pita deadline

pita deadline

Selasa, 18 September 2012

Sukaman Memorial Lecture Disambut Hangat pada AFCC 19 di Singapura


Asean Federation of Cardiology (AFC) dibentuk tahun 1975 di Bali, setelah selama hampir 2 tahun dilakukan penjajagan, persis “pendekatan diplomatik”, oleh Dr. Sukaman Sumaryoto, Ketua PERKI pada waktu itu. Jadi Dr. Sukaman adalah inisiator pembentukan AFC, organisasi profesi regional ASEAN yang pertama setelah organisasi kerjasama politik dan ekonomi ASEAN. Adalah Dr. Lily Rilantono, sekarang Prof, sebagai sekretaris pertemuan yang mendampingi Dr. Sukaman, bersama sejumlah tokoh senior, antara lain Dr. Joseph Eravelly dari Malaysia, Dr. Avenillo Aventura dari Philippines, Dr. Chia Boon Lock dan Dr. Charles Toh dari Singapura. Pada waktu itu iptek dan pelayanan kardiovaskuler di wilayah ini belum berkembang seperti sekarang ini.
Untuk mengenang Dr. Sukaman yang meninggal bersama isterinya Dr. Ida Sukaman dalam kecelakaan lalu lintas yang tragis di wilayah Parung-Bogor, AFC menetapkan Sukaman Memorial Lecture yang  diadakan setiap 2 tahun sekali pada waktu Asean Federation Congress of Cardiology (AFCC). Dalam perjalanan waktu Sukaman Memorial Lecture telah berkembang menjadi suatu lecture yang prestigius. Dalam AFCC ke 19 yang diadakan di Singapura tanggal 12 Juli 2012 ini Sukaman Lecture disampaikan oleh Dr. Santoso Karo Karo MPH, FIHA, FAsCC dengan judul “Sudden Cardiac Death in ASEAN Countries: Early Prevention and Management”.
Dalam awal kuliahnya di assembly room yang dipadati oleh dokter-dokter dari 22 negara peserta AFCC, Dr. Santoso Karo Karo mengemukakan bahwa berdasarkan data World Health Organization (WHO) angka kematian oleh karena penyakit jantung akan meningkat pesat di wilayah ASEAN. Data WHO juga menunjukkan bahwa ada 3 juta kematian jantung mendadak (sudden cardiac death, SCD) di dunia dengan kesintasan < 1%, bahkan di negara berkembang dimana kesadaran masyarakat dan fasilitas pelayanan sudah baik, kesintasan < 5%. Belum ada data yang dapat dipakai di wilayah ASEAN.
Definisi SCD menurut WHO yang diterima luas adalah “sudden collapse occurring within one hour of symptom”. Sudden Cardiac Death terutama disebabkan oleh penyakit jantung koroner (PJK) khususnya pada Sindroma koroner akut (SKA) dan gagal jantung. Pada usia yang lebih muda SCD oleh kardiomiopati hipertropik dapat menimpa atlit. Ada pula penyebab non struktural jantung, channelopathies, seperti Sindrom Brugada, yang dikaitkan dengan kematian pada waktu tidur di wilayah Asia Tenggara (Lai Thai di Thailand, Bangungut di Philippine), sindrom WPW dan sindrom QT memanjang. Di daerah Karo di Sumatera Utara masyarakat setempat mengenal istilah “Mate Rempet”, namun sayang sekali tidak pernah dibuktikan dengan otopsi. Dengan demikian faktor risiko yang paling penting untuk SCD adalah PJK, gagal jantung, kardiomiopati hipertropik dan riwayat SCD.
Gambaran aritmia yang terjadi sebelum atau pada saat SCD kebanyakan adalah takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikuler dan dalam proporsi kecil blok jantung. Seorang dokter di pelayanan primer dimana sudah tersedia alat ECG seyogyanya dapat mendeteksi prodromal dari SCD berupa rasa sesak, sakit dada, pusing dan berdebar dan bahkan ambruk.
Untuk skrining orang yang berisiko SCD elektrokardiogram dan ekhokardiogram adalah modalitas yang sangat penting. EKG dapat mendeteksi aritmia dan sindrom koroner akut, sedangkan ekho memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang cukup tinggi dan menjadi prediktor kuat bila LVEF < 35%. Tersedianya EKG di fasilitas pelayanan primer dan ekhokardiograf di fasilitas yang lebih tinggi akan membantu upaya mendeteksi pasien-pasien berisiko. Pemeriksaan elektrofisiologi (EP), meskipun cukup penting, masih mahal dan terbatas di sejumlah wilayah Asia Tenggara.
Dr. Karo Karo juga mengingatkan bahwa berdasarkan berbagai penelitian Implanted Cardiac Defibrillator (ICD) telah terbukti berperan sebagai pencegahan primer (Studi MADIT, MUSTT dan MADIT II) pada pasien-pasien yang belum pernah mengalami VT/VF spontan, maupun pencegahan sekunder SCD (AVID, CIDS, CASH) pada pasien-pasien yang pernah mengalami episode VT/VF spontan. Pencegahan primer dengan ICD menghasilkan penurunan risiko akibat semua sebab antara 31%-54% dalam 4-5 tahun. Pencegahan sekunder menurunkan risiko kematian akibat semua sebab antara 20 %-39 % dalam 3 - 9 tahun.
 Implantasi ICD yang terbanyak di negara ASEAN adalah di Singapura dan Malaysia, namun ICD masih sangat mahal untuk pasien dan asuransi kesehatan, hambatan untuk pasien-pasien di Indonesia dan sebagian negara ASEAN. Oleh karena itu Dr. Karo Karo mengingatkan agar para dokter di ASEAN mengoptimalkan pengobatan pasien-pasien pasca infark miokard akut dan gagal jantung sesuai pedoman/guidelines. Ini mencakup upaya mengurangi risiko serangan jantung berikutnya dengan terapi antiplatelet/anti-trombotik CABG, PTCA/stent, ACE inhibitors, Beta-blockers dan Statins. Pencegahan terjadinya dan progresifitas gagal jantung dengan antagonis aldosteron, ACE inhibitors dan Beta-blockers. MADIT II menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 31% pada pasien-pasien yang memperoleh pengobatan optimal.   
Di negara maju personil gawat darurat terlatih sudah bisa hadir merespon panggilan dalam waktu 8 menit, namun di kebanyakan negara ASEAN transportasi jadi  masalah besar. Di kota-kota metropolitan kemacetan lalu lintas luar biasa, sedang di daerah rural sulit memperolah ambulans yang baik. Pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut atau Advanced Cardiac Life Support termasuk defibrilator elektrikal otomatik atau AED, merupakan bagian penting dalam penanganan SCD. Negara-negara ASEAN harus memberikan perhatian lebih besar dalam hal ini. Singapura dan Indonesia sudah melaksanakan pelatihan BHD secara massal. Di Singapura pelatihan BHD juga termasuk penggunaan AED, karena alat ini sudah tersedia di banyak tempat strategis, sedangkan di Indonesia dan banyak negara ASEAN lain alat ini masih sangat terbatas.
Di bagian akhir kuliahnya Dr. Karo Karo merekomendasikan: 1. AFC memelopori Registri SCD untuk Negara-negara ASEAN, 2. Kolaborasi untuk pengadaan (procurement) ICD, AED dan peralatan untuk pelatihan BHD dan ACLS sehingga harganya dapat ditekan, 3. AFC dan Perhimpunan Profesi Kardiovaskular Nasional terus meningkatkan kompetensi para dokter agar konsisten melaksanakan pedoman pencegahan primer dan sekunder PJK dan HF.*

Penggunaan IABP untuk Pasien IMA dengan Syok Kardiogenik

SYOK kardiogenik merupakan salah satu komplikasi infark miokard akut (IMA) dengan angka kematian tinggi bahkan pada era terapi revaskularisasi yang agresif sekarang ini. Intra aortic balloon pump (IABP) yang diperkenalkan lebih dari lima dekade yang lalu, telah lama diterima oleh kardiolog sebagai terapi awal untuk memperbaiki aliran koroner dan perfusi organ-organ vital. Namun analisa dari studi Intra Aortic Balloon Pump in Cardiogenic Shock II trial (IABP-SHOCK II) yang dibahas pada pertemuan tahunan European Society of Cardiology Congress 2012 yang lalu, mempertanyakan efektivitas IABP untuk kelompok pasien ini. Kesimpulan studi ini juga dimuat secara simultan dalam New England Journal of Medicine edisi Agustus 2012.
Pada laporan penelitian mereka, Thiele dkk mengumpulkan data pasien IMA dengan syok kardiogenik di 37 rumah sakit di Jerman. Dari 790 pasien yang direkrut, sejumlah 600 pasien berhasil diikuti dan dianalisa dalam suatu penelitian prospektif yang terandomisasi. Sebanyak 301 pasien menjalani pemasangan IABP (grup IABP) dan 299 pasien tanpa IABP (grup kontrol). Semua pasien mendapatkan terapi medikamentosa yang optimal serta direncanakan untuk menjalani revaskularisasi dini dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) ataupun tindakan bedah pintas koroner. Hasil akhir yang diteliti adalah angka kematian oleh semua sebab dalam 30 hari (30-day all-cause mortality). Dipantau pula profil kemanan penggunaan IABP yakni ada tidaknya perdarahan mayor, komplikasi iskemik perifer, sepsis dan stroke.
Di akhir penelitian, sejumlah 300 pasien di grup IABP dan 298 di grup kontrol dimasukkan ke dalam analisa akhir. Setelah 30 hari tampak bahwa 119 pasien di grup IABP (39,7%) dan 123 pasien di grup kontrol (41,3%) meninggal dunia (risiko relatif dengan IABP sebesar 0,96 dengan range 0,79-1,17 pada interval kepercayaan 95%, p=0,69). Tidak dijumpai pula perbedaan  bermakna pada end-point sekunder, yakni stabilisasi  hemodinamik, lama rawat di  ruang intensif, kadar laktat serum, dosis dan durasi penggunaan obat-obatan katekolamin dan fungsi ginjal. Dalam hal profil keamanan juga tidak dijumpai perbedaan bermakna dalam angka perdarahan mayor, komplikasi iskemik perifer, sepsis maupun stroke. Sehingga kelompok peneliti dari IABP-SHOCK II trial ini menyimpulkan bahwa penggunaan IABP tidak memperbaiki angka mortalitas 30 hari pada pasien IMA dengan syok kardiogenik yang direncanakan untuk menjalani terapi revaskularisasi dini.
Beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam interpretasi studi ini adalah bahwa ada beberapa keterbatasan dalam pelaksanaannya. Pertama, studi ini tidak tersamar, karena tidak mungkin dilakukan blinding dalam hal penerimaan intervensi IABP. Kedua, data hemodinamik dan marker inflamasi yang dianalisa terbatas yakni tekanan darah, denyut nadi, dan c-reactive protein. Kelemahan berikutnya yang dinyatakan sendiri oleh kelompok peneliti, bahwa mortalitas keseluruhan pada subjek mereka yakni sekitar 40%, adalah lebih rendah dari penelitian sebelumnya, yang mungkin berarti bahwa populasi penelitian mungkin merepresentasikan kelompok syok kardiogenik dengan profil risiko sedang dan kurang dapat digeneralisir untuk kelompok pasien dengan profil risiko yang lebih tinggi. Kelompok peneliti menyatakan telah merencanakan untuk melanjutkan penelitian ini untuk mendapatkan data mortalitas jangka panjang 6 dan 12 bulan.
Sebagai kesimpulan dari IABP-SHOCK II trial ini adalah bahwa penggunaan IABP pada pasien IMA disertai syok kardiogenik yang direncanakan untuk terapi reperfusi dini tidak memberikan perbaikan dalam hal angka kematian jangka pendek. Hasil ini tentunya mempertanyakan rekomendasi guidelines IMA oleh berbagai asosiasi internasional saat ini yang memposisikan IABP sebagai rekomendasi kelas I pada IMA dengan komplikasi syok kardiogenik. Dasar dari rekomendasi ini adalah hasil dari studi-studi observasional sementara data dari uji klinis dan meta analisis belum banyak. Studi IABP-SHOCK II yang diharapkan akan memberikan pembenaran untuk penggunaan IABP ternyata menampilkan hasil yang tidak disangka-sangka. Padastudi ini disimpulkan bahwa walaupun penggunaan IABP terbukti aman namun tidak tampak perbaikan dalam hal mortalitas maupun perbaikan hemodinamik pada pasien IMA dengan komplikasi syok kardiogenik.
Apakah hasil penelitian IABP-SHOCK II ini akan merubah praktik klinik kita sehari-hari? Para peneliti studi ini telah mengemukakan beberapa kelemahan dalam studi mereka seperti yang telah disebut sebelumnya. Pihak lain yang skeptis juga mempertanyakan mengapa 86% IABP dipasang setelah tindakan PCI yang mungkin menyebabkan efeknya tidak optimal. Terlebih lagi terdapat 10% pasien kelompok kontrol yang akhirnya berpindah ke grup IABP. Namun demikian, berdasarkan hasil studi ini, ESC telah merubah tingkat rekomendasinya untuk penggunaan IABP pada pasien IMA dengan syok kardiogenik dari kelas 1C menjadi kelas 2B. Mengenai penggunaan IABP untuk indikasi lainnya, misalnya pada pasien IMA dengan komplikasi mekanik dan sebagai support pada PCI risiko tinggi masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, apalagi dengan hadirnya beberapa jenis lain alat percutaneous circulatory assist device (PCAD), seperti Impella atau TandemHeart.

