pita deadline

pita deadline

Senin, 29 April 2013

Omega-3 PUFA sebagai Petanda: Prediksi Mortalitas dan Kejadian Kardiovaskular pada Analisis CHS

KADAR tertinggi Omega-3 PUFA yang  didapat pada plasma (diukur dalam > 2500 dewasa tanpa PJK atau riwayat stroke) memprediksikan tingkat mortalitas yang terendah dalam Cardiovascular Health Study yang bersifat prospektif dan observasional.
Dalam perbandingan antara kadar Omega-3 PUFA kuintil tertinggi dengan  terendah, penurunan laju mortalitas-semua-sebab turun sebanyak 27%, di mana manfaat terbanyak didapatkan pada reduksi  kematian kardiovaskular. Laju mortalitas akibat aritmia, fell nearly one-half. Namun  hasil ini bervariasi untuk jenis-jenis Omega-3 PUFA. Manfaat terhadap mortalitas  kardiovaskular dan mortalitas aritmia,  didapatkan lebih tinggi pada kadar tertinggi docosahexanoicacid (DHA) dibandingkan pada kadar tertinggi eicosapentaenoic acid (EPA) dan bahkan akan lebih banyak lagi manfaat jika yang diukur adalah kadar total dari Omega-3 PUFA.
Terkait efek terhadap mortalitas penyakit kardiovaskular, efek yang ditampakkan DHA lebih kuat daripada EPA. Efek ini paling nyata terlihat pada perbedaanya pada kematian akibat aritmia. Namun EPA memiliki efek yang sedikit lebih baik untuk MI nonfatal (p=0.04) dibandingkan DHA yang tidak signifikan secara statistik. Namun menurut Mozzafarian, melihat p value yang di ambang batas untuk EPA, mungkin sebenarnya baik EPA maupun DHA tidak memiliki efek terhadap MI nonfatal.
Efek yang cukup menjanjikan terhadap kardiovaskular ini cukup konsisten dengan bukti-bukti dari berbagai studi klinis dan laboratoris bahwa Omega-3 PUFA bermanfaat pada denyut nadi, tekanan darah, kontraktilitas miokard, stabilitas elektrik jantung, serta fungsi endotel, otonom, dan hemostatik. Pernyataan ini ditulis Dr. Dariush Mozaffarian (Harvard School of Public Health, Boston, MA) dipublikasikan 2 April 2013 dalam Annals of Internal Medicine.
Studi CHS ini juga memperkirakan menfaat pada populasi dewasa lebih dari 65 tahun, orang dengan kadar omega-3 PUFA plasma tertinggi memiliki usia 2,2 tahun lebih banyak.
CHS mengikutsertakan 5.201 peserta diatas 65 tahun asal USA dan 687 peserta asal Afrika-Amerika dari tahun 1992-1993. Analisis pada akhirnya mengikutsertakan 2692 orang tanpa PJK, stroke, atau gagal  jantung yang tidak mengonsumsi suplemen minyak ikan dan kadar Omega-3 diukur antara tahun 1992-1993. Sekitar 64% peserta adalah wanita, 88% berkulit putih. Mereka diamati hingga tahun 2000.
Adjusted hazard ratio untuk total mortalitas pada EPA dengan kuintil tertinggi adalah 0.83, sementara DHA 0.80, dan total omega-3 PUFA adalah 0,73 (p < 0.001). Penurunan hazard ratio untuk mortalitas  kardiovaskular hanya signifikan pada DHA (p=0.003) dan total omega-3 PUFA (p=0.002). Hasil yang mirip didapatkan pada mortalitas akibat aritmia: DHA (p-0.028) dan omega-3 PUFA total (p=0.008).
Karena ini adalah studi observasional, maka hubungan sebab akibat tak dapat diperlihatkan. Mozaffarian menambahkan, setidaknya hasil ini menunjukan bahwa  kadar tinggi dari omega-3 PUFA bermanfaat langsung untuk survival.
Mozzafarian menyimpulkan bahwa studi ini mendukung DHA bermanfaat dalam menurunkan mortalitas kardiovaskular sementara manfaat EPA masih dipertanyakan. Jika ingin mengonsumsi Omega-3, sebaiknya terdapat DHA di dalamnya, dan tidak hanya EPA sendiri. Ia juga menambahkan, mengonsumsi keduanya mungkin akan lebih baik, karena keduanya memiliki efek komplementer.
Lebih lanjut lagi Mozzafarian menambahkan, melihat efek DHA dalam plasma lebih baik daripada EPA, masuk akal jika suplementasi DHA memberikan elevasi LDL yang lebih tinggi dibanding EPA.   Namun ia tidak menemukan bukti dari  paradoks ini. Peningkatan kadar LDL pada omega-3 menurutnya hanya biasa-biasa saja. Jika terdapat efek, itu hanyalah partikel LDL menjadi lebih besar dan lembut, sehingga menjadi lebih tidak aterogenik. Kesimpulannya, isu yang mengatakan lebih baik memilih suplemen omega-3 PUFA yang hanya mengandung EPA dibandingkan gabungan EPA/DHA karena efek EPA terhadap LDL lebih baik, itu hanyalah “hype” belaka. (www.medscape.com)

Dwita Desandri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar