pita deadline

pita deadline

Kamis, 30 Oktober 2014

Implikasi dan Penatalaksanaan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Pasien Hipertensi (2 / habis)

(untuk membaca artikel bagian awalnya, klik disini)

LVH dan Resiko Cardiovascular Disease (CVD)
Beberapa penelitian klinis telah memperlihatkan hubungan yang erat antara LVH dan CVD. Baik itu LVH yang di diagnosis dengan EKG,17-19 maupun dengan ekokardiografi.20-22 Penelitian kami yang terbaru membuktikan bahwa LVH yang didiagnosis dengan EKG (Sokolow-Lyon criteria) adalah predictor terpenting untuk resiko CVD (yaitu infark miokard dan stroke), terlepas dari hubu­ngannya dengan TD di klinik ,TD ambulatorik (24-hour BP dan nocturnal BP), kadar serum norepinephrine, dan plasma fibrinogen.23 Hal ini disebabkan karena LVH ter­golong aritmogenik dan dapat memicu sudden death. Fibrosis dan kekakuan arteri yang ada pada LVH dapat memicu disfungsi sistolik dan diastolic, dan dilatasi atrium. Dilatasi atrium akan mencetuskan perubahan aliran listrik dan elektrofisiologis jantung yang memicu timbulnya fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium ini pada akhirnya akan mencetuskan stroke embolik. Lebih jauh, LVH meningkatkan konsumsi oksigen dan mengurangi aliran darah ke arteri coroner karena membesarnya massa otot ventrikel, sehingga akan menyebabkan iskemik miokardium dan gagal jantung.

Efektivitas Terapi Antihipertensi pada LVH
Secara umum, penurunan TD dengan obat anti hipertensi, penurunan berat badan dan diet ketat garam dapat menurunkan massa jantung pada pasien LVH, termasuk juga pada pasien dengan diabetes. Regresi LVH tergantung kepada respon dari penggunaan obat anti hipertensi, atau pada beberapa kasus, tergantung kepada tipe terapi yang digunakan. Beberapa penelitian klinis membuktikan bahwa penggunaan ACE inhibitor, ARB, aliskiren (direct renin inhibitor), CCB (khususnya diltiazem, verapamil, amlodipine) dan beberapa simpatolitik agen (termasuk metildopa dan alfa-bloker) dapat menghasilkan regresi LVH.24-26 Sebaliknya diuretik, beta blocker, vasodilator seperti hydralazine dan monoxidil, dan beberapa obat golongan CCB kurang efektif dalam menurunkan derajat LVH meskipun obat-obat tersebut efektif dalam menurunkan TD. Hal ini disebabkan karena obat-obat tersebut dapat menstimulasi pelepasan norepinephrine dan angiotensin II, yang dapat menyebabkan munculnya LVH.
Sebuah studi meta-analisis yang meng­evaluasi efektivitas dari beberapa obat anti hipertensi dalam menurunkan derajat LVH pada pasien hipertensi,27 memeperlihatkan bahwa setelah dipisahkan dari hubungannya dengan durasi terapi dan efeknya terhadap penurunan TD, besaran relative regressi massa ventrikel kiri dapat dilihat pada Gb. 4.
Data ini memperlihatkan bahwa ARB, CCB dan ACEI lebih efektif untuk regresi LVH dibanding dengan diuretic dan beta bloker. Efektivitas ARB juga sudah dibuktikan melalui LIFE study yang memban­dingkan efek ARB vs Beta blocker dalam regresi LVH yang dinilai dengan EKG, terlepas dari fungsinya sebagai penurun TD.18 Lebih jauh, PRESERVE study yang membandingkan enalapril (10-20 mg/hari) dan nifedipine (30-60 mg/hari) pada pasien hipertensi  disertai LVH, tidak dapat memperlihatkan perbedaan signifikan antara dua pilihan terapi tersebut dalam menurunkan TD atau LV mass.28

Fungsi Jantung setelah regresi LVH
Regresi LVH berhubungan dengan me­ningkatnya performa sistolik, meningkatkan stroke volume, dan tidak ada peningkatan pada resiko dekompensatio jika TD mening­kat. Regresi LVh juga memiliki beberapa keuntungan, seperti terjadi penurunan PVC (Premature ventcular beats) dan fibrilasi atrium. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat diketahui secara pasti apakah perubahan ini akan me­ngurangi resiko sudden death atau tidak.
Tidak banyak penelitian yang mempublikasikan efek dari regresi LVH terhadap disfungsi diastolik sebagai salah satu perubahan awal dari hi­pertensi. Data dari LIFE study memperlihatkan bahwa pada 728 pasien hipertensi dengan LVH yang dideteksi dengan EKG dan diberi terapi losartan/atenolol,  regresi LVH berhubungan dengan peningkatan fungsi diastolik yang signifikan. Namun setelah satu tahun follow-up, tidak ada perbedaan dengan pasien yang tidak mengalami regresi LVH.29
Meskipun demikian, evidence dari disfungsi diastolic masih terus diteliti. Seperti misalnya pada meningkatnya kolagen di miokardium yang didahului oleh peningkatan massa otot ventrikel pada disfungsi diastolik.

Kesimpulan
  1. LVH berhubungan dengan peningkatan angka kejadian gagal jantung, aritmia, infark miokard, penurunan fungsi sistolik dan diastolik LV, sudden death, dilatasi aortic root, dan stroke. Insiden CVD berhubungan langsung dengan regresi massa ventrikel kiri.
  2. LVH dapat didiagnosis baik dengan EKG maupun Eko kardiografi. Ekokardiografi dinilai lebih sensitif dan menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis LVH.
  3. Regresi LVH, baik yang dideteksi dengan EKG maupun Ekokardiografi, berhubu­ngan dengan menurunnya resiko CVD, dan meningkatkan fungsi jantung. Penggunaan obat antihipertensi yang tepat, pengurangan berat badan dan diet ketat garam dapat menurunkan massa ventrikel pada pasien LVH.
Eijiro Sugiyama Edison
Divisi jantung dan pembuluh darah,
Departemen penyakit dalam Jichi medical university,
Tochigi Jepang
Daftar Pustaka
  1. Levy D, Salomon M, Agostino RB, Belanger AJ, Kannel WB. Prognostic implications of baseline electrocardiographic features and their serial changes in subjects with left ventricular hypertrophy. Circulation 1994;90:1786-1793.
  2. Devereux RB. Is the electrocardiogram still useful for detection of left ventricular hypertrophy? Circulation 1990;81:1144.
  3. Ang D, Lang C. The prognostic value of the ECG in hypertension: where are we now? J Hum Hypertens 2008;22:460.
  4. Okin PM, Devereux RB, Jern S, Kjeldsen SE, Julius S, Dahlof B. Baseline characteristics in relation to electrocardiographic left ventricular hypertrophy in hypertensive patients: the Losartan Intervention For Endpoint reduction (LIFE) in hypertension study. Hypertension 2000;36:766-773.
  5. Sokolow M, Lyon TP. The ventricular complex in left ventricular hypertrophy as obtained  by unipolar precordial and limb leads. Am Heart J 1949;37:161-186.
  6. Verdecchia P, Schilacci G, Borgioni C. Adverse prognostic significance of concentric remodeling of the left ventricle in hypertensive patients with normal left ventricular mass. J Am Coll Cardiol 1995;25:871.
  7. Lang RM, Bierig M, Devereux RB,  Flachskampf FAFoster EPellikka PAPicard MHRoman MJSeward JShanewise JSSolomon SDSpencer KTSutton MSStewart WJ Recommendations for chamber quantification: a report from the American society of echocardiography’s guidelines and standards committee and the chamber quantification writing group, develop in conjuction with the European association of echocardiography, a branch of the European society of cardiology. J Am Soc Echocariogr 2005;18:1440.
  8. Ishikawa J, Hoshide S, Eguchi K, Ishikawa S, Shimada K, Kario K. Nighttime home blood pressure and the risk of hypertensive target organ damage. Hypertension. 2012 Oct;60(4):921-8.
  9. Yano Y, Kario K. Nocturnal blood pressure and cardiovascular disease: a review of recent advances. Hypertens Res. 2012 Jul;35(7):695-701.
  10. Hoshide SKario KHoshide YUmeda YHashimoto TKunii OOjima TShimada K. Associations between nondipping of nocturnal blood pressure decrease and cardiovascular target organ damage in strictly selected community-dwelling normotensives. Am J Hypertens. 2003 Jun;16(6):434-8.
  11. Ishikawa J, Shimizu M, Edison ES, Yano Y, Hoshide S, Eguchi K, Kario K. Assessment of the reductions in night-time blood pressure and dipping induced by antihypertensive medication using a home blood pressure monitor. J Hypertens 2014;32(1):82-9.
  12. Cowan BR, Young AA. Left ventricular hypertrophy and renin-angiotensin system blockade. Curr Hypertens Rep 2009;11:167-172.
  13. Schlaich MP, Kaye DM, Lambert E, Sommerville M, Socratous F, Esler MD. Relation between cardiac sympathetic activity and hypertensive left ventricular hypertrophy. Circulation 2003;108:560-565.
  14. Lip GY, Blann AD, Jones AF, Lip PL, Beevers DG. Relation of endothelium, thrombogenesis, and hemorheology in systemic hypertension to ethnicity and left ventricular hypertrophy. Am J Cardiol 1997;80:1566-1571.
  15. Heimann JC, Drumond S, Alves ATR, Barbato AJG, Dichtchekenian V, Marcondes M. Left ventricular hypertrophy is more marked in salt-sensitive than in salt-resistant hypertensive patients. J Cardiovasc Pharmacol 1991;17(suppl 2):S122-S124.
  16. Noda A, Okada T, Yasuma F, Nakashima N, Yokota M. Cardiac hypertrophic in obstructive sleep apnea syndrome. Chest 1995;107:1538-44.
  17. Desai CS, Ning H, Jones DML. Competing cardiovascular outcomes associated with electrocardiographic left ventricular hypertrophy: the atherosclerosis risk in communities study. Heart 2012;98:330-334.
  18. Okin PM, Devereux RB, Nieminen MS, Jern S, Oikarinen L, Viitasalo M, Toivonen L, Kjeldsen SE, Julius S, Snapinn S, Bjorn D. Electrocardiographic strain pattern and prediction of cardiovascular morbidity and mortality in hypertensive patients. Hypertension 2004;44:48-54.
  19. Jissho S, Shimada K, Taguchi H, Yoshida K, Fukuda S, Tanaka H, Yoshikawa J, Yoshiyama M, Ishii M, Goto Y. Impact of electrocardiographic left ventricular hypertrophy on the occurrence of cardiovascular events in elderly hypertensive patients. The Japanese Trial to Assess Optimal Systolic Blood Pressure in Elderly Hypertensive Patients (JATOS). Circ J 2010;74:938-945.
  20. Pierdomenico SD, Lappena D, Cuccurullo F. Regression of echocardiographic left ventricular hypertrophy after 2 years of therapy reduces cardiovascular risk in patients with essential hypertension. Am J Hypertens 2008;21:464-470.
  21. Verdecchia P, Porcellati C, Reboldi G, Gattobigio R, Borgioni C, Pearson T, Ambrosio G. Left ventricular hypertrophy as an independent predictor of acute cerebrovascular events in essential hypertension. Circulation 2001;104:2039-2044.
  22. Peterson GE, de Backer T, Contreras G, Wang X, Kendrick C, Greene T, Appel LJ, Randall OS, Lea J, Smogorzewski M, Vagaonescu T, Phillips RA. Relationship of left ventricular hypertrophy and diastolic function with cardiovascular and renal outcomes in African Americans with hypertensive chronic kidney disease. Hypertension 2013;62:518-525.
  23. Edison ES, Yano Y, Hoshide S, Kario K. Association of electrocardiographic left ventricular hypertrophy with incident cardiovascular disease in Japanese hypertensive patients. Am J Hypertens 2014 (submitted for publication).
  24. Franz IW, Tonnesmann U, Muller JF. Time course of complete normalization of left ventricular hypertrophy during long-term antihypertensive therapy with angiotensin converting enzyme inhibitors. AM J Hypertens 1998;11:631.
  25. Okin PM, Dvereux RB, Gerdts E. Impact of diabetes mellitus on regression of electricardiographic left ventricular hypertrophy and the prediction of outcome during antihypertensive theraphy: the Losartan Intervention For Endopoint (LIFE) reduction in hypertension study. Circulation 2006;113:1588.
  26. Solomon SD, Appelbaum E, Manning WJ. Effect of the direct renin inhibitor aliskiren, the angiotensin receptor blocker losartan, or both on the left ventricular mass in patients with hypertension and left ventricular hypertrophy. Circulation 2009;119:530.
  27. Klingbeil AU, Schneider M, Martus P, Messerli H, Schmeider R. A meta-analysis of the effects of treatment on left ventriculas marr in essential hypertension. Am J Med 2003;115:41
  28. Rials SJ, Wu Y, Xu X. Regression of left ventricular hypertrophy with captopril restores normal ventricular action potential duration, dispersion of refractoriness, and vulnerability to inducible ventricular fibrillation. Circulation 1997;96:1330.
  29. Wachtell K, Bella JN, ROkkedal J. Change in diastolic left ventricular filling after one year of antihypertensive treatment: The Losartan Intervention For Endpoint reduction in hypertension (LIFE) study. Circulation 2002;105:1071.

Pasien dengan Risiko Tinggi di Asia: Pendekatan dalam Pencegahan Penyakit Kardiovaskuler

(Laporan dari acara “Meet the Experts” 23 Agustus 2014, Jakarta dan 24 Agustus 2014, Bandung)

 
LDL-C pada pasien dislipidemia dengan diabetes direkomedasikan dibawah 70 mg/dL sesuai dengan guideline ESC/EAS 2011 atau penurunan LDL-C ≥ 50% dari baseline apabila target LDL-C tidak tercapai dengan statin poten dosis tinggi (baseline ≥ 150 mg/dL). Sedangkan guideline ACC/AHA 2013 merekomendasikan pasien dislipidemia dengan diabetes yang berumur 40-75 tahun dihitung terlebih dahulu risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan menggunakan Pooled Cohort Equation. Apabila skor < 7.5% maka diterapi dengan moderate intensity statin namun apabila skor ≥ 7.5% maka diterapi dengan high intensity statin.
Pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal memiliki risiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler meskipun karakteristik pada pasien tersebut memiliki kadar LDL-C yang rendah. Berdasarkan guideline ESC/EAS 2011, pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal (eGFR < 60ml/min/1.73m²) termasuk dalam kategori very high risk dimana LDL-C direkomendasikan dibawah 70 mg/dL atau atau penurunan LDL-C ≥ 50 % dari baseline apabila target LDL-C tidak tercapai dengan statin poten dosis tinggi (baseline ≥ 150 mg/dL).
PT. AstraZeneca Indonesia kembali bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia Cabang Jakarta dan Cabang Bandung menyelenggarakan kegiatan Meet the Experts dengan tema High-risk patients: the best approach for treating CVD risk yang menghadirkan Dr. Erwinanto, SpJP(K) dan Dr Shaiful Azmi Yahaya, MD, Mmed dari Institut Jantung Negara, Kuala Lumpur Malaysia sebagai narasumber. Diskusi di Jakarta dipimpin oleh Dr. Pradana Tedjasukmana, SpJP(K) sedang­kan diskusi di Bandung dipimpin oleh Dr. Achmad Fauzi Yahya, SpJP(K). Pada kegitatan ini dibahas 4 studi kasus tentang pasien dengan risiko tinggi yaitu pasien dislipidemia dengan diabetes, pasien dislipidemia dengan ACS, pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal, dan pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler berdasarkan skoring.
Kesempatan pertama disampaikan oleh Dr. Erwinanto, SpJP(K) yang fokus pada kasus pasien dislipidemia dengan diabetes dan pasien risiko tinggi berdasarkan skoring. Kasus yang perta  ma dikatakan seorang pria berumur 57 tahun dengan diabetes, hasil EKG tidak diketahui ad  anya MI. Pria tersebut sedang diterapi dengan obat hi­pertensi, serta tidak merokok. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar total kolesterol 190 mg/dL, LDL-C 103 mg/dL, HDL-C 36 mg/dL, TG 255 mg/dL, pria tersebut tidak mengkonsumsi obat penurun kolesterol. Apakah pria tersebut bisa dianggap dislipidemia? berdasarkan guideline ESC/EAS 2011, pasien dengan diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 dengan kerusakan target organ seperti mikroalbuminuria maka sudah dianggap sebagai kelompok pasien very high risk dimana target LDL-C direkomendasikan dibawah 70 mg/dL. Pada kasus ini pria tersebut dianggap dislipidemia karena mempunyai kadar LDL-C 103 mg/dL sehingga diturunkan dibawah 70 mg/dL. Strategi pengobatan seperti apa yang direkomendasikan? rekomendasi pertama, terapi dengan statin yang sesuai intensitas penurunan LDL-C. Baseline LDL-C pria tersebut adalah 103 mg/dL dan target LDL-C dibawah 70 mg/dL sehingga dibutuhkan penurunan LDL-C sebesar 32%. Dengan melihat kemampuan statin dalam menurunkan LDL-C maka pilihan yang ada yaitu Rosuvastatin 5 mg, Atorvastatin 10 mg, Simvastatin 20 mg atau Pitavastatin 2 mg. Rekomendasi yang kedua, penurunan LDL-C sebesar ≥ 50% dari baseline tetapi dengan syarat apabila target LDL-C dibawah 70 mg/dl tidak berhasil dicapai. Rekomendasi yang ketiga, penambahan ezetimibe dengan statin. Pilihan tersebut dilakukan apabila target penurunan LDL-C tidak berhasil dicapai dengan statin poten (baseline ≥ 150 mg/dL). Apakah obat-obat non-statin dapat diberikan? golongan fibrat dapat diberikan langsung ketika kadar TG ≥ 500 mg/dL. Sedangkan penambahan fibrat pada terapi statin dilakukan apabila pasien mempunyai kadar TG masih tetap diatas 200 mg/dL meski­pun target LDL-C sudah tercapai dengan statin pada pasien dengan risiko tinggi dan risiko sangat tinggi untuk menurunkan non-HDL-C menjadi 30 mg/dL diatas target LDL-C. Golong­ an niacin tidak direkomendasikan. Apabila merujuk pada guideline ACC/AHA 2013 pasien dengan diabetes melitus tipe 1 atau 2 berumur 40-75 dihitung terlebih dahulu risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan menggunakan Pooled Cohort Equation. Hasil perhitungan pada kasus ini menunjukkan risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan adalah 9,9%, sehingga rekomendasi terapi menggunakan high intensity statin yang mana dapat menggunakan Rosuvastatin 20-40 mg atau Atorvastatin 40-80 mg.
Kasus kedua adalah seorang pria berumur 65 tahun tanpa hipertensi, tanpa riwayat penyakit kardiovaskuler maupun diabetes, tanpa riwayat keluarga dengan ASCVD, dan lingkar pinggang 88 cm. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar kolesterol total 190 mg/dL, LDL-C 103 mg/dL, HDL-C 42 mg/dL, dan TG 225 mg/dL. Fungsi hati dan ginjal dalam keadaan normal, begitu juga pada pemeriksaan EKG. Apakah pria tersebut membutuhkan terapi statin untuk menurunkan risiko kardiovaskuler? berdasarkan SCORE risk chart, pria tersebut mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler 10 tahun kedepan 8-10% atau termasuk kategori pasien dengan risiko tinggi - sangat tinggi. Baseline LDL-C 103 mg/dL dan target LDL-C 70-100 mg/dL sehingga dibutuhkan penurunan 3-32%. Penghitungan dengan pooled cohort equation menunjukkan angka 14.8% se­hingga dibutuhkan terapi high intensity statin.
Dr Shaiful Azmi Yahaya, MD, Mmed melanjutkan dengan kasus ketiga yang merupakan pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal. Dikatakan hanya ada 3 RCT yang tersedia untuk statin pada pasien CKD yaitu 4D (Die Deutsche Diabetes Dialyse Studie, 2003), AURORA (A study to evaluate the Use of ROsuvastatin in subjects on Regular Hemodialysis: an assessment of survival and cardiovascular events, 2009), dan SHARP (Study of Heart And Renal Protection, 2011). Pada kasus ini, seorang wa­­nita berumur 68 tahun dengan keluhan bilateral edema tungkai bawah, peme­riksaan menujukkan BP 148/84 mmHg, PR 79/min, RR 18/min, BT 36.90C, BMI 28, PE: S4 over apex, mild bilateral lower leg edema. Pasien ini mempunyai riwayat hipertensi ri­ngan, tanpa diabetes, riwayat me­rokok, dan tidak ada riwayat keluarga terkena penyakit kardiovaskuler. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hgb: 10.9 gm/dl, WBC: 10000, Platelet: 325000, gula darah puasa: 110 mg/dL, HbA1C: 6.2%, serum albumin: 3.2 gm/dL, Cr: 1.5, eGFR 36.7 (MDRD), BUN: 28, urine protein: ++, ALT: 23, kolesterol total: 228 mg/dL, LDL-C: 142 mg/dL, HDL-C: 28 mg/dL, TG: 389 mg/dL, EKG: LVH (tidak ada Q wave). Saat ini pasien meminum Amlodipine 5 mg, fenofibrat 200 mg, dan aspirin 10 mg. Tingkat risiko pasien tersebut adalah CKD stadium 3, sindroma metabolik, penghitungan framingham risk score adalah 24% dan pooled cohort equations yaitu 27.4%. Target pe­ngobatannya yaitu BMI, Tekanan Darah < 140/90 mmHg (ESH/ESC 2013) dan LDL-C < 100 mg/dL atau < 70 mg/dL. Pada kasus ini terapi yang direkomendasikan adalah perubahan gaya hidup, penambahan losartan 100 mg, dan penambahan rosuvastatin 10 mg. Setelah 3 bulan, hasil peme­riksaan pada pasien ini adalah home BP: 132/78 mmHg, BMI 27, gula darah puasa: 104 mg/dL, HbA1C: 6.1%, Cr: 1.4, eGFR 40 (MDRD), urine protein: +, ALT: 33, kolesterol total: 160 mg/dL, LDL-C: 78 mg/dL, HDL-C: 30 mg/dL, TG: 281 mg/dL. Ada pertanyaan yang muncul, apakah beberapa statin mempengaruhi ginjal dan fungsi ginjal? penelitian yang dilakukan oleh Shepherd, et al (2006) menguji keamanan dan tolerabilitas dari rosuvastatin menggunakan database yang terintegrasi dari 33 penelitian yang melibatkan 16.876 pasien dan mewakili 25.670 pasien yang selama bertahun-tahun terus-menerus menggunakan terapi rosuvastatin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien yang diobati dengan rosuvastatin 5-40 mg ≤ 52 minggu, ≥ 96 minggu dan ≥ 144 minggu, kadar kreatinin serum menurun di seluruh kelompok dosis masing-masing sebesar 1-3 µmol/L, 3-4 µmol/L, dan 4-5 µmol/L. Meskipun perbaikan rata-rata eGFR dari baseline yang relatif kecil, hal tersebut ditemukan pada pasien yang menerima terapi   rosuvastatin dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Besarnya perubahan eGFR yang terjadi dengan terapi rosuvastatin cenderung meningkat selama masa pengobatan dan tampaknya tidak terkait dengan dosis rosuvastatin. Selain itu, hasil menunjukkan peningkatan eGFR yang berarti tidak memperburuk fungsi ginjal.
Kasus keempat yaitu dislipidemia pada pasien ACS, seorang pria berumur 68 tahun de­ngan nyeri dada saat beristirahat yang berlangsung selama 30 menit dan dirasakan 3 jam sebelum periksa. Pria tersebut memiliki riwayat hipertensi, merokok, hiperkolesterolemia dan meminum obat secara tidak teratur. Hasil pemeriksaan kolesterol total 261 mg/dL, TG 160 mg/dL, HDL-C 44 mg/dL, LDL-C 185 mg/dL, CK-MB: 8.88 ng/ml (kisaran referensi: 0-5), Troponin (TnI): 0.385 ng/ml (kisaran referensi: 0-0.78). Pemeriksaan EKG dalam keadaan normal, sedangkan pemeriksaan CT koroner menunjukkan adanya oklusi koroner total. Pria tersebut didiagnosis non-ST-segment elevation ACS dan diberikan aspirin 300 mg loading, ticagrelor 180 mg loading, carvedilol 12.5 mg, LMWH. Selain itu, dia juga diberi rosuvastatin 20 mg loading dan 20 mg 2 jam sebelum PCI. Keesokan paginya, CAG dan PCI dilakukan, MRI menunjukkan adanya ukuran infark yang relatif kecil (7%). Pada kondisi awal terdapat hiperkinesia tetapi sekarang sudah hilang.
Statin sebagai pre-treatment adalah pilihan yang sangat baik, efek protektif pada pasien de­ngan ACS telah terbukti dalam beberapa penelitian besar yang dilakukan secara acak.
Dalam meta analysis dari 13 penelitian, pre-loading dengan statin menunjukkan hasil klinis yang lebih baik. Guideline ACCF/AHA/SCAI 2011 untuk PCI direkomendasikan penggunaan statin dosis tinggi sebelum PCI untuk mengurangi risiko periprocedural MI terutama pada pasien yang belum pernah mendapatkan statin atau statin-naïve.*
(ARTIKEL SPONSOR)

SEJARAH KARDIOLOGI (IV/habis)

(untuk baca artikel bagian awalnya, klik disini)

Pembangunan fisik telah selesai, ...... namun untuk memulai operasionalnya perlu semua komponen kardiologi mendukung, sedangkan pada saat transisi masih ada 2 tempat di RSCM dan RS.Jantung (Cardiac Center). Pendidikan PPDS masih terpusat di RSCM karena saat itu Prof. Asikin Hanafiah masih mempertimbangkan kelancaran pendidikan.
Tentunya untuk berjalannya Rumah Sakit Jantung ini, pihak Yayasan Harapan Kita (Ibu Tien Suharto) dan yang berkepentingan dalam pembangunan Rumah Sakit Jantung menginginkan semua aktivitas kardiologi di RSCM dipindahkan ke RSJHK sehingga untuk memulai operasionalnya berjalan lancar, berarti memerlukan bantuan Institusional dari FKUI.
Dengan Surat Keputusan Dekan Fakuiltas Kedokteran Universitas Indonesia nomor 2908/II.A/FK/1985 tanggal 1 Agustus 1985 resmilah pemindahan lokasi dan kegiatan Bagian kardiologi Fakultas Kedokteran universitas Indonesia dari Rumah Sakit Dr. Cipto mangunkusumo ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dengan pertimbangan sebagai berikut :
  1. Untuk memulai kegiatan operasional Rumah Sakit jantung Harapan Kita memerlukan bantuan secara institusional dari FKUI khususnya dari bagian kardiologi.
  2. FKUI mendapat kepercayaan dan sekaligus merasa berkewajiban membantu Rumah Sakit Jantung harapan Kita agar rumah sakit tersebut dapat berfungsi dengan baik.
  3. Fasilitas dan sarana yang dimiliki oleh RSJHK dapat dan perlu dimanfaatkan secara oprtimal untuk pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, khususnya dalam bidang penyakit jantung.
  4. Untuk mencap[at hasilguna dan dayaguna yang setinggi-tingginya dirasakan perlu mendekatkan lokasi kegiataan Bagian Kardiologi FKUI dengan RSJHK

Menindak lanjuti SK Dekan tersebut pada taanggal 5 September 1985 diadakan rapat pihak Dekan FKUI, Direktur RSCM dan Bagian kardiologi FKUI yang diwakili oleh dr. Loethfi Oesman dan dr.Dede Kusmana dengan keputusan “untuk sementara pelaksanaan pemindahan masih perlu ditunda sambil menunggu persiapan-persiapan fasilitas RSCC”. Keputusan ini diperkuat dengan surat Dekan FKUI dan Direktur RSCM tanggal 7 September 1985.
Program Studi Ilmu penyakit jantung dan Pembuluh darah PPDS-I FKUI, pada saat itu juga dr.Asikin Hanafiah sebagai KPS belum memindahkan aktivitas pendidikannya.
Untuk sementara Kepala Bagian Kardiologi FKUI dr. Sukaman mengangkat dr. Tagor G.M.Siregar sebagai pejabat Kepala SMF Kardiologi RSCM yang ditindak lanjuti mengangkat staf sebagai berikut:
-   Dokter di Poli Dewasa : dr. Edi hartanuh
-   Dokter di Poli Anak : dr. Irmalita
-   Dokter di Pav VB & Pav V Astra : dr. Muhammad Yusak
-   Supervisor ICCU/Emergency : dr. Muchtar Hanafy
-   Dokter di ICCU : dr. Dedi Affandi WK dan dr. Barita S
-   Dokter di Emergency : dr. Aulia Sani
-   Dokter di Eko. dan Stress Test : dr. Idris idham
-   Dokter diInvasif/Ket : dr. Nurharyono
-   Dokter di Post Op Bedah Jantung : dr. Budhi Setianto
Diawal kegiatan tidak hanya Kardiologi dari Bagian Kardiologi FKUI saja yang ikut ke RSJHK, tetapi Kardiolog dari Bagian I. Penyakit Dalam-pun yang diantaranya dr. Nurhay Abdurahman ikut ke RSCC sebagai Kepala UPF Rawat Dewasa RSCC. Namun karena alasan kegiatan pendidikan mahasiswa terlantar, yang bersangkutan kembali ke RSCM dan diikuti dengan yang lainnya.
Setelah itu maka pada tanggal 9 Nopember 1985 Rumah Sakit Jantung (Nasional Cardiac Center) pun diresmikan.
Sedikit demi sedikit kegiatanpun dipindah ke RSCC, dan akhirnya pada tanggal 28 Nopember 1985 dr. Sukaman menyerahkan ruangan dan inventaris kantor di RSCM kepada Direktur RSCM. “BEDOL DESA” pun terjadi.
Pada tanggal 3 Mei 1986, Papan Nama Bagian Kardiologi FKUI di RSCC diresmikan oleh Dekan FKUI.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
Pada saat perhatian yang terarah kepada ilmu kardiovaskular baik di dalam maupun di luar negeri, dr. Sukaman adalah Staf yang pertama kali mendapat pendidikan di luar negeri pada bulan September 1959 s/d Juni 1960 yaitu “Post Graduate Course Cardiology di Mass General Hospital, Boston-Amerika dan dilanjutkan dari bulan Juni 1960 s/d Juni 1961 bidang Pediatric Cardiology dan Surgical cardiology di Univ. Hospital of Virginia, Charlottes Vile Va.
 Pada tahun 1961-1962 dr.Asikin Hanafiah dikirim ke London untuk mengikuti “Post Graduate British Councill Fellow in Pediatric Cardiology and Adult Cardiology”, sedangkan dr. Tagor G.M.Siregar dan dr.Loethfi Oesman memperdalam ilmu kardiovaskularnya dikirim ke Mc Gill University, Kanada pada tahun 1966-1967.
Pada tahun 1967 dikukuhkan sebagai Dokter Ahli Penyakit Jantung (Kardiolog) kepada dr. ISF Ranti, dr. Sukaman, dr. Loethfi Oesman, dr. Tagor G.M.Siregar dan dr. Asikin Hanafiah.
Pada tahun 1971 dihasilkan kardiolog-kardiolog Angkatan Pertama yaitu dr. Lily Ismudiati Rilantono kemudian disusul dengan angkatan dr. Sjukri Karim, dr. Bambang Madiono, dr.Maemunah Affandi, dr. Arieska Ann Soenarta, dr. Sugandhi dan dr. Adjit Singh Gill.
Kebutuhan Kardiolog di masyarakat semakin mendesak, maka pendidikan Ahli Penyakit Jantung dan pembuluh darah dikembangkan sebagai spesialisasi langsung dari pendidikan dokter umum. Kurikulum Pendidikan Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dimantapkan dan diresmikan dalam Kongres Nasional Perkumpulan Kardiologi Indonesia ke I (KOPERKI-I) di Jakarta pada tanggal 3 Agustus 1974.
Pada tahun 1974, dilantik Kardiologi baru yaitu dr. RM Dedi Affandi Widjajakusumah dan dr. Otte Juniarto Rachman. Sedangkan pada tahun berikutnya 1975, dilantik dr. Irawati Pulungan, dr. Dede Kusmana, dr. Har Suharto Mangunkusumo, dr, ZD Muchtar, dr. Boerman dan dr. Hadi Purnomo.
Sampai dengan lulusan tahun 1980 Brevet dikeluarkan oleh PERKI dan didaftarkan ke MDA-IDI. Ketua Dewan Penilai adalah dr.Sukaman yang juga menandatangani brevet lulusan.
Dengan dikeluarkannya SK Mentri Dikbud nomor 076/U/1980 tanggal 10 Maret 1980 tentang Program Pendidikan Dokter Spesialis, Program Studi Ilmu Penyakit Jantung adalah salah satu dari 14 program Studi yang di bina di Universitas Indonesia. Penyelenggaraan Pendidikanpun dibawah Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia dengan dikoordinasi oleh Ketua Bidang Studi. Pada pusat pendidikan di Bagian Kardiologi FKUI diangkat dengan SK Rektor Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dr. Sukaman (KPS Pertama), Ijazah lulusan dikeluarkan oleh Universitas Indonesia yang ditandatangani oleh Dekan Fakultas Pascasarjana dan Rektor UI
Atas niat baik dari CHS, Dekan FKUI maupun KBS saat itu dr.Surarso Hardjowasito meminta Katalog Program Studi Ilmu Penyakit Jantung sebagai pedoman pendidikan. Akhirnya Dekan FKUI saat itu Prof.Dr.dr.Asri Rasad, MSc memberi tugas kepada dr.ISF Ranti dari Bagian IKA, dr. Nurhay Abdurahman dari Bagian IP.Dalam dan dr.Asikin Hanafiah dari Bagian Kardiologi FKUI, untuk membuat Katalog. Ada dua Konsep Katalog yang diajukan ke CHS, dan Katalog Program Studi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah yang diajukan dari Bagian Kardiologi FKUI disetujui dan dicetak oleh Dikbud sebagai Katalog Nasional.
SK Rektor Mengangkat KPS (yang kedua) dr.Asikin Hanafiah dan SPS dr.Hadi Purnomo.
Sejak tahun 1997 Program Dokter Spesialis di FKUI yang semula dibawah Fakultas Pascasarjana UI diserahkan kepada Fakultas Kedokteran UI dikoordinasi oleh TIMKO PPDS FKUI yang kemudian ditingkatkan pengelolaannya dibawah Wakil Dekan V bidang pendidikan Dokter Spesialis dengan dibantu oleh Panitia Pengembangan Dokter Spesialis. Ijazah lulusan dikeluarkan oleh UI yang ditandatangani oleh Dekan FKUI dan Rektor UI. Sebelum diterbitkannya ijazah tersebut dikeluarkan tanda selesai pendidikan yang ditandatangani oleh Ketua Program Studi Ilmu Penyakikt Jantung dan Pembuluh Darah PPDS-I FKUI dan Dekan FKUI.
SK Rektor no. tgl. Mengangkat KPS(yang ketiga) dr.Sjukri Karim dan SPS tetap dr.Hadi Purnomo. Sedangkan SK Rektor no. tgl. Mengangkat KPS (yang ke tiga) dr.Hadi Purnomo dan SPS dr.Sunarya Soerianata.

(Buku KOLEGIUM PERKI)

Program iSTEMI Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu


Protokol Jejaring Rujukan iSTEMI Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu.

Berdasarkan kutipan laporan WHO 2011, mortalitas penyakit kardiovaskular terutama Infark Miokard Akut masih merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Pasien yang mengalami serangan Infark Miokard Akut (AMI) dengan gambaran EKG elevasi segmen ST mempunyai mortalitas yang tinggi pada fase–fase awal dan prognosisnya hanya dapat diperbaiki dengan reperfusi yang cepat dan tepat. Chain of survival dari STEMI melibatkan strategi yang terintegrasi dimulai dari edukasi pasien dan kontak dini dengan tenaga kesehatan atau jejaring, koordinasi protokol ke fasilitas yang dapat melakukan reperfusi, baik dengan fibrinolisis maupun intervensi koroner perkutan primer, layanan emergensi yang efisien untuk mempersingkat waktu “door to reperfusion” dan implementasi strategi reperfusi dari tim yang terlatih.
Pada tahun 2008, dimulai registri Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dan hasil data tersebut di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita memperlihatkan 59% STEMI dan sebagian besar yang datang terlambat berasal dari rujukan rumah sakit lain. Pada tahun 2011, dibentuk sistem rujukan yang diberi nama Jakarta Cardiovascular Care Unit Network System, termasuk call center “Heart Line”. Dibandingkan dengan sebelum dibentuk jejaring, hanya jumlah rujukan pasien STEMI antar-rumah sakit meningkat secara bermakna, namun jumlah pasien STEMI   yang datang terlambat (late presenter) tidak berbeda jauh (53,1% vs 51,2%). Sehingga sebagian besar pasien STEMI yang tiba di rumah sakit Harapan Kita tidak mendapat terapi reperfusi, dengan dampaknya mortalitas di rumah sakit  pada pasien STEMI yang tidak di reperfusi dua kali lipat lebih tinggi.
Data diatas menimbulkan hipotesa angka re­perfusi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kemampuan reperfusi fasilitas kesehatan perujuk. Dalam upaya untuk membuktikan konsep ini maka Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu dipilih sebagai pilot program. Adapun Program ini diberi nama iSTEMI (Indonesia STEMI) dan merupakan kerjasama antara Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Pokja PERKI terkait, Departemen Kardiologi FKUI, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Kesehatan Kota Administratif Jakarta Barat, Suku Dinas Kesehatan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, RSUD Cengkareng dan Medtronic Indonesia. Program ini dikembangkan dengan menitik beratkan pada suatu pro­tokol operasional praktis, pelatihan, dan penyediaan sarana  untuk digunakan oleh dokter dan perawat untuk melakukan terapi reperfusi sesuai dengan pedoman untuk mempersingkat keterlambatan reperfusi dalam penanganan pasien STEMI.
Jejaring iSTEMI dirancang dalam skala regional/wilayah Jakarta Barat dengan menggunakan model hub (rumah sakit penerima rujukan) dan spokes (pusat layanan kesehatan pe­ngirim rujukan). Sistem ini akan mengatur aktivitas dari semua jaringan pelayanan kesehatan di Jakarta Barat Kepu­lauan seribu termasuk RS swasta, sehingga akan menyediakan pelayanan kardiovaskular yang lebih baik untuk masyarakat. Hasil data yang secara berkala bertujuan untuk memberikan solusi secara berkala, membangun rencana kerja dan memperbaiki sistem pelayanan tidak hanya untuk di Jakarta  Barat, namun untuk Jakarta atau bahkan wilayah seluruh Indonesia. 

Dafsah A. Juzar
Ketua Program iSTEMI Jakarta Barat
& Kepulauan Seribu

Kardiologi Kuantum (29): Sindroma “PilPres” dan Revolusi Mental

“The masses have never thirsted after truth. They turn aside from evidence that is not to their taste, preferring to deify error, if error seduce them. Whoever can supply them with illusions is easily their master; whoever attempts to destroy their illusions is always their victim.”

~Gustave Le Bon — The Crowd: A Study of the Popular Mind, p. 110, Viking Press, 1960~

SALAM KARDIO. Demam pemilihan pre­­siden baru-baru ini adalah bagaikan suatu sindroma (kumpulan gejala penyakit) dengan manifestasi klinik berupa rasa panas-dingin, suara serak, mata melotot, dan kelelahan (tampak dari dinamika gambar di TV-TV yang menyala di rumah sakit) telah melanda seluruh lapisan masyarakat. “Penyakit” tersebut juga telah memasuki dunia kesehatan dengan masyarakat rumah sakit, sebagai kasus studi. Masyarakat rumah sakit terdiri dari pasien, petugas kesehatan (dokter, perawat, dan penunjang kesehatan lainnya), keluarga pasien, handaitaulannya, termasuk tamu-tamu rumah sakit: perwa­kilan perusahaan obat, alat kesehatan, bahkan mahasiswa kedokteran S1, S2, dan S3.
Di salah satu rumah sakit di Jakarta, mungkin juga di semua rumah sakit, ma­syarakatnya waktu itu benar-benar telah terbelah menjadi dua, yang memilih No. 1 Prabowo-Hatta (Prabowo Subianto – Hatta Radjasa) dan yang memilih No. 2 Jokowi-JK (Joko Widodo – Jusuf Kalla). Di sela-sela pekerjaan sehari-hari semakin mendekati hari pemilihan suara semakin “keras” dikotominya, sehingga secara kasat mata terlihat jelas siapa yang mendukung No. 1 dan No. 2. Terlihatlah dari jumlah jeriji yang diacung-acungkan baik keatas, ke depan, ke pelipis, dan yang malu-malu hanya cukup membalas acungan jari tersebut, tanpa berinisiatif. Bila acungannya berbeda, “Ganti dong pilihannya”, teriak mereka, ada pihak-pihak yang bersemangat memberikan argumennya dengan perdebatan-perdebatan yang acapkali memanas disertai pembagian pin dan kaos berlogo pilpres. Bahkan publik rumah sakit meneruskan posisinya dan teriakan-kampanye dengan menulis keyakinannya di dunia maya facebook, blogger, dan twitter atau media sosial terbatas lainnya seperti BBM, WhatsApp, dan Telegram. Ada juga kampanye bening misalnya agar memilih pilihan Nomor Tiga yaitu...Cak Lontong dengan salam lempernya atau Pak Legowo yang tidak terdaftar di KPU.
Sudah lebih dari 35 tahun penulis menjadi dokter, baik sebagai dokter sipil maupun militer, belum pernah merasakan suasana penyakit “Demam Pilpres” semacam ini di dalam rumah sakit, di mana petugas kesehatannya terbelah dua keyakinan pilihan politiknya. Demam semacam ini yang sifatnya sementara barangkali boleh disebut neurosis, bersifat sementara kalau sampai terbelah kepribadiannya dinamakan psikosis. Pernah dalam satu sms yang masuk situasi di luar sana cukup mengerikan. Petugas rumah sakit memiliki dua ketakutan; pertama, korban kerusuhan akan masuk ke rumah sakit dan kedua petugasnya sendiri was-was di jalan kalau pulang ke rumah. Para dokter biasanya membantu menenangkan berdasarkan pe-ngalaman hidup yaitu seringnya kita meras­a ketakutan akan terjadi sesuatu dan seringkali juga tidak terjadi apa-apa termasuk berita-berita yang sumber beritanya tidak jelas se­perti kampanye hitam. Benar juga kata bapak psikologi-massa Gustave Le Bon, publik atau kerumunan massa adalah kelompok naif yang mudah terprovokasi.
“Dokter, anda memilih calon presiden nomor berapa sih? Kasih dong pencerahannya sedikit, anda kan termasuk orang yang dituakan di rumah sakit ini!” tanya para pe­rawat. Alih-alih menjawab pertanyaan, malah mengajukan kriteria seorang calon presiden pilihan kita. “Pilihlah Presiden yang 'lebih' percaya (iman) kepada Tuhan YME dan 'lebih' jujur kepada masyarakat”. Meng­apa memilih yang lebih beriman ka­rena se­tiap sepak terjangnya akan diberkati, diri­dhoi, dan mendapat barokah dari Tuhan YME, di sinilah ada aspek Ketuhanannya. Lebih jujur karena kalau presidennya jujur, pasti berani, tegas mengambil keputusan dengan adil, dan kalau adil rakyat akan memberikan kesetiaan kepadanya, disinilah aspek kemasyarakatannya. “Terus kita memilih nomor berapa?” “Ya terserah anda, bebas memilih dan gunakanlah hak pilih sebaik-baiknya!” Mungkin karena dokter-tua masih dianggap panutan di dalam masyarakat rumah sakit, mereka masih mendesak terus pilihan mana yang seyogyanya diberikan, dan kita sendiri memilih siapa. “Dokter, anda pasti memilih No. 1, karena selalu pakai baju lengan pendek putih dan pakai epolet di pundak seperti pramuka, paskibraka dan tentara”, saya tersenyum dan mengangguk-angguk saja karena saya tahu mereka pasti pemilih untuk Capres-Cawapres No. 1. “Akh nggak, dokter pasti memilih No. 2 karena mengajukan hanya dua kriteria calon presiden/wakilnya apalagi anda adalah orang kota-kembar-nama (Ngayogyakarto dan Surokarto) Hadiningrat”, saya tersenyum dan mengangguk-angguk karena “mengerti persoalan” ­bahwa yang menebak ini pasti para pemilih Capres-Cawapres No. 2.
Di dunia kedokteran ada pelajaran empati untuk tidak mengganggu religi dan keyakinan pasien yang sedang sakit. Justru harus melakukan reedukasi sesuai dengan religinya, keyakinan agamanya. Semangat Ketuhanannya sedapat mungkin dibangkitkan kembali. Kesadaran dan ketaatan beragamanya diakomodasi, sekali waktu kita akan mendengar “keajaiban” dalam upaya penyembuhan model holistikekliktik tersebut. Dokter harus mengembalikan pengetahuan pasien bahwa dokter hanyalah perantara saja, dan bahwa DIA-lah yang telah menyembuhkannya. Alfred Adler, neurolog-psikiater menganjurkan agar dokter bersifat seperti kakak yang lebih berpengalaman kesehatan terhadap pasiennya. Menurut Prof. Soemantri Hardjoprakoso, dalam Candra Jiwa Indonesia, kalau seorang dokter hendak memberikan penyuluhan kesehatan, dokter itu sendiri seyogyanya sudah melaksanakannya. Pasien memiliki insting yang masih sehat walaupun badannya sakit. Pasien akan mudah tahu kalau dokternya belum menjalankan nasehatnya sendiri, disini aspek kejujuran di pihak dokter mulai muncul.
“Wah, dokter plin-plan juga neh, Capres-Cawapres No. 1 oke; No. 2 oke juga, haiyaa!” “Ha ha ha.” “Anda benar juga, saya sedang membayangkan anda semua ini kan sedang sakit neurosis yang self limiting disease artinya nanti akan sembuh dengan sendirinya setelah PilPres selesai, tanggal 9 Juli 2014. Dalam hal ini saya harus memelihara empati dan melakukan reedukasi sesuai dengan keyakinan anda atas pilihan yang akan anda jatuhkan, kan dalam persepsi saya anda adalah “pasien-sakit“, bukan “klien-sehat“. Jadi mana saja oke asal itu pilihan pribadi anda, secara bioetika adalah hak otonomi pasien. Kata kuncinya reedukasi bukan edukasi keyakinan sesuai pilihan saya, itulah disiplin ilmu kesehatan mental.”
Kita sudah mendengar gelegar Revolusi Mental Jokowi yang kini sudah menjadi pre­siden terpilih KPU, hendaknya dimulai dari dalam diri kita sendiri dan digemakan secara integral keluar melalui jalur struktur sosial berjenjang yaitu bangunan struktur ekonomi, politik, dan hukum yang diberi jembatan oleh kebudayaan dalam arti luas. Walaupun sebagian masyarakat telah mendengar istilah tersebut cukup lama dari para kelompok pemikir humaniora dan pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1956 dan 1962, terasa masih relevan disampaikan lagi secara bersambung oleh presiden berikutnya bagi rakyat Indonesia, apalagi ketika rakyatnya tertimpa “paradoks pelik”. Terlihat oleh rakyat dalam kiprah KPK, suatu lembaga hukum ad hoc “melibas” oknum-oknum puncak lembaga hukum, pembuat dan pelaksana undang-undang sampai departemen agama. Apakah ada yang salah dalam berkebudayaan masyarakat Indonesia terutama dalam berketuhanan dan bermasyarakat? Tampaknya sesuatu yang disebut revolusi mental memang harus dimulai dari dalam diri kita, melebar di dalam keluarga, dan di tempat kerja kita masing-masing.
Melihat struktur mental manusia dengan kacamata Sigmun Freud, Alfred Adler, dan Carl Gustav Jung yang telah dibandingkan dengan cara menyejajarkan posisi egonya manusia dengan Candra Jiwa Indonesia seperti yang telah dilakukan oleh Prof. Soemantri Hardjoprakoso dalam disertasinya di Rijkuniversiteit Leiden di Negeri Belanda 1956. Judul disertasinya adalah Indonesisch Mensbeeld als Basis Ener Psycho-Therapie yang artinya Candra Jiwa Indonesia sebagai dasar psikoterapi, terapi mental. Dalam skala kontinuum waktu, perjalanan kehidupan mental seorang manusia adalah suatu peristiwa evolusi. Percepatan dari suatu evolusi dalam skala pribadi yang diintegrasikan de­ngan struktur sosial-ekonomi, politik dan  hukum yang dijembatani dengan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya dapat dimaknai sebagai suatu bentuk revolusi mental.
Berbekal dari uraian diatas, sebagai warga negara kita wajib berbakti kepada Tuhan YME dan Utusan-Nya yang abadi, diteruskan kepada Pimpinan Negara dan Undang-undangnya sampai tanah tumpah darahnya. Dengan dua kata kunci untuk lebih memperbaiki iman kepada Tuhan YME dan ke-jujur-an kita kepada masyarakat sebagai modal awal revolusi mental di dalam diri kita sendiri dalam menyongsong gerakan masyarakat (revolusi mental) untuk Indonesia Raya. Sesuai dengan yang telah disarankan oleh Wage Rudolf Supratman: ...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya. Salam kuantum. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan rakhmat dan barokahnya kepada bangsa Indonesia, amin.
Budhi S. Purwowiyoto

Kopeptin sebagai Biomarker Infark Miokard Akut: Detektor Dini Berikutnya?

Deteksi dini, intervensi dini, dan mana­jemen faktor risiko dengan strategi pen­cegahan sekunder adalah kunci untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas sindrom koroner akut (SKA). Deteksi dini kasus infark miokard akut (IMA) khususnya IMA dengan elevasi segmen ST (IMAEST), sangat penting untuk mempercepat pemberian terapi reperfusi farmakologis yang invasif dan agresif.1,2
Menurut definisi internasional ketiga IMA, abnormalitas elektrokardiografik serta perubahan kadar troponin jantung meru­pakan elemen-elemen kunci diagnosis IMA. Troponin jantung adalah protein struktural yang merupakan standar emas diagnosis IMA. Terdeteksinya biomarker-biomarker tersebut dalam plasma menunjukkan adanya nekrosis miokard.1,3
Untuk saat ini, pemeriksaan troponin jantung tidak bisa membedakan apakah nekrosis miokard terjadi karena etiologi iskemik atau noniskemik. Pemeriksaan troponin jantung juga tidak mampu men­deteksi nekrosis miokard pada jam pertama setelah gejala muncul. Ada rentang waktu antara onset gejala dan kemunculan troponin jantung dalam darah. Troponin jantung  meningkat dalam waktu 6 - 9 jam setelah onset dan sensitivitasnya 39 - 43% bila pasien dibawa ke IGD tiga jam setelah onset.1,4,5
Kelemahan-kelemahan tersebut dapat mempersulit penentuan penyebab kenaikan kadar troponin jantung plasma. Dengan demikian, penggunaan biomarker lain yang tidak tergantung pada nekrosis sel, seperti kopeptin, dapat lebih informatif terkait adanya iskemia miokard, ruptur plak, atau sinyal-sinyal IMA fase dini yang lain sehingga dapat membantu mendiagnosis IMA secara cepat.1,6
Studi kohort prospektif dilakukan oleh Reichlin dkk pada 487 pasien yang dibawa   ke IGD dengan gejala-gejala sugestif IMA dan onset  ≤ 12 jam sebelum admisi. Tujuan studi ini adalah untuk memeriksa nilai kenaikan kopeptin guna menyingkirkan diagnosis IMA secara cepat. Troponin T jantung (cardiac troponin-T [cTnT]), creatin kinase myocardial band (CKMB), mioglobin, dan kopeptin diukur secara serial yaitu saat datang, setelah 3, 6, dan 9 jam kemudian.7
Hasil studi menunjukkan bahwa kadar kopeptin secara signifikan lebih tinggi pada pasien-pasien IMA dibandingkan pada pasien-pasien berdiagnosis lain (nilai median 20,8 pmol/L vs 6,0 pmol/L, P < 0,001). Sensit ivitas diagnostik kombinasi kopeptin dan cTnT ternyata lebih tinggi secara signifikan daripada sensitivitas diagnostik kopeptin saja dan cTnT saja. Penyingkiran dini IMA secara tepat saat di IGD dicapai dengan mengombinasikan hasil uji kopeptin, yaitu < 14.0 pmol/L, dan hasil uji cTnT, yaitu ≤ 0.01 μg/L. Kombinasi ini memiliki sensitivitas 98,8%, spesifisitas 77,1%, nilai prediktif negatif (negative predictive value [NPV]) 99,7%, dan nilai prediktif positif (positive predictive value [PPV]) 46,2%.7
Dari studi ini, disimpulkan bahwa pemeriksaan kadar kopeptin sebagai biomarker tambahan untuk cTnT memungkinkan penyingkiran IMA saat presentasi awal secara cepat dan andal. Hal ini dapat mempercepat pengambilan keputusan klinis bagi pasien-pasien non-IMA tanpa perlu pengambilan darah serial untuk mengukur cTnT secara berulang dan tanpa perlu waktu pemantauan yang lama.7
Studi-studi dengan hasil serupa adalah studi oleh Keller dkk dan Folli dkk. Keller melakukan studi prospektif pada 1386 pasien yang datang ke IGD dengan nyeri dada akut. Studi multisenter ini mengikutsertakan secara konsekutif pasien-pasien terduga SKA antara Januari 2007 sampai dengan Juli 2008. Keller dkk menemukan bahwa nilai median kadar cTnT plasma meningkat secara proporsional setelah onset gejala; berbeda dengan nilai median kadar kopeptin plasma yang menurun setelah onset gejala. Kombinasi kopeptin dan cTnT menunjukkan superioritas di mana pada pasien-pasien yang masuk IGD dalam < 3 jam setelah onset nyeri dada (OND) kombinasi kopeptin dan cTnT memiliki kekuatan diagnostik tertinggi dengan area under curve (AUC) sebesar 0,9 bila dibandingkan kombinasi pemeriksaan mioglobin dan cTnT. Simpulan studi ini adalah bahwa kombinasi pemeriksaan kopeptin dan cTnT lebih baik dibandingkan pemeriksaan biomarker tunggal atau kombinasi lainnya untuk identifikasi IMA pada jam-jam awal setelah OND.6
Folli dkk mengadakan studi prospektif observasional yang meneliti 471 pasien yang dibawa ke IGD dengan nyeri dada akut dan OND < 8 jam. Studi enam bulan ini memakai teknik biomarker ganda yaitu cTnT dan kopeptin. Tujuannya untuk memeriksa apakah kombinasi pemeriksaan kopeptin dan cTnT dapat dengan tepat menyingkirkan diagnosis SKA dan nyeri dada nonkardiak lainnya.8
Analisis data menunjukkan bahwa AUC kopeptin dan cTnT lebih lebar pada IMAEST (0,86 dan 0,72) dan IMANEST (0,73 dan 0,76). Bila kedua biomarker tersebut dikombinasikan, AUC meningkat menjadi 0,89, pada IMAEST, dan 0,86, pada IMANEST. Kombinasi pemeriksaan kopeptin dan cTnT memiliki NPV 86,6 (pada pasien-pasien IMAEST dan IMANEST), 85,0 (pada populasi keseluruhan), dan 97,9 (pada pasien-pasien dengan penyakit mengancam nyawa selain SKA). Selain hasil yang serupa dengan studi Reichlin dkk dan Keller dkk, studi ini me­nyimpulkan bahwa kopeptin penting dalam penyingkiran dini pasien-pasien IMA dan merupakan sinyal adanya penyakit-penyakit yang mengancam nyawa.8
Studi multisenter prospektif dilakukan oleh Ray dkk pada 451 pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK) yang dibawa ke IGD dengan OND ≤ 6 jam, temuan elektrokardiografik negatif, dan kadar troponin I jantung (cTnI) yang negatif. Dari studi ini, disimpulkan bahwa, untuk pasien-pasien dengan OND #&8804; 6 jam dan diduga mengalami IMANEST, gabungan pemeriksaan kopeptin dan cTnI memiliki NPV 98% sehingga memungkinkan penying­kiran IMA secara cepat.9
Studi multisenter prospektif oleh Chenevier-Gobeaux dkk menunjukkan hasil serupa dengan studi Ray dkk. Studi selama 18 bulan pada 317 pasien berusia > 18 tahun yang dibawa ke IGD dengan OND < 6 jam ini menyelidiki superioritas sensitivitas gabungan pemeriksaan cTnI dan kopeptin terhadap sensitivitas pemeriksaan cTnI konvensional dalam mendiagnosis dini IMA. Simpulan studi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan kopeptin bersama cTnI memungkinkan penyingkiran diagnosis IMA yang cepat dan andal.10
Suatu studi yang dilakukan oleh Potocki dkk memperkuat hasil studi-studi di atas. Potocki dkk menganalisis 433 pasien dengan PJK dalam suatu studi multisenter prospektif. Dari studi ini, disimpulkan bahwa, pada pasien-pasien dengan PJK yang telah ada sebelumnya, kopeptin secara signifikan meningkatkan akurasi diagnostik bila digunakan bersama cTnT. Kopeptin memberikan informasi prognostik independen terutama bila kadar cTnT hanya meningkat ringan.11
Telah diketahui bahwa kadar AVP plasma secara signifikan meningkat pasca-IMA baik pada manusia maupun hewan. Penyebab-penyebabnya belum bisa dijelaskan. Banyak hipotesis diajukan untuk menjelaskan mekanisme peningkatan kadar AVP dan kopeptin ini. Salah satunya adalah hipotesis stres yang menyatakan bahwa peningkatan tersebut adalah bagian dari respons cepat terhadap kondisi stres yang mengancam kehidupan pada IMA. Dalam respons ini, AVP bekerja secara sinergis dengan ACTH dan kortisol sebagai moderator stres akut. Selain hipotesis stres, ada hipotesis hemodinamik yang muncul dari studi-studi pada pasien-pasien IMAEST. Hipotesis ini menyatakan bahwa perubahan-perubahan akut dalam dinamika jantung, underfilling jantung, dan stimulasi baroreseptor jantung (sebagai respons terhadap hipotensi sistemik atau kerusakan jaringan akibat iskemia) adalah stimulan kuat pelepasan AVP dan kopeptin.1
Hasil-hasil studi dan hipotesis-hipotesis di atas telah mengantarkan kita pada sim­pulan penting bahwa terdapat potensi me­nguntungkan kopeptin di masa depan. Potensi sebagai suatu detektor baru dari IMA; biomarker diagnostik berikutnya se­telah biomarker-biomarker yang sekarang ini kita kenal.
dr. Andy Kristyagita

Referensi

  1. Elshafei A, Abdalla G, El-Motaal OA, Salman T. Copeptin: a neuroendocrine biomarker in acute myocardial infarction. Annual Review & Research in Biology. 2013; 3(4): 1040-54. 
  2. Leeper B, Cyr MA, Lambert C, Martin K. Acute coronary syndrome. Crit Care Nurs Clin North Am. 2011 Dec; 23(4): 547-57.
  3. Boden H, van der Hoeven BL, Karalis I, Schalij MJ, Jukema JW. Management of acute coronary syndrome: achievements and goals still to pursue. Novel developments in diagnosis and treatment. J Intern Med. 2012; 271: 521-36.
  4. Jneid H, Anderson JL, Wright RS, Adams CD, Bridges CR, Casey DE, Jr, et al. American College of Cardiology Foundation; American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2012 ACCF/AHA focused update of the guideline for the management of patients with unstable angina/Non-ST-elevation myocardial infarction (updating the 2007 guideline and replacing the 2011 focused update): a report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on practice guidelines. Circulation. 2012; 126(7): 875-910.
  5. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD. The writing group on behalf of the Joint ESC/ACCF/AHA/WHF Task Force for the Universal Definition of Myocardial Infarction. Third international definition of myocardial infarction. Circulation. 2012; 126: 2020-35.
  6. Mueller C. Detection of myocardial infarction – Is it all troponin? Role of new markers. Clin Chem. 2012; 58(1): 162-64.
  7. Thygesen K, Mair J, Katus H, Plebani M, Venge P, Collinson P, et al, the Study Group on Biomarkers in Cardiology of the ESCWorking Group on Acute Cardiac Care. Recommendations for the use of cardiac troponin measurement in acute cardiac care. Eur Heart J. 2010; 31: 2197-204.
  8. Gu YL, Voors AA, Zijlstra F, Hillege HL, Struck J, Masson S, et al. Comparison of the temporal release pattern of copeptin with conventional biomarkers in acute myocardial infarction. Clin Res Cardiol. 2011; 100: 1069-76.
  9. Keller T, Tzikas S, Zeller T, Czyz E, Lillpopp L, Ojeda MF, et al. Copeptin improves early diagnosis of acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 2010; 55(19): 2096-106.
  10. Reichlin T, Hochholzer W, Stelzig C, Laule K, Freidank H, Morgenthale NG, et al. Incremental value of copeptin for rapid role out of acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol. 2009; 54: 60-8.
  11. Ray P, Charpentier S, Chenevier-Gobeaux C, Reichlin T, Twerenbold R, Claessens Y, et al. Combined copeptin and troponin to rule out myocardial infarction in patients with chest pain and history of coronary artery disease. Am J Emerg Med. 2012; 30: 440-8.

Selasa, 28 Oktober 2014

Implikasi dan Penatalaksanaan Hipertrofi Ventrikel Kiri pada Pasien Hipertensi (1)

Hipertrofi ventrikel kiri atau yang lebih dikenal dengan left ventricular hypertrophy (LVH), adalah temuan yang paling umum pada pasien hipertensi dan dapat didiagnosis baik dengan EKG maupun ekokardiografi.1 Ekokardiografi menjadi pilihan utama akhir-akhir ini, mengingat sensitivitas EKG yang rendah dalam mendiagnosis LVH (lebih kurang 7-35% pada mild LVH dan hanya 10-50% pada moderate-severe LVH).2 Namun demikian, dengan kondisi di Indonesia terutama di daerah perifer, EKG (dengan pilihan kriteria penegakan diagnosis LVH yang tepat) juga dapat bermanfaat dalam mendeteksi LVH.3

Defisini
LVH adalah suatu fase dimana terjadi peningkatan massa ventrikel kiri, yang di­ikuti oleh bertambahnya ketebalan dinding ventrikel dengan atau tanpa bertambahnya ruang jantung. Penambahan massa ventrikel ini dihasilkan oleh bertambahnya beban after-load LV secara terus menerus oleh adanya stenosis aorta atau hipertensi.

Jantung normal dan LVH

Diagnosis LVH

Elektrokardiografi (EKG)
Diagnosis LVH dengan EKG sangat bermanfaat jika disertai dengan kelainan EKG lainnya seperti abnormalitas atrium dan abnormalitas segmen ST-T, deviasi aksis kiri, atau wide QRS. Akan tetapi, seperti telah disebutkan dibagian pendahuluan, EKG memiliki kekurangan berupa sensitivitasnya yang rendah dan adanya  false negative atau false positive. Data dari LIFE study menunjukkan bahwa LVH lebih bisa dideteksi dengan kriteria cornell-voltage saat digunakan pada pasien yang lebih tua, lebih gemuk, wanita, ras kulit putih, tidak ada riwayat merokok, memiliki riwayat diabetes dan angina. Sedangkan kriteria sokolow-lyon lebih bermanfaat unutuk mendeteksi LVH pada pasien yang lebih muda, kurus, lebih cendrung laki-laki, ras kulit hitam, memiliki riwayat merokok, angina, dan stroke.4 Kriteria Sokolow-Lyon yaitu R di V5 + S di V6 > 3.5mV yang diikuti dengan flat T wave (<10% dari R wave) atau depresi segmen ST dan biphasic T wave.5 Kriteria cornell-voltage yaitu S di V3 + R di aVL > 2.8mV (laki-laki) dan > 2.0mV (perempuan). Meskipun relatif kurang sensitif, EKG tetap memiliki nilai prognostik yang signifikan. Dari pemeriksaan ekokardiografi, pasien hipertensi yang dideteksi LVH dengan EKG, memiliki LV mass yang lebih besar dan sig­nifikan bila dibandingkan dengan pasien yang sebelumnya tidak memenuhi kriteria LVH pada pemeriksaan EKG. EKG juga dapat membantu melihat adanya perubahan voltase dan irama jantung yang kesemuanya juga berhubungan erat dengan resiko CVD (cardiovascular disease).

Ekokardiografi
Diagnosis LVH dengan ekokardiografi selain dapat menilai massa ventrikel kiri, juga dapat melihat bentuk geometri dari LVH. Hal ini dinilai penting karena pada pasien tanpa peningkatan massa ventrikel kiri, namun mengalami peningkatan pada relative wall thickess (RWT) atau thickness-to-cavity diameter ratio (atau yang disebut concentric remodeling) memiliki resiko kejadian CVD yang sama dengan pasien yang mangalami peningkatan massa dan RWT (concentric hypertrophy), terlepas dari hubungannya dengan level tekanan darah.6

Geometri ventrikel kiri
sumber: J Am Coll Cardiol 1992; 19: 550-8

Berdasarkan guideline American society of echocardiography dan European association of echocardiography, kriteria LVH menggunakan metode simpson’s rule adalah sebagai berikut:7
  • Mild abnormal: estimasi massa LV dari 201-227gr (103-116 g/m2) untuk laki-laki dan 151-171gr (89-100 g/m2) untuk perempuan.
  • Moderate abnormal: estimasi massa LV dari 228-254gr (117-130 g/m2) untuk laki-laki dan 172-182gr (101-112 g/m2) untuk perempuan.
  • Severe abnormal: estimasi massa LV > 255gr (>131 g/m2) untuk laki-laki dan >193gr (>113 g/m2) untuk perempuan.
Meskipun lebih efektif dari EKG, ekokardiografi tetap memiliki beberapa kekurangan antara lain harga pemeriksaan yang mahal dan tidak tersedia di semua klinik terutama yang berada di perifer, serta penggunaannya yang memerlukan kemampuan khusus dari operator yang melakukan pemeriksaan.

LVH pada Hipertensi
Pada pasien-pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah (TD) saat me­nga­lami mental stress (khususnya saat bekerja) atau saat beraktivitas, memiliki kecendrungan lebih besar untuk mendapatkan LVH. Terlebih lagi pada pasien-pasien yang memiliki TD malam hari  > TD siang hari. Pengukuran TD secara ambulatorik (ABPM-Ambulatory Blood Pressure Monitoring) dapat menjelaskan beberapa informasi tambahan berkaitan dengan faktor resiko LVH seperti:
-    Beban tekanan darah harian (TD >135/85 mmHg saat siang dan >120/80 mmHg saat malam hari).
-    Nocturnal hypertension (suatu kondisi dimana tidak terjadi penurunan tekanan darah pada malam hari)

Beberapa penelitian yang berhasil kami lakukan sebelumnya membuktikan bahwa pada pasien yang mengalami peningkatan TD malam hari (high nocturnal hypertension), sangat beresiko untuk mendapatkan LVH dan kejadian CVD,8,9 meskipun tekanan darahnya normal saat diperiksa di klinik.10 Data kami juga menunjukkan bahwa penurunan TD di malam hari yang dikontrol dengan ABPM dan HBPM (Home Blood pressure monitoring) akan diikuti dengan penurunan derajat LVH, sehingga penurunan TD malam hari (nocturnal hypertension) menjadi fokus utama dalam penatalaksanaan hipertrofi ventrikel kiri.11 Itulah sebabnya pengukuran TD di luar klinik (ABPM dan HBPM) menjadi instrument yang penting dan memiliki nilai yang lebih bermakna jika dibandingkan de­ngan pengukuran TD di klinik/office BP.
LVH tidak hanya timbul sebagai akibat dari peningkatan beban after-load oleh hipertensi, tapi juga dapat berkembang sebelum seseorang menderita hipertensi.  Konsep ini didasari oleh adanya be­berapa faktor lain yang bisa memicu timbulnya hipertrofi ventrikel kiri seperti misalnya peningkatan kadar angiotensin II,12 norepinephrine dan epinephrine,13 faktor hemostatik (plasma fibrinogen),14 sensitivitas terhadap garam (salt sensitivity),15 dan OSAS (Obstructive Sleep Apnea Syndrome).16 Namun demikian, hipertensi tetap memegang peran paling penting terhadap timbulnya LVH. (BERSAMBUNG)

Eijiro Sugiyama Edison

(untuk baca artikel sambunganya, klik disini)