Referensi:
1.     Thiele H, Zeymer U, Neumann FJ, et al. Intraaortic balloon support for myocardial infarction with cardiogenic shock. N Engl J Med 2012; DOI 10.1056/NEJMoa1208410. Diakses dari http://www.nejm.org
2.     O’Connor CM, Rogers JG. Evidence for overturning the guidelines in cardiogenic shock. N Engl J Med 2012; DOI:10.1056?NEJMoa1209601. Diakses dari http://www.nejm.org

Siska Danny

Kardiologi Kuantum (10): Otak Kecil di dalam Jantung serta Aspek Komunikasinya

“Orang Indonesia kalau melihat karya bangsa lain mereka menjadi murid yang melihat guru. Sebaliknya, ketika mereka melihat karya bangsa sendiri, mereka berubah menjadi guru yang melihat murid. Akhirnya bangsa ini tidak maju karena yang dicari selalu kesalahan dan kekurangan karya anak bangsa sendiri.”
~Slamet Rahardjo, seniman unggul~

Prof Omar Salem menjelaskan dalam artikelnya tentang Heart, Mind, and Spirit bahwa angan-angan (mind) adalah konsep yang sangat penting bagi seorang psikolog dan psikiater. Diperlukan candra jiwa (working model of the mind) untuk lebih memahaminya seperti yang telah ditulisnya di tahun 2004.
Dalam berbagai kebudayaan sesuai sejarahnya jantung (hati? deep heart) merupakan pusat emosi, semangat dan kebijaksanaan. Orang menggunakan pengalaman perasaannya seperti sensasi cinta atau emosi lainnya di area kiri dadanya yang terasa berdenyut itu, area jantung. Pada masa lalu saintis menekankan peranan otak di kepala bertanggung jawab atas persoalan ini. Menarik sekali studi-studi berikutnya tentang mekanisme fisiologi jantung yang berkomunikasi dengan otak oleh karena itu mempengaruhi proses informasi, persepsi, emosi dan kesehatan.
Telah lama diketahui apabila ada perubahan emosi sesuai perhitungan akan terjadi perubahan pada denyut nadi, tekanan darah, pernafasan dan pencernaan. Ketika kita terkejut, saraf otonom simpatis akan memperkuat untuk melawan atau lari, dan pada suasana damai, komponen prasimpatis ikut menenangkan suasana itu. Hal ini membuktikan adanya konser fisiologis dari sistim saraf oto-nom akibat stimulus yang diterima otak.
Mengikuti penelitian yang dilaksanakan beberapa tahun, jantung berkomunikasi dengan otak tentang bagaimana persepsi dan reaksi kita terhadap dunia. Penelitian Lacey dan Lacey tahun 1978, ditemukan bukti bahwa jantung memiliki logikanya sendiri yang berbeda dari sistim saraf otonom. Jantung mengirimkan sinyal ke otak yang tidak hanya dimengerti tetapi juga dilaksanakan. Menurut McCraty (2002) neurofisiolog telah menemukan jalur saraf dan mekanismenya sehingga input dari jantung ke otak dapat menghambat atau memfasilitasi aktifitas listrik otak.
Otak di dalam jantung adalah isu yang menarik. Armour (1994) setelah riset yang mendalam, memperkenalkan konsep ‘otak-jantung’ fungsionil. Ia menerangkan bahwa jantung memiliki sistim saraf intrinsik yang kompleks yang memiliki kualitas sebagai ‘otak kecil’ di dalam jantung itu sendiri. Otak-jantung bekerjasama dengan beberapa tipe sel saraf, transmiter, protein, dan sel-sel penyangga lainnya seperti layaknya sistim saraf pusat. Secara independen melakukan pembelajaran, mengingat, dan bahkan merasa dan menerima respon lainnya. Sistim saraf jantung menurut Armour (1991) mengandung kira-kira 40.000 neuron, disebut neurit sensori. Informasi dari jantung termasuk sensasi perasaan dikirim ke otak melalui beberapa saraf aferen. Jalur saraf aferen  memasuki otak pada area medulla, dan  memanjat keatas menuju pusat yang lebih tinggi, mungkin mempengaruhi persepsi, pengambilan keputusan, dan proses kognitif lainnya. Oleh karena itu menjadi jelas bahwa jantung memiliki sistim sarafnya sendiri dan memproses informasi sendiri bebas dari pengaruh otak dan sistim sarafnya. Dalam keadaan normal, jantung berkomunikasi dengan otak melalui serabut  saraf di dalam N. Vagus dan kolum spinal. Pada transplantasi jantung, koneksitas sarafnya terganggu untuk periode tertentu. Pada waktu itu jantung yang ditransplantasikan dapat berfungsi sebagai penghuni baru dengan kapasitas yang mandiri melalui sistim persarafannya yang intrinsik.
Dalam disertasinya Soemantri Hardjoprakoso (1956) telah membuat Skema-1 yang menggambarkan hubungan antara  jantung dengan pangerti (fungsi deduktif) sedangkan fungsi persepsi dan asosiasi terletak pada jantung. Perlu dicoba dan diperhatikan apabila seseorang melakukan transedental meditasi yang dalam istilah religi-metafisikanya berupa doa, dzikir, dengan intensitas yang mendalam. Dapat dimengerti adanya sementara anjuran untuk menghentikan aktifitas otak ketika “mendekat” kepada-Nya, tetapi masih menyisakan “pengertian” tentang sumber dan tujuan hidup (TheSource) di dalam jantung, seperti kata-kata yang dibatinkan, berarti status kesadarannya masih ada (lihat Skema-1).

Yang menarik, riset telah mengungkapkan bahwa jantung menginformasikan kepada jantung dan seluruh tubuh melalui interaksi elektromagnetik. Jantung menghasilkan medan elektromagnetik yang kuat dan berirama paling ekstensif. Komponen elektromagnetik jantung kira-kira 500 kali lebih kuat dari otak dan terdeteksi beberapa meter dari badannya. Diperkirakan medan jantung tersebut merupakan pembawa informasi yang memiliki sinyal sinkronisasi global (bluetooth?) ke seluruh tubuh menurut McCraty, Bradley & Tomasino, 2004.
Pada interaksi antar individu telah diketahui adanya pengaruh elekromagnetik atau sistim komunikasi yang ‘berenergi’ berada dibawah kesadaran kita. Interaksi energetik tersebut diduga berperanan dalam atraksi-atraksi tertentu atau sikap yang mempengaruhi hubungan individu dan masyarakat. Juga telah ditemukan bahwa gelombang otak dapat menyinkronkan jantung orang lain.
Jantung dan intuisi menjadi menarik semenjak diketahui bahwa jantung berperanan pada proses dekoding informasi pada intuisi. Dukungan data sebelumnya menunjukkan bahwa lingkungan jantung secara langsung terlibat pada persepsi intuitif yang berhubungan melalui energi lapangan informasi yang berada di luar batas ruang dan waktu.
Telah lama orang berfikir bahwa kesadaran hanya berasal dari otak saja. Studi saintifik baru-baru ini menunjukkan bahwa kesadaran muncul dari otak dan tubuh yang bekerja sama dan jantung di dalamnya sangat berperanan dalam proses tersebut. Faktanya, jantung sangat kompleks, memiliki pusat untuk memproses informasinya sendiri sebagai ‘otak’ fungsional dengan kemampuan komunikasi, mempengaruhi otak melalui sistim syaraf, hormonal dan jalur lainnya. Peranan jantung pada fungsi intuitif adalah hal yang menarik lainnya. Walaupun demikian, pada orang dengan transplantasi jantung, jantung dapat berfungsi normal, disini jantung sebagai medium atau alat, sebagai dasar yang lebih canggih yang mengintegrasikan sistim yang dapat membawa identitas personal dari individu.
Visi baru diharapkan dapat memberikan pencerahan tentang konsep dari ‘mind’ (mental, jiwa, psike) sebagai multi komponen unit yang tidak hanya berinteraksi dengan lingkungan fisik, tetapi juga memiliki kapasitas berkomunikasi alam semesta (makrokosmos) melalui jalur non fisik. Hal ini memberikan konsep yang lebih tinggi yaitu spiritual sebagai konsep elemen nonfisik (imaterial) menurut Lorimer, 2001. Bukti nyata komunikasi unik ini berangkat dari laporan fenomena dari persepsi ekstra sensori (telepati, prekognisi, dan clairvoyance), psycho-kinesis, psychic healing, dan pengalaman religius, menurut Radin, 1997 dan Henry, 2005. Phenomena tersebut telah lama menjadi bahan pertanyaan Carl Gustav Jung, yang sebagian telah di jelaskan oleh Soemantri Hardjoprakoso tentang fenomena “Bayu Sejati” yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Sebagai tindak lanjut dari fisika kuantum, Prof Oemar Salim mengharapkan suatu hari fisika kuantum tersebut dapat menjelaskan bagaimana kita sebaiknya memformulasikan heart, mind and spirit (sebagai fisik, mental, dan spiritual).

Budhi S. Purwowiyoto

Penderita T2DM dengan Tubuh Ramping Tidak Selamanya Baik

PARA peneliti menyebutnya “paradoks obesitas” dengan temuan bahwa pasien obesitas dengan penyakit tertentu, seperti gagal jantung atau penyakit ginjal kronis, hidup lebih lama dari rekan-rekan mereka yang lebih ramping.
Tampak bahwa paradoks mungkin juga berlaku untuk penderita diabetes. Dalam sebuah penelitian terhadap pasien yang mengidap diabetes angka kejadian kematian lebih tinggi di antara berat badan normal daripada subyek obesitas.
Carnethon et. al. melakukan analisis dari 5 penelitian kohort longitudinal diantaranya the Atherosclerosis Risk in Communities study, Cardiovascular Health Study, Coronary Artery Risk Development in Young Adults study, Framingham Offspring Study, dan Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis. Sebanyak 2.625 peserta dilibatkan dalam analisis tersebut.
Tidak seperti studi-studi lainnya dimana pasien memiliki diabetes pada saat awal penelitian, studi ini difokuskan pada orang-orang yang bebas diabetes pada awal dilakukannya studi, untuk meminimalkan pengaruh jangka waktu terjadinya diabetes dan penurunan berat badan sekunder yang tidak disengaja atau disengaja, serta penentuan diabetes dan diagnosisnya.
Mereka memilih studi dengan pengukuran berat badan yang telah diulang, begitu juga dengan kadar glukosa puasa, dan penggunaan obat. Dilakukanlah penilaian kovariat, follow-up longitudinal untuk penilaian angka kejadian dan kematian.
Pasien dianggap memiliki diabetes jika mereka memiliki kadar glukosa puasa 126 mg/dL atau lebih tinggi atau melaporkan penggunaan obat hipoglikemik atau insulin. Indeks massa tubuh (BMI) digunakan untuk menentukan status berat badan, dengan berat badan normal didefinisikan sebagai BMI antara 18,5 kg/m2 sampai 24,9 kg/m2, kelebihan berat badan sebagai antara 25 kg/m2 sampai 29,9 kg/m2, dan obesitas sebagai 30 kg/m2 atau lebih. Mulai dari pemeriksaan di mana diabetes pertama kali diidentifikasi, para pasien ditindaklanjuti sampai mereka meninggal, datang pada akhir pengawasan kohort mereka, atau hilang selama follow-up.
Didapatkan dalam studi kohort tersebut, 293 peserta (11,2%) memiliki berat badan normal untuk diabetes. Sebanyak 449 kematian (17,1% dari kohort gabungan; 165,5 per 10.000 orang per tahun) terjadi selama follow-up, 178 (6,8% dari kohort; 66,1 per 10.000 orang per tahun) akibat kardiovaskuler dan 253 (9,6%; 99,0 per 10.000 orang per tahun) dari penyebab non kardiovaskuler, dengan 18 penyebab kematian yang tersisa tak teridentifikasi.
Mortalitas total, kardiovaskular dan non kardiovaskuler antara pasien dengan berat badan normal adalah 284.8, 99.8 dan 198.1 per 10.000 orang per tahun, masing-masing dibandingkan dengan pasien obesitas, diantaranya adalah tingkat 152.1, 67.8 dan 87.9 per 10.000 orang-tahun. Setelah penyesuaian kovariat untuk seks, usia, ras, tingkat pendidikan, lingkar pinggang, tingkat lipid dan status merokok, serta pasien dengan berat badan normal memiliki hazard ratio (HR) yang secara signifikan meningkat  untuk mortalitas total (HR, 2.08; interval  kepercayaan 95% [CI] , 1.52-2.85, p < 0.001) dan kematian non kardiovaskuler (HR, 2.32; 95% CI, 1.55-3.48, p < 0.001) dibandingkan dengan pasien yang lebih berat. Pasien dengan berat badan normal juga memiliki SDM yang lebih tinggi untuk kematian kardiovaskular (HR, 1.52; 95% CI, 0.89-2.58), tetapi secara statistik tidak signifikan (p = 0.06).
Keterbatasan studi ini menurut peneliti adalah penggunaan BMI untuk menentukan status berat badan, bukan tindakan langsung dari adipositasnya. Pasien dengan BMI yang lebih tinggi mungkin memiliki lebih banyak jaringan lemak, yang lebih sensitif terhadap insulin dari jaringan lemak. Inkonsistensi di seluruh studi dalam menelaah status merokok adalah keterbatasan lain, seperti kurangnya informasi tentang penggunaan obat lain pada pasien (antidepresan), yang mendorong terjadinya diabetes dan juga terkait dengan kematian yang lebih tinggi.
Namun, studi ini menambah dimensi penting sebagai bukti yang mendukung paradoks obesitas pada diabetes, karena merupakan yang pertama mengukur BMI pada saat terjadinya diabetes, menghilangkan efek perancu potensial dari jangka waktu diabetes. Mereka menyimpulkan bahwa studi ini adalah “wake-up call” bagi upaya preventif untuk semua pasien dengan diabetes, termasuk yang mereka sebut “ individu metabolik obesitas dengan berat badan normal”, yang mungkin terbuai rasa aman yang palsu karena mereka tidak memiliki berat badan yang berlebihan. (JAMA 2012; 308: 581-590; 619-620)
SL Purwo

PCI vs Terapi Medik Optimal pada Pasien CAD Stabil

PENYAKIT arteri koroner (CAD) adalah penyebab utama kematian diseluruh dunia, menyumbang lebih dari 7,2 juta kematian setiap tahunnya. Revaskularisasi dini telah dibuktikan juga menunjukkan penurunan kejadian kardiovaskuler dalam pengelolaan elevasi segmen ST infark miokard.
Selain itu, revaskularisasi telah terbukti meningkatkan hasil kardiovaskuler dalam pengelolaan non segmen ST elevasi miokard infark dan angina tidak stabil. Namun, strategi pengobatan optimal non akut CAD, memanifestasikan secara klinis sebagai angina stabil, tidak didefinisikan dengan baik.
Peran intervensi koroner perkutan (PCI) dalam pengelolaan penyakit arteri koroner stabil masih kontroversial. Mengingat kemajuan dalam terapi medis dan teknologi stent selama dekade terakhir, kami berusaha untuk mengevaluasi apakah PCI, ketika ditambahkan ke terapi medis, meningkatkan hasil jika dibandingkan dengan terapi medis saja.
Kami melakukan review sistematis dan meta-analisis, mencari dari PubMed, EMBASE, dan CENTRAL database, sampai Januari 2012, uji klinis acak yang membandingkan revaskularisasi dengan PCI terhadap terapi medis yang optimal (OMT) pada pasien dengan penyakit arteri koroner stabil. Hasil utama adalah semua penyebab kematian, dan hasil sekunder termasuk kematian kardiovaskuler, infark miokard non fatal, tindakan revaskularisasi selanjutnya, dan bebas dari angina.
Analisis primer berdasarkan follow-up terlama dengan analisis sekunder terstratifikasi sesuai masa percobaan, dimana jangka pendek (< 1 tahun), menengah (1-5 tahun) dan jangka panjang (> 5 tahun). Kami mengidentifikasi 12 uji klinis acak menggunakan 7.182 peserta yang memenuhi kriteria inklusi.
Untuk analisis primer, bila dibandingkan dengan OMT, PCI dikaitkan dengan tidak ada perbaikan yang signifikan dalam hal mortalitas (rasio risiko [RR], 0,85; 95% CI, 0,71-1,01), kematian jantung (RR, 0,71; 95% CI, 0.47-1,06), nonfatal miokard infark (RR, 0.93; 95% CI, 0,70-1,24), atau revaskularisasi ulangan (RR, 0.93; 95% CI, 0,76-1,14), dengan hasil yang konsisten atas semua follow-up berdasarkan jangka waktu.
Analisis sensitivitas terbatas untuk studi dimana ada penggunaan > 50% stent menunjukkan atenuasi dalam efek ukuran berlaku untuk semua penyebab kematian (RR, 0.93; 95% CI, 0,78-1,11) dengan PCI. Namun, untuk bebas dari angina, terjadi peningkatan hasil yang signifikan dengan PCI, dibandingkan dengan OMT (RR, 1.20; 95% CI, 1,06-1,37), jelas pada semua follow-up jangka waktu.
Dalam analisis yang komprehensif pada pasien dengan penyakit arteri koroner stabil, PCI dibandingkan dengan OMT, tidak mengurangi risiko mortalitas, kematian kardiovaskular, infark miokard nonfatal, atau revaskularisasi. PCI, bagaimanapun, mengurangi keluhan angina lebih besar dibandingkan dengan OMT saja, penelitian yang lebih besar dan lanjutan diperlukan untuk membuktikan bukti ini secara meyakinkan.(Circ Cardiovasc Interv. 2012; 5:476-490)                                                  
SL Purwo

Aortic Stiffness Mengakibatkan Hipertensi, bukan Sebaliknya

STUDI baru mengatakan bahwa aortic stiffness atau kekakuan aorta berhubungan dengan hipertensi di tahun-tahun kemudian, berlawanan dengan salah satu teori yang diterima luas saat ini. Dr Bernard M Kaess (NHLBI Framingham Heart Study, Framingham, MA) dan koleganya melaporkan temuan mereka, yang mereka katakan banyak implikasi penting, pada 5 September 2012 yang lalu di Journal of American Medical Association (JAMA).
“Pemikiran yang bertahan selama ini adalah bahwa orang mendapat hipertensi dari penyebab lain dan tekanan darah yang tinggi merusak aorta —akibat tekanan tinggi pada dindingnya— kemudian stiffness timbul sekunder akibat hipertensi.” Jelas Dr Gary F Mitchell (Cardiovascular Engineering, Norwood, MA, Amerika Serikat yang memiliki perusahaan yang mengembangkan alat pengukur stiffness vaskular) kepada heartwire. “Kami membuktikan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, adalah stiffness yang mengakibatkan tekanan darah tinggi.”
Mitchell mengatakan bahwa ada beberapa pesan kunci dari  hasil kerja ini. Pertama, “kami mendekati titik di mana stiffness vaskular dapat direkomendasikan sebagai faktor prognostik yang dapat digunakan untuk stratifikasi risiko.” Kedua, “jika kami dapat tetap fokus dalam mencegah atau membalikkan stiffness aorta, itu akan menjadi langkah besar ke depan. Saya tidak ragu pasti ada jalan untuk memodulasi dinding aorta. Hanya saja belum dalam jangkauan saat ini. Hampir semua obat antihipertensi yang ada didesain untuk memodulasi dinding arteri kecil karena pandangan umum bahwa patogenesis hipertensi adalah pada arteri kecil. Jika kita bisa mengubah fokus, kita akan menemukan intervensi yang mampu memodulasi dinding arteri besar dan memiliki dampak dalam kesuksesan kita menatalaksana hipertensi.”

Pengaruh modulasi aortic stiffness terhadap kejadian kardiovaskular masih perlu dibuktikan
Mitchell menekankan bahwa masih ada “bagian yang hilang” yang membuktikan jelas bahwa jika stiffness aorta dapat dimodulasi, “kita dapat menurunkan risiko, maka masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”
Atas permintaan heartwire, Presiden European Society for Hypertension (ESH) Dr Josep Redon (University of Valencia, Spanyol) mengatakan: “studi ini menawarkan untuk pertama kalinya bukti pentingnya perubahan fenotipe vaskular untuk mendeteksi individu dengan risiko hipertensi. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai bagaimana perubahan awal ini dapat dibalik dan  potensi dampaknya dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi.
Dalam editorial yang terbit bersamaan artikel tersebut, Dr Debabrata Mukherjee (Texas Tech University Health Science Center, El Paso, TX, AS) menyetujuinya: “Studi masa depan akan menilai apakah terapi vaskular untuk meningkatkan elastisitas arteri atau menurunkan stiffness akan mengurangi risiko hipertensi dan morbiditas serta mortalitas kardiovaskular.
Juru bicara hipertensi European Society of Cardiology, Dr Adrian Brady (University of Glasgow, Scotland), menekankan bahwa, partisipan studi berusia rata-rata sekitar 60-70 tahun, walaupun hasilnya menarik, Brady meyakini stiffness vaskular berhubungan dengan tipe hipertensi tertentu. “Ini benar-benar mengidentifikasi mekanisme yang mungkin untuk hipertensi sistolik pada usia tua, daripada menjelaskan onset hipertensi pada awal usia setengah baya, di mana banyak pasien menjadi hipertensi.” Demikian hasil observasinya.

Studi unik mengidentifikasi Silent Killer
Mitchell menjelaskan bahwa sementara riset permulaan telah menduga stiffness mendahului hipertensi, “hanya studi ini yang benar-benar mengukur stiffness pada satu titik waktu, yang kemudian menilai tekanan darahnya. Yang menarik dari studi kami adalah kami mengukur stiffness dan tekanan darah pada dua titik dalam waktu yang berjarak panjang, lebih dari tujuh tahun, sehingga kami dapat secara definitif bertanya: apakah stiffness mengakibatkan tekanan darah tinggi di masa yang akan datang? Kami mampu melihat kedua sisi dari mata uang. Dan belum ada studi seperti ini sebelumnya.”
Mitchell dan koleganya menggunakan data dari 1759 partisipan dari studi kohort the FraminghamOffspring, berdasarkan dua siklus pemeriksaan terakhir (siklus 7, 1998-2001 dan siklus 8, 2005-2008). Mereka memeriksa kaitan waktu antara tekanan darah dan tiga pengukuran stiffness vaskular dan pulsatilitas tekanan dari alat tonometri arteri —Carotid-femoral pulsed-wave velocity (CFPWV), forward wave amplitude (FWA) dan  indeks augmentasi— selama rentang waktu tujuh tahun. Keluaran primer adalah    tekanan darah dan insiden hipertensi selama pemeriksaan siklus 8. Keluaran sekunder adalah CFPWV, FWA dan indeks augmentasi selama siklus 8.
Dalam multivariat analisis, CFPWV dan FWA yang tinggi saat pemeriksaan siklus 7 berhubungan dengan tekanan darah sistolik pada pemeriksaan siklus 8. Sama dengan itu, sebuah model yang memasukkan tekanan darah sistolik dan diastolik dan  faktor risiko tambahan saat pemeriksaan siklus 7, FWA yang tinggi  (odds ratio[OR] 1,6 per satu standar deviasi [SD]; p < 0,001), indeks augmentasi (OR 1,7 per satu SD; p < 0,001) dan CFPWV (OR 1,3 per satu SD; p = 0,04 berhubungan dengan insidens hipertensi saat pemeriksaan siklus 8.
Sebaliknya, “tidak ada hubungan bermakna antara tekanan darah sekarang dengan stiffness di masa yang akan datang.”
“Hipertensi telah disebut sebagai silent killer. Apa yang kami tunjukkan adalah bahwa ada silent killer lain yang muncul satu dekade sebelum hipertensi yang menjadi silent killer sebenarnya, karena kita bahkan tidak mengukur atau menganggapnya bermakna, sehingga perlu kita beri tempat  untuk hal ini.” catatnya.
“Saya pikir kita perlu untuk menganggap serius bagaimana pengukuran ini dapat dilakukan dalam praktek sehari-hari dan bagaimana evaluasinya. Ada bukti, ini dapat mendahului kejadian klinis atau hipertensi puluhan tahun sebelumnya, dan  informasi itu dapat amat penting untuk memprediksi hipertensi. Kemudian kita dapat setidaknya mengidentifikasi siapa yang berisiko tinggi jika belum saatnya memulai pengobatan.
Mitchell menambahkan bahwa telah diketahui beberapa obat antihipertensi sekarang seperti penghambat sistim renin-angiotensin, dapat mengurangi stiffness arteri. Dan diet rendah garam serta penurunan berat badan juga menunjukkan hasil yang efektif dalam studi kecil. Namun mungkin saja ternyata perlu obat baru, ujarnya.
Walaupun, ia menyadari bahwa penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menentukan batas ambang, tingkat stiffness seberapa yang perlu intervensi. “Kami mengetahui tingkat stiffness yang berisiko tinggi, tapi kami perlu data lebih banyak.”

Mengatasi stiffness vaskular dapat menjadi target baru prevensi
Mitchell mengatakan alat —pulse transducer atau tonometer— yang diperlukan untuk kalkulasi Pulsed Wave Velocity (PWV) termasuk berteknologi rendah, noninvasif dan tidak mahal untuk alat kesehatan: “Anda dapat memiliki sistem portabel desktop atau bedside seharga US$ 25 000 hingga 30 000.” Namun ia menyadari perlu keterampilan untuk mengerjakan tonometri dengan tepat, “jadi akan ada learning curve sampai bisa digunakan secara luas.”
PWVsudah sering digunakan untuk alat riset di Eropa dan Australasia, walaupun adopsinya lebih rendah dibanding di AS. Dan perubahan pada PWV telah dimasukkan sebagai penanda kerusakan organ dalam tabel risiko ESH-ESC guidelines sejak tahun 2007, catatnya.
“Saya yakin pengukuran PWV akan menjadi keluaran rutin dalam studi terapi hipertensi, karena sangat jelas bahwa stiffness adalah bagian utama yang kita lihat saat ini,” ujarnya.
Mukherjee mengatakan: “Jika studi prospektif memvalidasi kedua hal yaitu prevensi hipertensi dan perbaikan keluaran kardiovaskular menggunakan pendekatan modifikasi gaya hidup dan kombinasi terapi pada individu dengan stiffness vaskular, disfungsi endotel atau keduanya sebelum hipertensi muncul, strategi seperti itu dapat menjadi strategi utama preventif nasional. Implikasi studi Kaess dan kawan-kawan untuk prevensi akan jadi substansial.
Mitchell adalah pemilik Cardiovascular Engineering, sebuah perusahaan yang mengembangkan alat pengukur stiffness vaskular dan bekerja sebagai konsultan untuk Novartis dan Merck. Peneliti lain tidak ada konflik kepentingan. Mukherjee disebut menerima royalti dari Lippincott, Williams & Wilkins untuk mengedit dua buku dalam kardiologi intervensi. (Diterjemahkan dari http://is.gd/fWg2RP)
Sony Hilal Wicaksono

CRP sebagai Prediktor Dampak Perburukan pada Pasien dengan SKA

SINDROMA Koroner akut (SKA) merupakan suatu interval trombotik penyakit arteri koroner yang meliputi unstable angina (UA) dan kedua Infark miokard baik dengan ST elevasi maupun non ST elevasi yang secara umum diinduksi oleh trombosis koroner lokal sebagai komplikasi akut dari atherosklerosis. Adanya gangguan pada plak koroner yang mengakibatkan thrombosis dan agregasi platelet merupakan mekanisme terpenting dalam atherosklerosis yang menyebabkan sindroma iskemik akut berupa angina unstable, miokard infark akut dan kematian mendadak. Proses vaskular ini menyebar tidak hanya terbatas pada lokasi plak yg ruptur akan tetapi mempengaruhi seluruh kapiler koroner dan juga pada level sistemik yang dapat dideteksi dengan menentukan marker inflamasi plasma. Fenomena Inflamasi menghalangi stabilisasi plak yang secara teoritis mnyebabkan pasien lebih mudah untuk terjadinya kejadian koroner berulang. Pasien SKA memiliki resiko yang tinggi untuk menderita kejadian kardiak berikutnya
Adanya bukti yang berkembang mengatakan bahwa atheroskelosis merupakan suatu proses inflamasi, beberapa marker inflamasi yg terdapat di dalam plasma telah dievaluasi sebagai prediktor yang potensial terhadap kejadian koroner. Marker inflamasi ini meliputi Amiloid A serum, interleukin-6, homocystein, kadar fibrinogen, kapasitas fibrinolitik, Apolipoprotein-A, apolipoprotein B-100, lipoprotein (a) dan C-Reaktive Protein (CRP). Diantara marker-marker inflamasi, CRP merupakan salah satu yang paling sering dipelajari dengan metode sensitivitas yang tinggi.
CRP menstimulus produksi tissue factor oleh sel sel mononuklear, inisiator utama koagulasi darah. Selain itu CRP bersama phospholipase A2 dapat menyebabkan aktivasi komplemen dan meningkatkan fagositosis sel sel yang rusak oleh netrofil yang teraktivasi. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa peningkatan CRP menandakan aktivasi inflamasi yang sedang berlangsung (ongoing) yang merupakan pertanda atau karakteristik dari penyakit arteri koroner tidak stabil serta tentunya merupakan salah satu faktor penyebab instabilitas plak.
Peningkatan konsentrasi serum CRP dilaporkan pada unstable angina dan pada acute myocardial infarction. CRP digunakan untuk memprediksi variasi luas dari tampilan klinis. Selain itu CRP memberikan nilai tambahan pada skrining lipid yang standard untuk prevensi primer. Analisis terbaru oleh Chew et all menunjukkan bahwa CRP memprediksikan risiko kematian atau miokard infark dalam 30 hari diantara pasien pasien yang menjalani Percutaneus Coronary Intervention (PCI). CRP secara independen berhubungan dengan rekurensi kejadian kardiovaskular dan dengan kematian dalam jangka waktu menengah atau lama. Hal tersebut memberi kesan bahwa CRP tidak hanya berperan sebagai marker inflamasi secara umum akan tetapi secara langsung berpartisipasi secara aktif pada kedua proses atherogenesis dan gangguan plak atheromatous.
Pada studi prospective single centered yang dilaksanakan oleh kolaborasi Departemen Kardiologi dan Patologi Bolan Medical College Complex, Quetta, Pakistan dilakukan dari januari hingga desember 2009 dengan total pasien sebanyak 963 orang yang datang dengan keluhan nyeri dada. Semua pasien dinilai dengan anamnesa yang detail, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang relevan terhadap diagnosa SKA dengan kriteria inklusi pasien yang datang dengan  riwayat nyeri dada yang tipikal dan adanya ST elevasi atau depresi diatas 0,1 mV pada dua lead EKG yang bersesuaian atau tampilan klinis dari angina tidak stabil. Sedangkan kriteria eksklusi adalah miokard infark akut dalam beberapa bulan sebelumnya, kondisi inflamasi atau neoplasma yang kemungkinan berhubungan dengan peningkatan kadar CRPdan pasien dengan penyakit jantung katup, gagal hati dan gagal    ginjal.
Untuk membandingkan kadar peningkatan CRP, pasien dibagi atas empat grup, dimana grup 1 adalah pasien yang didiagnosis dengan unstable angina sebanyak 232 orang, sedangkan grup 2 sebanyak 258 orang dengan diagnosa ST elevation myocardial infarction, grup 3 sebanyak 286 orang dengan diagnosis Non ST elevation myocardial infarction dan grup 4 yang merupakan kontrol meliputi 187 pasien. Grup kontrol meliputi pasien yang awalnya datang dengan keluhan nyeri dada tetapi tidak ditemukan gambaran EKG yang bermakna serta marker kardiak dalam batas normal. Tidak ada bukti adanya infeksi, inflamasi, malignansi, gagal jantung atau penyakit jantung katup pada pasien ini.
Sample darah diperiksa dengan menaruh pada sebuah tabung kecil dan dibekukan pada suhu ruangan. Tabung kecil di sentrifuge selama 5 menit dan serum dipisahkan untuk pemeriksaan CRP, CK, CK-MB dan Troponin T. CRP diukur dengan nephlometric assay (Boehring Diagnostic) dengan batas deteksi 0.2 mg/l, uji sebanding dengan 0,2 hingga 230 mg/L. Persentil 95th dari 120 donor darah yang sehat yang terdapat di rumah sakit institusi kadar CRP adalah 3,0 mg/L.
Follow up dilakukan selama 90 hari yang disusun dengan interview via telepon baik terhadap pasien langsung ataupun kerabat pasien. Semua pasien diobservasi secara prospektif tanpa diketahui kadar CRP yang menyebabkan komplikasi kardiovaskular meliputi kematian, (re-)miocardial infarction, recurrent unstable angina atau heart failure. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 14.0 dengan menghitung frekuensi, persentase dan chi-square.
Range kadar CRP dari 0,5 hingga 95 mg/ml. Rata rata keseluruhan +/- SE (Standard Error) adalah 17,6 +/- 7,96 mg/ml ( 95% CI = 1,66-33,6). Peningkatan kadar CRP lebih tinggi dijumpai pada grup 2 (STEMI) yaitu 29,4 +/-1,7 dan juga pada grup 3 (NSTEMI) yaitu 27,1+/- 1,7 sedangkan pada grup 1 (unstable angina) yaitu 5.4 +/-1,7.
Studi ini menunjukkan bahwa reaktan fase akut, CRP secara signifikan meningkat pada pasien Sindroma Koroner Akut (SKA) dibanding terhadap grup kontrol. Jumlah pasien dengan peningkatan CRP (>3mg/L) lebih besar pada grup 2 dan grup 3 (71% dan 78%) dibanding grup 1 (28%). Dari studi ini terlihat bahwa kadar CRP lebih meningkat pada pasien Non-STEMI dibandingkan STEMI hal ini menandakan derajat inflamasi yang lebih besar dan juga kemungkinan kerusakan miokard.
Distribusi kejadian kardiak setelah follow up 90 hari berupa kematian, miokard infark, angina stabil rekurren dan gagal   jantung berdasarkan kadar CRP > 3 mg/l diperoleh bahwa grup 2 dan grup 3 memiliki proporsi persentase yang tinggi kejadian kardiak sebesar 91,2 %. Mortalitas secara signifikan meningkat lebih tinggi (p < 0,0001) pada grup 2 (8,9%) dan grup 3 (11,9%) dibandingkan terhadap grup 1 (2,1%) dan tidak ditemukan kejadian kardiak ataupun kematian pada grup 4.
Studi yang terakhir dibanding dengan studi oleh Cavusoglu et all dan Tomado et all yang mendemonstrasikan bahwa kadar CRP pada pasien dengan SKA pada onset 6 jam secara signifikan lebih tinggi dibanding grup kontrol. Proses inflamasi telah menunjukkan salah satu mekanisme yang menyebabkan rupture plak sehingga kadar CRP meningkat kurang dari 6 jam pada pasien SKA. Pada pasien SKA, konsentrasi high sensitivity CRP (hsCRP) sepuluh kali lipat lebih tinggi pada pasien stable coronary disease atau penyakit koroner yang belum diketahui.Pada studi sebelumnya peningkatan hsCRP telah menunjukkan hubungannya dengan mortalitas pada pasien UA dan NSTEMI.
Studi yang terakhir ini juga mengungkapkan bahwa peningkatan ringan dari CRP berhubungan kuat dan secara independen dengan berkembangnya gagal jantung, Hal tersebut memberi kesan bahwa intensitas respon inflamasi meningkatkan risiko dampak mekanikal dan komplikasi injuri iskemik. Oleh karena itu memegang peranan penting dalam perkembangan gagal jantung setelah kejadian ACS dan pengawasan yang tepat serta dalam hal pemberian terapi yang lebih agresiv dan kemungkinan terapi baru yang bertujuan untuk mencegah remodeling yang merugikan.
Kesimpulan yang diperoleh adalah pengukuran kadar CRP pada saat pasien masuk dengan dugaan Penyakit arteri koroner dapat berperan dalam mengidentifikasi kelompok pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi kardiovaskular yang membutuhkan manajemen kardiak yang agresif serta monitoring yang tepat setelah keluar dari rumah sakit. (Heart Views, Official Journal of Gulf Heart Association Jan-Mar 2012, 13: 7-12) 
Andika Rizki Lubis