pita deadline

pita deadline

Selasa, 05 Juni 2018

Kardiologi Pediatrik: Masih Mencari Tempat di Hati Para Kardiolog

PERKI, Kolegium dan pemerintah harus bahu membahu memperbaiki layanan jantung anak. Pengadaan SDM pediatrik sangat perlu digalakkan.

DUNIA keilmuan kardiologi kembali menghadapi acara istimewa tahun ini: Kongres Perhimpunan Kardiak Pediatrik Asia Pasifik ke-7 atau The 7th Congress of Asia Pacific Pediatric Cardiac Society (APPCS). Kali ini Indonesia mendapat kehormatan sebagai tuan rumah kongres yang berlangsung tiap dua tahun tersebut yang diadakan di Bali pada 30 Agustus – 1 September 2018.
Panitia APPCS 2018 mengharapkan kehadiran setidaknya 700 anggota yang terdiri dari para profesional dan ilmuwan dari seluruh pelosok negara-negara Asia Pasifik. Panitia bahkan harus mengundurkan tenggat waktu penyerahan abstrak hingga akhir April.
“Semua kumpul di APPCS 2018, ada dokter bedah anak, dokter jantung, dokter anak, anastesi, termasuk pakar-pakar pediatrik dari luar negeri,” kata Prof dr Ganesja Harimurti, SpJP(K) yang bertindak sebagai anggota Dewan Penasehat Panitia Penyelenggara, APPCS 2018. Saat ini untuk menyambut APPCS 2018, segala sesuatunya telah dipersiapkan. Mulai dari sponsorship, lokasi, akomodasi hingga masalah keilmuan. “Di sana kita akan mengadakan pertukaran dan mengupdate ilmu-ilmu pediatrik, bagaimana tantangan dan solusinya,” kata Ganesja.
Tema pertemuan ilmiah kali ini pun cocok untuk kondisi tatalaksana pelayanan kardiologi pediatrik di Indonesia, yakni “Progress and Harmony Towards Equal Care for Children with Cardiac Problems". Pemerataan layanan kesehatan jantung anak di Indonesia memang harus terus digalakkan. Sebenarnya, menurut Ganesja, dari segi perkembangan dan tindakan kardiologi pediatrik Indonesia tak kalah dengan di Luar Negeri. Namun pada sisi pelayanan terhadap masalah jantung anak, masih banyak sekali yang harus diperbaiki.


Layanan Kardiologi Pediatrik
“Lihat saja kondisi pasien-pasien jantung anak di Indonesia, masih memprihatinkan. Perhatian terhadap kardiologi pediatrik memang masih sangat rendah, tenggelam dibandingkan dengan penyakit jantung koroner,” tutur Ganesja saat ditemui Inaheartnews. Perhatian masyarakat dan pemerintah lebih banyak kepada masalah jantung dewasa. “Misalnya sangat jarang ada pemberitaan atau pembahasan kasus jantung anak jadi headline di TV atau media massa. Tapi kalau ada yang terkena stroke, banyak yang membahas,” katanya.
Padahal, kejadian jantung bawaan cukup banyak untuk menjadi perhatian kalangan profesi, pemerintah dan masyarakat umum. “Saya dan kawan-kawan pernah mengadakan penelitian pada 1996. Kita dapatkan dari seribu kelahiran, terdapat sembilan bayi diantaranya mengidap jantung bawaan,” kata Ganesja. Data-data itu diambil dari tujuh rumah sakit besar di Indonesia.
“Kalau kita lihat dari sisi angka kelahiran di Indonesia saat ini, maka itu artinya setidaknya ada 40.000 bayi yang menderita kelainan jantung per tahunnya. Dari jumlah itu, sekitar 9% meninggal pada awal kehidupan. Sisanya bisa kita lihat, sebanyak 50%, sekitar 18.000 bayi memerlukan intervensi dari dokter,” kata profesor dengan pengalaman pediatrik hampir 4 dekade ini.
Untuk kejadian jantung anak di RSJ Harapan Kita saja, lanjut Ganesja, terdapat 1.000 - 1.200 kasus per tahun yang menjalani operasi, kemudian ada tambahan lagi sekitar 200 anak yang intervensi non bedah. “Jadi hanya sekitar 1.500 anak yang tertangani di RSJ Harapan Kita. Sisanya mereka ke RSCM, RS Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan Bandung. Tapi itu pun tidak banyak. Lantas bagaimana dengan ribuan anak lainnya? Mereka pada kemana?” tanya Ganesja.
Apalagi, kini dengan bantuan BPJS Kesehatan, banyak orangtua dapat membawa anaknya untuk ditindak. “Tetapi tetap saja sumber daya manusia (SDM) yang menangani terbatas. Banyak orangtua dari daerah yang membawa anaknya ke Jakarta. Tapi seberapa banyak yang bisa kita tampung?” katanya.
Bahkan yang membuat miris, kini antrean tindakan bedah jantung anak menjadi panjang tak karuan. “Sekarang mereka harus antri selama 2 tahun untuk dioperasi di RSJ Harapan Kita,” katanya. Ganesja mengaku pihak rumah sakit sudah berupaya maksimal mengatasi hal ini. “Saat ini kita telah melaksanakan hingga 4 operasi dalam sehari. Tapi pasien masih terus membludak. Jadi ini harus menjadi perhatian semua pihak,” katanya.
Kadang-kadang karena lamanya menunggu,lanjut Ganesja, ada anak yang tiba giliran, dipanggil untuk operasi ternyata sudah tiada. “Jadi ini tidak bisa lama-lama. Penanganan terhadap hal ini harus cepat. Seperti itulah gambaran kondisi darurat yang terjadi,” katanya.

Perkembangan Kardiologi Pediatrik Indonesia 
Salah satu penyebab masih sedikitnya SDM kardiologi pediatrik adalah peminat terhadap ilmu ini masih kurang. “Banyak yang menganggap, bidang kardiologi pediatrik kurang basah secara finansial dibandingkan dengan bidang jantung koroner. Jadi memang belum mencapai harapan," kata Ganesja tersenyum.
Padahal berkembangnya cabang kardiologi pediatrik tentu berawal dari sang induk, dunia kardiologi Indonesia. “Perkembangan jantung anak memang agak unik. Sebetulnya kita sebagai SpJP memang menangani pasien jantung dari pediatrik hingga geriatri. Begitu setidaknya paradigma yang terjadi ketika itu,” katanya.
Kardiologi Indonesia pada awalnya berkembang di Jakarta dan Surabaya, lebih tepatnya di RS Cipto Mangunkusumo. “Perkembangan itu lebih pesat lagi saat kita pindah ke RS Harapan Kita pada 1985. Tapi dulu pelayanan terhadap jantung anak memang tidak sekomprehensif seperti sekarang. Dulu kita terkotak-kotak. Tiap-tiap tindakan dilakukan pada bagian-bagian yang terpisah,” kata Ganesja.
Dalam perkembangannya, Ganesja berpikir penanganan kardiologi pediatrik seperti ini kurang sempurna. “Soalnya mereka yang mengkateter jantung orang dewasa belum tentu memahami ilmu kateter jantung pada anak,” katanya.
Sebab itulah, manajemen rumah sakit saat itu kemudian mengirim Ganesja ke London untuk memperdalam jantung anak, pada 1979. Disana, Ganesja bertemu dengan rekan-rekan sejawat. Ternyata mereka menangani kasus jantung anak secara terpadu. Mulai dari diagnostik, kateterisasi, ekokardiografi hingga perawatan paska bedah.
“Ketika itu saya minder sekali… kok kita tidak seperti itu. Saya pulang ke Jakarta dan lapor kepada Departemen Kardiologi yang waktu itu dipimpin dokter Sukaman. Beliau setuju sekali untuk mengembangkan sistem yang terpadu. "Oke kamu belajar lagi dan mengembangkan," kata ibu dua anak ini.
Pada 1985, Ganesja disekolahkan lagi untuk memperdalam kardiologi pediatrik ke Tokyo, Jepang. Sepulangnya dari sana, mulailah dibangun pelayanan kardiologi anak yang lebih terpadu. “Sebelumnya saya sudah sounding dengan Prof Lily (Prof dr Lily I Rilantono, SpJP(K)) berangan-angan dan ancang-ancang membangun divisi pediatric cardiology terpadu. Mulai dari poliklinik, perawatan, ekokardiologi dan katerisasi yang khusus,” kata Ganesja.

Perhatian terhadap Kardiologi Pediatrik
Kini setelah pindah ke RSJ Harapan Kita, angan-angan itu pelan-pelan mulai terwujud. Tapi perjuangan tentu tidak selesai sampai di sini, karena masih banyak yang harus diperbaiki dan dicapai. 
“Salah satu mimpi saya adalah pemerataan pelayanan kardiologi anak di seluruh Indonesia, di semua daerah atau sentra sama derajatnya. Jadi pasien dari Papua tidak perlu lagi datang Jakarta, tetapi bisa ke sentra pendidikan di Makassar,” katanya.
Saat ini Indonesia telah memiliki 13 pusat pendidikan SpJP, yang tersebar di Aceh, Padang, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Bali, Malang, Manado dan Makassar. “Nah, mimpi saya itu semua pusat pendidikan ini mempunyai pelayanan kardiologi anak yang equal, sehingga semua rakyat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat pelayanan kesehatan,” tutur Ganesja.
Langkah awal apa yang sebaiknya dilakukan untuk mewujudkannya? “Minimal PERKI dan Kolegium harus selalu mengingatkan daerah dan kolega lainnya bahwa pelayanan kardiovaskular itu termasuk pelayanan kardiologi anak. Maaf-maaf saja, sekarang pelayanan kesehatan yang satu ini memang sering dilupakan,” kata Ganesja tegas. Dari situlah kemudian bisa bahu membahu dengan pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan layanan yang merata. [Tim InaHeartnews]

SpJP Harus Senantiasa Istiqomah, Tawadhu, Bersyukur & Amanah

HAMPIR semua wartawan kalangan kesehatan mengenal sosok dokter yang ramah dan cekatan ini: Dr Jetty Sedyawan SpJP(K). Selain menjalankan amanat sebagai Sekjen Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2016–2018 dan melayani pasien, Jetty juga sibuk dengan beragam aktivitas. Mulai sebagai pembicara dalam berbagai pertemuan kesehatan, kegiatan bantuan sosial, Jetty juga aktif dalam kegiatan di Kementerian Kesehatan. Berikut perbincangan beliau dengan Tabloid InaHeartnews, Maret.

Kira-kira kode etik apa yang paling krusial harus selalu ditaati dan dilaksanakan SpJP?
Sebenarnya IDI termasuk PERKI sudah siap mengantisipasi segala persoalan dalam pelayanan kedokteran. Pada prinsipnya seluruh kode etik kedokteran Indonesia harus ditaati tanpa memandang dokter spesialis apapun. Kalau ditanya yang paling krusial, saya pilih dari Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 8 kewajiban umum yang berbunyi: “Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventiv, kuratif dan rehabilitatif) baik fisik maupun psikososial serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya”.

Masyarakat kini makin kritis. Bagaimana dampaknya terhadap kinerja dokter jantung?
Menarik sekali pertanyaan ini, saya menjawab dengan dua pokok yaitu professional dan patient safety. Ilmu kedokteran saat ini menganut evidence based medicine. SpJP dituntut untuk selalu update, mumpuni dalam ilmu pengetahuan dan peka terhadap perkembangan ilmu kedokteran, khususnya ilmu penyakit kardiovaskular.
Perkembangan media sosial di masyarakat mempunyai dampak positif dan negatif. Yang perlu diwaspadai adalah isu hoax yang beredar. Mitos-mitos tentang penanggulangan kesehatan dan iklan-iklan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk klinik-klinik palsu yang kerap merugikan masyarakat. Masyarakat harus lebih bijak dan teliti dalam mencermati tiap kebenaran hal yang ada. Bila ada keraguan jangan segan-segan untuk konsultasi ke dokter jantung dan pembuluh darah.

