pita deadline

pita deadline

Jumat, 08 Januari 2016

Usulan: Kurikulum Pendidikan Fellow Gagal Jantung

POKJA: GJ-PH-CARMET

Pendahuluan
Jumlah kasus gagal jantung mengalami peningkatan dalam masyarakat khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh: 1. peningkatan usia harapan hidup penduduk Indonesia dimana di usia tua akan mulai ada penyakit degenerative termasuk jantung. 2. Keberhasilan penanganan infark miokard akut mencegah kematian namun menimbulkan kecacatan miokard berupa gagal jantung. 3. Masih banyaknya penyakit infeksi kuman maupun virus yang bermacam-macam dapat menyebabkan gagal jantung. 4. Meningkatnya penyakit metabolic endokrin seperti Diabetes Melitus yang dapat menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah. Penanganan kasus gagal jantung yang lebih baik, akan menyebabkan penurunan mortalitas dan morbiditas sehingga meningkatkan produktifitas manusia Indonesia dan menekan biaya perawatan. Gagal jantung dapat muncul secara akut dan kronik. Sering kali penanganannya membutuhkan rawat inap berulang sehingga menjadi beban ekonomi pada sistem kesehatan. Dalam 10 sampai 15 tahun terakhir, terjadi peningkatan luar biasa jumlah penderita gagal jantung sedangkan di luar negeri terdapat kemajuan dalam penanganan gagal jantung. Terapi gagal jantung meliputi medikamentosa, penggunaan alat dan bedah. Perkembangan penyakit gagal jantung yang lanjut akan meningkatan kompleksitas perawatan dan meningkatkan biaya kesehatan. Jumlah pasien gagal jantung yang semakin meningkat dan perkembangan pada pilihan terapi, menyebabkan gagal jantung menjadi bagian subspesialisasi dari kardiologi sejak tahun 1995 Secara fundamental gagal jantung berbeda dari subspesialisasi kardiologi lainnya karena berfokus pada keseluruhan penanganan pasien, bukan hanya terkait tindakan prosedur melainkan mulai dari prevensi, diagnosis dan tata laksana serta follow up jangka panjang. Spesialis kardiologi dengan minat khusus pada gagal jantung, harus memiliki pengetahuan terhadap diagnosis dan pilihan terapi tersedia, yang melampaui ketentuan dari Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Gagal Jantung dari Pokja Gagal Jantung PERKI dan juga melampaui ESC Core Cardiology Curriculum.

Latar Belakang 
Gagal jantung meliputi sindroma klinis yang kompleks, karena pada dasarnya gagal jantung merupakan akibat dari seluruh penyakit kardiovaskular. Seluruh pasien gagal jantung membutuhkan diagnosis penyebab dari gagal jantung dan penyakit penyerta. Sehingga pasien membutuhkan terapi bagi penyakit yang mendasari dan juga gagal jantung. Terapi gagal jantung berkembang secara pesat dan meliputi farmakologi, penggunaan alat dan terapi bedah. Semua harus disampaikan sebagai bagian dari strategi manajemen multi disiplin yang menjembatani perawatan kesehatan primer, sekunder dan tersier. 

Diketahui bahwa perawatan menyeluruh dari pasien gagal jantung, termasuk penanganan oleh spesialis kardiologi, dapat meningkatkan kondisi pasien. Sehingga badan pelatihan nasional di berbagai Negara (UK dan USA) telah memasukkan kurikulum subspesialisasi gagal jantung dalam kurikulum pelatihan kardiologi. Kurikulum subspesialisasi ESC juga meliputi kardilogi intervensi dan manajemen irama jantung. Tujuan dari dibuatnya kurikulum gagal jantung adalah sebagai kerangka kerja yang dapat digunakan sebagai pedoman pelatihan di seluruh eropa. Pedoman ini sesuai dengan kurikulum ESC lainnya. Setiap bagian terdiri dari tiga komponen, yaitu: pengetahuan yang dibutuhkan, keterampilan yang diperlukan serta sikap dan perilaku professional yang harus dicapai. 

Program ini berlangsung selama dua tahun yang meliputi modul gagal jantung pada tahun pertama. Pada tahun kedua adalah program peminatan yang meliputi pencitraan, terapi implan, transplantasi dan bantuan mekanis. Tahun kedua juga dapat digunakan sebagai pendalaman pelatihan gagal jantung lebih lanjut dan atau penelitian.

Pada saat ini, kurikulum tidak menjamin akreditasi yang merupakan otoritas yuridiksi perizinan medis di masing-masing negara. Akan tetapi, penyelesaian kurikulum dengan baik akan mendapatkan sertifikat dari HFA dan PERKI pada bidang gagal jantung. Hal ini merupakan pedoman pelatihan yang tepat, dan implementasi dapat beragam di seluruh Eropa dan USA sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan fasilitas di masing-masing Negara seperti Indonesia. Program pelatihan dicanangkan akan berlangsng selama dua tahun, dimana satu tahun pertama akan digunakan untuk ketrampilan klinik kasus kasus sulit gagal jantung di Indonesia sedangkan tahun kedua akan digunakan untuk ketrampilan spesifik (seperti implantasi alat, pencitraan dan tranplantasi jantung/bantuan mekanis) mungkin di pusat pusat gagal jantung yang akan bekerja sama dengan PERKI.

Tujuan Kurikulum
  1. Untuk menjabarkan pengetahuan lebih mendalam di bidang gagal jantung, yang meliputi: penyebab, pemeriksaan, investigasi dan terapi yang dibutuhkan oleh subspesialis gagal jantung.
  2. Untuk mengetahui keterampilan yang diperlukan dalam memberikan terapi gagal jantung yang optimal.
  3. Menjabarkan keterampilan yang diperlukan oleh subspesialis gagal jantung, fungsi dan peran sertanya pada tim medis multi disiplin, dalam memberikan terapi gagal jantung yang tepat.
  4. Menentukan pelatihan khusus yang diperlukan oleh subspesialis gagal jantung dalam rangka peningkatan keterampilan di bidang:
    • Pencitraan
    • Implantasi alat pengatur irama jantung
    • Transplantasi jantung dan bantuan mekanis.

Metode pengajaran 
Kardiolog peserta pelatihan diharapkan mampu mencapai tujuan kurikulum yang telah dijabarkan dengan bertugas di dua pusat jantung (satu dalam negeri dan satu luar negeri) dan dibimbing oleh ahli jantung dengan sub spesialisasi gagal jantung. Selama masa bimbingan, peserta diwajibkan untuk berpartisipasi di klinik gagal jantung dan bangsal khusus gagal jantung (contoh: mempelajari konsultasi pasien rawat jalan dan ronde bangsal) maupun di pusat-pusat gagal jantung yang maju.

Peserta akan ditempatkan pada pusat jantung yang menyediakan penanganan gagal jantung secara multi disiplin. Selama masa pelatihan, peserta diharapkan mampu berinteraksi dengan keperawatan di bidang gagal jantung dan memberikan instruksi klinis sesuai dengan panduan setempat (contoh: pada kelompok kerja terbatas dan tim kerja multi disiplin).

Peserta diharapkan untuk meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan dan menegakkan diagnosis gagal jantung melalui pengenalan lebih lanjut pada transthoracic dan transesophageal ecocardio­graphy dan CMR melalui penugasan di bagian terkait (pelatihan praktis dalam peningkatan keterampilan).

Pelatihan keterampilan dalam terapi penggunaan alat dan Cardio Pulmonary Exercise test / Mechanical Circulatory Support pada pasien tertentu dapat dilakukan pada pusat kesehatan setempat bila memungkinkan. Atau dilakukan di pusat kesehatan tersier dengan jumlah pasien yang lebih besar, selama 3 bulan. 

Peserta diwajibkan untuk bergabung dengan POKJA GAGAL JANTUNG PERKI dan HFA dari ESC serta mengikuti symposium yang sesuai dengan kurikulum. Disamping itu juga, peserta diharuskan untuk mengikuti pertemuan tahunan Assosiasi American atau European heart failure

Peserta melakukan dua audit dalam satu tahun terhadap penanganan gagal jantung. Penelitian terutama di bidang klinis gagal jantung ataupun pendalaman di bidang pengetahuan dasar gagal jantung sangat dibutuhkan. 

Metode penilaian
Penilaian pada pengetahuan gagal jantung akan dilaksanakan di akhir kurikulum pengetahuan dasar. Sementara pengetahuan lebih lanjut, akan dinilai melalui program pendidikan HFA secara online dalam bentuk  pertanyaan pilihan ganda. Metode penilaian lain meliputi:

1. Pengamatan secara langsung pada kete­rampilan prosedur. Hal ini terutama pada:
  • Kateterisasi jantung kanan dan kiri
  • Biopsi endomiokard
  • Tindakan dan interpretasi hasil trans­thoracic dan transesophageal echocardiography dan interpretasi hasil Cardiac Magnetic Resonance
2. Penilaian terhadap perilaku yang sesuai pada penanganan pasien rawat jalan dan rawat inap menggunakan metode 360 degrees. Serta kemampuan bekerja dan memimpin tim multi disiplin. 

3. Kompetensi penanganan menyeluruh pada kasus sulit dilakukan dengan cara presentasi kasus yang dinilai oleh konsultan pemimbing, serta penilaian catatan kasus dan pengawasan instruksi pasien pulang dan rekam medis. 

Tujuan  pembelajaran 
1. Pemeriksaan dan penegakkan diagnosis gagal jantung kronik

Pengetahuan
  • Mengetahui presentasi klinis, penyebab dan penyebab dasar dari gagal jantung
  • Memiliki pengetahuan mendalam mengenai epidemiologi dan patofisiologi gagal jantung, termasuk gagal jantung sistolik dan diastolic, serta pentingnya disfungsi LV tanpa gejala klinis sebagai fase awal dan masih dapat diobati
  • Memiliki pengetahuan yang menyeluruh terhadap panduan penanganan secara nasional dan internasional 
  • Pengetahuan terhadap komorbiditas dan pemeriksaan penunjang
  • Pengetahuan detil terhadap seluruh penyebab yang dapat mengakibatkan gagal jantung. Hal ini meliputi pengetahuan terhadap penyebab sindroma gagal jantung yang jarang terjadi, seperti genetic, metabolic, toksik, gagal jantung terkait kehamilan, infeksi dan infiltrat
  • Pengetahuan tentang keuntungan dan limitasi dari prosedur pemeriksaan (eko­kardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan fisik, penilaian gejala, kapasitas fungsional dan penilaian kualitas hidup)
  • Pengetahuan terhadap penanda prognosis yang buruk pada gagal jantung, serta mengetahui sistem scoring prognosis yang digunakan (seperti Heart Failure Survival Score, Seattle Heart Failure Score)
  • Mengetahui indikasi yang memerlukan pemeriksaan khusus dalam menentukan penanganan lebih lanjut (contoh: biopsi endomiokard, reversibility studies untuk hipertensi pulmonal, cardiopulmonary exercise testing).
Keterampilan, mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta dapat menenetukan pemeriksaan diagnostic yang tepat dalam menentukan derajat disfungsi jantung serta penyebab dasarnya
  • EKG 12 lead
  • Pemeriksaan biokimia rutin
  • Pemeriksaan biomarker terkait gagal jantung
  • Pemeriksaan genetic (bila diperlukan)
  • Ekokardiografi transthoracic, pada penilaian disfungsi local atau global, hipertrofi ventrikel kiri, penyakit katup, fungsi ventricular kanan, indeks disfungsi diastolic, identifikai kardiomiopati, dan evaluasi hemodinamik non-invasif termasuk tekanan pulmonal
  • Tes olahraga, termasuk pemeriksaan metabolik
  • Pemeriksaan CMR dasar
  • Angiografi koroner
  • Biopsy endomiokard
  • Kateterisasi jantung kiri dan kanan
  • Pengawasan 24 jam dengan Holter monitor
  • Pengawasan tekanan darah 
  • Pencitraan nuklir.
Dapat mendeteksi dan merujuk pasien yang sesuai 
  • Gangguan pernapasan saat tidur
  • Gangguan otot jantung yang spesifik
  • Kekuatan miokard
  • Terapi gagal jantung lebih lanjut. 

Profesional 
  • Mengetahui pentingnya mendeteksi penyebab dasar dengan pemeriksaan yang non invasif pada setiap tahap
  • Mengerti pentingnya efisiensi pembia­yaan, ketersediaan dan pertimbangan yang tepat dalam pemilihan pemeriksaan
  • Mengerti peran penting dari diagnosis yang tepat dalam merencanakan pemeriksaan dan pemberian terapi lebih lanjut
  • Komunikasi efektif dengan pasien, keluarga, dokter yang dirujuk, tenaga pengasuh terkait dengan diagnosis, pilihan pemeriksaan dan terapi.
(lihat Tabel 1.)


2. Pemberian terapi pada penyebab dasar

Pengetahuan 
  • Pengetahuan menyeluruh mengenai penanganan dan pencegahan penyakit jantung koroner, hipertensi dan penyakit katup dan penyebab lainnya
  • Pengetahuan mendetil terkait pena­nganan dan farmakologi faktor resiko menurut panduan terbaru

Keterampilan 
  • Identifikasi dan perbaikan dari penyebab reversibel
  • Memilih terapi yang optimal untuk faktor resiko 
  • Pemilihan pasien revaskularisasi berdasarkan interpretasi yang tepat dari pemeriksaan invasif dan non-invasif
  • Pemilihan pasien yang tepat untuk penggantian katup

Profesional 
  • Apresiasi pentingnya penanganan terhadap penyebab dari gagal jantung sebagai faktor yang dapat reversibel
  • Kemampuan untuk kerja sama dan berdiskusi tentang penanganan yang optimal dengan pasien dan tenaga ke­sehatan profesional, terutama spesialis bedah jantung, penyakit dalam, dokter umum, perawat dan spesialis kardiologi intervensi.

3. Diagnosis dan penanganan terhadap komorbiditas

Pengetahuan
  • Pengenalan komorbiditas umum pada gagal jantung dan dampak yang berpe­ngaruh pada gejala, prognosis, investigasi, pilihan terapi dan efikasi.
  • Pengetahuan interaksi obat yang dapat muncul akibat pengobatan komorbi­ditas.
Keterampilan
  • Mampu melakukan dan interpretasi pemeriksaan yang tepat bagi komorbi­ditas
  • Penanganan dasar terhadap komorbi­ditas
  • Merujuk pada spesialis, sesuai dengan indikasi 
  • Merencanakan terapi obat yang berkelanjutan terhadap pasien yang melakukan tindakn operatif non-kardiak
  • Mampu memberikan rencana terapi gagal jantung yang tepat sesuai dengan komorbiditas. 
Profesional
  • Mengerti dampak komorbiditas terha­dap gagal jantung dan terapinya, sesuai dengan pemahaman pasien
  • Memberikan masukan multi disiplin ilmu terhadap penanganan pasien 
  • Melakukan pendekatan secara tim kepada pasien, keluarga dan pengasuh keperawatan
  • Komunikasi yang efektif terhadap tenaga kerja profesional yang menangani komorbiditas pasien (seperti: dokter umum, pengasuh keperawatan khusus geriatrik, internis, nefrologis, hematologis, psikiater, pulmonologist dan perawat).

4. Pemberian terapi pada gagal jantung

Pengetahuan
  • Pengetahuan yang menyeluruh terhadap panduan penanganan terkini (ESC dan ACC/AHA/HFSA), dari pencegahan hingga pengobatan gagal jantung tingkat akhir
  • Mengetahui farmakoterapi gagal jantung yang evidence based dengan trial terapi gagal jantung, termasuk efikasi, efek pada komorbiditas dan mortalitas, efek samping dan kontraindikasi
  • Mengetahui terapi baru yang dalam masa trial.
Keterampilan yang ingin dicapai
  • Mendiskusikan regimen terapi serta pe­rencanaan pengobatan dengan pasien
  • Mampu menginterpretasi uji klinis terapi gagal jantung
  • Menyusun terapi gagal jantung berdasarkan masing-masing individu dan tahap penyakit, termasuk penghentian dan titrasi obat jika perlu.
Sikap 
  • Bekerja sama dengan tim multi disiplin ilmu dalam memberikan, meningkatkan dosis dan mengawasi efek samping obat. Komunikasi secara intensif, khususnya, dengan keperawatan bidang gagal jantung, apoteker dan dokter umum
  • Memberikan informasi rencana terapi secara efetif kepada pasien dan pengasuh kesehatan
  • Memberikan edukasi ke pasien tentang pilihan dan strategi terapi yang tepat.
     
5. Modifikasi gaya hidup
Topik ini membahas: manajemen garam, cairan dan berat badan, aktifitas fisik, me­ngendarai kendaraan bermotor, perjalanan, seks, imunisasi, rehabilitasi paliatif, manajemen diri sendiri, merokok dan alcohol, dan pekerjaan.

Pengetahuan
  • Penilaian secara kritis terhadap penelitian klinis terkait gaya hidup dan pena­nganan non-terapi serta aplikasi klinis nya
  • Pentingnya pengaturan gaya hidup secara individual dan nasihat medis
  • Pencegahan terhadap gaya hidup yang dapat menyebabkan perburukan kondisi
  • Strategi dalam perawatan diri sendiri.
  • Pengenalan terhadap modalitas rehabilitasi dan aktifitas fisik
  • Pengenalan terhadap faktor kualitas hidup 
  • Memahami pengetahuan, kemampuan dan alat yang dibutuhkan pasien dalam melakukan manajemen diri sendiri.
  Keterampilan yang ingin dicapai
  • Pengorganisasian, supervisi dan memperbaharui edukasi pasien terkait aktifitas fisik 
  • Mampu berinteraksi dengan publik dan pengasuh kesehatan
  • Mampu mengidentifikasi efek dari ketidakpatuhan terhadap modifikasi gaya hidup pada pasien
  • Memberikan intruksi dalam menjaga berat badan yang ideal dan mampu menginterpretasikan efek perubahan berat badan pada pejalanan dan gejala penyakit pasien
  • Mampu mengedukasi pasien dan keluarga terkait gejala berbahaya, efek samping dan kemungkinan yang membahayakan dari penggunaan antithrombotic.
  • Memiliki kemampuan untuk membuat/ mengorganisasi kelompok manajemen pasien
  • Menyesuaikan modifikasi gaya hidup dan pengaturan diri sesuai dengan masing-masing individu dan lingkungan tinggal
  • Memberikan modifikasi aktifitas fisik yang berfokus pada pasien 
  • Meningkatkan kepatuhan pada terapi yang direkomendasikan dan memfasilitasi implentasi dari modifikasi gaya hidup dan perawatan diri
  • Meningkatkan kemampuan pasien dalam menghadapi penyakit yang diderita seumur hidup  
  • Mempromosikan gaya hidup sehat ter­kait kebiasaan, perjalanan dan aktifitas seksual.
  Sikap 
  • Cakap berkomunikasi dengan pasien dan pengasuh kesehatan 
  • Mampu bekerjasama dengan perawat, dokter umum dan psikolog
  • Menyadari perbedaan antara efek fisio­logis yang diharapkan dan efek yang terjadi.

6. Terapi alat pada gagal jantung

Pengetahuan
  • Seleksi pasien yang tepat untuk terapi resinkronisasi jantung (CRT) dan defibrillator berdasarkan evidence based medicinean pengetahuan terhadap panduan local dan internasional
  • Memiliki pemahaman dari kurikulum implantasi pacemaker pada bradikardia dan pengaturannya 
  • Memahami komplikasi akut yang dapat muncul pada terapi alat, dan juga pada jangka menengah dan panjang
  • Memiliki pengetahuan yang detil pada cara kerja dan pengaturan defibrillator dan CRT pacemaker. Menyadari bahwa beberapa alat dapat digunakan untuk pemantauan  jarak jauh
  • Mengetahui secara pasti tipe dan terapi dari aritmia yang muncul pada gagal jantung
  • Memiliki pengetahuan terhadap potensial gangguan elektromagnetik yang dapat muncul pada alat terapi
  • Mengetahui indikasi ablasi AV node setelah CRT.
Keterampilan, diharapkan mampu untuk:
  • Interpretasi ECG 12 lead, 24 hours Holter monitoring, dan alat skrining aritmia lainnya (seperti: implantasi loop recorder)
  • Menonaktifkan defibrillator dan pacemaker
  • Melakukan penyelesaian masalah dasar pada alat 
  • Identifikasi responden yang tidak sesuai untuk CRT
  • Perawatan pasien paska terapi alat, memastikan alur biventricular secara maksimal terpenuhi dan pasien mene­rima terapi yang optimal dan sesuai bagi paska CRT 
  • Memahami rekaman EGM intra kardiak yang didapat dari alat
  • Memberikan informasi yang berimbang terkait ratio keberhasilan, resiko, dan keuntungan dari CRT dan mampu memberikan alternative terapi, seperti: implant epicardial.
Keterampilan ini harus didapat melalui:
  • Menghadiri klinik gagal jantung, dimana pasien memerlukan terapi alat yang kompleks (jumlah pasien minimal: 50 pasien)
  • Observasi dan membantu implantasi dari 5 alat CRT dan 3 alat ICD
  • Demonstrasi partisipasi peserta pelatihan pada observasi atau membantu pasien di klinik paska CRT, dimana:
    • Alat CRT dan ICD dievaluasi dan pengaturannya dioptimalkan (30 pasien)
    • Ekokardiografi digunakan untuk mengatur AV (+/-VV) delay pada CRT (5 pasien)
    • Optimalisasi terapi obat pada paska CRT (>30 pasien).
Sikap 
  • Kemampuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan tenaga kerja ke­sehatan lainnya, khususnya ahli elektrofisiologi jantung dan teknisi pengukuran fisiologis
  • Melakukan pendekatan tim pada implan pacemaker
  • Memberikan edukasi kepada pasien (serta keluarga/pasangan) terkait pilih­an dan­ strategi terapi yang sesuai
  • Memahami efek psikologis dari penyakit yang mucul pada pasien dan keluarga dan mampu mengelola dengan empati.
7. Pengawasan pada pasien gagal jantung
Topik ini terkait dengan tindak lanjut medis, pengawasan diri serta pengawasan hemodinamik dan telemonitor.

Pengetahuan
  • Pengetahuan tentang keuntungan dan limitasi dari pilihan modalitas dalam mengobservasi pasien, untuk identifi­kasi dan mencegah perburukan gagal jantung
  • Memahami cara observasi pasien meliputi berat badan, gejala klinis, biomarker, ekokardiografi, alat implan, dan tes fungsional seperti six minute walking test (6MWT) dan cardiopulmonary exercise test (CPET)
  • Mengetahui modalitas baru (seperti aplikasi ilmu telemedicine, alat implant dan parameternya, serta biomarker untuk observasi pasien).
Keterampilan
  • Mendiskusikan pemantauan kondisi pada pasien, menjelaskan rencana pela­poran gejala berbahaya, dan menentukan interval control ulang
  • Dapat menyusun rencana dan interpretasi untuk observasi kondisi pasien.
  • Dapat mendeteksi kemunduran kondisi pasien, dan mengobati secara tepat.  
Sikap 
  • Mampu berinteraksi dengan tim multi disiplin ilmu dalam menginterpretasi variabel yang diobservasi 
  • Memberikan edukasi yang efektif bagi pasien dan pengasuh kesehatan tentang pilihan dan rencana observasi yang se­suai.
   
8. Gagal jantung akut

Pendahuluan
Gagal jantung akut (GJA) didefinisikan sebagai onset cepat dari munculnya gejala dan tanda dari kongesti paru dan/atau hipoperfusi perifer, yang membutuhkan terapi secepatnya. GJA merupakan sindroma yang sangat heterogen, dapat meliputi dekompensasi akut dari gagal jantung kronik atau merupakan presentasi klinis yang baru. Ini merupakan tantangan bagi dokter dan, secara paradox, pengobatan GJA masih secara empiris karena kurangnya data dari percobaan klinis secara acak. Modul ini ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang didapat pada kurikulum dasar dari gagal jantung.

Pengetahuan
  • Epidemiologi, patofisiologi dan prognosis dari sindroma GJA.
  • Mengetahui berbagai karakteristik dari sindroma GJA: kondisi klinis yang dapat meliputi dari edema paru yang mematikan atau syok kardiogenik hingga kondisi, yang umumnya, ditandai dengan perburukan edema perifer.
  • Pengetahuan tentang pemeriksaan untuk GJA dan limitasinya
  • Diagnosis dan pemeriksaan GJA
  • Evaluasi prognosis
  • Mengetahui terapi dan tujuan manajemen GJA berdasarkan percobaan klinis acak dan panduan.
  • Memahami kurangnya data terkait GJA
  • Faktor yang menimbulkan eksarsebasi pada gagal jantung kronik atau menyebabkan munculnya gejala baru.
Keterampilan
  • Evaluasi menyeluruh pada pasien: riwayat, pemeriksaan fisik, ECG 12 lead, biomarker, status elektrolit, pemeriksaan biokimia dasar, analisa gas darah, pemeriksaan radiografi dada, termasuk limitasi dari pemeriksaan penunjang
  • Evaluasi dari faktor pencetus
  • Kemampuan untuk melakukan dan meng­evaluasi pemeriksaan ekokardiografi secara komprehensif
  • Mampu melakukan, interpretasi, dan mengetahui limitasi dari kateterisasi bilik kanan jantung
  • Memahami metode pengawasan hemodinamik invasif dan non-invasif lainnya
  • Menentukan penggunaan terapi yang tepat: diuretik loop, opiate, nitrat, ino­trop, manajemen cairan dan elektrolit, bantuan sirkulasi dan pernapasan, terapi pengganti ginjal
  • Memahami indikasi dari penggunaan alat ventilasi non-invasif
  • Mengendalikan faktor pencetus: obat, infeksi, iskemik, aritmia, dan faktor reversibel lainnya
  • Memikirkan penggunaan dan modifikasi dari terapi gagal jantung kronik yang biasa digunakan 
  • Peserta pelatihan, setidaknya, harus memahami indikasi dan fungsi dari intra-aortic balloon pump (IABP). Secara ideal, peserta diharapkan terlatih dalam menggunakan IABP
  • Mengetahui indikasi dari bantuan hemodinamik dan mechanical circulatory support (MCS) jangka pendek lainnya pada infark miokard yang kompleks, syok kardiogenik, dan kondisi berbahaya lainnya
  • Memahami indikasi dan kegunaan alat ultrafiltrasi perifer yang portable
  • Mampu mengidentifikasi pasien yang memerlukan terapi paliatif.
    
Sikap 
  • Mampu berdiskusi dan bekerjasama dengan tenaga kerja profesional lainnya, khususnya intensivist, spesialis kegawatdaruratan, internis, nefrologis, ahli bedah thorak 
  • Keterampilan dalam berkomunikasi dengan pasien dengan penyakit akut dan keluarga/pengasuh kesehatan, menghargai dampak psikologis dari penyakit pasien pada pasien dan keluarga, serta mampu menangani dengan empati
  • Menggunakan pendekatan tim
  • Evaluasi hasil.


9. Peran dalam tim multi disiplin ilmu

Pengetahuan
  • Dapat menentukan perlunya pelayanan multidisiplin 
  • Mengetahui bukti yang mendukung peran pentingnya dalam manajemen gagal jantung 
  • Memahami panduan internasional, nasional dan lokal untuk gagal jantung.

Keterampilan, mampu untuk:
  • Membentuk dan berperan serta dalam tim multidisiplin
  • Membentuk dan menjalankan klinik gagal jantung
  • Mengorganisasi dan memimpin pertemuan multi disiplin untuk mendiskusikan perawatan pasien 
  • Menyusun panduan lokal untuk gagal jantung
  • Menyusun kasus bisnis untuk pening­katan pelayanan gagal jantung 
  • Sebagai pemimpin klinis untuk gagal jantung pada badan konsultan kardiologi di institusi
  • Menyusun, mengorganisasi dan menjalankan program pengembangan pendidikan yang berkelanjutan terkait gagal jantung untuk tim lokal.
Sikap
  • Kemampuan untuk berkomunikasi dan interaksi dengan anggota tim multidisiplin: perawat khusus gagal jantung, pengasuh geriatrik dan dokter umum, dokter perawatan primer, layanan perawatan paliatif dan apoteker
  • Menyusun pendekatan yang dapat memperluas pelayanan pasien, seperti: mampu mengkoordinasikan pelayanan di sektor pelayanan primer, sekunder dan tersier.
  • Keterampilan diatas harus dicapai oleh peserta pelatihan dibawah bimbingan kardiologis yang telah memimpin tim gagal jantung multi-profesional selama, sedikitnya, 6 bulan. Selama periode tersebut peserta harus mengikuti MDTS (setidaknya 25), menjalankan klinik gagal jantung (20), memiliki pengalaman pada rawat jalan dan rawat inap dengan perawatan geriatrik (10 ronde ruangan dan 10 klinik), dan berpartisipasi pada klinik di tingkat pelayanan primer (dijalankan oleh doker umum dan perawat spesialis). 

Modul khusus

10. Pencitraan- ekokardiografi dan CMR
Modul ini menjelaskan ketentuan bagi peserta pelatihan yang telah menyelesaikan program gagal jantung dasar dan ingin mendalami kompetensi di bidang pencitraan bagi gagal jantung. 
Pencitraan, terutama ekokardiografi, adalah pendukung utama dalam mengevaluasi penyebab dan mekanisme gagal jantung. Pengobatan dan manajemen gagal jantung dapat ditetapkan langsung berdasarkan interpretasi yang akurat dari pemeriksaan ini. Maka dari itu, spesialis gagal jantung dengan kemampuan lanjutan di bidang pencitraan sangat diperlukan. Akan tetapi, ekokardiografi tetap bergantung pada ope­rator, sehingga kandidat harus memiliki pengetahuan anatomi jantung dan patofisiologi yang mendalam disertai dengan keterampilan yang sesuai.
Ekokardigrafi adalah investigasi lini pertama dalam penilaian anatomi, fisiologi dan gerakan jantung. Namun, kualitas gambar dapat buruk pada beberapa pasien, sehingga pendekatan multimodalitas diperlukan dengan penggunan kontras atau cardiovascular magnetic resonance (CMR). Peserta dapat memilih untuk selanjutnya fokus pada ekokardiografi atau CMR.

Pengetahuan 
  • Memiliki pengetahuan terperinci me­ngenai berbagai teknik pencitraan dalam memilih metode pencitraan akurat secara optimal, untuk mengidentifikasi penyebab dan mekanisme gagal jantung
  • Mampu menggunakan kemampuan diagnostik yang telah divalidasi dan banyak digunakan untuk mengidentifikasi penyebab dan menentukan tingkat keparahan penyakit jantung dalam rangka menyusun manajemen klinis pasien
  • Memiliki pengetahuan terperinci gejala dari berbagai etiologi, dan faktor yang berpotensi reversibel
  • Spesialis gagal jantung/eko harus me­miliki pengertian yang komprehensif terhadap teknik, mampu melakukan dan mengawasi modalitas yang terdaftar
  • Spesialis gagal jantung/CMR harus memiliki pengertian yang komprehensif terhadap teknik, mampu melakukan dan mengawasi modalitas yang terdaftar.    
Keterampilan
  • Interpretasi yang lebih baik pada ekokardiografi/CMR
  • Merujuk pasien yang sesuai untuk dila­kukan CMR, ekokardiografi lanjutan, pemeriksaan radioisotop, angiogram koroner dan CT jantung
  • Menunjukkan bahwa peserta telah berpartisipasi dalam pemeriksaan pasien-pasien yang mencangkup seluruh etio­logi gagal jantung
  • Mendapatkan akreditasi dalam trans­thoracic echocardiography (EAE atau setara nasional), dan kompeten menjadi operator independen ekokardiografi, atau kompetensi level 2 pada CMR.
Keterampilan ini didapatkan dengan be­kerja secara full time pada bagian pencitraan dari pelayanan tersier terakreditasi dengan volum pasien tinggi, selama minimal 12 bulan. Hal ini dapat dicapai disaat yang bersamaan dengan pemenuhan kompetensi modul dasar. Bagi kandidat yang ingin memiliki pengalaman di dua modalitas pencitraan, disarankan termasuk sedikitnya selama 6 bulan ekokardiografi dan CMR (atau modalitas pencitraan CMR lainnya, CT, nuklir, PET) selama sedikitnya 3 bulan. 
Kandidat yang memilih modul eko lanjutan harus memiliki kompetensi yang sesuai (European/nasional) pada TOE dan stress echocardiography. Demikian juga, kompetensi sesuai dengan CMR lanjutan harus dimiliki oleh para kandidat yang ingin spesialisasi di bidang CMR.  Peserta yang memilih pendalaman di CMR harus mendapatkan keterampilan ekokardiografi dasar di kurikulum inti.  

Sikap 
  • Mengenali pentingnya penggunaan pencitraan dalam diagnostik, penentuan prognosis, terapi dan pengkajian ulang
  • Mempresentasikan dan berdiskusi tentang pencitraan dengan ahli bedah, ahli intervensi dan klinisi lain yang turut dalam manajemen pasien
  • Mampu memimpin pertemuan pencitraan multi disiplin
  • Berpartisipasi pada audit reguler
  • Mampu menjelaskan teknik pencitraan kepada pasien secara tepat dan mendiskusikan hasil dari pemeriksaan.

CMR: CMR memberikan penghitungan disfungsi sistolik secara akurat, dan dapat membantu menentukan etiologi, prognosis dan terapi. CMR memiliki kelebihan pada gambaran karakteristik jaringan dan perfusi. Akan tetapi, CMR tidak sesuai untuk penilaian anatomi pada pasien dengan potensial penyakit koroner, pemeriksaan CT jantung atau percutaneous coronary angiography lebih disarankan. Modul CMR bagi kardiologis khusus gagal jantung, memungkinkan kardiologis untuk melaporkan CMR pada pasien dewasa dengan sindroma gagal jantung.


11. Terapi alat implan
Modul ini menjelaskan tentang ketentuan bagi kandidat yang telah menyelesaikan program dasar gagal jantung dan ingin meneruskan spesialisasi di bidang terapi alat.
Pada banyak negara di Eropa implantasi alat dilakukan oleh spesialis elektrofisiologis atau ahli bedah. Akan tetapi, semakin banyak negara implantasi ICD dan CRT dilakukan oleh kardiologis. Oleh karena itu, modul ini menjelaskan cakupan ilmu, kete­rampilan dan sikap yang harus dikuasai oleh ahli gagal jantung untuk dapat melakukan implantasi alat. 
Modul ini dicanangkan membutuhkan waktu setidaknya 12 bulan dalam penyelesaiannya, termasuk di dalamnya pelatihan di pusat implantasi terakreditasi dengan volume pasien yang tinggi.
Cakupan ilmu -- memperluas ilmu yang telah didapatkan pada pelatihan dasar gagal jantung, ditambah dengan kompetensi yang didapat dari modul 6, para kandidat diharapkan mampu untuk:
  • Pengetahuan kerja tentang prinsip pacing, anatomi jantung dan rongga dada, sistem konduksi dan gangguannya
  • Mengerti secara jelas indikasi dari pemasangan alat pacu/ICD/CRT dan juga komplikasi yang dapat timbul (serta penyelesaian yang diperlukan)
  • Pengetahuan kerja tentang terapi yang sudah ada dan yang sedang dikembangkan, terutama terkait CRT, pentingnya pemilihan lead dan sasaran pembuluh yang tepat. 
  • Keterampilan 
  • Pemeriksaan pasien dan pemilihan terapi alat yang tepat
  • Telah memperoleh kompetensi dasar terapi alat (kurikulum dasar)
  • Memiliki keterampilan untuk melakukan implantasi yang aman, teknik aseptic, dan mampu melakukan teknik cephalic, subclavian dan axillary
  • Melakukan pemberian antikoagulan peri operatif secara tepat (seperti: katup mekanik)
  • Rasio komplikasi yang rendah, dan memiliki kemampuan dalam menangani komplikasi
  • Mampu untuk melakukan ICD, minimalisir RV pacing (kecuali pada CRT dimana alat deprogram untuk memaksimalkan biventricular pacing), terapi takikardia, dan memilih algoritme yang tepat dalam membedakan VT dan SVT
  • Menguasai gangguan dasar pada terapi alat untuk mengetahui kerusakan pada lead atau alat, terapi yang tidak tepat, atau memerlukan ablasi lanjutan (contoh pada fibrilasi atrial).
Keterampilan ini diperoleh melalui:
  • Melakukan pelayanan pada klinik gagal jantung, dimana pasien diseleksi untuk menjalani terapi alat (minimal 75 pasien)
  • Sebagai operator utama pada minimal 100 implantasi pacemaker
  • Sebagai operator utama pada minimal 25 implantasi ICD*
  • Sebagai operator utama pada sedikitnya 30 implantasi CRT*
  • Memiliki pengalaman dalam menangani komplikasi dari pacing:
  • Pericardiocentesis
  • Aspirasi pleura/chest drain
  • Manajemen luka
  • Menghindari stimulasi nervus frenikus melalui manipulasi lead atau program
  • memiliki pengalaman berpartisipasi pada klinik follow up paska CRT, dimana:
  • CRT/ICD dilakukan dan optimalisasi program dilakukan (75 pasien)
  • Ekokardiografi digunakan untuk menyetel AV(+/-VV) delay pada CRT (50 pasien)
  • Terapi obat dioptimalisasi paska CRT (50 pasien).
*2014 target dari EHRA
Sikap 
  • Kemampuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan tenaga kerja profesional lainnya, terutama ahli elektrofisiologis dan tenaga pengukuran fisiologis
  • Melakukan pendekatan secara tim 
  • Memberikan edukasi ke pasien tentang pilihan terapi yang sesuai dan menjelaskan rencana terapi
  • Memahami efek psikologis dari penyakit pasien kepada pasien dan keluarga, serta dapat menangani dengan empati
  • Menilai komplikasi jangka panjang.
Meskipun pilihan terapi yang direkomendasikan terbatas, kecepatan kandidat me­­­ngem­bangkan keterampilan dapat berbeda. Sehingga, penting bagi kandidat untuk memperoleh kesempatan berpartisipasi pada seluruh aspek terapi sebanyak-banyaknya. 
(lihat Tabel 7.)   


12. Modul bagi spesialis jantung untuk pena­nganan pasien yang menjalani transplantasi jantung dan MCS.
Modul ini menjelaskan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kandidat setelah melalui program dasar gagal jantung dan ingin mengembangkan lebih lanjut kompetensi di bidang manajemen gagal jantung. 
Diharapkan modul ini diselesaikan dalam waktu sedikitnya 12 bulan, dan termasuk pelatihan dalam penilaian pasien dan manajemen lanjutan pada transplantasi jantung (CTx) dan mechanical circulatory support (MCS), di pusat jantung terakreditasi de­ngan volume pasien yang tinggi.

Pengetahuan 
  • Epidemiologi dan patofisiologi dari gagal jantung lanjut
  • Anatomi dan patofisiologi dari jantung yang ditranplantasi
  • Indikasi (umum dan khusus) dari transplantasi jantung/ implantasi MCS (left and right ventricle assist devices)
  • Kontraindikasi dari terapi CTx dan MCS
  • Pengetahuan terperinci terkait data re­gister INTERMAC dan korelasinya pada hasil MCS
  • Penanda prognosis pada gagal jantung lanjut dan membantu memberikan gambaran pada terapi obat, CTx dan MCS 
  • Karakteristik teknis dari alat MCS
  • Komplikasi paska operasi dan jangka panjang dari terapi CTx dan MCS
  • Perawatan penolakan graft dan paska operasi dari pasien CTx dan MCS
  • Adaptasi psikologi dari pasien paska implantasi Ctx dan MCS
  • Rehabilitasi setelah prosedur
  • Perawatan paliatif pada pasien gagal jantung lanjut 
  • Pendekatan multi-profesional pada pemilihan dan perawatan setelah CTx dan MCS.
Keterampilan
  • Mampu melakukan penilaian, pemilihan dan penolakan pasien untuk terapi CTx dan MCS
  • Merencanakan pemeriksaan pre-CTx serta mengkoordinasi dan supervise fase pre-CTX termasuk penilaian invasif berulang
  • Interpretasi cardiopulmonary exercise test
  • Melakukan scoring keselamatan (Heart Failure Survival dan Seattle Heart Failure Model)
  • Melakukan evaluasi komprehensif dari disfungsi bilik jantung kanan (termasuk kateterisasi jantung kanan, strategi dari manajemen hipertensi pulmonal dan penanda non invasif derajat disfungsi bilik jantung kanan) 
  • Mengelola pemberian antikoagulan pada pasien MCS
  • Melakukan evaluasi status nutrisi
  • Mengendalikan komplikasi paska ope­rasi
  • Penggunaan terapi immunosupresi
  • Melakukan dan interpretasi biopsi jantung pada penolakan allograft
  • Berfungsi sebagai anggota, dan juga mampu memimpin, tim multidisiplin.

Keterampilan ini didapatkan melalui:
  • Melakukan pelayanan pada klinik transplantasi jantung/MCS, dimana pasien diseleksi untuk terapi alat 
  • lanjut (minimal: 50 pasien)
  • Mengelola pasien yang telah menjalani tranplantasi jantung (setidaknya 15, setidaknya 10 diantaranya sejak awal rawat inap, hingga perawatan pre operatif dan paska operatif)
  • Mengelola pasien gagal jantung dengan mechanical circulatory support (sedikitnya 15, 10 diantaranya telah dikelola sejak perawatan peri operatif dan juga rawat jalan).
Sikap 
  • Memahami efek dari pemeriksaan dan terapi tranplantasi jantung dan MCS pada pasien dan pengasuh kesehatan 
  • Kemampuan untuk berkomunikasi dan berkolaborasi dengan tenaga kerja profesional lainnya, terutama ahli bedah jantung dan thoraks, intensivist, perawat paliatif care, teknisi MCS, dan perawat spesialis
  • Menjelaskan keuntungan dan kerugian dari terapi gagal jantung lanjut bagi pasien dan pengasuh kesehatan
  • Membentuk dan memimpin tim multidisiplin
  • Memberikan edukasi kepanada pasien dan pengasuh kesehatan terkait perawatan paska operatif MCS dan CTx
  • Memahami pentingnya program rehabilitasi yang sesuai dan dukungan psikososial bagi pasien, serta mampu memfasilitasi bagi perawatan ini
  • Menilai komplikasi jangka pendek dan panjang.

Demikian kurikulum ini dibuat berdasarkan referensi dari Heart Failure Association ESC yang dipimpin oleh Prof Gerasimo Fillipatos yang akan membantu Pok Ja Gagal Jantung PERK dalam pelaksanaan pelatihan selajutnya. Apabila ada kekurangan dan revisi akan dilakukan konsultasi dengan berbagai pihak di Kolegium PERKI.

POKJA: GJ-PH-CARMET

Pedoman Praktek Klinis Hipertensi Pulmonal 2015

1. Pendahuluan
Hipertensi Pulmonal (HP) adalah sebuah keadaan hemodinamik dan patofisiologi dimana terjadi peningkatan rerata pulmonary arterial pressure (PAP) ≥ 25 mmHg ketika istirahat yang dilakukan melalui Kateterisasi Jantung Kanan (KJK) (Tabel 1). HP juga dapat diperkirakan dengan ekokardiografi doppler, walaupun hal ini dapat memberikan hasil diagnosis positif palsu dan negatif palsu. (Tabel 2)
HP dapat ditemukan pada kondisi klinis yang bermacam-macam, dimana telah diklasi­fikasi menjadi 6 grup klinis dari HP dan tipe HPA berbeda yang lain. (Tabel 3)
Sebuah algortime diagnosis disediakan     untuk memfasilitasi identifikasi dari grup klinis dari HP secara spesifik dan berbagai macam tipe HPA (gambar 1)
Strategi pengobatan berbeda-beda diantara 6 grup klinis tersebut. HPA- grup 1 adalah satu satu­nya grup klinis dengan terapi obat yang spesifik dan telah terdapat algoritme pengobatan yang sudah memiliki evidence-based (gambar 2); definisi untuk mengevaluasi tingkat keparahan darri kondisi pasien, target pengobatan, dan strategi follow up juga telah tersedia. Fitur tertentu dari berbagai macam tipe HPA pada pasien pediatrik, juga telah ditekankan.
Diagnostik klinis dan karakteristik dari terapi yang spesifik dari masing masing grup 2, 3, dan 4 sedang didiskusikan.




2. Definisi
(lihat Tabel 1.) 
Definisi dari HP pada olahraga tidak dapat didefinisikan akibat dari kurangnya data-data penelitian yang mampu menunjukan tinggi rerata PAP tertentu yang memiliki implikasi prognosis. Oleh karena itu, penggunaan HP pada olahraga sebaiknya ditinggalkan.

3. Klasifikasi Klinis dari Hipertensi Pulmonal
Kondisi klinis dengan HP terklasifikasi menjadi 6 grup dengan perbedaan patologis, patofisiologi, prognosis, dan terapi.
(lihat Tabel 2.)
Klasifikasi dari Penyakit Jantung Bawaan (PJB) menyebabkan HPA membutuhkan versi klinis (tabel 4) dan patofisiologikal (terdapat pada versi lengkap dari guideline) dengan tujuan untuk membedakan pasien secara lebih detail.
(lihat Tabel 3.)

4. Diagnosis Hipertensi Pulmonal (HP)
Diagnsosis HP harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding dari gejala iskemia seperti angina, sinkop, sesak nafas saat akti­vitas, dan atau pembatasan kapasitas latihan beban yang progresif, terutama pada pasien tanpa faktor risiko kardiovasckular dan pernapasan yang jelas. Perhatian khusus harus diarahkan pasien dengan faktor risiko. 
(lihat Tabel 4.)


4.1. Algoritme Diagnosis
Pasien dicurigai HP apabila memiliki gejala, tanda, dan riwayat ke arah HP seperti dijelaskan sebelumnya disertai dengan pemeriksaan ekokardigrafi untuk menentukan perkiraan HP (tabel 5 dan tabel 6). Bila didapatkan perkiraan HP tinggi atau sedang maka diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk HP berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, rontgen dada, tes fungsi paru, HRCT scan dada untuk mengidentifikasi HP grup 2 ataupun grup 3. Bila ditemukan HP ke arah grup 2 maupun 3 maka disarankan untuk memeriksan fungsi jantung kanan. Apabila tidak terdapat gangguan jantung kanan, maka kita dapat me­ngobati penyakit dasar. Namun bila terdapat gangguan jantung kanan, maka disarankan untuk merujuk ke pusat HP. Bila tidak dapat menegakkan diagnosis HP grup 2 atau 3, maka direkomendasikan untuk melakukan V/Q scan di pusat HP. Bila ditemukan defek segmental maka direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan KJK angiografi pulmonal dan CT  angiografi pulmonal untuk menegakan HPTEK (grup 4). Bila tidak ditemukan defek segmental pada V/Q scan, maka dilakukan KJK untuk menegakan diagnosis HP. Apabila diagnsosis HP tegak dengan KJK, maka diperlukan pemeriksaan HP spesifik lanjutan.
(lihat Tabel 5.)





4.2. Evaluasi dari Tingkat Keparahan
Evaluasi dari tingkat keparahan pasien de­ngan HPA sangat penting dilakukan sebagai alat evaluasi progresivitas, terapi, dan perburukan HP. Evaluasi ini biasanya dilakukan pada fase diantara menentukan diagnosis dan menentukan terapi. 
(lihat Tabel 9, 10, 11, 12, 13)






4.3. Tatalaksana HPA
Tatalaksana HPA mengalami perkemba­ngan yang amat pesat dalam 1 dekade terakhir. Tatalaksana HPA merupakan strategi yang kompleks meliputi evaluasi keparahan HPA dan evaluasi terapi. Tatalaksana HPA dapat dibagi menjadi 3 langkah utama:
1. Langkah-langkah perbaikan umum
2. Terapi awal medikamentosa
3. Evaluasi terapi







4.4. Bagian Spesifik dari Hipertensi Pulmonal Arteri






5. Penyakit paru vena oklusif dan hemangiomitosis kapiler pulmonal

6. Hipertensi Pulmonal karena penyakit jantung kiri (grup 2)

7. Hipertensi Pulmonal karena penyakit paru dan atau hipoksemia (grup 3)

8. Hipertensi Pulmonal Tromboembolik Kronis (grup 4)



9. Definisi Pusat Rujukan untuk Hipertensi Pulmonal Arterial

Kardiologi Kuantum (Ke-34): Sumbangan Kardiologi Kuantum pada Gagal Jantung

“The symptoms I thought were caused by asthma were really caused by my heart not being able to expel blood with sufficient force and then expand quickly enough to receive the next load of blood returning through the veins. This caused back pressure in the pulmonary veins and fluid would leak through their walls and accumulate in my lungs and abdomen.” - Ray Reynolds, Congestive Heart Failure Rehabilitation: From Complete Heart Failure to Complete Recovery

Salam Kardio. Haiyaa, ini pasti bercanda. Lho ini serius kok. Ray reynolds adalah penulis buku Congestive Heart Failure Rehabilitation: From Complete Heart Failure to Complete Recovery .. berbintang 4 dari 5 bintang yang disediakan oleh Good Read. Buku ini menceritakan tentang bagaimana ia mencapai umur 66 tahun. Diawali dengan kariernya yang panjang sebagai body builder menjadi invalid karena tidak dapat berjalan lebih dari duapuluh meter tanpa menarik nafas panjang. Ia menjelaskan bagaimana seseorang yang telah berangkat dari ketidakmampuan total menuju perbaikan dalam tempo 6 bulan. Ia memiliki daftar yang melelahkan dari suplemen biasa yang membawanya dari ketidak mampuan berjalan menaiki tangga sampai dapat berlari lagi.. Kali ini Kardiologi kuantum membahas masalah psikososial, depresi, kualitas hidup dan aspek mental-spiritualnya sesuai kemampuan. Keempat hal tersebut memang tidak boleh kita lupakan dalam menangani Gagal Jantung (GJ) secara komprehensif termasuk upaya preventif dan rehabilitasinya.

Isu psikososial pada pasien gagal jantung amat penting tetapi biasanya terlewatkan. Depresi dan kurangnya bantuan sosial berdampak negatif pada pasien dengan gagal jantung. Pasien-pasien tersebut menurut Luann Richardson (dari Allegheny General Hospital, Pittsburgh, PA, USA) morbiditasnya menjadi meningkat dan lebih sering rawat ulang di rumah sakit, mengabaikan obat-obatannya, dan menambah ongkos perawatannya. Variabel-variabel yang terlibat saling berhubungan, pada mereka yang mendapatkan bantuan sosial yang besar akan mengurang dampak depresi terhadap angka kematian. Sebagai tambahan, beberapa faktor biologis mungkin memengaruhi dampak faktor psikososial pada pasien dengan gagal jantung kongesti. Penulisnya menganjurkan pengamatan terhadap efek depresinya, upaya pengobatan, dan bantuan sosial yang dibutuhkan bagi penderita gagal jantung kongesti dan tidak kalah pentingnya adalah upaya intervensi yang ditujukan sesuai kebutuhannya yang spesifik.

Komorbiditas adalah problem yang sering kita lupakan kata Christopher M O'Connor (Editorial pada Journal of the American College of Cardiology Vol. 43, No. 9, 2004), yang tidak lain adalah depresi. Hampir 5 juta orang Amerika pada saat itu hidup dengan gagal jantung (GJ), dan 550.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya. Pasien dengan GJ menunjukkan kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien-pasien dengan penyakit kronis lainnya. Skor keburukannya tercatat dalam fungsi fisik, kualitas emosi, dan seluruh fungsi sosialnya. Banyak penelitian mengungkapkan pasien dengan GJ yang memiliki angka morbiditas yang lebih tinggi dari populasi umum; sebagai tambahan depresi mengubah ke dampak negatif prognosisnya ketika hadir pada pasien GJ. Peningkatan prognosis-negatif terdapat pada mortalitas dan rehospitalisasinya.

Gottlieb dkk. telah melaporkan hasil studi prevalensi depresi pada kohort rawat jalan pasien GJ. Seratus lima puluh lima pasien diikutkan pada studi, menggunakan kwesioner Medical Outcomes Study Short Form, the Minnesota Living with Heart Failure Questionnaire, dan Beck Depression Inventory. Penulisnya melaporkan bahwa terdapat hampir setengah (48%) pasiennya menderita depresi. Mereka yang depresi itu cenderung lebih muda dan wanita kelihatannya lebih menderita daripada pria. Pria kulit putih lebih depresif daripada mereka yang berkulit hitam. Pasien-pasien depresi ketika diskoring kualitas hidupnya nilainya jauh lebih rendah daripada mereka yang tidak depresi. Studi ini dianggap penting karena menambah pengetahuan kita tentang depresi pada populasi GJ rawat jalan. Penulisnya fokus pada populasi ini karena dianggap kurang dikenal dengan baik dibandingkan dengan populasi rawat inap. Pertimbangannya adalah pasien menggunakan lebih banyak waktunya di luar rumah sakit dan berinteraksi dengan provider kesehatan di perjanjian klinik, lebih mewakili data di dunia nyata dibandingkan dengan pasien-pasien yang dirawat. Kekurangan dari penelitian ini adalah pada pendekatan penelitian dengan gaya cross-sectional; terus terang kelompok ini tidak memiliki informasi perjalanan depresinya, kesehatan jantung maupun data perjalanan penyakitnya yang berhubungan dengan depresi dengan prognosisnya.

Diperkirakan 5 tahun terakhir sebelum penelitian  ini; prevalensi depresi pada GJ dari delapan penelitian yang ada sebesar 11% - 20% untuk pasien rawat jalan dan dan 30% - 70% untuk rawat inap. Sebagai perbandingannya di masyarakat umum kita terdapat 5% - 10% yang memenuhi kriteria depresi. Luasnya rentang prevalensi pada studi GJ mungkin disebabkan oleh perbedaan instrumen diagnosisnya dan cara memasukkan populasinya yang berbeda berdasarkan umur, jenis kelamin serta beratnya penyakit. Sebagai contoh, depresi lebih sering terdapat pada wanita dengan gagal jantung, pada pasien yang penyakitnya berat dan memiliki gejala fisik yang buruk.

Mengapa terjadi peningkatan prevalensi depresi pada gagal jantung? Beberapa peneliti yakin  adanya koneksi dalam patofisiologinya. Aktivasi neurohumoral, gangguan irama jantung, peradangan, dan hiperkoagulasi mungkin berhubungan dengan perkembangan GJ. Hal ini memperkuat dugaan adanya status fisiologi yang dibawa oleh depresi mempercepat perkembangan GJ dan memperburuk prognosis penderita GJ. Dugaan juga ditimpakan kepada satu faktor penyebab yang berdampak ganda baik kepada depresi maupun GJ. Faktor psikososial mungkin juga berkontribusi; sebagai contoh depresi berhubungan dengan ketidakpatuhan medis, tingginya prevalensi merokok, rendahnya bantuan sosial, masing-masing menyumbang hasil yang buruk pada GJ.

Terdapat keanehan yang belum jelas, mengapa pada pasien GJ dengan depresi, ternyata depresinya tidak mendapatkan pengobatan yang memadai. Gottlieb dkk., menjelaskan bahwa pasien depresi pada GJ sungguh-sungguh memiliki kesempatan yang baik untuk mendapatkan perbaikan kualitas hidupnya. Walaupun hanya 7% dari pasien-pasien tersebut mendapatkan antidepresan. Depresi biasanya berlanjut tanpa terdiagnosis; diduga 30% - 50% kasus pada populasi umum tidak terdeteksi oleh profesi medis. Pasien tidak ingin membuka distres emosinya kepada dokter lantaran khawatir diberi label memiliki kelainan mental. Mereka tidak suka memiliki catatan medik dengan diagnosis psikiatri dan diobati sebagai orang yang sakit jiwanya.

Keamanan dan efikasi terapi depresi pada pasien dengan GJ juga masih menjadi pertanyaan. Sebagai contoh, penelitian Enhancing Recovery in Coronary Heart Disease Patients (ENRICHD) menunjukkan bahwa strategi terapi nonfarmakologi pada pada pasien yang menderita infark miokard terbukti tidak efektif bahkan memperburuk keadaan. Terapi farmakologi pun masih kontroversi; antidepresan trisiklik memengaruhi sistim jantung, sementara serotonin reuptake inhibitors  yang selektif belum distudi secara sistematik pada populasi GJ. Penelitian pada Sertraline AntiDepressant Heart Attack Randomized Trial (SADHART), menggunakan sertralin pada pasien depresi dengan sindroma koroner akut, tidak menunjukkan komplikasi jantung yang mencemaskan atau menyebabkan kejadian kardiovaskular. Manfaat dan keamanan terapi farmakologi untuk depresi pada GJ akan diperoleh dari penelitian yang didanai oleh The National Institutes of Mental Health  USA pada riset Sertraline AntiDepressant Heart Attack Randomized Trial in Heart Failure (SADHART-HF).

Peningkatan prevalensi depresi yang terjadi pada GJ telah menjadi jelas. Pasien Gagal Jantung seyogyanya diskrining untuk depresinya dan diberikan terapi oleh profesional yang bekerja di bidang ini. Peranan psikolog dan pasikiater agar dimanfaat-kan sebesar-besarnya oleh para kardio-angiolog  untuk skrining, mengukur kualitas hidup, psikoterapi, dan terapi jiwanya begitu depresi ditemukan agar kualitas hidupnya meningkat dan prognosisnya diperbaiki.

Akhirnya, dimanakah sumbangan Kardiologi Kuantum pada pasien GJ dalam studi khusus depresi ini? Apakah masih ada tempatnya? Mengamati GJ hendaklah  seperti David Wineland  ketika mengukur sebuah ion (beryllium) yaitu atom yang bermuatan pada fisika kuantum di dalam laboratoriumnya (di Boulder, Colorado USA) yang peka terhadap ruang dan waktu; pada kondisi ekstrem tertentu (didinginkan sesaat sebelum mencapai temperatur absolutnya) keberadan kuantum (ion)-nya ditentukan; jauh berbeda dengan pendahulunya yaitu mekanika Newton yang klasik tentang posisi bendanya yang memang berada di dunia nyata kita sehari-hari. Mekanika kuantum dengan status superposition-nya  telah menawarkan pada peradaban ini suatu konsep komputer yang supercepat dan konsep jam masa datang yang 100 kali lebih persis!

Pada pasien gagal jantung yang rentan depresi dengan lingkungan psikososial yang tidak mendukungnya (kondisi ekstrem tertentu), Kardiologi Kuantum menawarkan pencerahan terhadap posisi seorang dokter dalam situasi seperti ini. Dokter masih harus bersikap seperti kakak terhadap adiknya seperti pengikut Dr. Alfred Adler (Adlerian) memposisikan dirinya. Tidak perlu melakukan psikoanalisis seperti apa yang dilakukan Dr. Sigmund Freud dan pengikutnya (Freudian), walaupun psikoanalisis merupakan konsep introspeksi yang dianggapnya paling jitu. Kardiologi Kuantum respek pada pandangan Dr. Karl Gustav Jung yang telah memasukkan Das Selbst (TheSelf)  di dalam candra jiwanya, tanpa malu-malu lagi menyatakan bahwa Tuhan hadir di “pusat imateri” (istilah Dr. Soemantri Hardjoprakoso) di dalam diri manusia itu sendiri dan memberikan Intuisinya kepada manusia yang terpilih.

Kardiologi Kuantum menganggap seorang dokter dan kardiolog harus “memahami” sekiranya terdapat kondisi ekstrem pada pasien GJ-nya; dengan baik. Kalau perlu mengonsultasikan pasien tersebut kepada sejawatnya yang lebih mumpuni yaitu psikolog dan psikiater. Pemahaman kita terhadap populasi GJ selama ini, walau-pun belum tentu benar, masih menganggap komorbiditas depresi yang ringan merupa-kan kelompok yang terbesar frekwensinya. Seyogyanya para dokter mengikuti kearifan lokal Minangkabau yaitu agar selangkah di depan dan seranting di atas pasiennya, jangan jauh-jauh meninggalkannya.

Perlu kita perhatikan akhir dari rangkuman disertasi Candra Jiwa Indonesia/ Soenarto; “Dasar terapi pada Candra Jiwa dan Candra Dunia Indonesia pada prinsipnya bertujuan membangkitkan keinginan/kemauan pasien untuk mengubah perilakunya dengan cara mengarahkan dirinya ke pusat imateri di dalam dirinya sendiri.” Terima kasih dan Salam Kuantum. (Budhi S Purwowiyoto)

Kamis, 07 Januari 2016

6th INAecho 2015

6th INAecho 2015 in conjunction with 1st SEA Valve, 
"Diagnosing and Managing Valvular Heart Disease"
Yogyakarta Sheraton Mustika Hotel, Kamis-Sabtu, 17-19 September 2015

World Heart Day 2015

GALERI FOTO: 
Kegiatan PERKI pada World Heart Day, hari Kamis 29 September 2015 
bertempat di seputar Silang Monas (Monumen Nasional), Jakarta Pusat

Kaos, Topi, Pin PERKI, dan Buku "Kenali Jantung Anda" properti penyemarak kegiatan yang dilakukan PERKI
Anggota PERKI membagikan Pin PERKI dan buku secara gratis kepada para pengendara yang melintas di kawasan Silang Monas Jakarta
Ayo kita ber-Senam Jantung Sehat rame-rame pengunjung Silang Monas bersama anggota PERKI...