pita deadline

pita deadline

Rabu, 28 Desember 2011

Kegunaan dan Keamanan Celivarone pada Pasien dengan ICD untuk Prevensi Serangan Aritmia dan Kematian Mendadak

“Celivarone tidak efektif untuk pencegahan timbulnya aritmia pada ICD atau kematian mendadak”.

Pasien yang selamat dari serangan takikardi ventrikel (VT) ataupun fibrilasi ventrikel (VF) mempunyai risiko rekurensi sebesar 10-50% dalam 2 tahun.
Aritmia ventrikuler ini bertanggungjawab pada dua per tiga kasus kematian mendadak setiap tahunnya di Amerika Serikat.
ICD (Implantabel Cardioverter-Defibrillators) digunakan sebagai terapi standar pencegahan sekunder kematian mendadak pada pasien risiko tinggi dari serangan aritmia yang mengancam nyawa tersebut dan juga digunakan lebih banyak lagi dalam pencegahan primer kematian mendadak pasien risiko tinggi lainnya.
ICD dapat memutuskan serangan aritmia ventrikel tersebut tetapi tidak dapat mencegah serangan berikutnya.
Lebih dari 50% pasien dengan ICD membutuhkan terapi antiaritmik tambahan untuk mencegah berulangnya shock yang diberikan ICD jika terjadi VT/VF atau sebagai pencegahan shock lainnya yang sering diakibatkan oleh AF.
Obat tersebut membantu pasien mengurangi ketidaknyamanan pengisian dan keausan batere, dilain pihak shock yang diberikan berulang kali dihubungkan dengan tingginya angka mortalitas dan hospitalisasi yang mahal.
Celivarone merupakan derivat benzofuran non iodinasi yang digunakan untuk aritmia atrial maupun ventrikel. Obat ini menghambat kanal kalsium, natrium, beberapa kalium, dan respon á1 dan â1 adrenergik, serta stimulasi reseptor angiotensin II.
Untuk menilai keamanan dan keefektifan celivaron dalam mencegah serangan aritmia ventrikel pada ICD dan kematian mendadak dilakukanlah studi ALPHEE.
Studi ALPHEE dilakukan pada 151 center kardiologi di 26 negara dari September 2009 sampai Mei 2011, dengan tujuan utamanya menilai kegunaan celivarone (50, 100, atau 300 mg/hari) dibandingkan placebo, dengan menggunakan amiodarone (200 mg/hari setelah dosis permulaan 600 mg/hari selama 10 hari) sebagai kalibrator. dalam hal mencegah serangan aritmia pada ICD dan kematian mendadak.
Sedangkan tujuan sekundernya adalah menilai keamanan dan tolerabilitas obat tersebut.
Menggunakan 486 pasien dengan dengan LVEF d” 40% dan menggunakan ICD pada 1 bulan terakhir atas indikasi VT/VF atau yang telah menggunakan ICD dengan rekaman irama VT/VF 1 bulan terakhir, kemudian dirandomisasi, dengan median terapi selama 9 bulan.
Didapatkan hasil proporsi serangan aritmia ventrikel pada ICD ataupun kematian mendadak pada placebo sebesar 61,5%; celivaron 50mg sebesar 67%, 100 mg 58,8%, dan 54,9% pada celivarone 300 mg, serta 45,3% pada kelompok amiodarone.
Sementara HR untuk hasil akhir primer berkisar antara 0,86 untuk celivarone 300 mg sampai 1,199 untuk celivarone 50 mg, untuk hasil akhir sekunder dilaporkan memiliki kemanan yang dapat diterima.
Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa anti aritmik celivarone tidak efektif dalam mencegah timbulnya serangan aritmia ventrikel pada pasien dengan ICD dan risiko kematian mendadak. (Circulation 2011; 124: 2649-60)

SL Purwo

Nilai Diagnostik Pemeriksaan Fisik dan Tambahan pada Pasien Suspek Gagal Jantung di Pelayanan Primer

“NT-proBNP dan pemeriksaan fisik membantu penegakan diagnosis dan memperbaiki penilaian klinis pada pasien baru dengan gejala suspek gagal jantung”

Penegakan diagnosis awal pasien gagal jantung non akut merupakan hal yang penting karena pemberian terapi yang berbasis bukti dapat mencegah atau memperlambat progresivitas gagal jantungnya.
Oleh karena itu dilakukanlah studi oleh Kedler dkk, yang bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang BNP untuk meningkatkan efisien dan keakuratan dalam mendiagnosis gagal jantung baru pada pasien pelayanan primer tanpa gejala akut.
Menggunakan 721 pasien dengan gejala dan tanda suspek gagal jantung (sesak, cepat lelah, retensi cairan) yang dirujuk ke delapan klinik yang dikelola dokter umum, dimana klinik ini berada dalam lingkup 7 RS di Belanda.
Studi ini merupakan studi keakuratan diagnosis secara cross sectional dengan validasi eksternal. Kemudian subjek penelitian tersebut dilakukan work up diagnosis terstandar dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik (palpasi apex, auskultasi jantung, pulmo dan abdomen, edema, JVP), EKG, CXR (CTR dan gambaran edem pulmo), spirometri, lab standar (Hb, elektrolit, CRP, fungsi hati dan ginjal, NT-proBNP) dan ekokardiografi.
Didapatkan kombinasi 3 jenis riwayat penyakit (usia, PJK dan penggunaan diuretik loop) ditambah 6 jenis pemeriksaan fisik (irama dan laju nadi, displaced apex beat, ronki, murmur dan peningkatan JVP) menunjukkan nilai diagnostik independen (c-statistic 0,83).
NT-proBNP merupakan penunjang tes diagnostik yang sangat kuat, meningkatkan c-statistic sampai 0,86 dan menunjukkan perbaikan sebesar 69% (p < 0,0001).
Dari studi ini dapat ditarik kesimpulan dalam praktik sehari-hari, suatu rumusan diagnostic tersebut diatas dapat memperhitungkan kemungkinan gagal jantung pada pasien baru dengan kecurigaan gagal jantung non akut. (Circulation 2011; 124: 2865-73)

SL Purwo

Noninvasive Fractional Flow Reserve Non Invasif dapat Mengubah Angiografi Secara Drastis

Hasil dari penelitian Diagnosis of Ischemia-Causing Stenoses Obtained via Noninvasive Fractional Flow Reserve (DISCOVER FLOW) menunjukkan bahwa stenosis koroner yang menyebabkan iskemia dapat diidentifikasi secara noninvasive dengan analisis coronary computed angiograms (CCTAs).
Peneliti senior DISCOVER FLOW dari pusat Kesehatan Cedars-Sinai, Los Angeles dr. James Min mengatakan metode ini berpotensi untuk mengubah tatalaksana pasien, karena untuk pertama kalinya kita memiliki kemampuan untuk melihat stenosis koroner dan iskemia secara bersamaan, dan memiliki kemampuan untuk menentukan lesi yang menyebabkan iskemia. Min juga mengungkapkan kesulitan jika terjadi sebuah skenario dimana seseorang memiliki tes stres yang abnormal dan kemudian dilakukan angiografi dan melihat empat atau lima stenosis, tetapi tidak benar-benar tahu mana yang menyebabkan iskemia. Tapi proses ”fractional flow reserve virtual” yang baru ini atau FFRCT-dapat mengukur aliran cadangan fraksional untuk lesi masing-masing dengan data yang diambil dari CCTA, sehingga mengungkapkan stenosis yang menyebabkan iskemia dan harus diintervensi, serta yang stenosis lakukan tidak perlu diobati.Sebelumnya belum ada metode one-stop shop untuk menentukan lesi yang menyebabkan iskemia secara noninvasif.
Seperti dilansir heartwire di EuroPCR 2011, di DISCOVER FLOW, Dr KooBon-Kwon (Seoul National University Hospital, Korea) dan rekan-rekan perhitungan digunakan untuk menilai FFRCT159 pembuluh darah pada 103 pasien yang menjalani CCTA. Hasil studi ini diterbitkan dalam edisi 1 November, 2011 dari Journal of American College of Cardiology.
Semua pasien juga menjalani CCTA invasif dan kateterisasi pencitraan FFR invasif. Iskemia didefinisikan sebagai FFR dari < 0,80 dan anatomis penyakit koroner obstruktif didefinisikan sebagai stenosis > 50% yang diukur pada scan CCTA. Kinerja diagnostik FFRCT dan CCTA dinilai terhadap FFR invasif sebagai standar referensi. Dari pasien dalam penelitian ini, 56% memiliki setidaknya satu pembuluh darah dengan FFR < 0,80.
Karena hanya sekitar setengah dari stenosis lebih dari 50% yang benar-benar menyebabkan iskemia, spesifisitas penilaian tradisional dari stenosis oleh CCTA di bawah 50%. Keprihatinan yang ada adalah bahwa diidentifikasinya beberapa stenosis bermakna dikonfirmasi dengan angiografi, tetapi lesi tidak benar-benar menyebabkan iskemia. Fractional Flow Reserve mengukur berapa banyak dari aliran darah diblokir oleh lesi, sehingga sekitar 25% lebih akurat daripada CCTA tradisional dalam memilih lesi yang menyebabkan iskemia, Min menjelaskan.
FFRCT dapat menilai stenosis dari CCTA scan-prospektif gated atau retrospektif gated-tanpa teknik pencitraan tambahan atau perubahan pada parameter akuisisi. Sama seperti komputasi dinamika fluida yang dapat memprediksi perilaku sayap pesawat terbang di bawah parameter lingkungan yang berbeda, FFRCT dapat mengukur aliran darah melalui arteri koroner didasarkan pada geometri spesifik coroner dan miokardium pasien.
Dalam tajuk rencana bersama, Dr Stephan Achenbach (Universitas Giessen, Jerman) menyebutkan DISCOVER FLOW sebagai langkah pertama yang mengesankan yang perlu diikuti dan hasil pemeriksaan terinci dari metode ini akan diterjemahkan untuk manfaat klinis bila diterapkan pada skala yang lebih luas skala dengan kelompok pasien yang paling mungkin mendapatkan manfaat dari analisa tambahan ini. Beliau menyimpulkan sangat memungkinkan mendapatkan informasi fungsional yang sangat rinci dari sepenuhnya set data anatomi dan kemudian dipertemukan dengan fungsinya. Beliau menambahkan konsep ini membutuhkan dan sepantasnya mendapatkan penelitian lebih lanjut dengan lingkup yang lebih luas dan kemungkinan besar tidak hanya terbatas pada daerah CCTA.









Membuktikan FFRCT pada pasien
Pada pertemuan American Heart Association di Orlando di bulan yang akan dating, dr Min akan mempresentasikan hasil dari substudy DISCOVER FLOW khususnya pada stenosis intermediate (40-69%), dimana merupakan pilihan terapi yang paling sulit. Dr. Min menyatakan jika dokter melihat stenosis 90% atau !0%, maka sebagian besar akan merasa nyaman untuk menentukan pilihan tindakan, tetapi jika stenosis terletak antara 40-70%, maka ada kemungkinan lesi itu menyebabkan iskemik, tetapi kita tidak akan pernah tahu pasti sampai kita benar-benar memeriksanya.
DISCOVER FLOW didesain untuk mengevaluasi akurasi dari FFRCT pada level per-pembuluh darah, tetapi demonstrasi yang paling mungkin akan nilainya adalah kemampuannya dalam membantu penentuan terapi untuk tiap pasien. Penelitian DEFACTO, yang telah menyelesaikan pengambilan sampelnya pada 17 pusat penelitian sekitar sebulan yang lalu, mengevaluasi FFRCT per pasien. Dikatakan oleh Min penelitian ini merupakan penelitian yang sangat penting. Secara spesifik 285 pasien studi DEFACTO mencari kemampuan CCTA ditambah FFRCT untuk menentukan ada atau tidaknya nya setidaknya satu stenosis arteri coroner yang signifikan pada tiap subjek studi. Kateterisasi invasive FFR adalah standar referensi. Min mengharapkan studi ini dapat diselesaikan dalam kuartal pertama 2012.

(Edrian dikutip dari: theheart.org/article/1299631.do)

Asupan Vitamin C Rendah sebagai Prediktor Kejadian Jantung pada Pasien dengan Gagal Jantung

Liputan AHA 2011 Scientific Sessions

Vitamin C diketahui berperan dalam metabolisme kolagen. Selama ini kolagen lebih sering dikaitkan dengan fibrosis jantung akibat keseimbangan sintesis dan degradasi yang terganggu, yaitu inhibisi degradasi kolagen. Dalam AHA 2011 Scientific Sessions, ada sebuah presentasi yang menemukan hubungan asupan vitamin C yang adekuat dengan keluaran yang baik pada pasien dengan gagal jantung. Pasien dengan gagal jantung yang mengkonsumsi diet tinggi vitamin C mengalami kejadian jantung dalam setahun separuh dibanding pasien dengan diet rendah vitamin C, berdasarkan hasil studi yang dipresentasikan di American Heart Association 2011 Scientific Sessions. Dalam sebuah penelitian yang dipimpin oleh Dr Eun Kyeung Song (University of Ulsan, Korea), 212 pasien gagal jantung (45% dengan NYHA kelas 3 atau 4) di tiga rumah sakit di Amerika Serikat (AS) menyelesaikan suatu four-day food diary yang diverifikasi oleh ahli diet. Setiap pasien diperiksa kadar hs-CRP kemudian di follow-up selama satu tahun. Berdasarkan formula Institute of Medicine, 82 pasien (39%) menjalani asupan vitamin C yang tidak adekuat. Setelah satu tahun, 61 pasien (29%) mengalami kejadian jantung atau meninggal dunia. Asupan vitamin c rendah berhubungan dengan kadar hs-CRP yang lebih tinggi (OR 2,4) dan keduanya, asupan vitamin C rendah (HR 2,0) dan hs-CRP > 3 mg/dL, berhubungan dengan rentang waktu event-free survival yang lebih pendek setelah analisis multivariat berbagai faktor usia, gender, BMI, kelas fungsional, LVEF, komorbid lain, total asupan kalori dan obat-obatan. Song mengatakan bahwa ini adalah penelitian pertama yang menghubungkan asupan vitamin C yang rendah dan rentang waktu event-free survival yang pendek. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa vitamin c mungkin memiliki kontribusi dalam jalur inflamasi pasien gagal jantung. Co-author penelitian ini yaitu Dr Terry Lennie (University of Kentucky, Lexington) mengatakan bahwa diuretik yang digunakan oleh pasien gagal jantung mungkin memberi kontribusi kehilangan vitamin C karena sifat vitamin C yang larut air.
Mengomentari studi tersebut, dr Clyde Yancy (Northwestern University, Chicago, IL) menyampaikan ke Heartwire bahwa walau ditemukan hubungan asupan vitamin C dengan keluaran yang lebih baik, “kita harus menenangkan entusiasme kita. Jelas terdapat manfaat dalam diet tinggi vitamin C, tapi belum jelas bahwa vitamin C sebagai satu-satunya penyebab.” Ia mengajukan kemungkinan bahwa pasien dengan asupan vitamin C yang lebih tinggi dibanding dengan defisiensi asupan vitamin C, adalah akibat tingginya asupan buah dan sayuran dan rendahnya asupan lemak dan karbohidrat, sehingga menyebabkan perbaikan kesehatan jantung melalui berbagai jalur selain vitamin C.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk studi lebih lanjut yang mengevaluasi apakah terdapat perubahan struktur, fungsi dan pergerakan miokard dengan modalitas MRI kardiak, yang mungkin mendasari perbedaan keluaran pada pasien dengan asupan vitamin C yang cukup dibandingkan dengan yang tidak adekuat, mengingat peran vitamin C dalam sintesis kolagen. Mungkin selain inhibisi degradasi kolagen, terdapat mekanisme lain misalnya kurang tepatnya sintesis kolagen atau kualitas kolagen yg dihasilkan juga berakibat buruk bagi fungsi jantung. Hasil studi ini juga menarik untuk diaplikasikan dalam praktek sehari-hari mengingat ketersediaan vitamin C cukup luas dan relatif mudah dijalankan oleh pasien.

(Sony HW, disarikan dari theheart.org http://bit.ly/rFI0bb)

Pencegahan Penyakit Kardiovaskular pada Perempuan

Liputan AHA 2011 Scientific Sessions

Mitos penyakit jantung adalah penyakit pria telah dipatahkan, penyakit kardiovaskular juga merupakan penyebab kematian nomor satu pada perempuan.
Selama ini, populasi perempuan merupakan minoritas dalam berbagai riset kardiovaskular, dengan tumbuhnya kesadaran tentang meningkatnya penyakit kardiovaskular pada populasi perempuan, maka studi pada perempuan mulai banyak dilakukan, dan temuan-temuan penting pada studi-studi tersebut adalah antara lain:
* Pemberian aspirin rutin direkomendasikan untuk pencegahan serangan jantung pada pria, namun tidak pada perempuan.
* Lebih banyak perempuan yang meninggal akibat stroke daripada pria.
Sehingga mulai disadari bahwa perlu ditingkatkan awareness, pencegahan dan penatalaksanaan penyakit kardiovaskular harus dilakukan baik pada pria maupun perempuan, dan harus disadari adanya perbedaan aspek gender dalam tatalaksana.
Berdasarkan guideline tersebut diklasifikasikan risiko CVD pada wanita, risiko tinggi (> 1 keadaan risiko tinggi) ditandai dengan CHD, CVD, PAD, aneurisma aorta abdominalis, CKD tahap akhir, DMT2, risiko CVD 10 tahun > 10%.
Sedangkan pada keadaan risiko (> 1 faktor risiko mayor) jika terdapat kebiasaan merokok, SBP > 120 mmHg DBP > 80 mmHg, kolesterol total > 200 mg/dl, HDL < 50 mg/dl, sentral obesitas, pola diet yang jelek, inaktivitas fisik, riwayat keluarga dengan CVD prematur, sindroma metabolik, bukti aterosklerosis subliklinis lanjut, kapasitas latihan yang menurun, penyakit vaskuler kolagen autoimun sistemik, riwayat preeclampsia, diabetes gestasional, hipertensi terpicu hipertensi.
Pada guideline ini juga dibahas pedoman intervensi gaya hidup, intervensi faktor-faktor risiko utama dan intervensi obat - obatan dengan tujuan preventif, serta rekomendasi diet spesifik untuk perempuan.
Disebutkan juga tindakan intervensi untuk prevensi CVD pada wanita tidak berguna dan tidak efektif jika didapatkan terapi menopause (terapi hormon), mendapatkan suplemen antioksidan, asam folat, dan aspirini untuk infark miokard pada wanita < 65 tahun.
Kriteria CVD yang ideal adalah kolesterol total < 200 mg/dl, BP < 120/ < 80 mmHg, GDP < 100 mg/dl, BMI < 25 kg/m2, tidak merokok, aktivitas fisik (intensitas fisik moderat > 150 menit/minggu, diet sesuai DASH. (Circulation 2011, 123: 1243-1262)

Antonia Anna Lukito
RS Siloam Karawaci dan FK UPH

Sel Punca Jantung Memperbaiki Fungsi Ventrikel Kiri dan Mengurangi Luas Infark pada Kardiomiopati Iskemik

Liputan AHA 2011 Scientific Sessions

Penelitian stem cell atau sel punca, untuk terapi penyakit jantung selama ini masih kontroversial, namun dalam AHA scientific session tahun 2011 ini ada sebuah studi kecil tentang sel punca yang mendapat tempat untuk mempresentasikan hasil awalnya. Sebuah studi kecil fase 1 memberikan alasan untuk optimis dalam terapi kardiomiopati iskemik dengan autologous cardiac stem cells (CSCs). Infus intrakoroner sel punca memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan mengurangi luas infark pada pasien dengan gagal jantung pasca infark miokard. Sel punca jantung diisolasi dan diperbanyak dari 1 gram jaringan otot yang diambil dari pasien saat operasi jantung dan diinfuskan rata-rata 113 hari pasca operasi. “Infus satu juta CSCs tidak berhubungan dengan efek samping hingga satu tahun dan menghasilkan perbaikan fungsi ventrikel kiri yang bermakna empat bulan pasca infus dan bahkan perbaikan yang lebih nyata satu tahun pasca infus dan dihubungkan dengan kenaikan kapasitas fungsional, perbaikan kualitas hidup dan penurunan luas infark,” demikian penyataan Dr Robert Bolli (University of Louisville, Kentucky) bersama koleganya.
Dipublikasikan tanggal 14 November 2011 di Lancet dan dipresentasikan di American Heart Association (AHA) 2011 Scientific Sessions, studi yang dikenal sebagai Stem Cells in Patients with Ischemic Cardiomyopathy (SCIPIO), diikuti oleh 16 pasien pasca infark dengan disfungsi ventrikel kiri (Left Ventricular Ejection Fraction [LVEF] < 40%). Dari 14 pasien yang dianalisis, LVEF meningkat dari 30,3% sebelum infus intrakoroner sel punca jantung, menjadi 38,5% empat bulan pasca infus (p=0,001), dengan peningkatan yang lebih nyata setelah satu tahun. Dalam tujuh pasien kontrol, tidak ada perubahan LVEF. Luas infark yang dievaluasi dengan MRI kardiak pada tujuh pasien menunjukkan pengurangan 24% pada empat bulan dan 30% pada satu tahun (p=0,04).
“Sel punca jantung cukup menarik untuk aplikasi kardiovaskular karena dalam keadaan normal dapat ditemukan pada jantung orang dewasa dan dapat diisolasi dan diperbanyak bahkan dari biopsi endomiokard.” Tulis Bolli dan koleganya. “Sel-sel tersebut diduga mengisi kembali pool miosit dan sel vaskular jantung yang mati selama masa kehidupan suatu organisme.”
Keberhasilan penggunaan sel punca jantung dengan infus intrakoroner dari autologous CSCs yang diambil dari miokard pasien saat operasi jantung ini tidak diikuti hasil positif dari penelitian dengan menggunakan sel punca autologous bone-marrow mononuclear cells yang diambil dari sumsum tulang, sebab hasilnya kurang memuaskan. Walaupun publikasi ini merupakan hasil awal (initial results), namun studi ini dapat dijadikan dasar untuk melanjutkan ke studi lebih lanjut dengan metode yang sama, yaitu studi fase 2 dengan jumlah sampel yang lebih besar.

(Sony HW, disarikan dari theheart.org http://bit.ly/sIpENC)

Kardiologi Kwantum

I cannot seriously believe in [quantum theory] because. . . physics should represent a reality in time and space, free from spooky actions at a distance.
— Albert Einstein

Selamat tahun baru 2011,
Kesal sekali dengan pimpinan redaksi tabloid, tidak sekali ini saja, karena istilah idaman-ku tentang psychology oriented cardiolovascular ditolak mentah-mentah, termasuk psyche, mental, dan entah apalagi. Beliau ingin menyebut suatu istilah kearah kesadaran umum, consciousness. Tidak mau menjelaskan, tetapi dengan bijak memberiku buku Quantum Enigma: Physics Encounters Consciousness dimana Albert Einstein yang mengaku sudah memikirkan problem kwantum ratusan kali, pernyatannya masih tetap bersikukuh bahwa teori kwantum dimasukkan dalam teori relatifitas umum, bukan khusus. Buku itu membenturkan kwantum dengan kesadaran. Aku jadi ingat Randai-nya kebudayaan Minangkabau, tarian pencak Minang yang nan dinamis, diiringi musik pentatonis dengan cerita legenda yang berbahasa tutur tinggi, seperti Sabai nan aluih. Randai dalam filsafatnya sebenarnya juga membenturkan “budi dengan ilmu” (budi manimpo ilmu), memang itu tentang pencerahan, kata Sony! Nah, yang ini aku jadi bersemangat, karena namaku sendiri ber karakter tengahnya “Ming” dalam bahasa tulis Mandarin, gabungan antara karakter matahari dan bulan (empat coretan), adalah juga berarti pencerahan.
Tadi pagi Reza Octavianus calon kardiolog bimbingan kami berdua ‘maju besar’, menjawab semua pertanyaan kardiolog senior dengan mantab, kata Dr Yoga, tidak seperti kalau diskusi kecil. Tentang fenomena elektrokardiogram repolarisasi dini, harapannya adalah mencerahkan kardiolog agar penuh perhatian pada “penyakit listrik jantung” tersebut .. Dalam orasi ilmiahnya tersebut, memang beda dengan penampilannya sehari-hari kelihatan tegar. Seorang peneliti pada dasarnya melakukan suatu upaya lompatan kwantum kedepan atau keatas, bahkan seratus tahun kedepan seperti yang telah dilakukan oleh Albert Einstein dengan teori relativitasnya E=MC2.
Einstein telah menjelaskan makna relativitas itu bagaikan duduk 2 jam di dekat perempuan cantiik tetapi rasanya baru 2 menit, sementara duduk di perapian yang panas selama 2 menit, sudah terasa 2 jam. Memang kalau kita dapat menjelaskan sesuatu itu dengan sederhana, masih menurut Einstein berarti kita sudah menguasai apa yang kita jelaskan. Buatlah segala sesuatu itu sesederhana mungkin, tetapi juga jangan terlalu sederhana, inilah juga berarti relativitas itu sendiri.
Nah, bagaimana bila kita menjelaskan sesuatu yang bersifat ilmiah tetapi menggunakan data-data orang lain? Saya ingin menjadarkan kepada diri saya sendiri saja, saya juga melakukan upaya kwantum ke bawah, sejujurnya ilmuwan kelas dua, maksudnya model ke-2 .. maaf kepada diriku, sayup-sayup terdengar lagu Man in the miror-nya Michael Jackson almarhum. Ada kepentingan lain, justru ini yang dibutuhkan masyarakat agar masyarakat mendapatkan pencerahan hasil penelitian dari ilmuwan kelas satu (peneliti) tersebut diatas. Kelihatannya membuat pencerahan ke masyarakat adalah perbuatan yang mudah. Dalam pengertian Kardiologi Kwantum jadi cukup sulit, karena harus melakukan “reverse quantum leap”, begini kira-kira juntrungannya. Hasil suatu penelitian ilmiah (elektrofisiologi) yang njlimet tersebut (left brain), yang ingin kita sebut sebagai tuntunan, harus dibuat rangkuman yang sederahana terlebih dulu. Baru agar penyuluhannya cair, harus diberi tontonan, beserta penjelasannya (right brain) setelah itu dibuatkan kaitannya antara konsep otak kiri dan otak kanan. Kalau kita berhasil bernalar demikian, suatu hasil penelitian yang serumit apapun seperti elektrofisiologi, teknologi pacu jantung, ablasi dan defibrilasi akan sukses disampaikan ke masyarakat awam. Inilah kardiologi kwantum yang membumi untuk masyarakat. Yang melompat keatas melewati konsep ruang dan waktu, biarkan saja untuk mereka yang berprofesi kardiologi dan kedokteran vaskuler semoga tidak menjadi .. spooky actions at a distance. Selamat bekerja kembali, salam kardio.

