pita deadline

pita deadline

Rabu, 18 September 2013

Resusitasi Jantung Paru yang Berkualitas

ANGKA kematian akibat penyakit kardiovaskular di dunia mencapai >135 juta orang setiap tahun sedangkan insiden henti jantung di luar rumah sakit mencapai 20-140 kejadian setiap 100.000 orang dengan angka ketahanan hidup 2-11%. Di negara maju seperti Amerika Serikat, henti jantung masih menjadi masalah masyarakat paling utama.
Kualitas resusitasi jantung paru (RJP) memberi pengaruh sangat besar terhadap angka ketahanan hidup, perlu dicatat bahwa RJP yang dilakukan mengikuti pedoman hanya mampu menyediakan sejumlah 10-30% dari aliran darah normal ke jantung dan 30-40% ke otak, sehingga para pemberi resusitasi harus mampu memberikan RJP dengan kualitas terbaik dan sedini mungkin.
Aliran darah yang cukup guna menghantarkan oksigen dan substrat ke organ vital merupakan target utama RJP selama periode henti jantung. Hal ini dapat dicapai dengan kompresi dada yang efektif. Kembalinya sirkulasi spontan sangat tergantung hantaran oksigen dan aliran darah ke miokardium selama RJP. Tekanan perfusi koroner (perbedaan tekanan diastolik aorta dengan tekanan diastolik atrium kanan pada fase relaksasi kompresi dada) adalah penentu utama aliran darah miokardium selama RJP dan merupakan target utama resusitasi secara fisiologis.
Lima komponen utama RJP berkualitas adalah sebagai berikut: Fraksi kompresi dada, laju kompresi dada, kedalaman kompresi dada, rekoil dada, dan ventilasi.
Fraksi kompresi dada (proporsi durasi kompresi dada yang dilakukan selama periode henti jantung) yang ideal > 80%. Pada henti jantung yang tidak disebabkan oleh asfiksia (misal aritmia), tebukti bahwa   kompresi dada tanpa ventilasi pada tahap awal sudah menjamin sirkulasi darah teroksigenasi yang adekuat ke seluruh tubuh. Fraksi kompresi dada yang ideal dapat dicapai dengan: minimalisasi interupsi   kompresi dada (dianjurkan tidak terjadi interupsi oleh karena tindakan intubasi yang mudah-pemasangan akses intravena-pemasangan pad defibrilator), hindari tindakan evaluasi nadi yang tidak perlu, dan minimalisasi jeda waktu sekitar kejut jantung dengan defibrilator.
Laju kompresi dada yang dianjurkan 100-120 kali per menit dengan kedalaman > 5 cm pada orang dewasa atau 1/3 dimensi anterior-posterior pada bayi dan anak-anak. Tingkat kedalaman ini dapat dicapai dengan melakukan tindakan resusitasi di atas alas yang kokoh dan rotasi ideal anggota tim resusitasi yang melakukan kompresi.
Rekoil dada sempurna didapat dengan menghindari bersandar pada dada yang sedang dikompresi. Bersandar pada dada pasien menghambat ekspansi penuh dada, sehingga dapat menurunkan aliran vena sistemik dan curah jantung. Rekoil dada sempurna diharapkan pada setiap kompresi dada yang dilakukan.
Laju ventilasi yang dianjurkan < 12 kali per menit dengan kenaikan dinding dada yang minimal (volume tidal rendah) oleh karena ventilasi dengan tekanan positif dapat menurunkan curah jantung baik dalam resusitasi maupun sirkulasi spontan dan menyebabkan aspirasi lambung pada tindakan resusitasi yang belum terintubasi.
Beberapa parameter keberhasilan tindakan resusitasi adalah sebagai berikut: Tekanan perfusi koroner melalui monitor invasif > 20 mmHg, tekanan diastolik arteri > 25 mmHg, ETCO2 (konsentrasi karbon  dioksida akhir tidal dengan kapnografi) > 20 mmHg.
Dengan berkembangnya ilmu resusistasi jantung paru (RJP), kita mendapat kesempatan besar dalam rangka meningkatkan performa RJP selama tindakan resusitasi baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Peningkatan performa RJP melalui RJP yang berkualitas akan memperbaiki angka ketahanan hidup pada henti jantung. 
(Circulation 2013; 128)
EM

Efek Penghambat Beta Nonselektif pada Pasien dengan Regurgitasi Mitral Organik Kronik

TERDAPAT lebih dari lima juta pasien yang mengalami regurgitasi katup moderat sampai berat di Amerika Serikat. Studi Framingham menyebutkan prevalens regurgitasi mitral (MR) meningkat 1.3 kali lipat tiap dekade. Hal ini perlu diantisipasi bahwa prevalens MR akan terus meningkat di masa depan karena berkembang pesatnya populasi usia tua di Amerika Serikat dan seluruh dunia.
Intervensi bedah yang dilakukan dini pada MR organik kronik telah dilakukan di tahun-tahun sekarang, terutama ketika perbaikan katup mitral nampaknya memperlihatkan hasil yang baik. Walau demikian, kebanyakan pasien dengan MR kronik akan menjalankan intervensi bedah. Sebagai contoh, terdapat 500.000 pasien yang pulang dari rumah sakit dengan diagnosis penyakit katup mitral setiap tahunnya di Amerika Serikat, tetapi hanya 18.000 pasien (3.6%) yang menjalani operasi katup mitral setiap tahunnya.
Terdapat debat yang terus menerus  mengenai strategi manajemen yang optimal untuk pasien asimptomatis dengan MR kronik dan fungsi ventrikel yang normal, terutama ketika perbaikan katup mitral tidak dapat dilakukan atau terdapat komordibiditas yang signifikan. Sehingga, para klnisi telah lama menekuni temuan terapi non bedah untuk MR kronik. Obat tradisional untuk pengobatan penyakit gagal jantung, termasuk vasodilator dan penghambat enzim pengkonversi angiotensin telah dicoba. Walau terapi ini mungkin mempunyai efek akut yang baik terhadap MR, tetapi tidak memberikan hasil yang menjanjikan pada beberapa studi jangka panjang.
Studi observasional klinis yang kecil memperlihatkan carvedilol memperbaiki remodeling ventrikel kiri dan mengurangi MR pada pasien gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit jantung non katup (penyakit jantung iskemik atau kardiomiopati non iskemik). Studi retrospektif memperlihatkan penghambat beta 1 dapat memperlama angka harapan hidup pasien MR, walau studi ini secara signifikan terbatas karena terdapat banyak faktor perancu.
Karena terapi penghambat beta bermanfaat untuk gagal jantung yang tidak disebabkan oleh MR, hal ini masuk diakal untuk memberikan hipotesis bahwa penghambat beta memiliki efek menguntungkan pada gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh MR organik kronik. Efek menguntungkan tersebut mungkin akan terlihat jika penghambat beta tersebut dimulai pada fase awal sebelum perkembangan yang ireversibel dari disfungsi ventrikel kiri.
Studi dengan hewan uji memperlihatkan penghambat beta dapat memperbaiki fungsi sistolik ventrikel kiri pada MR organik kronik, tetapi efek menguntungkan tersebut pada remodeling ventrikel kiri belumlah jelas. Belum ada studi yang memperlihatkan penghambat beta dapat memperbaiki remodeling ventrikel kiri pada MR organik kronik.
Lebih lanjut, disosiasi antara efek buruk remodeling ventrikel kiri dan perbaikan kontraktilitas miosit kardiak pada percobaan MR yang diobati dengan penghambat beta telah dilaporkan. Disosiasi tersebut menimbulkan kemungkinan patofisiologi yang bertolak belakang karena remodeling ventrikel kiri yang tidak baik sering kali dihubungkan dengan disfungsi ventrikel kiri dan hasil keluaran jangka panjang yang buruk pada semua bentuk gagal jantung kongestif.
Sehingga perlu menentukan apakah efek menguntungkan penghambat beta dapat diperlihatkan jika MR organik kronik diobati pada fase awal sebelum berkembang menjadi difungsi ventrikel kiri dan jika  pengobatan ini dapat berlangsung lama. Ini juga perlu dipertimbangkan apakah remodeling ventrikel kiri dihubungkan dengan terapi penghambat beta memiliki dampak negatif terhadap fungsi ventrikel kiri pada MR organik kronik atau jika terjadi perbaikan awal dari fungsi ventrikel kiri dan kontraktilitas miokard yang diamati pada studi sebelumnya dapat menuju ke arah yang lebih baik pada remodeling ventrikel kiri jika pengobatan tersebut dilakukan pada fase awal dan jangka panjang.
Untuk mengklarifikasi isu penting tersebut, dilakukanlah studi oleh Gao et al. sebagai studi prospektif untuk menentukan efek awal, akhir dan jangka lama penghambat beta pada remodeling ventrikel kiri, fungsi sistolik dan harapan hidup pada hewan uji dengan MR kronik. Hipotesis studi ini menyatakan bahwa apakah carvedilol (penghambat beta non selektif dengan aktivitas alfa 1) yang diberikan awal sebelum terjadinya perkembangan disfungsi sistolik ventrikel kiri dan jangka panjang memiliki efek yang menguntungkan.
Menggunakan 87 tikus dengan MR organik yang signifikan, dirandomisasi dalam kelompok penghambat beta (n = 43) serta kontrol (n = 44). Carvedilol dimulai pada minggu ke dua setelah induksi MR dan diberikan selama 23–35 minggu pada kelompok penghambat beta. Ekokardiografi dilakukan pada saat awal dan minggu ke 2, 6, 12, 24, 30, dan 36 setelah induksi MR.
Setelah 23 minggu diberikan penghambat beta, denyut nadi secara signifikan menurun pada carvedilol (308±25 vs 351 ±31 denyut per menit; p < 0.001). Diastolik akhir ventrikel kiri (2.2±0.7 vs 1.59±0.6 ml; p < 0.001), volum sistolik akhir (0.72±0.42 vs 0.40±0.19 ml; p < 0.001) dan indeks masa (2.40±0.55 vs 2.06±0.62 g/kg; p < 0.001) secara signifikan tinggi, dan fraksi pemendekan ventrikel kiri (33±7% vs 38±7%; p < 0.001) dan fraksi ejeksi (69±11% vs 75±7%; p < 0.001) secara signifikan rendah pada kelompok penghambat beta dibandingkan dengan kontrol.
Tekanan darah sistolik lebih rendah pada kelompok penghambat beta dibandingkan kontrol (114±10 vs 93±12 mmHg; p < 0.005). Kemungkinan harapan hidup secara sgnifikan lebih rendah pada kelompok penghambat beta fase awal dibandingkan kontrol (88% vs 96%; p = 0.03).
Dapat ditarik kesimpulan pemberian penghambat beta non selektif pada saat awal dan jangka panjang dihubungkan dengan remodeling ventrikel kiri yang jelek, disfungsi sistolik dan penurunan harapan hidup pada model hewan uji tikus MR organik. 
(Circ Heart Fail 2013; 6: 756-62)
SL Purwo

Kardiologi Kuantum (20): TheSelf

Many people utter words of wisdom: “Man must have faith in himself.” In fact they do not know what is called “Self”, and which way to take so they can always have strong faith in themselves. Most of them only know their non-eternal-self [ego] which they regard as their True Leader and Guide.Soenarto Mertowardojo