Bagaimana mempersempit jurang layanan kesehatan dokter jantung di pusat maupun daerah?
Alhamdulillah, telah terbit buku Model Optimal Pelayanan Kardiovaskular Rumah Sakit Rujukan, yang disusun team PERKI dan Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah tahun 2017 yang dipimpin DR Dr Ismoyo Sunu SpJP. Ini merupakan karya gemilang, menjawab pertanyaan kebutuhan pemetaan penempatan dan fasilitas pelayanan kardiovaskular RS Rujukan di seluruh Indonesia. Jumlah SpJP di Indonesia terbatas. Saat ini ada sekitar 1.000 SpJP untuk melayani 250 juta penduduk Indonesia. Yang memprihatinkan mereka lebih banyak bekerja di kota-kota besar. Sebenarnya ketentuan penempatan SpJP adalah di Rumah Sakit tipe A dan B. Masyarakat daerah dan pedesaan juga berhak mendapat pelayanan.
PERKI telah mengadakan pertemuan dengan IKBTKVI, dalam upaya mencapai pelayanan Kardiovaskular yang baik. Masalah ini pun telah kami sampaikan kemarin pada pertemuan dengan PPSDM, agar Kemenkes juga mendukung terlaksananya penempatan dan memfasilitasi para SpBTKV di daerah.

Bagaimana pula pandangan dokter terhadap masalah gratifikasi kepada dokter jantung?
Anggota PERKI melalui cabang PERKI beberapa kali mengadakan malam klinik khusus membicarakan Etik kedokteran termasuk isu gratifikasi. Kami telah mengadakan diskusi dengan berbagai pihak terkait mengenai gratifikasi, kerja sama IDI dengan KPK. Informasi dan acuannya telah disampaikan pada rapat Pleno PERKI, November lalu. Gratifikasi juga sudah diatur dalam pasal 12B, Undang-undang nomor 20 tahun 2001. Secara umum PP PERKI mendukung upaya pemberantasan korupsi dalam semua lini.
Pencegahan selalu lebih baik, telah kami imbau untuk mencegah timbulnya masalah gratifikasi dengan cara melaporkan ke PERKI Cabang selanjutnya ke PERKI Pusat untuk kemudian dilaporkan ke IDI Pusat bila ada SpJP menerima bantuan apapun baik untuk kepentingan pendidikan berkelanjutan ataupun promosi obat-obatan pada acara-acara ilmiah. Selanjutnya IDI akan melaporkannya ke KPK.

Bagaimana pula upaya terbaik untuk mengatasi para dokter jantung yang melanggar etika atau malpraktek?
IDI dan PP PERKI telah memiliki aturan dan standar tentang pelanggaran etika. Jika ditanyakan upaya terbaik dalam menangani dokter jantung yang melanggar etika adalah dengan pencegahan terlebih dahulu. Sebaiknya bila terjadi pelanggaran etika, PERKI cabang melaporkan segera kepada PERKI Pusat, sehingga dapat ditangani dengan baik, tidak sampai gaduh dan bisa berkembang ke ranah hukum. Bila sudah ada masalah etik, perhimpunan PERKI mempunyai dewan yang akan mendalami masalah etik tersebut dan tidak segan-segan memberikan sanksi bila ada anggota yang terbukti bersalah. Bila ada dugaan pelanggaran, Dewan Etik PERKI memanggil SpJP terkait, mengumpulkan data guna mencari kebenaran dan menentukan pelanggaran etik saja atau pelanggaran displin.
Kalau masuk pelanggaran disiplin, maka kasus itu akan diproses melalui sidang MKDKI untuk memutuskan sanksinya. Kalau pelanggaran etik, hasil keputusan Dewan Etik PERKI melaporkan secara tertulis berat-ringannya pelanggaran bersama sanksinya. Selanjutnya Ketua PERKI menyampaikannya kepada MKEK IDI. Eksekusi adalah wewenang IDI.
Soal malpraktek, lha ini yang sulit, karena ada perbedaan pengertian antara masyarakat dan profesi kedokteran. Masyarakat menuntut kalau berobat harus sembuh, kalau operasi harus berhasil sedangkan pelayanan dokter prinsipnya melakukan pelayanan dengan usaha tertinggi/terbaik. Jadi ada yang tidak puas atau tidak sembuh, lantas menuduh malpraktek, padahal bukan. Maka komunikasi dokter-pasien harus jelas dan informed consent harus dimengerti.
Yang utama seorang SpJP harus senantiasa istiqomah, tawadhu, penuh syukur dan amanah. Taat dan paham pada Kodeki, hukum, budaya malu dan takut akan hukuman akhirat merupakan dasar pencegahan pelanggaran etik, disiplin dan malpraktek.*

PENING POSING adalah SOFT SKILLS ?

(Penerapan Heart and Beyond pada Pasien Rawat Inap dan Keluarganya)

Budhi S. Purwowiyoto

OPENING: Smiling, Greetings, Introduction, Quotes, Anecdotes;
Problem solving: Identification, [SOAP][Rehab focus on WHO-5; 6MWT; CPX; HBCR]*], Reassurance, Repositioning, Re-education, and Planning; closing: Appreciation, Singing, Praying, Zeroing are soft skills approach to the patients and their families based on quantum cardiology. ~BSP 2018


SALAM KARDIO. Menurut Dennis E. Coates+], berbeda dengan hard skill, soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja dirinya secara maksimal. Contoh interpersonal skills adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dan kemampuan bekerja sama dalam tim. Sedangkan contoh intrapersonal skills adalah kemampuan mengendalikan keinginan, kemauan, dan emosi. Memiliki manajemen waktu yang baik dan selalu berpikir positif. Kemampuan soft skills seseorang salah satu aspek dapat dilihat dari pengalamannya dalam berorganisasi. Semakin banyak pengalaman, maka kemampuan soft skillsnya akan semakin terasah menjadi tajam.
Bermula dari kiriman seorang pasien umur 47 tahun kepada Prof Bambang B Siswanto (BBS) dari Rumah Sakit Advent Bandar Lampung yang dirawat oleh seorang dokter di sana dengan diagnosis Intrac-table Heart Failure, Cardiac Liver, hipoalbuminemia, ascites dan fibrilasi atrium dengan respon ventrikelnya normal. Difotolah surat konsultasi tersebut dan dilayangkan ke WhatsApp di telpon genggam penulis. Saya tersenyum saja sambil menduga bahwa pasien ini istimewa, setidaknya menjadi beban lebih beliau dalam menangani pasien-pasien gagal jantung dari mana-mana. Benar saja, pagi itu ditelepon perawat kalau ada pasien dikonsultasikan ke Prevensi-Rehabilitasi khusus ditujukan ke penulis.
Yang selalu membuat pening-posing, saya musti menulis apalagi di jawaban konsul. SOAP (Subjektif, Objective, Assesment, Planning) pasti sudah beliau isi atau sudah ditulis setiap hari oleh PPDS (Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis) atau setidak-tidaknya counter sign disamping tanda tangannya dan cap dokter yang merawat pasiennya di ruangan.
Perawat ruangan selalu mengatakan bahwa tadi sudah diisi oleh petugas rehab namun dokter tetap diminta Prof BBS untuk juga ketemu dengan pasiennya. Untung saya selalu membawa andalan saya: eDragonFlyer: 2020 Heart & Beyond. Di situ sudah ada pedoman SEHAT Yayasan Jantung Indonesia 1978 yang dikomposisikan oleh alm. Prof R Boedi Darmojo dari UNDIP Semarang.
Buka-buka status, ternyata pasien ini menderita kardiomiopati dilatasi dengan arteri koronernya normal. Elektrokardiogramnya berirama fibrilasi atrium dengan gelombang QRS melebar 149 ms sekali-sekali tampak ekstrasistol ventrikel. Fraksi ejeksinya di ekhokardiografi 13% dengan dilatasi keempat ruang-ruang jantungnya. Saya bayangkan pasien ini bengkak kaki-tangan serta perutnya dan yakin begitu menderita dengan muka yang bersedih serta pucat. Pasien semacam ini sudah cukup-sering dijumpai karena hampir semuanya sering keluar-masuk rumah sakit.
Ketika ketemu pasiennya, kaget juga kok tidak bengkak dan tidak buncit perutnya. Rupanya pasien ini sudah dirawat selama seminggu dengan protokol ketat gagal jantung. Konsultasi pribadi ini melahirkan tulisan terutama untuk mahasiswa kedokteran dan program studi dokter spesialis yang sedang belajar di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Tentu saja pendekatan seorang dokter terhadap pasiennya tidak harus seperti yang diusulkan oleh penulis. Tidak ada paksaan, tidak ada kuliah khusus, tidak ada penilaian dan tidak mengambil waktu yang sudah terstruktur dengan ketat.
Mengapa beliau ‘ngotot’ saya pribadi harus ketemu pasien khusus tersebut? Menurut Prof BBS, konon sehabis ketemu saya, biasanya pasien jadi lebih bersemangat dan kepingin lekas pulang. Bahkan ada satu pasien yang langsung kursi rodanya tidak dipakai. Umumnya mereka depresif, kurang semangat dan sering keluarganya kurang mendukung karena makin lama di rumah sakit beban keluarga menjadi sedikit berkurang karena gratis, biaya pengobatan dan perawatan ditanggung BPJS. Nah, ini yang tidak enaknya, kata beliau, ia juga sudah “pening-pusing” menghadapi pasien-pasien gagal jantung berat tersebut. “Pening-pusing” menghadapi pasien-pasien gagal jantung di rumah sakit inilah yang harus dibagi rata diantara para profesor. Alhamdulillah, Haleluya puji Tuhan, soft skills Pening-Posing masih ada manfaatnya. Rupanya, beliau juga sering menulis surat konsul pribadi untuk Prof Yoga Yuniadi, tentu untuk hard (heart) skills beliau agar memasang pacu jantung dengan alat kejutnya pada pasien-pasien khusus tersebut. Sistim remunerasi rumah sakit juga bermanfaat untuk bagi-bagi tugas secara profesional.


OPENING
Smiling, greetings, introduction. Istilah yang sudah dikenal masyarakat sebagai 3S: senyum-sapa-salam. Menyampaikan salam tentu saja sebaiknya sesuai dengan adat kebiasaannya. Memilih yang berhubungan dengan waktu: selamat pagi, siang, malam; dapat juga dengan dinyanyikan “Slamat pagi pak, slamat pagi bu, slamat pagi merdeka!" Yang bernuansa agama/kepercayaan atau sebagian dari suatu doa misalnya “Assalamualaikum”, “Shalom”, “Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu”, “Om swasti astu”, “Namo Budhaya”. Memilih yang bernada kebudayaan juga boleh “Horas Jala Gabe Tondi Mandingin Pir ma Tondi Matogu”, “Salam karahayon”, “Spada”. Semua itu sebagai pembukaan untuk memperkenalkan diri.
Quotes, Anecdotes, dan Rapport. Mungkin perlu disampaikan juga mutiara kata, pendapat pakar, bahkan cerita lucu yang diselipkan dalam melakukan anamnesis, tentang kejadian awal masuk rumah sakit, riwayat penyakit sebelumnya, faktor risiko dan obat-obat yang diminum. Hal ini penting untuk membangun dan memelihara rapport yaitu hubungan yang harmonis antara dokter-pasien.

PROBLEM SOLVING
Identification of The Problems. Identifikasi problem pada pasien tentu dapat berbeda-beda sesuai kebutuhan. Pasien yang mau dilakukan tindakan pemasangan ring, pelebaran dengan balon pada katup mitral yang menyempit, dan pemasangan pacu jantung permanen cara memandang dan bersikap terhadap obat pengencer atau anti pembekuan darah berbeda-beda, walaupun kamar tindakannya sama. Penting memperhatikan informasi dokter maupun perawat berdasarkan analisis SOAP (Subjective-Objective-Assesment-Planning) dari pasien tersebut. Informasi SOAP, data kasar tentang laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya dipakai sebagai menentukan rencana dan tindak lanjut pasien tersebut.
Reassurance. Sebenarnya isinya tentang membuat senang hati orang dengan cara apa saja dalam berkomunikasi, dengan tujuan memperkuat ketahanan mentalnya. Istilah entertaining menjadi pas ketika tujuannya adalah membuat senang hati dan kebahagiaan siapa saja. Reassurance adalah istilah yang sama untuk psikologi-psikiatri maupun konselor, setidaknya menurut Dr. Danardi Sosrosumihardjo SpKJ, psikiater senior, mantan Presiden Psikiatri Indonesia dan negara-negara ASEAN. Reassurance dapat diartikan sebagai kemampuan petugas kesehatan untuk membuat perkuatan suasana mental yang positif bagi klien dan pasien. Namun, beliau juga mengingatkan ketika kita menghadapi pasien yang depresi kita-lah yang harus berusaha mendekati pasien tersebut. Pasien paska serangan jantung memiliki angka depresi yang tinggi sekitar 60% populasi. 
Repositioning dimaksudkan dengan penempatan diri seorang dokter di dalam keluarga pasien. Seorang dokter diharapkan sebagai pengayom, saudara tua yang paham tentang kesehatan. Mengingat pasien-pasien banyak yang mengkonsumsi 2-3 macam pengencer atau anti pembekuan darah diharapkan dokter memberikan nomor telponnya sehingga kalau ada kejadian perdarahan, stroke atau keadaan darurat jantung dan pembuluh darah, dokter pengayom keluarga inilah yang ditelepon lebih dulu.
Re-education adalah internalisasi (introspeksi) nilai-nilai Ketuhanan dan eksternalisasi (ekstropeksi) nilai-nilai Kemanusiaan. Dalam melakukan internalisasi nilai-nilai tersebut khususnya Ketuhanan, yang perlu ditekankan adalah sesuai dengan iman dan keyakinan klien/pasien bukan sesuai dengan agama/kepercayaan kita. Oleh karena itu dianjurkan atau ditawarkan untuk mempelajari agama/kepercayaan orang lain agar supaya dapat membantu mengatasi masalah kesehatannya sesuai dengan iman dan keyakinannya itu.
Ekstrospeksi nilai-nilai: ikhlas (un-attachment), sabar (obedience), syukur (acceptability), jujur (honesty), dan budi luhur (high virtue) dalam bermasyarakat disebut Pancasila. Jujurlah yang paling sulit dilaksanakan, dikatakan sebagai kata kunci untuk mencapai akhlak yang mulia erat hubungannya dengan psikohigienik. Ikhlas, sabar, syukur adalah sikap jiwa yang positif dan tahan banting dalam menghadapi stres kehidupan nyata.
Planning didedikasikan sebagai pendekatan terakhir dari SOAP: Subjective, Objective, Assesment, Planning. Rencana tindak lanjut ini kembali kepada identifikasi masalah dan fokus dari simpul-simpul yang terkait antara bidang kita dan masalah yang ada pada pasien yang harus diselesaikan. Diobati dengan menambah atau mengurangi jenis obatnya serta memperhatikan cara pemberiannya, dikonsultasikan ke dokter ahli lain, dipulangkan atau dirujuk ke rumah sakit lainnya.

CLOSING
Appreciation. Pada waktu menutup komunikasi yaitu ketika akan meninggalkan pasien perlu memberikan apresiasi kepada pasien, keluarganya, petugas kesehatan lainnya maupun perawat. Petugas kesehatan lainnya meliputi petugas kebersihan, radiografer, dietisen, asisten apoteker dan petugas administrasi. Apresiasi kepada keluarganya dapat disampaikan misalnya “Wah, anda sepertinya akan mendapatkan 'tiga kunci sorga' karena dedikasi anda kepada ibu”, “Senyumnya nurse dan petugas kesehatan di sekitar anda adalah doa kepada Tuhan bagi kesembuhan”, “Perawat dan petugas kesehatan kami adalah ‘bintang-bintang film,’ hanya saja mereka masih dihargai sebatas ‘bintang-bintang'nya rumah sakit.”
Singing. Kapan saja boleh menyanyi kecil, pada saat pembukaan, pemecahan-masalah sampai penutupan bisa dinyanyikan sepotong lagu atau meminjam sepotong lirik lagunya Evi Tamala “Selamat malam duhai kekasih, sebutlah namaku menjelang tidurmu..” Bila kebetulan masih ada catatan yang belum lengkap dan kira-kira kita akan dicari: “Hello, is it me you looking for?” lagunya Lionel Richie yang menanyakan apakah anda mencari saya. Biasanya perawat-perawat langsung menjawab seperti koor “No, no..,” sambil tersenyum. Bahkan mereka beromentar sudah bosen karena seringnya sang dokter yang gaul tersebut menyanyikannya. Solusinya tentu saja ganti lagu yang lain. Kalau perlu ganti lagu Jawa yang pentatonik dengan metrum pelog, misalnya sebuah Dandang Gula memanising Hasta Sila: “Sadar, sadar, percaya dan taat kepada Tuhan.” “Ikhlas, sabar dan syukur, jujur, budiluhur.”
Praying. Rumah sakit biasanya menyediakan petugas masing-masing agama besar untuk menjenguk pasien-pasien yang seagama. Ada juga kelompok pegawai rumah sakit sebagai umat agama/kepercayaan tertentu bergiliran secara berkala mengunjungi pasien yang seagama untuk diajak berdoa bersama bagi kesembuhannya. Ada kalanya terpaksa diingatkan oleh perawat agar dalam berdoa tidak mengganggu pasien lainnya. Tentu kita dapat menyampaikan kata-kata harapan kesembuhan, seyogyanya menggunakan istilah-istilah agama pasien tersebut atau istilah umum dan bukan menggunakan istilah agama kita sekiranya berbeda agamanya. Disini selalu penting untuk diingatkan tentang re-edukasi sesuai dengan keyakinan pasien itu sendiri. Ada baiknya para petugas kesehatan untuk mempelajari agama/kepercayaan pasien-pasiennya sehingga ketika akan menolongnya dapat dilaksanakan secara sempurna sesuai keyakinannya.
Zeroing. Mengembalikan ke posisi asal-mula, memaafkan atau meminta maaf, berterima kasih karena diberi sesuatu. Mengembalikan apresiasi, misalnya “Dokter, terima kasih, baru dokter pegang saja sudah lebih dari separoh penyakitku sembuh,” kata pasien dengan wajah serius. “Wah, mari kita kembalikan terima kasih anda kepada Tuhan YME, alhamdulillah atau haleluya puji Tuhan, Dialah sesungguhnya yang menyembuhkannya, para dokter hanya berusaha sesuai kemampuan profesinya,” “Tidak lain karena doa isteri, anak-cucu, petugas kesehatan dan bapak sendiri kepada Tuhan YME, sehingga sembuhnya relatif lebih cepat daripada orang lain dengan penyakit yang sama.” Zeroing ini terasa meringankan jiwa kita sendiri.
Soft skills yang dibahas ini mengajarkannya dengan menggunakan metode role-model tertentu termasuk menggunakan contoh senyata-nyatanya. Perlu disampaikan juga kepada para peserta didik bahwa selalu ada penilaian yang melekat dari keluarga, teman dekat, dan masyarakat serta dari The Force di dalam diri kita masing-masing. Bukankah The Force adalah juga The Pathfinder, Juru Petunjuk Jalan Benar di dalam lubuk hati kita yang terdalam ialah Sang Guru Sejatinya manusia? May TheForce be with us.
Salam kuantum

------------------------------------
*] Pada pendekatan Preventif-Rehabilitasi perlu fokus pada WHO-5= a simple 5-questions of quality of life questionair from WHO; 6MWT= 6 Minutes Walking Test; CPX= Cardiopulmonary Excercise Test; dan HBCR= Home Based Cardiac Rehabilitation sebagai tindak lanjut pasca rawat inap dan perhatian khusus pada Fase I dan II Rehabilitasi Jantung.
+]http://intimanagement.com/2016/11/04/apa-itu-hard-skill-dan-soft-skill/ cited Feb. 9, 2018
1] Pada pendekatan Preventif-Rehabilitasi perlu fokus pada WHO-5= a simple 5-questions of quality of life questionair from WHO; 6MWT= 6 Minutes Walking Test; CPX= Cardio Pulmonary Excercise Test; HBCR= Home Based Cardiac Rehabilitation sebagai tindak lanjut pasca rawat inap dan perhatian pada Fase I dan II Rehabilitasi Jantung.(Heart & Beyond: Re-education is the most valuable task)