Budhi Setianto

Epidemiology is Fun, if It is not Fun It is Not Epidemiology, It is Hypertension

(BS Purwo for 8th APCH 2011, Taipei, Taiwan)

Tampak Dr. Ann Soenarta diantara juri dan para pemenang “Young Investigator Award”

Selamat Tahun Baru 2012, semoga berbahagia selalu!
Perhelatan besar hipertensi baru saja usai, sebagai acara penutup tahun 2011 yaitu 8th Asian-Pacific Congress of Hypertension di Taipei, Taiwan. Tentu saja dihadiri oleh dokter-dokter Asia Pasfik. Abstraknyapun akan dimuat sebagai suplemen dari Journal of Hypertension suatu jurnal resmi yang dikelola oleh dua organisasi internasional, yaitu International Society of Hypertension dan European Society of Hypertension. Ada 24 kategori abstrak mulai dari Adrenal, atherosklerosis, epidemiologi, dibetes, ners, nutrisi, kehamilan, sampai miscellaneous, yang terakhir ini untuk menampung abstract langka.
Menjadi pengamat di 8th APCH, Taipei, Taiwan tanggal 24-27 Nopember, 2011 merupakan keprihatinan tersendiri. Ketika melihat salah seorang trustee, orang Indonesia dan sekaligus memimpin sidang “The young investigator award” APCH, ternyata tidak ada seorang penelitipun bahkan seorang pembicara apapun tentang hipertensi dari Indonesia di pertemuan Asia Pasifik tersebut. Padahal INA-SH didukung oleh 3 organisasi dokter spesialis terkemuka di Indonesia: PERNEFRI, PERDOSI, dan PERKI, satu-satunya model organisasi yang paling unik di dunia. Perhatikan, ada wakeup call di APCH ini setelah Dr Ann Soenarta (Senior APCH), Dr Erwinanto (SekJen INA SH) mempersiapkan segala sesuatu dengan gigihnya, sampai membagikan “gimmick” ..istimewa. Dalam perhelatan semacam ini, para senior dan pemimpin delegasi hipertensi berbagai negara biasanya sudah saling kenal, pastilah mereka teman-teman lama Dr. Ann Soenarta dan Dr Santoso Karo Karo (presenter). Pada waktu makan pagi atau makan siang lobby biasanya berlangsung. Akhirnya perjoangan mereka bertiga berhasil memenangkan bidding bahwa APCH 2015 akan diadakan di Bali. Terus terang penulis sangat berapresiasi kepada teman-teman sejawat dari neurologi yang selalu ‘unjuk gigi nasional’ dalam mempersiapkan penelitian-penelitian tentang hipertensi. Bagaimana dengan sejawat-sejawat kardiovaskuler?
Semenjak diperkenalkannya alat pengukur tekanan darah yang “cuffed base” oleh Riva Rocci 1896, Nikolai Korotkof 1905 dengan tekanan darah air raksanya. Kira-kira 1970 berkembang pengukur yang menggunakan batere berdasarkan oscillometry sebagai cikal bakal ABPM monitor tekanan darah perifer yang bermemori itu. Barulah pada tahun 1993 Michael O’Rourke dengan metode tonometri berhasil mengukur tekanan darah arteri sentral. Bahkan tahun 2011 ditandai era peralatan monitoring tekanan darah sentral.
Merasakan pahit getirnya penelitian ‘big’ epidemiologi (di lapangan): MONICA, JAK-VAS, yang dimotori oleh kardiolog dan neurolog: Dr Sukaman, Prof Boedi Darmojo alm. dkk, Dr. Andradi, Dr. Adre dkk, yang data dan semangatnya telah menghasilkan lulusan-lulusan akademik S2, S3 di dalam maupun luar negeri masih terasa kurang mendapat dukungan penuh dari atasan maupun organisasi terkait lainnya, itu terjadi sudah lebih dari 20 tahun yang lalu. Kesulitan dalam pengorganisasian, memobilisasikan personil, dan mendapatkan anggaran masih dapat di atasi oleh semangat peneliti dan sedikit tetapi sangat berarti dari pimpinan yang terkait.
Semangat meneliti harus senantiasa dibangkitkan oleh siapa saja di lembaga-lembaga manapun juga. Penelitian sesungguhnya adalah sebuah upaya yang besar, layaknya sebuah ‘calon’ karya besar oleh karena itu masih memerlukan semangat, bahkan kadang-kadang memerlukan sebuah passion. Apakah penelitian itu berskala kecil, menengah maupun besar seringkali kandas oleh upaya-upaya kecil atau hanya karena ketidak pedulian atau ketidak sadaran lingkungan bahkan pimpinan tentang penelitian itu sendiri, tragis memang dirasakannya. Passion itu sendiri lebih dari semangat, tetapi bukan sebuah karir, tetapi semata-mata sebuah cinta entah kemana arah dan tujuannya, atau lebih dalam daripada itu, mungkin itu suatu intuisi.
Adalah sebuah pemikiran yang masih perlu mendapatkan kritik yang tajam dari peer group peneliti sekiranya diusulkan sebuah penelitian yang self reporting health professionals, bermanfaat bagi dirinya sendiri serta organisasi pengampunya, multi disiplin dan berdampak luas. Berdampak luas diartikan sebagai penelitian itu dapat dikembangkan atau sebagai transetter bagi organisasi/ rumah sakit lainnya. Diyakini relatif lebih mudah mendapatkan dana intern karena bermanfaat bagi sumber daya manusianya sendiri. Penelitiannya dapat berupa penelitian kwalitatif, kwantitatif: mulai dari seri kasus, kohort sampai intervensi. Penelitian dasar penyakit seperti genetik, epigenetik dan lingkungan, proteinomik, serta preklinik lainnya dapat diikut sertakan. Hasil penelitiannyapun dapat di publikasikan baik internal maupun eksternal. Diperlukan pendekatan yang jelas, bijak dan ‘love and care’ kepada para pihak.
Demikianlah oleh-oleh dari menghadiri Asian-Pacific Congress of Hypertension ke 8 di Taipei, Taiwan tanggal 24-27 Nopember 2011. Sebagai pengamat, salah satu dari empat peserta Indonesia pada ‘The lone international hypertension simpocia parallel’ di Taipei, yang memperkenalkan suatu kombinasi ARB dan CCB dari salah satu prinsipal obat-obatan terkemuka di Eropa. Gagasan awal kemungkinan mengembangkan Hi Nurse Study ini masih mengharapkan kritikan, semangat, passion, intuision dan masukan dari siapa saja: ners, dokter, kardiolog, peer groups dan tentu saja dari para pimpinan saya sendiri Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI serta RSJPD/ PJN Harapan Kita di Jakarta.
Terima kasih.

