mengalami stenosis. PPV cukup rendah 64-86%, hal ini disebabkan kecenderungan untuk estimasi yang berlebihan pada derajat stenosis di tempat yang terdapat kalsifikasi.
Berbagai konsensus ahli ACCF/SCCT/ACR/AHA/ASE/ASNC/NASCI/SCAI/SCMR tahun 2010 juga ESC guidelines terbaru untuk manajemen pasien non-STEMI mengemukakan bahwa keutamaan penggunaan CTCA adalah untuk menapiskan adanya stenosis pada kondisi nyeri dada akut. Penelitian CT-STAT yang melibatkan 16 lokasi penelitian secara acak dengan 700 pasien, mengkonfirmasi bahwa penggunaan CTCA adalah aman dan cost-effective untuk mengevaluasi pasien dengan resiko ringan nyeri dada akut.
Pada kondisi yang ideal, CTCA dapat memberikan informasi detail visualisasi baik stenosis maupun non stenosis plaque aterosklerosis koroner. Lesi terkait SKA seringkali tampak sebagai lesi dengan volume besar dan didominasi oleh non calcified plak, juga positive remodelling.
Kombinasi antara CTCA dan CT perfusi menarik untuk dikaji lebih dalam, tetapi hinngga kini belum tampak kegunaan secara klinis pada kondisi nyeri dada akut.


MRI Jantung
Kelebihan MRI jantung adalah dapat membedakan antara kondisi akut dan kronik infark miokard berdasar teknik pencitraan T2-weighted oedema. Selain itu sebagaimana ekokardiografi, juga bisa menganalisa RWMA kondisi resting, juga diseksi aorta dan Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (HOCM) yang presentasi klinisnya mirip SKA. Lebih lanjut, CMR mempunyai kemampuan unik mengidentifikasi kondisi miokarditis yang juga dapat datang dengan kondisi seperti SKA.
Stress CMR dengan dobutamine mempunyai kemampuan NPV yang baik untuk memprediksi flow-limiting stenosis. Selain itu kini penggunaan vasodilator seperti adenosine juga aman digunakan pada kondisi SKA untuk menilai myocardial inflow yang tampak sebagai berkurangnya cadangan perfusi segmental yang menunjukkan kondisi iskemia. Selain itu untuk penilaian microvascular dysfunction termasuk microvascular spasm yang juga sebagai penyebab nyeri dada akut akan tampak sebagai circular subendocardial delay dari gadolinium yang masuk pada miokard. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada teknik first pass perfusion.


Teknik pencitraan pada pasien dengan kecurigaan nyeri dada karena sebab non iskemik

Emboli paru
Pencitraan yang dapat digunakan adalah CT angiografi secara direk dan TTE/TEE secara indirek dengan melihat gagal jantung kanan. CMR pulmonary angiografi juga dapat digunakan untuk kondisi ini.

Sindroma Aorta Akut
Merupakan sebuah spektrum yang mengancam jiwa meliputi diseksi aorta, hematom intramural, penetrating atherosclerotic ulver dan komplit atau inkomplit ruptur dari aneurisma aorta. Pencitraan diperlukan untuk menentukan apakah diperlukan tindakan pembedahan, intervensi perkutan atau konservatif. Pencitraan hendaknya dilakukan pada keseluruhan aorta mulai aorta ascendence hingga arteri iliaka. CMR dan CTCA mempunyai keunggulan untuk menilai lebih komprehensif. CTCA lebih memungkinkan untuk digunakan pada kondisi akut di emergency departement. TEE digunakan jika pasien dalam kondisi hemodinamik tidak stabil di unit perawatan intensif. Guidelines terkini menyatakan bila kecurigaan tinggi secara klinis tetapi modalitas awal memberikan hasil negatif, hendaknya diulang dengan modalitas yang lain.

Perikarditis
Ekokardiografi merupakan modalitas yang dianjurkan sebagai inisiasi karena cepat dan mudah dilaksanakan.Diagnosa perikarditis ditegakkan jika pasien terdapat efusi perikard dengan tidak adanya regional wall motion abnormality pada non diagnostik EKG yang disertai nyeri dada menetap. Bila terdapat keterbatasan jendela akustik dapat dilakukan CTCA atau CMR.

Miokarditis
Modalitas pencitraan yang dianjurkan adalah MRI jantung karena dapat memberikan informasi tentang adanya edema, inflammatory hyperemia dan irreversible inflammatory injury sesuai kriteria Lake Louise. Memang hingga kini penelitian masih berlanjut dengan menyertakan biopsi endomiokardium sebagai standart emas. Penggunaan CMR untuk evaluasi miokarditis ini mempunyai spesifitas dan PPV yang tingi tapi sensitivitas sekitar 67%.


Berikut adalah tabel dari ESC guidelines pada SKA yang menyertakan teknik pencitraan untuk validasi diagnostik. (Euro H Jou–Cardiovascular Imaging (2012) 13; 69–78)





Dr Saskia Handari, SpJP

Sumber:
Non-invasive imaging in acute chest pain syndromes
Udo Sechtem1*, Stephan Achenbach1,2, Matthias Friedrich 1,3,4,5,6,7,
Frans Wackers1,8,9,10, and Jose´ L. Zamorano1,11

Efek Penghambat PDE 5 pada Hemodinamik Sistemik dan Pulmoner serta Fungsi Ventrikel Pasien dengan Simptomatis Stenosis Aorta Berat

STENOSIS aorta (AS) kalsifikasi merupakan suatu penyakit yang memerlukan tindakan bedah, tidak ada terapi medis yang dapat memperlambat atau membalikkan progresivitas penyakit, gejala ataupun waktu yang tepat untuk penggantian katup.
Walaupun beberapa pendekatan terapi medis telah difokuskan untuk memperlambat progresivitas stenosis katup tersebut, studi prospektif dengan statin nampaknya kurang menjanjikan.
Mempertahankan cardiac output pada pasien AS dalam jangka waktu lama akan meningkatkan tekanan LV yang pada akhirnya akan menyebabkan remodeling ventrikel (dengan karakteristik hipertrofi miosit dan fibrosis miokard) serta terjadinya disfungsi diastolic dan sistolik.
Tekanan yang berlebihan ini mengakibatkan stenosis katup yang sering kali eksaserbasi oleh hipertensi sistemik, yang menyebabkan peningkatan beban LV.
Disfungsi diastolik dari hipertrofi ventrikel menyebabkan peningkatan tekaan pengisian LV, yang diteruskan ke paru mengakibatkan kongesti vena pulmoner dan gejala terkait gagal jantung.
Peningkatan tekanan akibat AS tersebut menyebabkan maladaptasi ventrikel dan remodeling vaskuler yang menghasilkan hipertensi pulmoner, gejala gagal jantung dan hasil keluaran yang buruk.
Mengurangi atau membalikkan efek maladaptasi dan konsekuensinya terhadap hemodinamik tersebut dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas. Model preklinik dari peningkatan tekanan yang diberikan penghambat PDE 5 memperlihatkan hasil yang menjanjikan.
Akan tetapi penggunaan penghambat PDE 5 pada pasien AS masihlah kontroversial karena adanya efek vasodilatasi dan hipotensi.
Untuk itulah dilakukan studi oleh Lindman et al, yang mengevaluasi respon hemodinamik jangka pendek dan keamanan serta tolerabilitas penggunaan sildenafil oral pada pasien AS berat.
Menggunakan 20 pasien simptomatik AS berat (area katup aorta rerata, 0.7 + 0.2 cm2; EF, 60 + 14%) yang diberikan dosis oral tunggal sildenafil (40 atau 80 mg).
Dibandingkan dengan nilai acuan,  setelah 60 menit, sildenafil menurunkan    resistensi vaskuler sistemik (-12%; p < 0.001) dan pulmoner (-29%; p = 0.002), tekanan arteri pulmoner rerata (-25%; p < 0.001) dan tekanan baji paru (-17%; p < 0.001).
Terjadi peningkatan komplians vaskuler sistemik (13%; p < 0.001) dan pulmoner (45%; p < 0.001) serta stroke volume index (8%; p = 0.01).
Sildenafil menyebabkan penurunan tekanan arteri sistemik rerata (-11%; p < 0.001) tetapi ditoleransi baik tanpa adanya episode simptomatis hipotensi.
Studi ini memperlihatkan untuk pertama kalinya penggunaan dosis tunggal penghambat PDE 5 aman diberikan pada pasien AS berat dan dihubungkan dengan perbaikan hemodinamik sistemik maupun pulmoner.
Temuan ini perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk pemberian jangka panjang dengan mengevaluasi peran penghambat PDE 5sebagai terapi medis adjuvan pasien AS. (Circulation 2012; 125: 2353-62)
SL Purwo

Prevalensi Penyakit Kawasaki pada Dewasa Muda dengan Tersangka Iskemi Miokard

SAMPAI dengan 25% pasien Kawasaki    yang tidak diobati dan 5% nya yang diobati dengan imunoglobulin intravena akan berkembang menjadi aneurisma arteri koroner.
Aneurisma yang persisten mungkin akan tetap tanpa gejala sampai pada keadaan timbulnya iskemi miokard.
Dilakukanlah studi prevalensi ini, dengan tujuan mengetahui prevalensi aneurisma arteri koroner pada pasien Kawasaki diantara dewasa muda yang menjalani angiografi koroner.
Studi ini mengevaluasi rekam medis dan angiogram koroner dari usia dewasa < 40 tahun yang dilakukan angiografi koroner untuk evaluasi tersangka iskemi miokard pada 4 rumah sakit di San Diego dari tahun 2005 sampai 2009 (n = 261).
Riwayat terkait penyakit Kawasaki dan faktor risiko kardiak dievaluasi berdasarkan rekam medis, angiogram secara independen dievaluasi berdasarkan jenis lesinya, ukurannya, dan lokasi aneurisma serta penyakit arteri koroner, dilakukan oleh dua kardiologis yang tidak mengetahui riwayat pasien sebelumnya.
Pasien-pasien tersebut dievaluasi berdasarkan jumlah faktor risiko, penampilan angiografi dari koroner pasien tersebut dan adanya riwayat penyakit Kawasaki.
Dari 261 pasien dewasa muda yang menjalani angiografi tersebut, ditemukan 16 mengalami aneurisma koroner.
Setelah semua kriteria klinis dihitung didapatkan 5% secara definit mengalami aneurisma (n = 4) atau diduga akibat sekunder dari penyakit Kawasaki (n = 9) sebagai penyebab penyakit koronernya.
Kardiologis seharusnya berhati-hati pada sub kelompok spesial ini, yang mungkin bermanfaat diberikan terapi medis dan strategi manajemen invasif yang berbeda dari strategi yang digunakan sebelumnya untuk pasien penyakit arteri koroner aterosklerotik. (Circulation 2012; 125: 2447-53)
SL Purwo

Trombosis pada BMS dan In Stent Neoatherosclerosis

“Fragmen plak aterosklerosis merupakan prevalensi tinggi pada VLST dalam 3 tahun, disrupsi in stent neoatherosclerosis berperan penting dalam patogenesis VLST BMS”.

STUDI follow up jangka lama memberikan gambaran trombosis stent jangka sangat lama (VLST) dapat terjadi sekitar 0.1% per tahun pada pasien dengan BMS. Meskipun demikian, insiden per tahunnya lebih sedikit dibandingkan setelah implantasi DES.
Studi patologi post mortem pada pasien VLST dari DES memperlihatkan reaksi inflamasi ekstensif pada lokasi implantasi DES.
Studi Cook et al. Mengevaluasi 10 pasien VLST dengan pemeriksaan histologis dari aspirasi trombin, memberikan hasil VLST dihubungkan dengan tanda histopatologis inflamasi.
Walaupun demikian, studi histopatologis pasien dengan VLTS BMS sangatlah sedikit. Sehingga untuk mengetahui patofisiologi VLST pada BMS dilakukanlah studi oleh Yamaji et al.
Dari September 2002 sampai Februari 2010, diidentifikasikan 102 pasien dengan definit trombosis stent BMS dan 42 pasien ACS pada kelompok kontrol yang tidak dihubungkan dengan trombosis stent yang dilakukan aspirasi thrombus beserta evaluasi histopatologis.
Terdapat 40 pasien dengan trombosis stent dini (EST, dalam 30 hari), 20 pasien dengan trombosis stent lanjut (LST, antara 31 – 365 hari) dan 42 pasien dengan VLST (> 1 tahun).
Bukti adanya fragmen plak aterosklerosis, seperti foamy macrophages, kristal kolesterol dan thin fibrous cap, sering kali ditemukan pada pasien EST (23%) dan VLST (31%), dimana temuan ini jarang ditemukan pada pasien LST (10%).
Fragmen aterosklerosis terlihat pada pasien dengan EST dalam waktu 7 hari atau VLST setelah 3 tahun. Aspirasi trombus dari pasien trombosis stent dan ACS secara histologis tidak dapat dibedakan satu sama lain.
Eosinofil sangat jarang ditemukan, tingkat kolesterol total plasma dan trigliserida secara signifikan lebih tinggi pada kasus VLST dengan fragmen aterosklerosis. (Circ Cardiovasc Interv 2012; 5:47-54)

SL Purwo

PERKI JAYA : STOP ROKOK !

Press Release PERKI JAYA

PERKI JAYA, sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia wilayah DKI Jakarta, bersamaan dengan digelarnya Jakarta Cardiovascular Summit (JCS) di Ritz Carlton, Jakarta, 26-27 Mei 2012 ini, memandang perlu untuk menyampaikan “pernyataan sikap” bahwa PERKI JAYA segera mengambil langkah proaktif terkait semakin meningkatnya prevalensi penyakit jantung akibat merokok di Indonesia.
Mencermati meningkatnya konsumsi tembakau Indonesia saat ini yang sudah sangat mengkhawatirkan. Menilik data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Riset Kesehatan Dasar, Kemenkes, diketahui bahwa Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 1995 hingga kini, terjadi peningkatan yang sangat besar, yaitu dari sebanyak 34,7 juta perokok menjadi 65 juta perokok.
Sementara berdasarkan data yang dilansir YLKI baru-baru ini, bahwa lebih dari 65 juta masyarakat Indonesia adalah perokok aktif, dan lebih dari 95 juta masyarakat Indonesia merupakan perokok pasif.
Bahkan bila menilik data WHO tahun 2010, bahwa dari sekitar satu miliar perokok di seluruh dunia, 200 juta orang diantaranya adalah kaum perempuan yang 7% nya adalah remaja, tersebar di 151 negara. Bahkan meninggal dunia akibat penyakit tidak menular di kawasan ASEAN didominasi kaum wanita, yakni 61,5% dari total kematian.
Hal ini sejalan pula dengan pola penyebab kematian di Indonesia, yang menunjukkan peningkatan proporsi kematian yang disebabkan penyakit tidak menular. Diketahui penyakit menular dalam 12 tahun terakhir ini menurun, dari 44% menjadi 28%, sementara itu proporsi penyakit tidak menular justru mengalami peningkatan cukup besar cari 42% menjadi 60%.
Ironisnya lagi, jumlah perokok pada kalangan anak dan remaja meningkat drastis setiap tahunnya. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) memperkirakan ada 21 juta anak Indonesia menjadi perokok dan meningkat setiap tahunnya.
Jumlah anak merokok mulai terdeteksi meningkat sejak 2001. Tahun ini diperkirakan ada kenaikan hingga 38% dari jumlah anak yang merokok di Indonesia. Sementara untuk Jakarta, tingkatnya diperkirakan mencapai 80%. Tahun 1995 hanya 7% remaja merokok, lalu 12 tahun kemudian meningkat menjadi 19%.
Riskesdas 2007 juga membuktikan, jenis penyakit masyarakat Indonesia 50% didominasi oleh hipertensi, diabetes, stroke dan penyakit jantung. Bahkan penyakit jantung koroner ternyata secara perlahan-lahan tapi pasti, telah merangkak naik sebagai penyebab kematian utama di Indonesia.
Banyak faktor risiko yang mempengaruhi dan menyebabkan prevalensi penyakit tersebut di atas. Namun para ahli umumnya bersepakat, bahwa faktor risiko utama gaya hidup kebiasaan merokok yang sebenarnya dapat diubah. Dalam rangka semangat berubah ini, PERKI Jaya terpanggil untuk segera mengambil langkah strategis, demi jayanya generasi Indonesia di masa depan.
Setalah mencermati fakta tersebut di atas, serta masukan dari berbagai pihak, dan berdasarkan hasil diskusi pengurus PERKI JAYA dan panitia JCS dalam “Bussines Meeting” pada hari Jumat, 25 Mei 2012 pukul 16.00 WIB, di Ritz Carlton Hotel, maka pada kesempatan “cardiologist gathering” malam ini, kami PENGURUS PERKI JAYA menyatakan :
1.  Kepada seluruh cardiologist anggota PERKI JAYA harus memberi contoh dalam perikehidupan sehari-hari, memberi “suri tauladan” perilaku tidak merokok.
Termasuk sebagai langkah kongkrit merealisasikan komitmen ini, kami merekomendasikan kepada calon Anggota Muda Perki Jaya (Calon PPDS SpJP) harus disyaratkan “bersih” dari perilaku merokok.
2.  PERKI JAYA merekomendasikan kepada pemerintah, dalam hal ini Pemda DKI Jakarta agar bersungguh-sunguh melaksanakan peraturan daerah tentang pengendalian dampak konsumsi rokok seperti Perda Tentang Kawasan Tanpa Rokok agar dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan PERDA tsb, dan menegakkan “law enforcement” sesuai ketentuan yang berlaku.
3.  Kepada jajaran pemerintah lainnya, baik instansi militer maupun sipil, perusahaan-perusahaan swasta dan kantor-kantor yang berada di kawasan DKI Jakarta agar berpartisipasi aktif dalam upaya pengendalian dampak negatif rokok terhadap kesehatan jantung.
4.  Kepada para pemangku kepentingan lainnya, termasuk organisasi profesi lain, LSM, semua institusi pendidikan, universitas, sekolah, lembaga pendidikan nonformal lainnya, agar meningkatkan penyuluhan dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang bahaya rokok bagi kesehatan, khususnya jantung.
Semoga Tuhan tetap senantiasa menyertai dan memberkati kita sekalian!
 
Jakarta, 26 Mei 2012
PENGURUS PERKI JAYA

ttd                                                                            ttd
dr. Dolly RD Kaunang, SpJP, SpKP                                  dr. Daniel PL Tobing, SpJP
KETUA                                                                     SEKRETARIS

Kardiologi Kuantum (7): SINDROMA DA COSTA

“Imagination is more important than knowledge.”Albert Einstein

“Kuantum adalah paket energi dari gelombang yang tidak tampak oleh pancaindra. Menjelaskan sesuatu yang tidak kasat-mata dengan istilah kuantum adalah sesuatu yang mencerahkan.” Demikian keterangan Renan Sukmawan, seorang insinyur nuklir, dokter-doktor, dan kardiolog-peneliti yang bekerja di Fak. Kedokteran UI dan RSJPD Harapan Kita. Sepertinya ia merujuk mekanika modernnya fisikawan Erwin Schrödinger (1925). Tentu saja gelombang air laut jelas nampak dan nyata karena orang dapat berselancar diatasnya.
Sindroma Da Costa (Da Costa’s syndrome, Cardiac neurosis) [1] adalah prototipe penyakit berkeluhan jantung tetapi kardiolog tidak dapat menemukan penyakit jantungnya. Tidak mudah menyerahkan pasien model ini ke ahli jiwa (psikolog, psikiater) sebab ia merasa sakit jantung dan bukan sakit jiwa! Rasanya banyak kardiolog yang belum pernah menulis diagnosis Sindroma Da Costa,[2] padahal WHO sudah menyiapkan kodenya pada ICD sejak awal abad ke XX. Pertengahan abad XX berubah menjadi neurosis jantung.[3] Pada awalnya diklasifikasikan sebagai “F45.3” (dibawah kode somatoform disorder dari sistim kardiovaskuler) pada ICD-10,[4] dan sekarang diklasifikasikan pada “somatoform autonomic dysfunction” (suatu tipe dari kelainan psikosomatik).
Tulisan ini semoga sebagai “penggugah” bangun paginya kita semua agar memperhatikan sindroma ini, sebab kita memiliki kardiolog yang handal dengan kompetensi dan penguasaan teknologinya yang dapat meyakinkan orang lain untuk menegakkan diagnosis sindroma Da Costa Serta memiliki psikolog untuk menanganinya. Tidak terlalu sulit bagi kardiolog  untuk mendiagnosisnya, tetapi juga tidak mudah untuk mengerti apalagi melakukan psikoterapi, bila diperlukan. Untuk urusan psikoterapi, serahkan saja kepada ahlinya. Tetapi pengetahuan tentang sindroma ini wajib diketahui dari menegakkan diagnosis sampai rencana penatalaksanaannya. Diperlukan kolaborasi kardiolog, psikolog, psikiater, dan ahli psikosomatik untuk menanggulanginya. Penulis memberi semangat agar kardiolog senantiasa berholistik-ekliktik (memilih yang terbaik), berholistik saja terasa masih kurang, sesuai anjuran dari Prof. Kusumanto Setyonegoro, Bapak Psikiatri Indonesia. Marilah kita berwawasan psikologi, tanpa harus menjadi psikolog, berwawasan psikiatri tanpa harus menjadi psikiater. Bahkan harus “rajin” mengirim klien-sehat jantung (Da Costa’s syndrome) kepada psikolog klinik atau psikiater, dan jangan diperiksa macam-macam yang terlalu canggih karena sesungguhnya ia bukan pasien-sakit jantung.
Proklamasi. Di sini pentingnya membedakan klien-sehat dan pasien-sakit jantung. “Klien-sehat jantung adalah domain utama Kardiologi Sosial” adalah ayat-ayat ‘Proklamasi’[5] Budhi S Purwo tanggal 25 Juni 1993, hampir 20 tahun yang lalu, setelah mendapat koreksi dari alm. Prof. R. Boedi-Darmojo dengan menyisipkan kata “utama”. Tulisan tersebut bertepatan dengan dimuatnya tulisan penulisnya pada kolom depan Essay BIDI, Berita Ikatan Dokter Indonesia  No. 12 Tahun ke XIV dengan judul: Klien dan Rumah Sakit yang Health Oriented. Menanggapi dan menyambut seruan Gerakan Masyarakat Baru agar kita semua Health Oriented sesuai dengan seruan KOnggres NASional ke VII IAKMI (Ikatan Akhli Kesehatan Masyarakat Indonesia) di Bandung 1992. Baru tujuh tahun kemudian muncul Visi Indonesia Sehat 2010, merupakan gambaran masyarakat Indonesia dimana penduduknya hidup di lingkungan sehat, berperilaku sehat, mampu memperoleh pelayanan kesehatan bermutu, serta adil merata dengan derajat kesehatan optimal.
Apakah Kardiologi Sosial sudah mati hanya karena “badan”-nya atau unitnya  telah lama “dikuburkan” di RSJHK dan Dep. Kardiologi FKUI? Tidak, karena ada mekanisme metamorphosis. Kardiologi Kuantum harus dapat menjawab ketika ada pertanyaan apakah manusia (baca jantung) organo-biologis juga lantas “mati” ketika badannya (jasmani kasarnya) di kuburkan? Freud menjawab YA, titik. Terbujurnya mayat di depan mata sekaligus menandakan sudah matinya sang Ego! Carl Gustav Jung dan Soemantri Hardjoprakoso dalam Candra Jiwa Indonesia menjawab TIDAK, tetapi ada kemungkinan lain. Hipotesisnya adalah lolosnya sang Ego melaui TheGate ke Pusat Imateri yang mengandung hidup itu sendiri. Anggap saja wacana ini adalah hipotesis ilmu pengetahuan yang rentang kebenarannya 0-100, dengan confidence interval statistiknya dapat di kompromikan, misalnya 95% CI dengan probabilitas tertentu, mengikuti jejak ilmu statistik. Ilmu theology dapat mengenal kebenaran sebagai ya dan tidak (0-1) berdasarkan WAHYU Ketuhanan.


Istilah. Tentang istilah “kardiolog yang berorientasi psikologi” (Psychology oriented cardiologist), juga ditentang oleh kardiolog muda yang selalu ingin maju terus dan harus berbeda dengan lainnya, mungkin agar kebebasan dan pencerahannya dapat digali dari situ. Dengan halusnya ia menyodorkan buku Quantum Enigma: Physics Encounters Consciousness (2006) penulisnya Bruce Rosenblum dan Fred Kuttner, diterbitkan oleh Oxford University Press. Adalah Sony Hilal Wicaksono, kardiolog muda, Pemimpin Redaksi Tabloid Kardiovaskuler [6] telah menghimbau kardiolog seniornya untuk memberikan pencerahan. Katanya: “Universitas sudah memiliki Fak. Psikologi. Fak. Kedokteran sudah mempunyai Psikiatri. Dep. Penyakit Dalam juga sudah mendalami Psiko Somatik. Biarkan juga Dep. Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Indonesia mempelajari Kardiologi Kuantum untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat kardiovaskuler, klien-sehat dan pasien-sakit jantungnya sendiri.” 
Candra Jiwa Dunia. Pendekatan mana yang akan kita pakai untuk mempelajari psike Jiwa (Dimensi-3, Matra-3) Sindroma Da Costa, yang organo-biologis jantung- nya normal? Candra Jiwa Sigmund Freud yang menempatkan EGO-nya manusia selalu terhimpit oleh ID dan SUPEREGO dan tidak ada jalan keluar lagi dari dimensi-3-nya, muter terus di dalam PSIKE-nya? Hanya ada insting libido (seks) dan insting kematian di dalam ID-nya. Tidak pas, karena Freud .. maaf, beliau atheis, sementara bangsa Indonesia “sangat” religius. Walaupun dunia ilmu pengetahuan selalu ingin bebas-sebebasnya berfikir dan berpendapat. Kalau Candra Jiwanya Alfred Adler bagaimana ya? Memang lebih maju dari Freud, ia memandang manusia harus tunduk kepada masyarakat! Sepandai-pandainya seorang manusia masih lebih pandai masyarakat, di masyarakat ada ilmuwan, penguasa-penguasa dunia, dan para nabi. Ia berpendapat justru “daya dorong” majunya pemikiran manusia karena rasa “rendah dirinya” terhadap masyarakat. Tidak menariknya dengan candra jiwa ini karena ia tidak mendeferensiasikan psikenya secara luas, dalam dan tidak berkomentar tentang “kesadaran kolektif” yang “omnipotensi”. Kurang pas untuk membicarakan Cardiac neurosis.
Tentu saja masih ada pilihan yaitu candra jiwanya Carl Gustav Jung. Ia satu-satunya ilmuwan pertama di dunia yang tidak malu-malu lagi untuk menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang religius! (Sangat percaya kepada Tuhan). Bahkan Aku-nya manusia masih ada celah untuk melepaskan dirinya dari SUPEREGO (bisa super baik tapi juga super jahat) dan Das ES (ID) yang asadar. Tentu saja ia sangat berseberangan dan “dimusuhi” Freud dan pengikutnya (Freudian). Bahkan hipotesisnya kepemimpinan Sang Aku,  hanyalah kepemimpinan yang bersifat sementara, kasihan sekali sang Aku yang sering sombong itu! Ia telah menyebut satu istilah PERSONLICHKEIT (Individuation, Pamudaran) kembalinya sadar pribadi (Das Ich) kepada sadar kolektif (DAS SELBST), merupakan perkembangan akhir dari manusia dan kemanusiaannya, bebas tugasnya atau “mati”-nya (pudar, pamudaran) sang Aku. Masih terasa ada tempat di sini untuk meditasi transendental, sebagai bagian dari psikoterapi.
Hipotesisnya tentang INTUISI, ilham, wahyu adalah bertemunya sadar pribadi (Natuur Prinzip) dengan sadar kolektif (Geist Prinzip) sangat menarik. Makin menarik lagi ketika ia menerangkan tentang struktur jiwa manusia seperti konsep Mandala pada Candi Borobudur, intinya yang terpenting ada di tengahnya (perhatikan Diagram Transeden-1). Anehnya, mahasiswa kedokteran FKUI, PPDS kardiologi dan lain-lainnya yang belajar di RS Jantung Harapan Kita, bahkan psikolog atau psikiater (termasuk kardiolog) yang secara kebetulan berdiskusi, tidak tertarik bahkan terkesan kurang paham secara mendalam tentang jati dirinya manusia secara ilmu psikologi mental dan perilaku, sebagai terapan dari suatu filsafat eksistensialisme. Semoga masih ada kesalahan pengamatan sepintas yang mendasar bagi diri saya, dengan segala hormat mohon dapat dimaafkan. Mungkin eksplorasi dimensi-1 dan -2 [7] lebih menjanjikan secara duniawi (baca finansial), tetapi ilmu pengetahuan filsafat (pheno-menon) selalu menuntut lebih dari itu. Yaitu mencari neumenon (beyond) yang terdalam untuk terus-menerus mencari kebenaran sementara sampai ditemukan kebenaran hakiki.
Candra Jiwa Indonesia (CJI) yang mengaku sebagai faktor persekutuan terbesar (FPB) sekaligus sebagai kelipatan persekutuan terkecil (KPK) atas semua pengetahuan tentang candra jiwa yang ada di Indonesia, menjadi pilihan utama dalam kajian Kardiologi Kuantum karena memang berdiri  sejajar dengan candra jiwa dunia lainnya. “Jabang bayi” CJI sungguh asli Bangsa Indonesia hanya “lahirnya” saja di “rumah  sakit” Rijk Universiteit di Negeri Belanda tanggal 20 Juni 1956. Dokter Soemantri Hardjoprakoso memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran Jiwa di Universitas Rijk Universiteit di Leiden, Nederland mendapat predikat cum laude dalam disertasinya yang berjudul Indonesisch Mensbeeld als basis ener Psyco-therapie. Profesor Soemantri Hardjoprakoso lebih mengelaborasi bagian terdalam dari pusat imateri (sebagai pusat HIDUP-nya jantung). Disinilah variabel “hidup” nya jantung menambah wacana bagi Kardiologi Kuantum.

Pusat Hidup Manusia. (baca: jantung dengan SA node-nya yang hidup). Soemantri berbeda dengan ketiga rekannya dari Eropa (Freud, Adler dan Jung), selain menyebut tentang konsep kesadaran juga menyebutkan tentang konsep HIDUP. Merujuk dari cerita dalam film-film Trilogi The Matrix dan Pentalogi Star Wars, penulis mencoba menerangkan isi Pusat Hidup Imateri (D4, lihat Diagram Transenden-1) berdasarkan candra jiwa Indonesia sebagai berikut TreFoil (aslinya Tripurusa) terdiri dari TheSource (aslinya Suksma Kawekas, sumber dan asal mula hidup, sadar kolektif statis), TheForce (aslinya Suksma Sejati, yang menghidupi, sadar kolektif dinamis, utusannya TheSource), dan TheSelf (aslinya Roh Suci, yang dihidupi, sadar pribadi). Egonya manusia (D3) potensial dapat mengembangkan diri (evolusi) dengan introspeksi, introversi kearah sadar pribadi. Kembalinya sadar pribadi ke sadar kolektif (D4) adalah peristiwa pamudaran (personlicheit, individuation menurut Jung). Bagaikan peristiwa kembalinya kuantum sinar (cahaya, nur) kepada sumber dan asalmulanya melalui yang menyinarkan.

Jantung Tentara. Kembali kepada sindroma Da Costa, namanya diambil dari Jacob Mendes Da Costa, seorang dokter ahli bedah yang menemukan sindroma tersebut pertama kali di antara tentara selama Perang Sipil Amerika, yang membawa alat tempur di dadanya. Oleh karena itu, pada awalnya kelainan ini disebut sebagai “jantung tentara” (soldier’s heart) gejala-gejala yang ditemukan pertama kali yaitu suatu kumpulan keluhan jantung yang tidak berhubungan sama sekali dengan kelainan fisiologi. Dalam studinya pada tahun 1871 terhadap 300 tentara, JM Da Costa menambahkan bahwa kondisi tersebut sering muncul setelah panas atau diare. Suatu keluhan jantung dan pembuluh darah itu misalnya sakit dada kiri, berdebar, sesak nafas, keringat dingin, lekas lelah pada kegiatan  rutin sampai stres tetapi jantung dan pembuluh darahnya normal. Ia bahkan tidak  dapat mengikuti kehidupan ketentaraan seperti sebelumnya, walaupun sudah dirawat sebentar di rumah sakit. Apakah faktor penentunya adalah stres pertempuran, kelainan dinding dada, atau sistim syaraf otonomnya, marilah diteliti bersama.
Nah, Divisi Kardiologi Preventif dan Rehabilitasi FKUI/ PJNHK telah menambah wawasan baru primordial preventive dengan Sindroma Da Costa. Mulai saat ini pendekatan Preventif Primordial memiliki beberapa kajian dan wacana yaitu 1) Sindroma Metabolik 2) Pre Diabetik, 3) Kardiomiopati Reversibel Tako Tsubo, dan 4) Sindroma Da Costa (neurosis jantung). Terapinya tentu saja mengubah gaya hidup dan perilaku, psiko terapi, meditasi transenden, dan farmakologi sesuai kebutuhan.
Rasanya benar juga kata Einstein bahwa imajinasi mendahului pentingnya ilmu pengetahuan, lebih jauh lagi ia mengingatkan tentang intuisi sebagai anugerah yang gaib sementara pikiran rasionil hanyalah pembantu yang terpercaya. Semoga Sadar Kolektif (TheForce) memberikan pencerahan untuk kita semua. Salam Kuantum.


Budhi S. Purwo-wiyoto


Kepustakaan
[2]  National Research Council; Committee on Veterans' Compensation for Posttraumatic Stress Disorder (2007). PTSD Compensation and Military Service: Progress and Promise. Washington, D.C: National Academies Press. p. 35. ISBN 0-309-10552-8. Retrieved 2008-05-26. "Being able to attribute soldier’s heart to a physical cause provided an “honorable solution” to all vested parties, as it left the self-respect of the soldier intact and it kept military authorities from having to explain the “psychological breakdowns in previously brave soldiers” or to account for “such troublesome issues as cowardice, low unit morale, poor leadership, or the meaning of the war effort itself” (Van der Kolk et al., as cited in Lasiuk, 2006)."
[3]  Edmund D., MD Pellegrino; Caplan, Arthur L.; Mccartney, James Elvins; Dominic A. Sisti (2004). Health, Disease, and Illness: Concepts in Medicine. Washington, D.C: Georgetown University Press. p. 165. ISBN 1-58901-014-0.
[4]  World Health Organization (1992). Icd-10: The Icd-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders : Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines. Geneva: World Health Organization. p. 168. ISBN 92-4-154422-8.
[5]  Purwowiyoto BS. Kardiologi sosial. Dari rumah-sakit menuju rumah-sehat menyongsong Indonesia Sehat 2010. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Kardiologi pada FKUI, tanggal 17 Desember 2003.
[6]  Purwowiyoto BS. Kardiologi Kuantum. Tabloid Profesi Kardiovaskuler 179/Thn.XVII/Januari 2012. ISSN: 0853-8344
[7]  Purwowiyoto BS. Kardiologi Kuantum. Tentang dimensi di alam semesta. Tabloid Profesi Kardiovaskuler 180/Thn.XVII/Februari 2012. ISSN: 0853-8344     

Jakarta Cardiovascular Summit 2012


Sabtu pagi, 26 Mei 2012, saya berkesempatan mengikuti acara Jakarta Cardiovascular Summit di Ritz Carlton Kuningan, Jakarta. Acara yang diadakan oleh Perki Jaya ini  terdiri dari 4 simposium pada hari itu.
Dari ke empat simposium tersebut, simposium ke dua lah yang cukup menarik minat saya. Mengenai “Myocardial Infarction: Opportunities for Better Clinical Outcomes” dengan moderator Prof. Dr. dr. Budhi Setianto SpJP(K) serta ke tiga pembicara yang handal (dr. Nani Hersunarti SpJP(K), Dr. dr. Bambang Budi Siswanto SpJP(K) dan dr. Ginova Nainggolan SpPD KGH).
Pembicara pertama dr. Nani Hersunarti SpJP(K) akan membawakan infark miokard dan gagal jantung peran penting antagonis aldosteron.
Gagal jantung yang diakibatkan oleh infark miokard akut merupakan masalah klinis yang muncul tersendiri. Aldosteron merupakan neurohormon yang mempunyai dampak terhadap elektrolit, yang mana berperan penting dalam progresivitas gagal jantung terutama disfungsi sistolik. Hormon tersebut berperan penting dalam proses remodeling kardiak dan patofisiologi gagal jantung setelah infark miokard.
Studi-studi klinis terutama menganalisis hasil akhir klinis penggunaan antagonis aldosteron yang dilakukan pada dua kelompok dengan subjek gagal jantung. Studi pertama RALES (Randomized Aldactone Evaluation Study) yang dikerjakan pada pasien gagal jantung advans kronik dan memperlihatkan aldosteron antagonis spironolakton mengurangi mortalitas secara signifikan.
Sampai saat ini, spironolakton masih merupakan satu-satunya obat farmakologis yang secara langsung menghambat efek yang kurang baik dari aldosteron. Penggunaan spironolakton haruslah diperhatikan efek samping akibat anti progesteron dan anti androgen, seperti ginekomasti dan ireguleritas menstruasi.
Keunggulan penghambat aldosteron  telah banyak dipublikasikan, dengan penghambat aldosteron selektif, eplerenon memperlihatkan pengurangan mortalitas dibandingkan placebo pada pasien gagal jantung post infark miokard.
Studi EPHESUS (the Eplerenone Post myocardial infarction Heart Failure Efficacy and Survival Study) menunjukkan penurunan yang signifikan pada mortalitas dan hospitali-  sasi pada pasien yang mendapatkan eplerenon secara randomisasi.
Studi ini juga menyatakan keamanan dan ditoleransi baik tanpa adanya peningkatan kejadian ginekomastia, impotensi ataupun gangguan menstruasi, yang memperlihatkan bahwa eplerenone merupakan penghambat aldosteron selektif tanpa aktivasi reseptor progesterone ataupun androgen.

Dr. dr. Bambang Budi Siswanto SpJP(K) dan Prof. Dr. dr. Budhi Setianto SpJP(K)

DR. dr. Bambang B Siswanto SpJP(K) membawakan eplerenon dalam studi EPHESUS dan EMPHASIS-HF.
Berdasarkan studi mengenai gagal jantung yang dilakukan di Indonesia, gagal jantung menjadi penyebab utama tingginya angka readmisi dan mortalitas. Mortalitas di rumah sakit sekitar 6.5-12% dan readmisi dalam follow-up 6 bulan mencapai 29%.
Studi lainnya yang dilakukan di PJNHK memperlihatkan tingginya kadar NT pro BNP, EF < 20%, edema dengan BMI > 30kg/m2, Hb < 12g/dl, Na < 130mmol/L dan tidak menggunakan beta blocker merupakan prediktor readmisi dan mortalitas.
Study EPHESUS tahun 2003 dibuat untuk melihat keunggulan eplerenon pada pasien gagal jantung setelah kejadian infark miokard, dari total 6632 pasien didapatkan 1012 kematian. Dimana studi ini menunjukkan penurunan yang signifikan risiko mortalitas untuk semua sebab sekitar 15% (RR 0.85; 95% CI 0.75-0.96, p = 0.008).
Risiko kematian sebab kardiovaskuler atau hospitalisasi akibat kardiovaskuler secara signifikan mengalami penurunan 13% dibandingkan placebo (RR 0.87; 95% CI 0.79-0.95, p = 0.002). Studi ini memperlihatkan keuntungan pemberian eplerenon dini pada pasien gagal jantung setelah kejadian infark miokard.
Studi EMPHASIS-HF yang dilakukan tahun 2011 bertujuan untuk melihat efek eplerenon pada pasien gagal jantung dengan disfungsi sistolik kronis. Pasien- pasien dengan usia > 55 tahun, EF < 30%, QRS > 130 mdet, hospitalisasi dalam 6 bulan terakhir, BNP >= 250 pg/ml atau NTproBNP >= 500 pg/ml pada pria dan >= 750 pg/ml pada wanita diobservasi selama 15 hari. Dari 2737 pasien yang diberikan eplerenon atau placebo, terdapat 18.3% kematian atau hospitalisasi pada kelompok eplerenon dibandingkan 25.9% kelompok placebo (p < 0.0001).
Pemberian eplerenon menghasilkan penurunan 37% pada hasil akhir kematian oleh sebab kardiovaskuler ataupun hospitalisasi karena gagal jantung, 24% penurunan mortalitas oleh sebab apapun, 23% penurunan hospitalisasi oleh sebab apa-pun. Sehingga penggunaan eplerenon pada gagal jantung setelah kejadian infark miokard berguna untuk menurunkan mortalitas dan rehospitalisasi gagal jantung.

Dr. dr. Bambang Budi Siswanto SpJP(K), dr. Nani Hersunarti SpJP(K) dan dr. Ginova Nainggolan SpPD KGH

dr. Ginova Nainggolan SpPD-KGH memberikan suatu wawasan hipotesis kardiorenal dengan peranan ginjal pada gagal jantung.
Dalam peranannya ginjal memang dapat berperan menyebabkan gagal jantung akut, yang akan dilihat di kardiorenal tipe 1. Dimana sindroma kardiorenal tipe 1 terdapat peningkatan perburukan fungsi kardiak yang mengakibatkan injuri ginjal akut (AKI).
Mekanisme untuk terjadinya kardiorenal tipe 1 melibatkan jalur yang kompleks dan multipel. Kepentingan klinis tiap mekanisme sepertinya berbeda dari individu satu dengan yang lainnya dan dari situasi satu ke situasi lainnya.
Pada gagal jantung akut, AKI sepertinya lebih parah pada pasien dengan gangguan fraksi ejeksi ventrikel kiri dibandingkan dengan fungsi ventrikel kiri yang normal. Prinsip klinis pertama dari kardiorenal tipe satu adalah onset AKI yang terjadi merupakan akibat rendahnya perfusi ke ginjal sampai dugaan lainnya tidak terbukti.
Kedua, adanya penurunan respon diuretik, dimana berakibat kegagalan diuretik (diuretic braking) dan retensi natrium post diuretik. Beberapa penanda biologis yang dapat digunakan untuk melihat kejadian AKI diantaranya, kreatinin, NGAL, KIM1, ataupun sistatin-C.
Kemudian acara dilanjutkan dengan tanya jawab yang isi pertanyaan yang mengarah pada peran eplerenon terhadap kejadian infark miokard pada pasien dengan gagal jantung dan mekanisme terjadinya AKI serta obat yang dapat mencegah progresivitas kerusakan ginjal pada gagal jantung.
SL Purwo