RUPANYA, baik orang Barat maupun orang Timur menaruh perhatian penuh terhadap pertanyaan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Sabrina bahkan takut untuk menceritakan kepada kita siapa sesungguhnya diri kita itu. “I am afraid to show you who I really am, because if I show you who I really am, you might not like it—and that’s all I got.”— Sabrina Ward Harrison. Yang paling banyak diketahui adalah sang Aku (Ego) dari diri kita. Mengapa demikian? Karena dialah yang merupakan kristalisasi dari angan-angan manusia. Ego juga mewakili tiga sentra vitalitas manusia: inteligensi (angan-angan), nafsu, dan perasaan kita, oleh karena itu dunia mental/jiwa kita dapat disebut sebagai dunia-ego. Bahkan, Ego mewakili seluruh mikrokosmos manusia seutuhnya, misalnya aku sedang makan, sedang belajar, atau sedang marah.
Dalam perjalanan hidup manusia Sang Aku juga mengalami evolusi, perubahan untuk menghadapi dinamika masyarakat. Melalui pancaindra manusia berinteraksi dengan dunia luar, makrokosmos. Manusia dapat memanfaatkan flora dan fauna yang ada sekaligus melestarikannya bila ada  kemauan dan kemampuan. Ia mengeksplorasi minyak, dan batu-bara sebagai sumber energi yang tak tergantikan sekaligus merusak lapisan ozon di luar angkasa. Sementara itu pabrik-pabrik kendaraan  bermotor bermunculan dengan produksinya yang  selalu meningkat setiap tahun. Setiap sepeda motor dan mobil memerlukan bensin sebagai bahan bakarnya, dengan gas buangnya yang merusak ozon sehingga panas matahari langsung menghunjam bumi, terjadilah pemanasan global. Es-es di kutub utara dan selatan mulai mencair, beberapa negara di dunia seperti Maladewa terancam tenggelam, hapus dari muka bumi beserta seluruh isinya. Dengan segala kemampuan sang Aku yang memiliki kemampuan inteligensi yang luar biasa ditantang alam semesta untuk menunjukkan kemampuannya dalam melestarikan makrokosmos.
Tanggal 22 Juli 2013, seorang bayi Kerajaan Inggris baru saja lahir di RS St Mary’s London dengan berat badan 3,8 Kg, ia adalah putra dari Pangeran William dan Kate Midleton (The Duke and Duchess of Cambridge). Beberapa saat kemudian bayi tersebut sudah memiliki gelar kerajaan sebagai HRH Prince George of Cambridge, langsung menjadi pewaris tahta kerajaan nomor urut ke tiga, menggeser nomor urut pamannya (Pangeran Harry). Ego manusia menurut penelitian baru muncul dalam perilaku sekitar usia 3 tahun. Dalam kehidupan sehari-hari ia nampak seperti seorang raja/ratu, seolah-olah dunia menjadi miliknya, ingin mengatur semuanya. Tentu saja bayi kerajaan yang baru saja lahir tersebut belum muncul sang Akunya, ia masih kaget karena harus mulai mandiri dalam menyusu, menghirup nafas, dan beradaptasi dengan makrokosmos.
Baru saja ia meninggalkan Sorga Dunia, di dalam kandungan seorang ibu, ia tidak perlu menyedot susu, menangis, bahkan tidak perlu menghirup udara sendiri, kebutuhan akan oksigen dan sari makanan sudah dipenuhi oleh sang ibu melalui tali pusarnya. Di dalam kandungan bayi berhubungan secara strukturil dengan ibunya, setelah lahir hubungan antar egonya dikenal sebagai hubungan fungsionil. Oleh karena itu tidak heran bila doa seorang ibu kepada Tuhan YME sering dikabulkan dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa sorga itu terletak di telapak kaki ibu.
Mari kita lihat gambar-1; Setiap Ego memiliki pengalaman dan jalur hidupnya sendiri, tidak dapat seseorang menumpang kepada jalur orang lain sehebat apapun jabatan orang itu di dunia. Apakah ia seorang pemimpin, ilmuwan, guru, bahkan nabi sekalipun tidak mungkin disejajarkan dengan jalur hidup siapapun, suatu saat akan bersimpangan sesuai amal perbuatannya. Di jalur manapun Ego berjalan memiliki 2 tugas utama eksoteris (ke luar) untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya, menjadi kusuma bangsa, kunci utamanya adalah jujur. Mengapa jujur? karena kejujuran menimbulkan keadilan, keadilan seorang pemimpin menghasilkan kesetiaan rakyatnya. Kejujuran juga menampilkan keberanian dan memuluskan sikap ikhlas, sabar, dan syukur pada akhirnya memiliki sifat dan perilaku unggulan budi luhur. Tugas berikutnya adalah tugas esoteris (ke dalam) mendekat kepada Tuhan di dalam lubuk hatinya, kunci utamanya adalah percaya (iman) merupakan kompas ke mana Ego-yang-tidak abadi ni berevolusi. Percaya adalah fungsi tertinggi dari perasaan manusia, salah satu dari 3  vitalitas jiwa. Masih diperlukan sadar sebagai fungsi tertinggi dari angan-angan manusia dalam arti yang seluas-luasnya misalnya doa, meditasi, dzikir, ibadat, dan membaca kitab suci. Satu lagi sikap esoteris yang harus dimiliki oleh sentra vitalitas ketiga: nafsu-nafsu yaitu taat menjalankan perintah Tuhan.
Nah, konsep esoteris yang dijalankan oleh egonya manusia ini memungkinkan ia menuju ke hati nurani-nya sebagai lapis terdalam dari jiwanya, sekaligus lapis terluar dari Egonya-yangabadi ialah Roh Suci (TheSelf) itu sendiri. Perhatikan lingkaran Ego-Hati Nurani-TheSelf terdapat koridor (the gate) dimana terjadi kontinuitas kesadaran antara Ego dan TheSelf, sinar dari pusat imateri dipancarkan keluar melalui konduksi asensorik. The Gate (Rahsa Jati) bukanlah indra ke-enam dalam arti Sang Ego dapat mengintip ke dalam Dunia ke-4 yang omnipotensi (mahakuasa) itu, tetapi justru sebaliknya, pengetahuan yang belum ada sejarahnya dapat terpancar dari dalam berupa intuisi, bila syarat-syaratnya terpenuhi. Ego hanya dapat menunggu berita dari dalam tanpa memiliki kekuatan memaksa, ia harus menyerahkan seluruh kedaulatannya kepada TheForce, utusan Tuhan yang abadi untuk dituntun kembali kepada sumber dan tujuan hidupnya ialah TheSource, Tuhan yang Maha Kuasa di dalam dirinya.
Sebenarnya evolusi tadi dapat diartikan sebagai ditariknya kembali “sinar kehidupan” TheSelf oleh TheForce atas nama TheSource. Di sini terjadi peristiwa yang menakjubkan secara teoritis: pertama adalah peristiwa intuisi yaitu bertemunya TheSelf dan TheForce yang dampaknya “terasa” oleh sang Ego sebagai pencerahan yang dapat mengubah peradaban manusia. Pencerahan ini dapat berupa penemuan-penemuan baru sain dan teknologi, kemajuan kebudayaan yang berarti, dan terangkatnya derajat suatu kaum atau bangsa. Pada posisi ini seluruh vitalitas sudah terintegrasi dengan baik, manusia di sini sudah memiliki integritas yang tinggi. TheSelf telah  mengambil tongkat komando dari sang Ego yang sudah menyerahkan kedaulatannya tadi untuk patuh pada TheSelf. TheSelf selalu mendengarkan arahan dan tuntunan dari Sang Guru Sejati (TheForce) karena dialah yang menghidupi TheSelf tersebut untuk pada akhirnya juga yang menuntun kembali kepada sumber dan tujuan hidupnya yang hakiki yaitu Suksma Kawekas (TheSource), menyempurnakan evolusinya. Peristiwa kedua adalah peristiwa pamudaran yaitu selesainya tugas evolusi Egonya manusia bukan hanya pada saat terjadinya kematian saja, berarti kurang bermanfaat dalam arti sempit, tetapi evolusi itu dapat selesai jauh sebelum kematiannya badan jasmani kasar sebagai Dunia ke-2 manusia/mikrokosmos.
Candra Jiwa Indonesia menjelaskan bahwa yang benar-benar berubah pada proses Pamudaran adalah kesadaran. Kesadaran manusia menjadi semakin mengecil dibatasi oleh kesadaran sang aku, semakin lama semakin bersifat apribadi sampai akhirnya menjadi absolut tidak terbatas dalam peristiwa Pamudaran. Siapa saja yang berhasil menyelesaikan Pamudaran ini akan merasakan kesadaran dalam dirinya berada pada setiap bentuk kehidupan dan keberadaannya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidak ada lagi perbedaan dunia dalam maupun dunia luar, juga tidak ada lagi proses kegiatan di dalam jiwa.
Kesadaran pada status Pamudaran adalah suatu istilah dalam mengikuti perkembangan terakhir kesadaran hidupnya perasaan, angan-angan, dan nafsu-nafsu. Ketiga fungsi itu sekarang menyatu di dalam status Pamudaran dan menjadi akhir keberadaannya. Status Pamudaran adalah identik dengan status Suksma Sejati (TheForce) dan potensiil dapat dicapai oleh setiap manusia. Dalam berbagai sistem psikologi Barat, Jung satu-satunya yang mengemukakan kemungkinan perkembangan lanjut dari  jiwanya manusia.
Menurut Freud, titik akhir kehidupan adalah kematian. Bagi Adler yang ideal adalah mengikuti kebutuhan masyarakat secara mutlak, tanpa kemungkinan sang aku dapat menyatukan dirinya dengan masyarakat. Proses Pembebasan atau Pamudaran dalam Candra Jiwa Indonesia telah disebut oleh Jung sebagai werden zur Persönlichkeit, atau Selbstverwirklichung, Verselbstung atau sebagai Individuationprozess, proses individuasi. Sekian dan terima kasih.
Budhi S. Purwowiyoto

Cost Effectiveness and Clinical Efficacy of Pradaxa® (Dabigatran Etexilate) versus Rivaroxaban Analysed

- Indirect comparison based on the RE-LY® trial (for dabigatran etexilate) and the Rocket AF trial (for rivaroxaban) suggests advantages of Pradaxa® in stroke prevention in patients with atrial fibrillation

Ingelheim, Germany, Friday 24th August 2012 – In the absence of a head-to-head study, a comprehensive analysis published in Thrombosis and Hemostasis,1 looks into the efficacy and cost-effectiveness of Pradaxa® for stroke prevention in patients with non-valvular atrial fibrillation in an indirect comparison to rivaroxaban. The analysis, based on two large scale   trials including more than 32.000 patients combined, suggests that patients treated with Pradaxa® may have lower rates of ischaemic stroke and intracranial haemorrhage (ICH), and also accumulate lower costs from acute care and long-term follow-up over their lifetime than  patients treated with rivaroxaban.1
The authors conducted a formal indirect treatment comparison between Pradaxa® and rivaroxaban (according to the Markov model).
The analysis has to be viewed in light of the absence of a head-to-head study. The current interest in healtheconomic aspects of new treatments may encourage further scientific assessments to confirm the findings. Boehringer Ingelheim would endorse and support further investigation.
In the analysis the authors conclude:1
  • Pradaxa® may provide a lower risk of stroke (RR=0.62; 95% CI 0.45-0.87) than rivaroxaban
  • Pradaxa® may provide a lower risk of intracranial haemorrhage (ICH) (RR=0.38; 95% CI 0.21-0.67) than rivaroxaban
Looking at events per 100 patient-years, the model predicts that over a lifetime horizon, AF patients may experience1
  • Considerably fewer ICH with Pradaxa® than with rivaroxaban (0.33 vs. 0.71)
  • Less ischaemic strokes with Pradaxa® than with rivaroxaban (3.40 vs. 3.96)
  • More quality-of-life-years with Pra-daxa® than with rivaroxaban (6.17 vs. 6.01)
When assessing the costs of care, the analysis implies that patients treated with Pradaxa® incur lower costs of acute care and long term follow-up per patient, which, according to the authors, more than offset differences in drug costs.1 The study shows consistent conclusions to previous analysis evaluating novel oral anticoagulant treatments in the Canadian market.2
The indirect comparison model is based on data from ROCKET AF3 where patients were treated with rivaroxaban and Pradaxa® clinical event rates as observed in the safety-on-treatment population4 in RE-LY®, a prospective,  randomized, open-label trial with blinded endpoint evaluation, comparing two fixed doses of the oral direct thrombin inhibitor da-bigatran etexilate (110mg and 150mg bid) each administered in a blinded manner, with open label warfarin.5,6 The Pradaxa® data were adjusted mainly to reflect the higher level of  warfarin control in RE-LY®) (the mean TTR (TTR = time in therapeutic range) was 64% in RELY® and 55% in ROCKET-AF) and simulated dosing  corresponding to the approved Canadian treatment algorithm7 for Pradaxa.
Dr Anuraag Kansal a research scientist in Health Economics, United BioSource Corporation, headquartered in the US said, “As more anticoagulation therapies become available, there is a need to understand the clinical and economic differences between new therapies. This research tells us that the benefits of da-bigatran etexilate accrue steadily over time and that the novel oral anticoagulant continues to offer effective stroke protection for patients living with AF.”

NOTES TO THE EDITORS
Stroke Prevention in Atrial Fibrillation
AF is the most common sustained heart rhythm condition8, with one in four adults over the age of 409 developing the condition in their lifetime. People with AF are more likely to experience blood clots, which increases the risk of stroke by five-fold.9,10 Up to three million people worldwide suffer strokes related to AF each year.11-14 Strokes due to AF tend to be severe, with an increased likelihood of death (20%), and disability (60%).15
Ischaemic strokes are the most common type of AF-related stroke, accounting for 92% of strokes experienced by AF patients and frequently leading to severe debilitation.16-20 Appropriate anticoagulation therapy can help to prevent many types of AF-related strokes and improve overall patient outcomes.21
Worldwide, AF is an extremely costly public health problem, with treatment costs equating to $6.65 billion in the US and over €6.2 billion across Europe each year.21,22 Given AF-related strokes tend to be more severe, this results in higher direct medical patient costs  annually.23 The total societal burden of AF-   related stroke reaches €13.5 billion per year in the European Union alone.23

  • About the dabigatran etexilate clinical trial programme
  • Boehringer Ingelheim’s clinical trial programme to evaluate the efficacy and safety of dabigatran etexilate encompasses studies in:
  • Primary prevention of venous thromboembolism (VTE) in patients under-going elective total hip and knee replacement surgery
  • Treatment of acute VTE
  • Secondary prevention of VTE
  • Stroke prevention in AF
  • Prevention of thromboembolism after heart valve replacement.

Boehringer Ingelheim
The Boehringer Ingelheim group is one of the world’s 20 leading pharmaceutical companies. Headquartered in Ingelheim, Germany, it operates globally with 145 affiliates and more than 44,000 employees. Since it was founded in 1885, the family-owned company has been committed to researching, developing, manufacturing and marketing novel medications of high the-rapeutic value for human and veterinary medicine.
As a central element of its culture, Boehringer Ingelheim pledges to act socially responsible. Involvement in social projects, caring for employees and their families, and providing equal opportunities for all employees form the foundation of the global operations. Mutual cooperation and respect, as well as environmental protection and sustainability are intrinsic factors in all of Boehringer Ingelheim’s endeavours.
In 2011, Boehringer Ingelheim achieved net sales of about 13.2 billion euro. R&D expenditure in the business area Prescription Medicines corresponds to 23.5% of its net sales.
Please be advised
This release is from Boehringer Ingelheim Corporate Headquarters in Germany. Please be aware that there may be national differences between countries regarding specific medical information, including licensed uses. Please take account of this when referring to the information provided in this document. This press release is not intended for distribution within the USA, Canada or UK.
SPONSORED ARTICLE

References
1Kansal A, et al. Dabigatran versus Rivaroxaban for the Prevention of Stroke and Systemic Embolism in Atrial Fibrillation in Canada: Comparative efficacy and cost-effectiveness. Thromb Haemost. 2012 Aug 17;108(4). [Epub ahead of print]
2Canadian Agency for Drugs and Technology in Health. New Oral Anticoagulants for the Prevention of Thromboembolic Events in Patients with Atrial Fibrillation. April 9, 2012. Available at http://www.cadth.ca/media/pdf/NOAC_Therapeutic_Review_final_report.pdf
3Patel MR, et al. Rivaroxaban versus warfarin in nonvalvular atrial fibrillation. N Engl J Med 2011;365(10):883-91.
4Boehringer Ingelheim. Data on File.
5Connolly SJ, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med 2009; 361:1139-51.
6Connolly SJ, et al. Newly identified events in the RE-LY® trial. N Engl J Med 2010; 363(19):1875-6.
7Boehringer Ingelheim Canada Ltd. PradaxTM Dabigatran Etexilate capsules product monograph.
8Stewart S, et al. Cost of an emerging epidemic: an economic analysis of atrial fibrillation in the UK. Heart. 2004;90:286-92.
9Lloyd-Jones DM, et al. Lifetime risk for development of atrial fibrillation: the Framingham Heart Study. Circulation. 2004;110:1042-6.
10Fuster V, et al. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation – executive summary. Circulation. 2006;114:700-52.
11Global Atlas on Cardiovascular Disease Prevention and Control, World Health Organization in collaboration with the World Heart Federation and the World Stroke Organization 2011. Viewed May 2012 at http://www.world-heart-federation.org/fileadmin/user_upload/documents/Publications/Global_CVD_Atlas.pdf. 12Atlas of Heart Disease and Stroke, World Health Organization, September 2004. Viewed Dec 2010 at http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_15_burden_stroke.pdf. 13Wolf PA, et al. Atrial fibrillation as an independent risk factor for stroke: the Framingham Study. Stroke. 1991;22:983-8.
14Marini C, et al. Contribution of atrial fibrillation to incidence and outcome of ischaemic stroke: results from a population-based study. Stroke. 2005;36:1115-9. 15Lin HJ, et al. Stroke severity in atrial fibrillation: the Framingham study. Stroke. 1996;27:1760-4.
16Paolucci S, et al. Functional outcome of ischemic and hemorrhagic stroke patients after inpatient rehabilitation. Stroke. 2003;34:2861−5.
17Petrea RE, et al. Gender differences in stroke incidence and poststroke disability in the Framingham Heart Study. Stroke. 2009;40:1032-7.
18Meschia JF, et al. Genetic susceptibility to ischemic stroke. Nat Rev Neurol. 2011;7:369−78.
19Andersen KK, et al. Hemorrhagic and ischemic strokes compared: stroke severity, mortality, and risk factors. Stroke. 2009; 40:2068−72.
20Roger VL, et al. AHA Statistical Update. Heart Disease and Stroke Statistics—2011 Update. A Report From the American Heart Association. Circulation 2011; 123:e18−e209.
21Coyne KS, et al. Assessing the direct costs of treating nonvalvular atrial fibrillation in the United States. Value Health 2006; 9:348-56.
22Ringborg A, et al. Costs of atrial fibrillation in five European countries: results from the Euro Heart Survey on atrial fibrillation. Europace 2008; 10:403-11.
23Brüggenjürgen B, et al. The impact of atrial fibrillation on the cost of stroke: the Berlin acute stroke study. Value Health 2007; 10:137-43.
24Pradaxa®, European Summary of Product Characteristics, 2012.
25Di Nisio M, et al. Direct thrombin inhibitors. N Engl J Med 2005; 353:1028-40.

Efek Dosis Double ASA terhadap Parameter Fungsi Platelet dan Hiperreaktivitas Platelet

(Sub analisis Studi AVOCADO)

“Pemberian dosis double ASA memperbaiki reaktivitas platelet pasien DMT2 dan kondisi reaktivitas platelet yang meningkat”

DMT2 dihubungkan dengan peningkatan 2-4 kali risiko penyakit kardiovaskuler (CVD) diakibatkan peningkatan koagulasi berhubungan dengan fibrinolysis yang terganggu, disfungsi endotel dan reaktivitas platelet yang tinggi (HPR) dengan peningkatan adesi, aktivasi dan agregasi. Berdasarkan panduan klinis perkumpulan diabetes Amerika dan Polandia, pasien DMT2 seharusnya diberikan dosis rendah ASA 75-162mg/hari untuk pencegahan primer pasien risiko tinggi CV dan untuk pencegahan sekunder dari CVD pada semua pasien.
Pada beberapa pasien HPR akan berlanjut walaupun telah diberikan ASA rutin. Prevalens HPR tergantung dari definisi, populasi yang diteliti, dosis obat dan tes yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi platelet. Dalam praktek klinis, pasien non compliance merupakan penyebab tersering HPR selama pengobatan dengan ASA, yang diukur menggunakan cyclooxygenase (COX)-1-dependent tests. Hasil dari studi sebelumnya mengenai efek berbagai dosis ASA adalah inkonsisten. Studi-studi tersebut sangatlah jarang dilakukan pada pasien DMT2 dan kebanyakan pasien-pasien tersebut dalam kriteria compliance. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi efek dosis double ASA pada reaktivitas platelet pasien DMT2 klinis stabil yang memperlihatkan HPR selama pengobatan kronis   dengan ASA 75 mg, dengan evaluasi pasien compliance berdasarkan pengukuran tingkat serum thromboxane B2 (sTXB2).
Menggunakan 304 pasien DMT2 yang diberikan pengobatan 75 mg ASA yang dilakukan secara randomisasi dan prospektif dari studi AVOCADO (Aspirin Versus/Or Clopidogrel in Aspirin-resistant Diabetic inflammation Outcomes). Reaktivitas platelet diukur dengan Platelet Function Analyzer (PFA)-100, VerifyNow Aspirin Assay dan serum thromboxane B2 (sTXB2) dan pengukuran tingkat urin 11-dehydrothromboxane B2 (u11dhTXB2). Pasien dengan HPR dinilai dengan CEPI-CT (collagen/epinephrine-induced closure time) berdasarkan pengukuran PFA-100 yang dirandomisasi dengan rasio 2:3 diberikan 150 mg ASA (kelompok 1) atau 75 mg clopidogrel (kelompok 2). Reaktivitas platelet dinilai pada saat nilai dasar dan setelah delapan minggu pengobatan.
Hasil data klinis dan sampel darah yang lengkap terdapat pada 260 dari 304 pasien yang diteliti. Enam pasien dieksklusikan dari analisis berdasarkan suspek ASA non-compliance (tingkat sTXB2 > 7200 pg/ml). dari 254 pasien dimasukkan ke dalam analisis, HPR ditemukan pada 90 (35.4%) pasien, 38 dari pasien tersebut dirandomisasikan ke dalam kelompok 1 dan 52 pasien ke dalam kelompok 2. Dosis double ASA menghasilkan CEPI-CT yang memanjang secara signifikan (Ä 111 detik, p < 0.001) dan reduksi tingkat sTXB2 (Ä -101.3 pg/ml, p = 0.001) tetapi tidak signifikan berdampak pada hasil tes fungsi platelet lainnya.
Reduksi yang signifikan pada tingkat sTXB2 memberikan gambaran peningkatan dosis ASA menghasilkan supresi sintesis thromboxane A2, contohnya inhibisi COX-1. Pada saat yang sama, peningkatan CEPT menggambarkan adanya respon perbaikan terhadap ASA dihubungkan dengan penurunan reaktivitas platelet.
Pada metaanalisis yang dipublikasikan tahun 2008 oleh Reny et al. memperlihatkan reduksi CEPI-CT pasien dengan penyakit arteri koroner dihubungkan dengan  peningkatan lebih dari dua kali lipat risiko rekurensi kejadian iskemik (OR 2.1; 95% CI 1.4-3.4; p < 0.001). Temuan ini mungkin memberikan gambaran pemanjangan nilai CEPI-CT dihubungkan dengan peningkatan dosis ASA mungkin dihubungkan juga   dengan reduksi pada risiko kejadian CV. Walaupun hubungan yang ditemukan pada metaanalisis oleh Simpson et al, dibandingkan dengan efek berbagai dosis ASA pada risiko kejadian CV, metaanalisis ini termasuk 2 studi randomisasi pasien yang diberikan dosis harian moderat ASA (101-325 mg), dengan hanya 2% pasien dengan diabetes pada kedua studi populasi tersebut, dimana secara luas menurunkan kemampuan ekstrapolasi dari hasil temuan tersebut.
(Kardiol Pol 2013; 73(6): 552-7)
SL Purwo

Obesitas Pencetus Fibrilasi Atrium

OBESITAS sering kali ditemukan pada kesehatan public dengan makin meningkatnya prevalens. Fibrilasi atrium (AF) merupakan masalah klinis aritmia tersering dan menghasilkan banyaknya sekuel yang tidak diinginkan termasuk stroke, gagal jantung, penurunan fungsi kognitif, demensia, penurunan kualitas hidup dan kematian.
Dalam studi komunitas dan kohort populasi, obesitas telah menjadikan sebagai faktor risiko AF. Sebagai perbandingan dengan referensi berat badan normal, individu obese mempunyai risiko 2.4 kali lipat peningkatan risiko AF. Pada studi kohort bedah kardiothoraks, risiko AF post operasi berkisar antara 1.4-2.4 kali lipat peningkatan risiko jika dibandingkan dengan refernsi non obese.
Risiko AF meningkat secara progresif dengan peningkatan indeks masa tubuh (BMI). Dalam seri bedah kardithoraks yang luas, individu-individu dengan BMI yang ekstrem (> 40 kg/m2) memiliki 2.3 kali     lipat peningkatan risiko AF post operasi dibandingkan dengan 1.2 kali lipat risiko pada individu dengan berat badan berlebih (BMI 25-30 kg/m2). Suatu kohort observasional dari klinik Mayo memperlihatkan hasil yang sama dengan peningkatan kemungkinan bergantinya AF dari paroksismal ke permanen dengan peningkatan BMI yang progresif.
Obesitas dan penyakit metabolik memiliki kontribusi dalam risiko terjadinya AF. Hipertensi secara kuat dihubungkan dengan obesitas dan juga obesitas sebagai faktor risiko AF; insidens hipertensi meningkat dengan peningkatan berat badan dan secar progresif naik pada kelompok obesitas. Penyakit kardiovaskuler, baik makro dan mikrovaskuler iskemik memiliki prevalen tertinggi yang berhubungan dengan obesitas dan AF. Obesitas sentral merupakan bagian dari sindroma metabolik dan berdasarkan studi kohort komunitas dengan penambahan sindroma metabolik akan meningkatkan risiko 10 tahun untuk terjadinya AF sebesar 4 kali lipat jika 5 kriteria sindroma metaolik tersebut terpenuhi.
Sebagai tambahan adipositas sistemik, deposisi jaringan adipose regional teru- tama jaringan adipose epikardial diukur menggunakan tomografi atau MRI, telah menjadikan faktor risiko yang poten untuk terjadinya AF. Data epidemiologi menyimpulkan secara konsisten bahwa obesitas dihubungkan dengan risiko subtansial untuk perkembangan AF. Meta analisis  melaporkan individu obes memiliki peningkatan 49% risiko AF dibandingkan individu non obese.
Remodeling kardiovaskuler sekunder akibat obeistas merupakan focus terpenting dalam beberapa penelitian, mengidentifikasi tahapan intermediet dalam jalur an-   tara paparan dan hasil akhir. Remodeling atrial mungkin dapat menjadi sebagai karakteristik proses yang heterogen oleh adanya disrupsi integrasi elektrik atrial sekunder terhadap paparan klinis jangka panjang.
Perubahan pada fungsi elektrofisiologi atrial dan remodeling yang bersamaan menjadikannya sebagai respon yang maladaptif terhadap hasil metabolik, hemodinamik dan stress iskemik. Hasil kumulatif adalah kekacauan elektrik, modifikasi struktur dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis atrial interstitial dan menghasilkan substrat proaritmik.
Obesitas dihubungkan dengan 2.4 kali lipat risiko 10 tahun pembesaran volum atrium kiri yang dinilai dari ekokardigrafi. Fungsi diastolik ventrikel berdampak pada integritas atrium. Obesitas dan hipertensi mungkin menghasilkan hipertrofi ventrikel yang mana akan mengubah fungsi diastolik, meningkatkan tekanan atrial dan menghasilkan remodeling atrium.
Gelombang P berasal dari EKG permukaan dan merupakan pengukuran vektorkardiografi dari morfologi, durasi dan amplitude gelombang P. Mereka memberikan pengukuran yang murah dan dapat diulang pemeriksaannya dalam menggambarkan fungsi elektrik atrium. Gelombang P secara progresif akan berubah oleh karena obesitas dan lingkar pinggang.
Studi kecil senter tunggal melaporkan hasil yang signifikan terhadapa perbedaan elektrofisiologi atrium dan vena pulmonalis antara individu obese dengan non obese. Individu obesememliki periode refrakter yang pendek pada atrium dan vena pulmonalis dibandingkan non obese, memberikan gambaran bahwa sebagai substrat proatitmik.
(Circulation 2013; 128: 401-5)
SL Purwo

Prediabetes dan Penurunan Berat Badan

PREDIABETES mencerminkan gagalnya  kompensasi pankreas sebagai dasar suatu resistensi insulin, kebanyakan diakibatkan oleh berat badan yang berlebihan atau obesitas. Kriteria untuk mendiagnosis prediabetes berdasarkan toleransi glukosa darah terganggu, glukosa puasa terganggu dan sindroma metabolik. Tujuan primer manajemen prediabetes adalah penurunan berat badan. Tujuan dapat tercapai baik dengan perubahan gaya hidup terapeutik, terapi  farmakologis, tindakan bedah ataupun kombinasi beberapa pendekatan tersebut.
Prediabetes diketahui dengan keadaan metabolik yang abnormal dengan peningkatan risiko diabetes di masa depan. Kriteria sekarang mengenai prediabetes didiagnosis sebagai toleransi glukosa terganggu (gula darah 2 jam post prandial dikisaran 140 – 200mg/dL); glukosa puasa terganggu (glukosa plasma puasa sekitar 99–126 mg/dL) atau sindroma resistensi insulin atau sindroma metabolik. Salah satu diagnosis tersebut dihubungkan dengan peningkatan tiga sampai sepuluh kali lipat untuk terjadinya DMT2 di masa depan. Walaupun demikian, kombinasi dua atau lebih diagnosis tersebut akan meningkatkan 20 kali lipat untuk terjadinya risiko diabetes.
Prediabetes menggambarkan kegagalan kompensasi sel beta pankreas yang manghasilkan keadaan mendasar dari resistensi insulin. Penyebab tersering terjadinya resistensi insulin adalah berat badan yang berlebih (overweight) atau obese. Ketidakadekuatan sel beta merupakan karakteristik prediabetes yang mungkin disebabkan oleh predisposisi genetik. Penyebab lainnya yang mungkin adalah efek samping dari keadaan metabolik yang dihasilkan akibat konsentrasi gula darah yang berlebihan (glukotoksisitas) dan mungkin lipid yang berlebihan (lipotoksisitas).
Medikasi antihiperglikemik seperti metformin dan acarbose menurunkan risiko diabetes di masa depan pada pasien prediabetes sekitar 25 sampai 30%. Keduanya aman dan ditoleransi baik, serta memberikan efek kardiovaskuler yang baik. Studi klinis menggunakan tiazolidinedion menunjukkan penurunan terjadinya diabetes sekitar 60-70% pada pasien prediabetes,  akan tetapi kelompok obat tersebut memberikan efek samping yang cukup banyak. Agonis reseptor glucagon-like peptide 1 (GLP-1) mungkin memberikan manfaat yang sama untuk mencegah diabetes, akan tetapi data tersebut inadekuat, terutama mengenai keamanannya. Sehingga, golongan tiazolidinedion dan GLP-1 hanya diberikan pada pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya diabetes serta yang gagal dengan pengobatan konvensional.
Manajemen prediabetes seharusnya difokuskan pertama pada reduksi berat badan. Reduksi resistensi insulin akan terjadi dengan reduksi berat badan serta mengurangi asupan makanan juga bermanfaat. Bedah bariatrik mempunyai nilai yang baik sampai sempurna dalam keuntungan jangka pendek hingga menengah untuk mencegah terjadinya DMT2. Pengobatan yang mengurangi berat badan juga mengurangi prediabetes dalam jangka pendek. Studi klinis kohort yang besar memperlihatkan penurunan berat badan yang lebih tinggi akan menurunkan prediabetes, terutama studi-studi dengan bedah bariatric.
Manajemen obesitas pada prediabetes berbeda sedikit dengan manajemen pasien-pasien tanpa diabetes, kecuali dibutuhkan penanganan yang segera dalam mengatasinya pada pasien dengan diabetes. Mengurangi beban sel beta pancreas melalui penurunan berat badan nampaknya menjadi salah satu metode mencegah rusaknya sel beta pankreas.
Terapi pasien prediabetes dengan medikasi anti hipergikemia mengurangi disglikemia dan mungkin mencegah atau memperlambat timbulnya diabetes. Tidaklah jelas mengenai terapi untuk prediabetes pada pasien dengan gagalnya modifikasi gaya hidup, apakah fokus terhadap penurunan berat badan yang agresif dengan obat atau bedah bariatrik, pemberian medikasi antihiperglikemia atau menggunakan beberapa kombinasi terapi. Penurunan berat badan baik secara bedah maupun obat-obatan secara nyata mengurangi resistensi insulin yang memberatkan sekresi  insulin pankreas pasien prediabetes.
Penurunan berat badan tidak secara  nyata berhubungan dengan patogenesis berkurangnya fungsi sel beta yang menjadi dasar evolusi disglikemia menjadi diabetes. Sehingga, masa tubuh yang menurun akan mengakibatkan fungsi sekresi insulin menjadi cukup untuk mempertahankan keadaan euglikemia dan keadaan prediabetes ataupun diabetes menjadi hilang.
Walaupun demikian, seiring dengan waktu kehilangan yang progresif dari fungsi sel beta akan terus berlanjut, fungsi sel beta akan mencapai titik terendah dan menjadi tumpul dengan hasil akhir munculnya keadaan disglikemia. Tindakan bedah menghasilkan penurunan berat badan yang cukup besar dibandingkan dengan pemberian obat-obatan, mungkin lebih berguna untuk membalikkan keadaan diabetes ataupun mencegahnya. Namun, tindakan ini menimbulkan peningkatan morbiditas dan mortalitas dari prosedur pembedahan. 
[Endocr Pract 2013; 19 (Suppl2): 1-29]
SL Purwo