Refleksi PERKI Tahun 2011

Tahun 2011 telah berlalu, semoga para sejawat anggota PERKI mempunyai kesan yang indah pada periode yang baru saja lewat ini! Bagi teman-teman umat Kristiani di seluruh penjuru tanah air kami mengucapkan “Selamat Natal 2011”, dan bagi semuanya “Selamat Tahun Baru 2012”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan berkahNya bagi kita semua di masa-masa yang akan datang, melebihi tahun lalu…………… Amien…………..
Pekerjaan kita pada tahun 2012 tentu akan bertambah banyak, karena dari tahun ke tahun penyakit kardiovaskuler (PKV) terus meningkat prevalensinya. Global Burden of Disease Study tahun1996 meramalkan bahwa PKV akan meningkat jumlah dan persentasenya sebagai penyebab kematian manusia di seluruh dunia. Kalau pada tahun 1990 PKV mengakibatkan kematian 14.000.000 manusia (28% seluruh kematian), maka pada tahun 2020 nanti diramalkan mencapai 25.000.000 (37%). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2007, kematian akibat PKV (penyakit jantung, hipertensi dan strok) mencapai 31,9%. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah pernyataan WHO bahwa 76% kematian akibat PKV akan terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tentu keberhasilan pengendalian PKV di negara-negara maju patut kita tiru.
Kalau laporan WHO (2010) memperkirakan angka seluruh kematian di Indonesia mencapai 6,25 per 1000 penduduk, berarti ada 1.500.000 kematian pada tahun 2010 dan 478.500 diantaranya diakibatkan oleh PKV. Meskipun Riskesdas 2007 menyebutkan angka kematian akibat strok mencapai 15,4% sedangkan akibat penyakit jantung dan hipertensi 16,5%, tetapi WHO pada tahun 2004 mengestimasikan perbandingan kematian akibat penyakit jantung dan hipertensi terhadap kematian akibat penyakit serebrovaskuler untuk wilayah Asia Tenggara adalah 15 :7 (gambar 1). Dengan demikian, diperkirakan 326.250 (27.188 perbulan) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, penyakit jantung reumatik dan penyakit jantung hipertensi.


















Gambar 1. Estimasi Proposi Kematian (%) WHO South-East Region 2004. Kematian di negara-negara Asia Tenggara akibat penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit jantung reumatik masing-masing mencapai 13,9%, 1%, 0,8% pada laki-laki dan 12,3%, 1,1%, 0,9% pada perempuan. Sedangkan kematian akibat penyakit serebrovaskular mencapai 6,6% pada laki-laki dan 7,5% pada perempuan.

Anggota PERKI memang harus terus menggaungkan pentingnya menghindari berbagai faktor risiko PKV seperti merokok, dislipidemia, kurang berolahraga, hipertensi, diabetes mellitus, obesitas dan stress. Menurut Riskesdas 2007, prevalensi hipertensi pada usia >18 tahun mencapai 29,8%, tetapi tidak lebih dari seperempatnya saja dari populasi ini yang mengetahui dirinya mengidap hipertensi dan menerima pengobatan. Hal serupa terjadi pada diabetes mellitus, yang prevalensinya di Indonesia mencapai 5,7%. Kebiasaan berolah raga setiap hari 30 menit atau makan sayur dan buah lima kali sehari seperti yang dianjurkan WHO, belum menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebaliknya, kebiasaan buruk merokok masih sangat tinggi, dan tidak terlihat penurunan bermakna dari tahun ketahun. Riskesdas 2010 melaporkan bahwa laki-laki usia 15 tahun keatas 66% perokok, mengakibatkan 76% penduduk menjadi perokok pasif. Prevensi primordial (mencegah berkembangnya faktor risiko), prevensi primer (manajemen faktor risiko) dan prevensi sekunder (manajemen penyakit) untuk PKV, benar-benar harus mendapat perhatian seluruh anggota PERKI.
Dominasi PKV sebagai masalah kesehatan di Indonesia semakin hari semakin nyata, oleh sebab itu cabang-cabang PERKI telah menyelenggarakan acara ilmiah untuk memberikan bekal ilmu dan pengetahuan bagi para dokter umum, spesialis lain dan juga Ners atau Teknisi kardiovaskuler. Acara demikian selalu mendapat sambutan dengan melimpahnya peserta. The 1st Depok Cardiovascular update yang dilaksanakan di akhir 2011 terpaksa menolak peserta yang mendaftar onsite.
Perkembangan Sub-spesialisasi bidang kardiovaskuler di Indonesia pada tahun 2011 sungguh menggembirakan, tercatat beberapa kegiatan besar seperti:
Kelompok Vascular (Indonesian Society of Vascular Medicine) tahun2011 mendapat kepercayaan untuk menyelenggarakan The 53rd Annual World Congress International College of Angiology di Nusa Dua Bali. Tentu keindahan pulau dewata telah mengundang decak kagum para peserta luar negeri, yang umumnya ingin kembali ke Indonesia.
Kelompok Kerja Prevensi dan Rehabilitasi Kardiovaskular (Indonesian Cardiovascular Prevention and Rehabilitation / Ina CP*R) telah bangkit kembali dengan menyelenggarakan Workshop di Surabaya. Acara ini berlangsung sukses berkat dukungan PERKI dari berbagai cabang di seluruh Indonesia. Angkat topi pada PERKI cabang Padang yang mengirim 3 peserta, termasuk sesepuhnya Prof. Asnil Sahim. Prof. WayanWita dari PERKI cabang Bali juga tidak ketinggalan, dengan kameranya yang selalu mampu membidik obyek-obyek menarik termasuk jembatan Suromadu. Kerja keras dr. Dyana Sarvasti SpJP dan kawan-kawan PERKI cabang Surabaya telah mampu memberikan jawaban, bahwa PERKI sangat peduli dengan upaya prevensi dan rehabilitasi.
Kelompok Kerja Echocardiografi (Indonesian Society of Echocardiography / ISE) rutin setiap tahun menyelenggarakan pertemuan ilmiah di Jakarta. Acara ini juga mendapat perhatian banyak peserta. Beberapa anggota ISE telah menghadiri annual scientific meeting Euro -- Echo di Budapest. Prof. Madjid, SpPD, SpJP (anggotaPERKI Medan) mempresentasikan tesisnya mengenai echocardiography dalam forum bergengsi ini, suatu hadiah untuk kolega kita yang pantang menyerah ini. Dr. Arif Nugroho SpJP Staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Universitas Diponegoro / RSUD Dr. Kariadi Semarang kini sedang berada di Utrech-Netherland mengikuti pelatihan Echocardiografi sebagai bekal untuk menyandang gelar konsultan di bidang tersebut. Dalam ASMIHA 21 yang akan datang, tokoh Echo Eropah dr. Pinto dari Portugal yang juga menjadi ketua Affiliate Member European Society of Cardiology akan hadir, jangan sampai terlewatkan.
Kelompok Intervensi Kardiovaskular (Indonesian Society of Interventional Cardiology / ISIC) juga telah menyelenggarakan pertemuan ilmiah tahunan di Jakarta. Acara yang disertai dengan transmisi dari laboratorium kateterisasi Semarang dan Medan membuktikan bahwa, daerah-daerah di luar Jabodetabek juga berkembang pesat.
Pada tahun 2011 ini 40 anggota tim pengajar ACLS – PERKI telah mengikuti sertifikasi ACLS-American Heart Association, membuat tim ACLS – PERKI berstandar Internasional. Pengakuan dari PP SDM KementerianKesehatan RI juga telah diperoleh, disamping dari IDI yang memang sudah lama didapat. Hal yang membanggakan adalah kemampuan PERKI untuk menyelenggarakan 10 kelas sekaligus pada setiap akhir minggu, sehingga peserta tahun 2011 menembus angka 6000. Sungguh kita harus bangga dan memberikan apresiasi kepada teman-teman yang telah mengorbankan akhir minggunya untuk mengajar keseluruh penjuru tanah air.
PERKI juga membantu Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dalam menyiapkan pelatih Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk awam. Demo 300 pelatih BHD yang terdiri dari anggota YJI di Monas beberapa minggu lalu adalah bukti bahwa kerja keras anggota PERKI tak sia-sia.
Pada tahun 2011 enam anggota PERKI berada di Divisi Echocardiography dan Divisi Vascular Phillipine Heart Center secara bergiliran, selama 4 minggu. Program ini terlaksana berkat kerjasama dengan Phillipine Heart Association dan dukungan Perusahaan Farmasi Darya Terafarma. Direncanakan pada tahun 2012 program serupa untuk para intervensionis dapat dilaksanakan, bekerjasama dengan Vietnam Society of Cardiology. Program semacam ini akan memberikan wawasan yang lebih luas bagi para anggota PERKI, terutama bagi mereka yang bekerja sebagai staf pengajar di pusat-pusat pendidikan.
PERKI juga mempunyai peran sentral dalam Aliansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PP-PTM). Pada tanggal 5-7 Desember 2011 Aliansi PP-PTM atas dukungan WHO telah menyelenggarakan workshop untuk menilai apakah Paket Essensial untuk PTM yang dibuat oleh WHO dapat diaplikasikan di fasilitas pelayanan primer (Puskesmas) Indonesia. Acara ini difasilitasi oleh WHO Head Quarter (Genewa) dr. Shanthi Mandis dan WHO SEARO (New Delhi) dr. Renu Garg.
Yang tak kalah serunya kejadian di akhir tahun 2011 adalah lahirnya Indonesian Women Cardiologist (IWoC), yaitu grup dokter SpJP perempuan. Tujuan dibentuknya IWoC adalah untuk menggiatkan program Go Red for Women, mempererat hubungan sesama SpJP perempuan dan memberikan peluang lebih besar bagi SpJP perempuan untuk berkembangdalam kariernya. Mereka berkomunikasi melalui black-berry dalam 2 grup. Dari komunikasi ini kita dapat memantau aktifitas para Srikandi PERKI yang bekerja sendiri di daerah-daerah, seperti: dr. Darti SpJP di Papua, dr. Leonora SpJP di NTT, dr. Sri Hastuti SpJP di Bengkulu dan dr. Novita SpJP di Lhokseumawe. Kesulitan mereka dapat dicarikan solusinya bersama-sama.
Semoga refleksi atas apa yang telah PERKI lakukan pada tahun 2011 menjadi pendorong bagi kita semua untuk bekerja lebih giat lagi bagi nusa, bangsa dan negara. Bravo PERKI !

Ketua PP PERKI
dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA