pita deadline

pita deadline

Rabu, 25 Juli 2012

Pelantikan Pengurus Pusat PERKI dan Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Masa Bakti 2012 - 2014


MINGGU, 8 Juli 2012, Ballroom Four Season Hotel Jakarta diadakanlah pelantikan pengurus besar PERKI dan kolegium ilmu penyakit jantung dan pembuluh darah. Pelantikan acara pengurus besar ini cukup bermakna karena PERKI mengadakan MOU tentang pencegahan penyakit kardiovaskuler di Indonesia dengan Kemendikbud, Kemenkes, Kemkominfo, BKKBN, PJNHK, YJI dan media cetak JawaPos.
Sebelum dimulainya pelantikan, dimulai dengan presentasi dari PT Bayer Indonesia yang menitik beratkan pada studi ROCKET mengenai penggunaan rivaroxaban dibandingkan warfarin pada pasien AF dan riwayat stroke/TIA disampaikan oleh Prof dr Harmani Kalim MPH SpJP(K).
Studi ROCKET (Rivaroxaban once daily oral factor X inhibition compared with vitamin K antagonist for prevention of stroke and embolism trial in AF) dengan randomized double blind yang membandingkan rivaroxaban 20 mg dan warfarin yang diberikan pada pasien AF dengan minimal memiliki dua faktor risiko yaitu gagal jantung, hipertensi, usia di atas 75 tahun dan diabetes atau adanya stroke, TIA atau emboli sistemik. Kesimpulan dari studi ROCKET bahwa manajemen kasus AF, antikoagulan rivaroxaban non-inferior terhadap warfarin untuk pencegahan stroke dan tromboemboli tanpa membutuhkan monitoring INR selain itu rivaroxaban (xarelto) secara signifikan mengurangi risiko stroke hemoragik dan emboli sistemik dibandingkan dengan warfarin dan mempunyai efek pendarahan intrakranial/fatal yang lebih sedikit dibanding warfarin serta secara klinis hanya sedikit interaksi dengan berbagai obat. Akan tetapi rivaroxaban memiliki keterbatasan yaitu tidak adanya anti dotum jika terjadi perdarahan.
Acara pelantikan ini dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya serta Mars PERKI yang dibawakan oleh paduan suara. Dibacakan SK pengukuhan kepengurusan PP PERKI masa bakti 2012-2014. Dilanjutkan dengan pembacaan naskah pelantikan dan janji pengurus oleh ketua IDI diikuti oleh anggota pengurus. Kemudian penandatanganan berita acara serah terima kepengurusan PP PERKI masa bakti 2012-2014 serta badan etik dan pembelaan PERKI yang diwakili oleh Prof Romdoni, dr. Anna Ulfah Rahajoe, dr. Sari Mumpuni, Prof Harmani Kalim, Prof Dede Kusmana, Prof Asnil Sahim dan dr Pri Utomo.
Presiden PERKI terpilih periode 2012-2014, Prof Romdoni memberikan kata sambutannya seputar program pencegahan penyakit kardiovaskuler Indonesia yang memiliki komitmen dengan program pemerintah di Kemenkes khususnya mengenai penanggulangan penyakit tidak menular. PERKI juga bekerjasama dan menandatangani nota kesepahaman dengan Kemendikbud, Kemenkominfo, BKKBN, PJNHK, YJI dan Jawa Pos. Kesepahaman tersebut dalam hal kaitannya dengan upaya pendidikan, penyuluhan dan upaya-upaya lain yang bersifat preventif dan promotif pada penyakit kardiovaskuler yang tentunya selaras dengan pencapaian indikator Millenium Development Goals di Indonesia. PERKI memperkirakan akan ada sekitar 750 lulusan kardiolog pada tahun 2017, dengan perkiraan 20 lulusan per tahun untuk Surabaya, 30 lulusan untuk Jakarta, sedangkan 10 lulusan masing-masing dari 10 senter pendidikan lainnya. Kolegium diharapkan juga dapat mengkaji mengenai perlunya akreditasi internasional dengan melakukan international board examination.
Acara dilanjutkan dengan sambutan  ketua IDI, dr. Priyo Sidipratomo SpRad, yang pada dasarnya senang dengan adanya nota kesepahaman dan mau bekerjasama dengan Kemenkes mengenai penyebaran dokter  spesialis jantung di Indonesia.
Sambutan dari Kemkominfo, yang diwakili sekretaris direktorat jendral informasi dan komunikasi publik, Ismail Cawiku, pihak Kemkominfo juga tertarik dan senang atas kesepahaman dan kerjasama yang dilakukan PERKI dengan Kementeriannya mengenai usaha preventif dan promotif, sebisa mungkin pihak Kementerian akan mendukung penuh penyebaran informasi ke masyarakat.
Kepala BKKBN juga memberikan sambutan yang hangat mengenai peran PERKI dalam memberikan kontribusi mewujudkan keluarga kecil yang bebas dari risiko penyakit jantung dengan pemberian sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat.
Kemendikbud yang diwakili oleh kepala biro hukum dan organisasi Kemendikbud, Prof Andi Pangerang SH, NH, DFM juga merasa bahagia dengan kerjasama  yang dilakukan PERKI dengan Kementerian pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan tentang kesehatan jantung perlu sekali di Indonesia dan program spesialis ini perlu berkembang dengan baik, ujarnya.
Sambutan terakhir dari Prof dr Ali Gufron M MSc, PhD, perwakilan dari Kemenkes yang senang dengan perkembangan spesialis jantung dan pembuluh darah ini, serta mau bekerjasama dengan memeratakan distribusi dokter jantung di Indonesia, semoga kerjasama-kerjasama maupun kesepahaman lainnya dapat berlanjut.
Acara diakhiri dengan pembacaan doa oleh dr Isman F SpJP serta makan siang.
Acara pelantikan ini memanglah berbeda dengan menghadirkan kesepahaman dengan beberapa instansi pemerintah, Yayasan Jantung, Pusat Jantung Nasional dan media cetak nasional. Diharapkan program promotif dan preventif yang diusung Prof Romdoni dapat berjalan sampai masa jabatannya berakhir.
SL Purwo


Lampiran SK No.001/SK/PP PERKI/VI/2012
tentang Susunan Personalia PP PERKI Masa Bakti 2012-2014


SUSUNAN PENGURUS PUSAT
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KARDIOVASKULAR INDONESIA
MASA BAKTI 2012 - 2014

Dewan penasihat :
DR. Dr. Muhammad Munawar, SpJP(K), FIHA
Dr. Sunarya Soerianata, SpJP(K), FIHA
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA
Prof. Dr. T. Bahri Anwar, SpJP(K), FIHA

Ketua :  Prof. DR. Dr. Rochmad Romdoni, SpPD, SpJP(K), FIHA
Wakil Ketua (President Elect) :  DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP(K), FIHA
 

Ketua Purna :  Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA
Wakil Ketua
:  Dr. Lies D. Liastuti, SpJP(K), FIHA
 

Sekretaris Jenderal :  DR. Dr. Ismoyo Sunu, Sp.JP(K), FIHA
Wakil Sekretaris Jenderal I
:  Dr. Herry C.H. Bastari, SpJP, FIHA
Wakil Sekretaris Jenderal II
:  Dr. Parmono, SpJP, FIHA
 

Bendahara :  Dr. A. Sari S. Mumpuni, SpJP, FIHA
Wakil Bendahara I
:  Dr. Oktavia Lilyasari, SpJP, FIHA
Wakil Bendahara II
:  Dr. Yudi Her Oktaviono, SpJP(K), FIHA 


KOLEGIUM ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
 

Ketua :  Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K), FIHA
Wakil Ketua
:  Prof. DR. Dr. R. Mohammad Yogiarto, SpJP(K), FIHA
Sekretaris I
:  Prof. DR. Dr. Idris Idham, SpJP(K), FIHA
Sekretaris II 
:  Dr. Eko Antono, SpJP(K), FIHA

Badan Etik & Pembelaan Anggota

Ketua
:  Dr. Pri Utomo, SpA, SpJP, FIHA
Sekretaris
:  Prof. DR. Dr. Zainal Mustafa, SpJP, FIHA
Anggota 
: 
Dr. RWM Kaligis, SpJP(K), FIHA
Dr. Hadi Hartono, SpJP(K), FIHA
Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K), FIHA
Dr. Santoso Karo Karo, MPH, SpJP(K), FIHA

DEPARTEMEN
Pengembangan Organisasi & Advokasi Kebijakan
Ketua
:  Dr. Isman Firdaus, SpJP, FIHA
Anggota
:
Dr. Suhendiwijaya, SpJP, FIHA
Dr. Hardja Priatna, SpJP, FIHA
Dr. Leonora J. Tiluata, SpJP, FIHA
Dr. Pawik Supriadi, SpJP(K), FIHA

Penelitian & Pengembangan IPTEK Kardiovaskular
Ketua
:  Dr. Renan Sukmawan, PhD, SpJP, FIHA
Anggota
:
Dr. Budi Baktijasa, SpJP(K), FIHA
Dr. Pintoko Tedjokusumo, SpJP(K), FIHA
Dr. Dyah Siswanti Estiningsih, SpJP, FIHA
Dr. Refli Hasan, SpJP(K), FIHA

Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)

Ketua :  DR. Dr. Amiliana M. Soesanto, SpJP(K), FIHA
Anggota
:
DR. Dr. Basuni Radi, SpJP(K), FIHA
Dr. Antonia Anna Lukito, SpJP, FIHA
Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP(K), FIHA
Dr. Idar Mappangara, SpPD, SpJP, FIHA

Pengembangan Kemitraan & Kesejahteraan Anggota 

Ketua : Dr. Andang H. Joesoef, SpJP(K), FIHA
Anggota
:
Dr. Triatmo Budijuwono, SpJP, FIHA
Dr. Nahar Taufiq, SpJP(K), FIHA
Prof. DR. Dr. Teddy Ontoseno, SpA, SpJP(K), FIHA
Dr. Afdhalun A. Hakim, SpJP, FIHA

Penerbit & Informatika
Jurnal Kardiologi Indonesia
 

Ketua :  DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K), FIHA
Anggota
:
Dr. Suko Adiarto, SpJP, FIHA
Dr. Ramang Napu, SpJP, FIHA

Tabloid kardiovaskuler
Ketua 
: Prof. DR. Dr. Budhi Setianto, SpJP(K), FIHA
Anggota
:
Dr. Sony Hilal Wicaksono, SpJP, FIHA 
Dr. Achmad Fauzi Yahya, SpJP(K), FIHA

Website
:
Dr. Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA
Dr. Taofan TS, SpJP, FIHA
                   
Ditetapkan di :  Jakarta
Tanggal         :  4 Juni 2012

Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia


ttd
 

Prof.DR.Dr. Rochmad Romdoni, SpPD, SpJP(K), FIHA     (Ketua)
DR.Dr. Ismoyo Sunu, SpJP(K), FIHA     (Sekretaris Jenderal)

Visi, Misi dan Tantangan PERKI Periode Tahun 2012-2014

Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni SpPD, SpJP(K), FIHA, FAsCC
 
JUM'AT, tanggal 28 Juni 2012 pukul 06.45WIB bertempat di hotel Menara Peninsula Jakarta, saya (SLP) berkesempatan mewawancarai presiden terpilih PERKI masa jabatan 2012-2014, Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni SpPD, SpJP(K) [RR] seputar visi, misi, pandangan dan tantangan presiden PERKI terpilih periode 2012-2014. Berikut cuplikannya:

SLP:     Apakah visi dan misi PERKI sekarang sama dengan PERKI pimpinan sebelumnya, Prof?
RR:     Ya, visi dan misi kita sudah termuat dalam renstra, renstra itu kita ikuti, hanya dalam program kerjanya kita fokuskan, mau tidak mau suka atau tidak kita lakukan sesuai renstra, PERKI akan menjadi salah satu organisasi profesi dokter spesialis kardiologi terbaik di Asia, selain itu program kerja adalah hasil keputusan dari konggres.

SLP:     Apakah ada hal berbeda yang mungkin Prof akan lakukan dengan jabatan saat ini?
RR:     Secara Prinsip tidak ada. Pada periode kali ini, kami meneruskan program kerja yang belum tuntas. Selain program yang kita lakukan dari renstra, kami juga mempunyai program unggulan yang menekankan pada program promotif dan preventif dalam bidang kardiovaskuler. Apa yang harus kita lakukan untuk mensukseskan program unggulan ini? Yaitu kita bekerja­sama dengan pemerintah karena kita adalah mitra pemerintah, tanggal 8 Juli 2012 saat pelantikan nanti akan ada MoU mengenai hal tersebut dengan Mendiknas, Menkominfo, Kepala BKKBN dan Wamenkes. Selain itu juga kami memiliki pilar kerja yaitu Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita yang akan  kami coba untuk merevitalisasi kembali. Selain itu ada program unggulan lainnya, yaitu penyebaran kardiolog di daerah, saya mempunyai harapan produksi  kardiolog pertahun 150 SpJP dengan senter Jakarta menyumbang 30 SpJP, Surabaya 20 lulusan, dan sisanya senter-senter lain memberikan 10 SpJP sehingga total 150 kardiolog baru. Karena kita didesak oleh pemerintah untuk penyebaran kardiolog-kardiolog di daerah. Dalam periode saya ini rencananya akan dibentuk dua atau tiga senter kardiologi baru, diantaranya Riau, Samarinda, Aceh dan Banjarmasin. Harapan saya juga di Palembang akan didirikan senter kardiologi. Penempatan kardiolog baru tersebut akan mendapatkan rekomendasi dari PERKI untuk diberikan ke Dinkes setempat, sehingga dinkes tersebut dalam mengelola penempatan kardiolog sesuai rekomendasi PERKI.
Fakta yang ada di Indonesia bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler masih tinggi. Di Negara maju, angka  kematiannya sudah menurun di bawah 10%, akan tetapi di Indonesia justru masih tinggi yaitu di atas 20%. Dengan demikian kita perlu juga untuk membuat program penurunan angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler di Indonesia menjadi di bawah 10%.

SLP:     Bagaimana langkah awal Prof dalam mengelola organisasi PERKI?
RR:    
Tentu yang pertama adalah konsolidasi sesama teman-teman dan sinkronisasi pengurus dan kordinasi sehingga terbentuk manajemen modern. Maksudnya adalah setiap departemen membuat satu program kerja dan anggaran serta sistem pelaporan yang terstandarisasi. Jadi tahap awal kita rapat kemudian membuat program kerja dan anggaran, melakukan revisi oleh pimpinan pusat dan melakukan prioritas, kita akan lihat performance index dari tiap-tiap departemen, ke daerah-daerah kita akan mencoba melalui sistem teleconference.

SLP:     Dalam menjalankan roda organisasi PERKI, apa prioritas yang akan Prof benahi?
RR:
     Pertama adalah saya akan menjalankan manajemen modern, setelah itu kita bisa menjalankan program kerja, anggaran sehingga kami tinggal mengevaluasi. Pemimpin bukan merupakan sistem “one man shows” tapi kita sebagai suatu sistem kepengurusan yang memiliki job description masing-masing.

SLP:     Apa cita-cita Prof untuk kemajuan PERKI yang berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya?
RR:
     Saya rasa sama, cuma program saja yang mungkin berbeda. Mengenai program ilmiah, saya pikir sudah berjalan sangat bagus dan tetap dipertahankan yaitu ASMIHA kerjasama dengan pihak luar, yang tetap akan kita bina, kita perbesar kerjasama dan kita perbaiki. Yang mungkin terlewatkan adalah program kemasyarakatan yang maaf “untuk bangsa ini apa yang kita lakukan?” Kita akan bekerjasama dengan media cetak seperti JawaPos dan rencananya akan ada LSM yang akan kita rangkul, juga dengan YJI mengenai program unggulan kita promotif dan preventif.

SLP:     Seperti apa konsep organisasi PERKI yang Prof inginkan, selain dari manajemen modern dan preventif-promotif?
RR:    
Yang pasti, yaitu pendidikan dan  ilmiah, pertama saya mempunyai keinginan pendidikan kardiologi memiliki standarisasi kurikulum yang sama pada semua pendidikan di Indonesia, sementara ini peran dari kolegium masih belum dilaksanakan dengan optimal. Kesan sepintas kurikulum Jakarta dipaksakan ke seluruh Indonesia, itu yang tidak benar. Misal penyakit dalam di Jakarta 6 bulan, sedangkan di Surabaya 1 tahun, sehingga terjadi perbedaan. Sebisa mungkin masalah itu dibicarakan, sehingga tidak ada perbedaan lulusan darimana SpJP itu berasal. Karena kita sebagai pusat pendidikan sudah diakreditasi sehingga masalah ini bisa kita atasi. Kedua, saya ingin ada international board examination,  setiap ujian saya ingin ada penguji asing baik dari Malaysia, Singapura atau Filipina. Sehingga pandangan internasional terhadap negara Indonesia baik dikarenakan pendidikannya sudah terakreditasi secara internasional, SpJP Indonesia juga diakui di luar, sama seperti ortopedi dan urologi yang memiliki ujian internasional. Kita dapat standarisasi nasional dan sekaligus internasional minimal ASEAN. Saya memiliki empat program unggulan, diantaranya sudah saya  sebutkan sebelumnya, manajemen modern, promotif preventif, pendidikan kurikulum dan penyebaran kardiolog.

SLP:     Tantangan apa yang mungkin Prof hadapi di kemudian hari sebagai ketua PERKI?
RR:
     Ya, yaitu kebersamaan teman-teman, saya tidak menutup mata bahwa teman-teman memiliki pekerjaan masing-masing. Akan tetapi bagi teman-teman yang sebagai pengurus pasti butuh suatu pengorbanan, saya apresiasi bahwa teman-teman yang mau bekerja di sini (PERKI) dengan segala konsekuensinya. Jabatan dengan konsekuensinya maaf seperti waktu praktek jadi lebih berkurang, uang dan pikiran mungkin juga keluar, tetapi siapa lagi yang akan memajukan dan membesarkan PERKI ini kalau bukan kita-kita ini. Sementara ini, yang saya tahu hanya ada segelintir orang saja yang berperan aktif. Yang sering kita lihat, orang hanya sebagai komentator tanpa mau memberikan kontribusi yang nyata pada PERKI, bahkan pengurus pun hanya memberikan usul tanpa mau untuk berperan aktif dalam PERKI, usul maupun komentar semua bisa tapi yang saya inginkan adalah jalan keluar bagaimana caranya mengatasi dan berperan aktif dalam perkembangan PERKI.

SLP:     Menurut Prof apa ada jalan terbaik mengenai masalah kompetensi SpPD-KKV yang mungkin saat ini bermasalah dengan kardiologi?
RR:    
Ya, jadi begini, sebetulnya itu persoalan Jakarta dan Palembang, terutama Jakarta. Jadi problemnya karena hanya di RSCM tidak ada orang dari departemen  kardiologinya. Orang-orang departemen kardiologi pada waktu yang lalu banyak yang hijrah ke RS Jantung Harapan kita. Apa jalan keluarnya? Sudah saya sampaikan kepada DIKNAS, bahwa pendidikan S1 dan pendidikan S2 (SpJP) adalah departemen kardiologi dan tetap di RSCM karena sesuai dengan struktur organisasi dari FK UI, dan RS Jantung Harapan Kita adalah RS mitra untuk pendidikan kardiologi FK UI. Secara prinsip dan de yure tidak boleh ada program pendidikan penyakit jantung yang dilakukan oleh dua institusi. Oleh karena itu, kami mengajak teman-teman PAPDI untuk memfa’atkan peluang pendidikan bagi teman-teman interne yang mau menjadi ahli penyakit jantung, mereka akan kami fasilitasi sehingga tidak ada dualisme dan kerancuan dalam pelayanan penyakit jantung di masyarakat, khususnya tentang masalah kompetensi yang dikaitkan dengan masalah hukum. Ke depan, kita harus realistis oleh karena perkembangan ilmu kedokteran akan diikuti dengan kemampuan skill serta teknologi yang maju pesat. Tidak mustahil nanti sub bagian endokrin dan sub bagian nephrologi kalau ingin maju harus menjadi departemen. Kita lihat sebelumnya departemen bedah umum yang sebelumnya sub bagian bedah orthopedi dan urologi sekarang sudah menjadi departemen orthopedi dan urologi. Mari kita berpikir ke sana supaya Indonesia menjadi lebih maju dalam ilmu kedokteran.

SLP:     Apa harapan Prof untuk Tabloid Kardiovaskuler?
RR:
     Untuk saat ini sudah bagus, mungkin bisa ditambah kolom surat pembaca dari kardiolog di daerah sehingga kita dapat mengetahui kemauan di daerah, mungkin juga dapat ditambah mitra bestari di daerah, sebisa mungkin isi tabloid tidak muluk-muluk, kalau bisa mengenai update ilmu.
(SL Purwo)

Kardiologi Kuantum (8): Roh Penelitian, Intuisi dan Kontinum Kemajuan Pemikiran

“The intuitive mind is a sacred gift and the rational mind is a faithful servant. We have created a society that honors the servant and has forgotten tha gift.”
~Albert Einstein~

BARU-baru ini Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI mengadakan Loka-Karya Pendidikan dan Penelitian di Hotel Aston Bogor, tanggal 19 dan 20 Mei 2012. Tanggal 20 Mei 2012 adalah khusus penelitan setelah sehari sebelumnya menyelesaikan masalah pendidikan.
Revitalisasi penelitian adalah kata-kata jargon dari Ibu Ketua Departemen untuk menunjukkan kegeramannya pada staf departemen yang diungkapkan dengan kepalan tangan yang digerak-gerakkan mengapa “Ruh” (“Roh” atau “Jiwa”?) penelitian belum juga merasuk melalui semangat penelitian pada seluruh staf departemen. Demikian ‘keynote speaker’ dari Ibu Ketua Departemen. Tentang roh atau jiwa penelitian akan kita bicarakan belakangan
Oleh karena itu beliau menyisipkan revitalisasi penelitian setelah lokakarya pendidikan. Nah, hari libur nasional dan hari yang terjepit nasional yang berjumlah empat hari itu dipotong dua hari untuk kegiatan departemen! Anehnya tidak ada yang menggerutu di depan pertemuan itu, mungkin di luar itu, apalagi kalau ditanyakan kepada anak, isteri/ suami mereka.
Seorang calon profesor menanyakan kepada penulis, sambil tersenyum karena beliau tidak dapat hadir, tetapi aktif di dalam persiapannya untuk menghadirkan dua pembicara, satu hadir terlambat karena mencari lokasinya membutuhkan waktu dua jam. Satu pembicara andalan peneliti mumpuni dari Jerman yang diminta untuk menyemangati penelitian internasional skala besar FKUI terpaksa tidak hadir karena mobilnya tiba-tiba rusak. Anehnya lokakarya penelitian berjalan terus, lancar, mengalir. Ketika pembicaranya datang, sesinya di stop sebentar untuk mendengarkan Sang Pembicara yang istimewa ini sekaligus tanya jawab sekitar penelitian. Pembicara ini sudah dikenal staf karena sebagai konsultan promosi S3 sbeberapa staf dan seorang direktur RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. “Begawan” Ismoyo Sunu yang arif dan bijaksana itu menjelaskan bahwa ketidak hadiran pembicara andalan tidak menjadi persoalan dan menurut keterangannya Ibu Kepala Departemen sangat puas dengan lokakarya penelitian ini, walaupun sebelumnya semua sudah harap-harap cemas.


Bagan Transenden 1: Jiwa dan Rohani Manusia [1] untuk Kardiologi Kuantum
Menurut Soemantri jiwa manusia mengungkapkan suatu keutuhan, yang mewakili suatu sifat tertentu. Memiliki beberapa perangkat jiwa dengan sifatnya yang mandiri seperti angan-angan, perasaan, keinginan, kemauan, rasa memiliki dan semangat memberi. Walaupun setiap manusia sama-sama memiliki jiwa, tetapi kemampuannya menanggapi dunia tidak sama.
Angan-angan adalah salah satu perangkat jiwa yang dapat berinteraksi dengan vitalitas lainnya yaitu kekuatan nafsu-nafsu. Interaksi tersebut dapat menimbulkan suasana perasaan menerima atau menolak untuk mencapai tujuan tertentu.[2]
Dimensi (dunia, matra)-1 adalah alam semesta di luar tubuh manusia, dimensi-2 adalah tubuh, fisik, soma, badan jasmani halus tempat beradanya pancaindra, dimensi-3 adalah jiwa, psike, badan jasmani halus, dan dimensi-4 adalah rohani, soul, spiritual, alam sejati atau pusat (hidup) imateri. Apa dan Dimana intuisi yang di sebut-sebut oleh Albert Einstein, Bill Gates, dan Steve Jobs, bagaimana peranannya dalam dunianya?
__________
  1. Purwowiyoto BS. Candra Jiwa Indonesia. Warisan Putra Indonesia. [Penerbit “ProMemori”], Jakarta 2012.
  2. Soemantri Hardjoprakoso, Prof. Dr. dr., psikater dan neurolog. Candra Jiwa Indonesia (Soenarto). Ceramah ilmiah di Universitas Gadjah Mada, Siti Hinggil, Yogyakarta, 27 Nopember 1958. Dihadiri para guru besar, dosen, mahasiswa, R. Soenarto Mertowardojo, dan tamu undangan lainnya kira-kira 800 orang.

Memang pertemuan ini dirancang menumbuhkan semangat penelitian, bukan “hukuman” bagi siapa saja, menurut sang Begawan. Sebenarnya tidak ada masalah dengan pencapaian departemen terhadap penelitian. Kordinator penelitian dan komite penelitian telah menunjukkan hasil kinerjanya yang prima. “The Up-coming Professor” Yoga Yuniadi menjelaskan bahwa posisi pencapaian departemen kardiologi dalam penelitian di fakultas kedokteran adalah nomor satu! diantara non-empat- besar, dan posisi nomor tiga dari seluruh departemen di FKUI, kekalahan tersebut bukan karena segi kualitasnya tetapi dari segi kuantitasnya. Hal yang terakhir inilah yang dipegang oleh sang Begawan dalam merancang penelitian ini atas petunjuk ibu Ketua Departemen, meningkatkan kuantitas.
Kardiologi kuantum memandang pertemuan itu dari sudut “Kontinum Kemajuan Pemikiran Departemen” .. sesuatu yang berbau filafat dan sedikit utopis ingin menyoroti hilangnya “Ruh” penelitian.
Sering kita berbicara tentang ruh atau jiwa tanpa mempertanyakannya. Apakah benar yang kita ceritakan itu memang jiwa, psyche, psike, badan jasmani halus, dan badan spiritual? Ada baiknya kita renungkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan tentang: jiwa patriot, jiwa kewirausahaan, jiwa seni, jiwa pasukan, dan sebagainya. Yang disebut baru saja diartikan sebagai suatu sifat-sifat tertentu yang dapat berubah, berkembang dan ada pasang surut-nya. Kita, mulai saat ini harus membedakan antara jiwa dan roh. (Perhatikan juga struktur utuh manusia: jasmani, jiwa, dan rohani). Kita lebih baik beranggapan bahwa roh nantinya akan kembali pada asal mula hidup sebagai sumbernya, tidak berkembang, tidak berubah, dan bersifat abadi.
Sering kita berbicara tentang jiwa tanpa mempertanyakannya. Apakah benar yang kita ceritakan itu memang jiwa, psyche, psike, badan jasmani halus, yang teoretis berada di dimensi-3 atau pusat (hidup) imateri, spiritual, alam sejatinya yang abadi di dimensi-4? Ada baiknya kita renungkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan tentang: jiwa patriot, jiwa kewirausahaan, jiwa seni, jiwa penelitian, dan sebagainya. Yang disebut baru saja diartikan sebagai suatu sifat-sifat tertentu yang dapat berubah, berkembang dan ada pasang surut-nya. Kita, mulai saat ini harus membedakan antara jiwa dan roh atau ruh. Kita beranggapan bahwa roh nantinya akan kembali pada asal mula hidup sebagai sumbernya, tidak berkembang, tidak berubah, dan bersifat abadi.
Perhatikan struktur alam semesta, dunia di sekitar kita yang dapat kita teliti melalui pancaindra dan segala peralatan penelitiannya (dimensi, dunia, matra-1). Perhatikan juga struktur utuh manusia: jasmani (dimensi-2), jiwa (dimensi-3), dan rohani (dimensi-4).
Ketika kita membicarakan jiwa pemuda, jiwa bangsa, dan seterusnya, tidak terbayangkan soal roh karena pemuda, bangsa, seni, dan kewirausahaan tidak mempunyai roh. Manusia dan juga binatang-binatang yang besar dianggap mempunyai roh. Jika yang dimaksud adalah jiwa pemuda, jiwa seni, jiwa penelitian, tentulah apa-apa yang ada pada pemuda, seni, dan penelitian, yaitu tentang pikiran, perasaan, semangat, cinta, kemampuan, kinerja, dan adaptasinya ketika mendapat kesulitan.
Secara sederhana, yang dimaksud dengan jiwa manusia ialah segala sesuatu dari manusia yang bertalian dengan daya cipta angan-angan, menghubung-hubungkan suatu konsep dengan konsep lainnya, dan kemampuannya membuat kesimpulan. Keinginan, kemauan, semangat, cita-cita, dan kemampuan adaptasi lingkungan untuk menyelamatkan hidupnya merupakan perangkat jiwa manusia. Setiap manusia mempunyai jiwa, hanya kemampuannya yang berbeda-beda.
Jiwa merupakan suatu keseluruhan dan keutuhan yang tertentu, yang mewakili suatu sifat dari manusia. Di dalam keutuhan yang kita namakan jiwa tersebut terdiri atas beberapa sifat yang mandiri, misalnya: angan-angan, perasaan, keinginan, kemauan, rasa memiliki dan semangat memberi. Selanjutnya akan menjadi jelas dan gamblang dengan mengikuti uraian berikut.
Karena jiwa merupakan suatu keutuhan, berarti memiliki batas-batasnya. Ada batas luar dan ada batas dalam. Apakah ada yang menjadi pintu gerbang ke luar dan ke dalam? Kita selalu menganggap jiwa (psike) berada di dalam badan jasmani (soma).
Bagaimana hubungan antara jiwa dan badan jasmani? Pertanyaan demi pertanyaan ini layaknya sebagai calon peneliti jiwa dipakai sebagai dasar untuk membuat beberapa jawaban sementara. Upaya awal penelitian ini dalam disiplin ilmu pengetahuan dipakai untuk menyusun hipotesis. Oleh karena itu, tidak pernah atau belum pernah diselidiki jiwa, psike (bukan roh) di luar badan jasmani.
Hubungan erat yang terjadi antara soma dan psike sudah lama dipelajari. Apabila seseorang takut maka jantung menjadi berdebar-debar. Sementara bila ia senang hatinya, maka pupil mata menjadi lebar. Atau kalau kita sedang malu, muka menjadi merah. Pada saat menunggu keputusan yang penting, perut menjadi mules, bahkan mau ke toilet. Begitu pula bila perut kenyang menjadi senang, sebaliknya kalau perut sedang kosong menjadi lekas marah.

Gambar: Psikosomatik
Manifestasi kepribadian pada penyakit psikosomatik. Emosi menyebabkan perubahan frekuensi dan irama denyut jantung, sesuai dengan penampilannya.
__________
http://24.media.tumblr.com/tumblr_ksto5zpSnX1qznt2yo1_500.jpg cited July, 2011.

Ketika sedang sakit panas, pikiran tidak dapat diatur, dan ngawur. Banyak faktor psikis yang pengaruhnya besar terhadap penyakit badan jasmani, misalnya pada asthma bronkhiale (asma saluran napas), hipertiroid (aktifnya kelenjar tiroid di leher), urtikaria (gatal-gatal di kulit), ulkus peptikum (tukak lambung), kolitis (radang usus besar), hipertensi (tekanan darah tinggi), migren (nyeri sebagian kepala), dan sebagainya.
Karena hubungan erat ini, tidak mengherankan ketika disiplin ilmu penyakit dalam, psikologi klinik, dan psikiatri berkolaborasi dalam keilmuan. Bahkan salah satu di antaranya ada yang mengembangkan sub-spesialis psikosomatik, dengan konsepnya yang khas, sebagai sarana pendalaman ilmu pengetahuan (yang baru). Tidak ada salahnya, departemen kardiologi dan kedokteran vaskular mulai memikirkan tentang pendekatan kardiologi kuantum, hanya bedanya adalah mengelaborasi dunia atau dimensi ke-3 dan dimensi ke-4.
Budhi S. Purwo-wiyoto

Tantangan dalam Penatalaksanaan Diabetes

“Pendekatan individual pasien sebagai tantangan dalam penatalaksanaan diabetes” 

DIABETES melitus merupakan suatu penyakit degeneratif yang berjalan makin lama makin profresif. Penatalaksanaan diabetes yang tidak optimal akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi jangka panjang seperti makro dan mikrovaskular serta komplikasi jangka pendek seperti hipoglikemia, koma ketoasidosis diabetik, dan lain-lain. Tantangan dalam penatalaksanaan diabetes ini adalah dengan menggunakan pendekatan individual pasien (patient-centered approach). Hal ini dibahas dalam salah satu workshop pada seminar 6th Diabetes, Obesity and Cardiovascular Link 2012 yang diadakan di Novotel pada tanggal 29 Juni 2012.

Prof. dr. Djoko Wahono, SpPD-KEMD

Prof. dr. Djoko Wahono, SpPD-KEMD mengatakan bahwa banyak dokter spesialis merasa bingung dalam menentukan strategi yang optimal terhadap pasien mereka. Manajemen hiperglikemia pada diabetes melitus tipe 2 menjadi semakin kompleks dan dalam keadaan tertentu timbul perbedaan pendapat dalam manajemen ini. Perbedaan ini mencakup dalam hal efek samping obat dan kemampuan potensial untuk mengontrol kadar gula darah dalam hal komplikasi makrovaskular.
Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis ditegakkan melalui 3 cara:
  1. Jika keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus.
  2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik.
  3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) > 200 mg/dl. Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan gukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

ADA 2011 telah memasukkan kadar HbA1c > 6.5% sebagai kriteria diagnosis diabetes melitus. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau diabetes melitus, maka dapat digolongkan ke dalam toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). TGT ditegakkan apabila pemeriksaan nilai TTGO antara 140-199 mg/dl. Diagnosis GDPT ditegakkan apabila steleh pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl dan TTGO gula darah dalam 2 jam < 140 mg/dl.
“Berbagai manajemen telah dikembangkan oleh berbagai organisasi. Manajemen ini mengarah pada suatu pendekatan yang dikenal dengan pendekatan individual pasien. Pendekatan ini melihat berdasarkan informasi keuntungan dan kerugian suatu obat pada seorang pasien. Pendekatan individual ini didefinisikan sebagai menyediakan penatalaksanaan yang menghormati pasien dan memberikan hasil yang terbaik kepada pasien. Pada akhirnya pasien diajak untuk bekerja sama dalam memutuskan gaya hidup yang mereka inginkan dan penggunaan obat-obatan yang mereka butuhkan,” kata Prof. dr. Djoko Wahono.
dr. Nathalia, SpPD-KEMD mengatakan bahwa berdasarkan rekomendasi ADA pada jurnal diabetes care 19 April 2012, metformin merupakan fokus pada lini pertama pemberian obat hipoglikemia oral. Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dl) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu pemberian dengan cara titrasi memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat. Dosis metformin harian diberikan dalam rentang 500-2000 mg. Evaluasi terapi dilakukan setelah 3 bulan. Apabila tidak berhasil maka dilakukan kombinasi dengan satu kemudian dua sampai tiga obat hipoglikemia oral. Berdasarkan jurnal diabetes care yang terbaru, pilihan obat dapat dilakukan secara acak namun berbeda mekanisme kerja.
Apabila kombinasi tiga obat hipoglikemia oral tidak dapat memberikan hasil yang diinginkan maka dapat selanjutnya dikombinasi dengan insulin basal. Pesan penting yang diambil dari terapi insulin adalah bahwa insulin akan menurunkan glukosa dan HbA1c, semua insulin akan terkait dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia, semakin besar dosis maka semakin rendah HbA1c dan juga semakin tinggi efek sampingnya, dan secara umum analog insulin kerja panjang akan mengurangi insidensi hipoglikemia pada malam hari, dan analog insulin kerja cepat akan mengurangi kadar glukosa post prandial, namun keduanya tidak mempengaruhi secara signifikan kadar HbA1c.
Pada akhirnya Prof. dr. Djoko Wahono, Sp.PD-KEMD mengatakan perencanaan terapi mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada pasien.
(Bogie Palinggi)

Hubungan Respon Tekanan Darah Saat Olah Raga Terhadap Faktor Risiko dan Fungsi Vaskuler pada Studi Jantung Framingham

“Peningkatan kekakuan arterial dan terganggunya fungsi endotel secara signifikan berhubungan dengan respon tingginya tekanan darah sistolik saat olah raga”.

TEKANAN darah saat olah raga merupakan penanda penting risiko penyakit kardiovaskuler yang dihubungkan dengan insiden hipertensi, infark miokard, stroke dan mortalitas kardiovaskuler pada pasien tanpa penyakit jantung koroner.
Kebalikan tekanan darah puncak saat olah raga, tekanan darah saat olah raga yang terukur selama latihan submaksimal memperlihatkan respon fisiologis aktivitas fisik rendah ke sedang dihubungkan secara erat dengan tekanan darah ambulatory, tekanan darah rerata harian dan kerusakan organ target.
Pengetahuan mengenai hubungan klinis dan vaskuler dengan respon tekanan darah terhadap olah raga tingkat sedang mungkin dapat membantu pemahaman berkembangnya hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri dan penyakit kardiovaskuler. Walaupun demikian, prediktor tekanan darah saat olah raga tidak terlalu diketahui pada komunitas individu sendiri.
Individu dengan hipertensi sebagai respon saat olah raga seringkali dikarakteristikan sebagai toleransi olah raga yang terbatas, hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri. Kesemuanya dapat mengakibatkan abnormalitas fungsi vaskuler, walau hipotesis ini terbatas data penelitiannya.
Adapun peningkatan kekakuan vaskuler dan gangguan fungsi endotel sampai terjadinya peningkatan respon tekanan darah saat olah raga tidak banyak dievaluasi pada sampel komunitas besar. Peneliti berpendapat kekakuan arteri yang abnormal, fungsi mikrovaskuler dan fungsi endotel mungkin saja dihubungkan dengan peningkatan respon tekanan darah sistolik terhadap olah raga.
Menggunakan data keturunan dari studi Framingham, dilakukanlah studi oleh Lyaas et al. untuk mengevaluasi hubungan cross sectional dari respon tekanan darah saat olah raga treadmill dengan faktor risiko penyakit kardiovaskuler dan pengukuran pulsasi arteri, tekanan arteri rerata, kekakuan arteri dan fungsi endotel.
Pasien dari keturunan studi kohort Framingham (n = 2115, 53% wanita, usia rerata 59 tahun) dilakukan tes latihan submaximal (pertama dua tingkat protocol Bruce), tonometri aplanasi dan tes dilatasi diperantarai aliran arteri brakial. Peneliti menghubungkan respon latihan atau olah raga terhadap tekanan darah sistolik dan diastolic pada tingkat dua protocol Bruce terhadap faktor risiko kardiovaskuler dan pengukuran fungsi vaskuler.
Pada model regresi linear multivariat, tekanan darah sistolik saat latihan dihubungkan secara positif dengan usia, tekanan darah saat berdiri, merokok, indeks massa tubuh dan rasio kolesterol total dengan HDL (p < 0.01 untuk semuanya), hubungan yang sama juga ditemukan pada tekanan darah diastolic saat latihan.
Kecepatan gelombang pulsasi femoral-karotis (p = 0.02), tekanan nadi sentral (p < 0.0001), tekanan arteri rerata (p = 0.04) dan nilai dasar aliran brakial (p = 0.002) secara positif dihubungkan dengan tekanan darah sistolik saat latihan, dimana dilatasi diperantarai aliran bertolak belakang (p < 0.001). Untuk tekanan darah diastolik saat latihan, amplitudo gelombang tekanan dihubungkan secara negatif (p < 0.0001) dan tekanan arteri rerata dihubungkan secara positif (p < 0.0001).
Studi ini memperlihatkan faktor risiko kardiovaskuler (tekanan darah saat istirahat, merokok, kolesterol dan indeks massa tubuh) berkorelasi penting dengan respon tekanan darah selama tes latihan atau olah raga submaksimal. Yang lebih penting, studi ini menunjukkan peningkatan kekakuan arteri dan gangguan fungsi endotel dihubungkan dengan tekanan darah saat latihan, yang mendukung adanya abnormalitas fungsi vaskuler mungkin berperan dalam peningkatan tekanan darah sebagai respon terhadap latihan. (Circulation 2012; 125: 2836-43)
SL Purwo

Jalan Kaki: Langkah Awal Upaya Preventif PJK

PROFESI kesehatan mendapat tantangan untuk meresepkan aktivitas fisik dengan pandangan bahwa pada umumnya masyarakat menyukai hidup santai. Jalan kaki memang sesuai untuk masyarakat yang kurang aktif dan dapat dilaksanakan oleh pria maupun wanita pada seluruh lapisan masyarakat dan semua umur dengan risiko kecelakaannya ringan. Patut diperhatikan manfaat kesehatan dari jalan kaki dan promosi meningkatkan perilaku jalan kaki.
Studi intervensi telah mendukung manfaat kesehatan, memperlihatkan perbaikan penanda klinis dan biologis setelah periode pengamatan jangka pendek. Jalan kaki kelihatannya memiliki manfaat kesehatan ketika dihubungkan dengan seluruh strata usia, baik pada pria, maupun wanita. Program-program yang berdasarkan komputer, pedometer, dan telpon seluler meningkatkan semangat jalan kaki. Peranan tetangga, tempat bekerja mungkin sangat penting untuk meningkatkan perilaku jalan kaki.
Tulisan dari Murtagha E, Murphy MH, dan Boone-Heinonenc J., pada Current Opinion menyimpulkan bahwa jalan kaki memegang peranan sangat penting untuk meningkatkan upaya preventif primer maupun sekunder terhadap penyakit kardiovaskular. Dokter-dokter dapat meresepkan jalan kaki untuk membantu pasien mencapai rekomendasi aktivitas fisiknya dan membantu rekomendasi aktivitas yang memungkinkan untuk dilaksanakan.
Walaupun kegunaan aktivitas fisik dan panduannya telah dipublikasikan  secara umum tetapi proporsi besar dari masyarakat tidak menjalankannya untuk mencapai derajat kesehatannya. Beberapa kritik yang terdengar pada perilaku ini adalah “buang-buang waktu” dan “bukan berkarakter sport”, daripada salah satu pillihan berolahraga.
Jalan kaki adalah jenis olah raga yang paling sering dilaporkan sebagai aktivitas fisik pada orang dewasa dan sering dicatat sebagai jenis olahraga dengan intensitas sedang yang dapat dicapai oleh orang dewasa dengan ukuran 150 menit per minggu.
Para dokter dan ahli kesehatan masyarakat memiliki posisi untuk merekomendasikan kepada klien dan pasien  untuk meningkatkan perilaku jalan kaki sehari-hari.
Studi epidemiologi menunjukkan walaupun peningkatan kebiasaan jalan kaki hanya sedikit saja lebih baik hasilnya dibandingkan sama sekali tidak berjalan kaki, dan apabila ditambahkan dosisnya akan lebih bermanfaat bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah. Pasien mendapatkan keuntungan jangka pendek pada perbaikan kebugaran, komposisi tubuh, tekanan darah dan profil lemaknya. Keuntungan jangka panjangnya adalah turunnya risiko PJK, serangan jantung dan angka kematian.
Pasien dianjurkan jalan kaki 150 menit seminggu, 5 x @ 30 menit seminggu sebagai pencapaian minimal. Pedometer sangat mudah penggunaannya dengan dosis 10.000 langkah setiap hari akan bermanfaat pada masyarakat luas. Menggunakan transportasi massal, jalan kaki ke kantor sebagai alternatif transportasi akan meningkatkan kesehatan. (Current Opinion in Cardiology 2010, 25: 490-496)
Budhi Setianto

Liputan Peluncuran XARELTO: Pilihan Antikoagulan Baru pada Kasus Pasien dengan Atrial Fibrilasi

SABTU, 7 juli 2012 diadakan simposium yg bertajuk From study to practice: Changing the mindset on prevention of stroke in patients with Atrial Fibrilation (AF): Focus on Rivaroxaban di Hotel Grand Hyatt Jakarta, simposium yang membahas tentang pemakaian anti koagulan pada praktik sehari-hari ini tidak hanya diselenggarakan di Jakarta akan tetapi di dua kota lain di Indonesia yakni Medan dan Semarang. Pemakaian antikoagulan khususnya rivaroxaban dengan nama paten xarelto dikupas tuntas dari tiga perspektif yaitu dari sudut ahli penyakit dalam, kardiologi dan neurologi dengan moderator Prof.dr.Arry Harryanto, Sp.PD-KHOM dan dr.RMW Kaligis, Sp.JP (K), FIHA. Simposium berlangsung dengan sangat menarik dan disambut dengan antusias yang tinggi dari peserta dengan beberapa pertanyaan yang diajukan.

Pembicara dan moderator simposium
 
Atrial Fibrilasi (AF) merupakan bentuk aritmia jantung yang paling sering dijumpai dan dihubungkan dengan keadaan pro-trombotik akibat turbulensi aliran darah pada atrium yang pada akhirnya menyebabkan terbentuknya emboli. Emboli yang terbentuk akibat AF yang berkepanjangan perlahan akan dibawa ke aliran cerebrovascular yang dapat mengakibatkan stroke kardioemboli. Risiko terjadinya stroke pada kasus AF 1,5 % pertahun pada usia 50-59 tahun dan sebanyak 23,5 % pada usia 80-89 tahun.

 dr. Erwinanto, SpJP(K), FIHA
Materi pembuka yang disampaikan oleh dr.Erwinanto,Sp.JP.FIHA dengan judul Atrial Fibrilation : Diagnosis, Pathogenesis and Primary Stroke Prevention mengatakan bahwa terbentuknya Atrial Fibrilasi oleh karena adanya substrat dan trigger. Substrat maksudnya adalah fibrosis atrium yang mengakibatkan ganguan konduksi sinyal listrik jantung yang menyebabkan mekanisme re-entrant. Fibrosis atrium dapat disebabkan baik karena kondisi iskemik ataupun adanya peregangan atrium pada kasus gagal jantung. Sedangkan trigger disebabkan oleh karena pembentukan impuls yang terlalu banyak oleh vena pulmonalis. Impuls berlebihan yang dibentuk di SA node akan melewati AV node yang sedang dalam keadaan refrakter sehingga tidak semua impuls diteruskan yang mengakibatkan gambaran irregular pada EKG.
Studi AFFIRM (Atrial Fibrilation Follow Up Investigation of rhytme management) tahun 2002 menunjukkan bahwa yang menjadi strategi pada penatalaksanaan atrial fibrilasi adalah kontrol rate. Kesimpulan yang didapatkan adalah kontrol rate disertai pemberian antikoagulan merupakan strategi terapi pada pasien AF dengan faktor resiko terjadinya stroke atau kematian dan lebih baik daripada kontrol ritme.
Prognosis dari AF paroksismal lebih baik daripada AF sustained, meskipun demikian AF paroksismal tetap diterapi oleh karena mempunyai risiko yang sama terhadap kejadian stroke emboli. Pada setiap kasus AF kita harus membuat stratifikasi terhadap kejadian stroke dan trombo-emboli. Assesmen risiko tersebut dapat dinilai melalui CHA2DS2VASc score yang merupakan akronim dari Congestive heart failure, Hypertension, Age >75 (doubled), Diabetes, stroke (doubled), vascular disease, age 65-74, sex category (female) dengan memakai system poin yang akan dijumlahkan dari masing masing faktor risiko. CHA2DS2VASc score berguna sebagai acuan dalam pemilihan tromboprophylaxis pada pasien AF. Pasien yang memiliki satu faktor risiko mayor atau lebih dari dua factor risik non-mayor yang relevan (CHA2DS2VASc score = 2) maka  pilihan tromboprofilaksis adalah antikoagulan oral (OAC), sedangkan pasien yang memiliki satu faktor risiko non mayor yang relevan (CHA2DS2VASc score = 1) maka  pilihan tromboprofilaksis bisa dengan antikoagulan oral atau aspirin 75 hingga 325 mg perhari (aspirin yang sering dipakai dalam regimen dosis adalah 75-160 mg perhari oleh karena pada dosis tersebut sudah dapat menghambat agregasi trombosit dengan lengkap), namun lebih dianjurkan pemakaian antikoagulan oral. Pasien yang tidak memiliki faktor risiko sama sekali (CHA2DS2VASc score = 0) tidak dianjurkan pemberian tromboprofilaksis.
Materi kedua disampaikan pembicara dari luar Indonesia yaitu dr. Jafra Cox yang membahas tentang aplikasi klinis pemakaian rivaroxaban (xarelto) yang bekerja  sebagai inhibitor langsung faktor Xa mengawali presentasinya dengan beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan AF. Studi ROCKET (Rivaroxaban once daily oral  factor X inhibition compared with vitamin K antagonist for prevention of stroke and embolism trial in AF) dengan randomized double blind yang membandingkan rivaroxaban 20 mg dan warfarin yang diberikan pada pasien AF dengan minimal memiliki dua faktor risiko yaitu gagal jantung, hipertensi, usia diatas 75 tahun dan diabetes atau adanya stroke, TIA atau emboli sistemik. Kesimpulan dari rocket study bahwa pada manajemen kasus AF, antikoagulan rivaroxaban non-inferior terhadap warfarin untuk pencegahan stroke dan tromboemboli tanpa membutuhkan monitoring INR selain itu rivaroxaban (xarelto) secara signifikan mengurangi risiko stroke hemoragik dan emboli sistemik dibandingkan dengan warfarin dan mempunyai efek pendarahan intrakranial/fatal yang lebih sedikit dibanding warfarin serta secara klinis hanya sedikit interaksi dengan berbagai obat. Akan tetapi rivaroxaban memiliki keterbatasan yaitu tidak adanya anti dotum jika terjadi perdarahan.
Selain itu dibahas juga manajemen pemberian anti trombotik yang disertai dengan coronary artery disease (CAD) baik itu stable CAD, recent ACS dan pasien yang menjalani Percutaneus Coronary intervention (PCI) berdasarkan Canadian Cardiovascular Society Atrial Fibrilation Guidelines 2010 : Prevention of stroke and Thromboembolism in Atrial Fibrilarion and Atrial Flutter mengatakan bahwa pemilihan anti-trombotik berdasarkan CHADS2 score. Pasien stable CAD dengan score 0 hanya diberikan aspirin, sedangkan jika score lebih besar sama dengan 1 diberikan monoterapi anti koagulan. Pasien dengan recent ACS dengan score lebih kecil sama dengan 1 diberi kombinasi aspirin dan clopidogrel, sedangkan jika lebih besar sama dengan 2 diberi triple anti trombotik. Pasien yang menjalani PCI jika score lebih kecil sama dengan 1 diberikan kombinasi aspirin dan clopidogrel, sedangkan jika score lebih besar sama dengan 2 diberikan triple antitrombotik.
Sebelum pemberian antikoagulan pertimbangkanlah beberapa hal berikut yaitu usia lanjut dimana risiko perdarahan meningkat pada pasien geriatrik, kedua adalah fungsi ginjal oleh karena obat antikoagulan di ekskresi oleh ginjal berikutnya adalah evaluasi stroke dan risiko perdarahan dan juga perlu dilakukan re-evaluasi setelah prosedur diagnostik atau bedah. Jadi dosis profilaksis rivaroxaban yang direkomendasikan untuk pencegahan stroke adalah 20 mg, satu tablet sekali sehari, jika terdapat gangguan ginjal dosis dapat dikurangi menjadi 15 mg, satu tablet sekali sehari
Dalam pemberian antikoagulan secara rutin terhadap pasien hendaknya dilakukan monitoring antara lain adalah nilai kepatuhan atau adherensi pasien dalam mengkonsumsi antikoagulan berikutnya adalah evaluasi fungsi ginjal oleh karena antikoagulan diekresi oleh ginjal. Monitoring mencakup nilai Creatinin Clearance (CrCl), jika CrCl < 15 ml/menit maka segera hentikan konsumsi antikoagulan rivaroxaban, jika CrCl < 30 ml/ menit maka segera hentikan konsumsi antikoagulan debigatran. Selain itu perlu juga dilakukan monitoring terhadap parameter laboratium dan tampilan klinis yang relevan.
Materi penutup disampaikan oleh dr. M. Kurniawan, Sp.S, neurolog tersebut mengatakan bahwa penyebab utama stroke Iskemik oleh karena kardioemboli adalah AF. Berdasarkan Framingham study mengatakan bahwa AF meningkatkan risiko kejadian stroke sebesar lima kali lipat dan memperberat stroke itu sendiri. Beliau juga mengatakan bahwa terdapat kecenderungan untuk rekurensi serangan stroke setelah kejadian stroke iskemik atau transient ischemic attact (TIA). Selama 30 hari paska stroke rukurensi terjadinya TIA sebanyak 4-8 % dan 3-10 % pada stroke, dan dalam 5 tahun rekurensi pada TIA terjadi sebanyak 24-29% dan pada stroke sebanyak 25-40%. Fase setelah stroke akut pemberian rivaroxaban dimulai berdasarkan tingkat keparahan stroke. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan imaging terlebih dahulu untuk memastikan apakah stroke perdarahan atau bukan. Kasus TIA jika pada imaging terbukti tidak ada perdarahan serebral, rivaroxaban dapat segera diberi, sedangkan pada kasus yang berat rivaroxaban diberikan 2 minggu setelah onset stroke. Pada kasus ringan pemberian awal 3-5 hari setelah onset, sedangkan kasus moderate 5-7 hari setelah onset. Rivaroxaban (xarelto) disini perannya sebagai secondary prevention pada TIA dan stroke.
Jika terjadi perdarahan karena antikoagulan, langkah yang dapat dilakukan adalah hentikan segera penggunaan obat, kontrol perdarahan dengan tekanan atau hemostasis secara bedah, periksa aPTT/PT jika memanjang maka obat segera dihentikan, Hemodialisis kecuali pada antikoagulan jenis rivaroxaban tidak akan berkhasiat oleh karena rivaroxaban terikat dengan protein.
Akhir acara diadakan diskusi panel dengan berbagai pembicara dari berbagai jenis spesialisasi membahas pertanyaan pertanyaan yang diajukan kepada pembicara baik dari Jakarta sendiri maupun yang lagi didaerah melalui media interaktif langsung. Prinsip terpenting dalam memberikan antikoagulan adalah range terapi atau therapeutic window oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium yang menunjang sebelum pemberian antikoagulan serta saat monitoring terapi. Seperti pada pemberian heparin maka diperiksa terlebih dahulu aPTT dimana nilai normalnya 1-1,5x kontrol, pemberian rivaroxaban perlu pemeriksaan factor Xa dimana nilai normalnya 0,3-0,7 dan warfarin perlu monitoring INR.
 (Andika Rizki Lubis, Haikal, SL Purwo)

Proteksi Vaskular yang Dimiliki EECP Tidak Hanya Hemodinamik

PENGALAMAN klinik berbasis penelitian terhadap Enhanced External Counter Pulsation (EECP) bersifat non invasif, aman, relatif murah, dan bermanfaat untuk terapi penyakit jantung koroner. Walaupun demikian, pengertian kita tentang mekanisme EECP yang pasti masih sebagian saja dimengerti. Efek hemodinamik yang dimaksud adalah sebagai mekanisme primer. Pengertian kita adanya shear stress inilah yang meningkatkan efek EECP terhadap dinding pembuluh darah diduga memiliki efek proteksi, memperbaiki vaskular, dan anti skelerosis. Peningkatan terhadap shear stress endotel dinding pembuluh darah akibat EECP tersebut juga meningkatkan perbaikan fungsi dan morphologi endotel, mengurangi stress oksidatif dan peradangan, dan mengakibatkan potensi angiogenesis serta vaskulogenesis dikemudian hari. Potensi jangka menengah dan jangka panjang ini berkembang dari pengertian kita terhadap peningkatan efek shear stress terhadap pembuluh darah.
EECP yang menggunakan panduan elektrokardiogram untuk mengembang kempiskan balon pemijatnya secara non infasif berturutan dari betis menuju pangkal paha pada tekanan supra-sistolik selama diastol dan secara bersamaan mengempiskan balon sekaligus selama sistol. Efek hemodinamik EECP adalah penguatan diastolik dan pelepasan beban sistolik, meningkatkan venous return, menghasilkan peningkatan cardiac output termasuk meningkatkan aliran darah pada berbagai jaringan vaskular, termasuk arteri koroner.
Pengalaman klinik EECP yang terdukomentasi oleh beberapa penelitian skala kecil mengurangi angina dan penggunaan nitratnya, meningkatkan toleransi latihan fisik, bermanfaat bagi efek psiko-sosial dan memperbaiki kualitas hidup, sekaligus meningkatkan waktu latihan yang di induksi oleh segmen ST depresi, dan memperbaiki kelainan perfusi miokard. Pada tahun 1999, Arora dkk melaporkan kegunaan klinik dari EECP sebagai hasil dari penelitian pertama yang menggunakan metode acak, tersamar ganda yang dikenal sebagai MUST-EECP, Multicenter Study of Enhanced External Counter Pulsation. Substudinya memperlihatkan perbaikan yang berarti pada kualitas hidup setelah diikuti selama 12 bulan. Pada Registri pasien internasional (IEPR) dan konsortium EECP klinik, kegunaannya telah dibuktikan pada populasi yang heterogen yang terlihat pada praktek klinik. Lebih jauh lagi pasien dengan respon klinik awal yang diharapkan akan menikmati kegunaan EECP sampai 5 tahun. Perhimpunan Jantung Amerika merekomendasikan EECP begitu juga Ikatan Dokter China sebagai intervensi Kelas IIb intervensi pengobatan angina pektoris refrakter (RAP), sementara itu Perhimpunan Kardiologi Eropa memandang sebagai modalitas yang menarik untuk mengobati RAP dan meminta penelitian klinik lainnya agar lebih membulatkan kesimpulan pada peranannya dalam mengobati RAP.
Walaupun pengalaman berlanjut, mekanisme pasti kegunaan EECP untuk sebagai anti angina yang handal dan efek vasoprotektifnya masih sangat sedikit dimengerti. Meskipun demikian, akhir-akhir ini dalam bidang biologi vaskular memiliki ruang pandang ke dalam tentang kegunaan klinisnya EECP. Kebanyakan studi memusatkan pandangan pada sel endotel vaskular dan hubungannya dengan shear stress akibat EECP pada penyakit atherosklerotik.
Kiernan dkk melaporkan bahwa hematopoetik, justru bukan endotel, sel-sel progenitor secara nyata termobilisasi sebagai respon terhadap terapi EECP dan berhubungan dengan perbaikan klinis. Buschmann melaporkan penelitian Arteriogenesis Network Trial tentang adanya fungsi stimulasi arteriogenesis dalam hubungannya dengan indeks flow kolateral dan fractional reserve flow-nya. Tentu saja fenomena semacam ini secara komplit masih memerlukan studi lanjut tetapi laporan kedua peneliti tersebut memperkuat pendapat bahwa shear stres pada EECP berperanan pada angiogenesis dan atau vaskulogenesis.
Dengan studi literatur yang telah ada, penulis ini menyimpulkan potensi mekanisme yang patut diduga sebagai kegunaan jangka menengah dan panjang EECP dalam lingkup klasik hemodinamik dan pengaruh shear stress akibat EECP menuju peningkatan venous return dan pengosongan sistolik agar terjadi peningkatan cardiac output. Perfusi koroner juga meningkat akibat aliran retrograd diastolik. Adanya beda tekanan pada daerah oklusi, meningkatkan kolateral kapiler, pada sisi lainnya pelepasan growth factor memacu angiogenesis dan arteriogenesis juga mengarah ke pembentukan kolateral kapiler.
Yang menarik dari meningkatnya shear stress adalah merangsang aktifasi neurohormonal sehingga NO meningkat dan menurunkan: BNP, ANP, ET-1, ACE, ANG II, yang kesemuanya itu memperbaiki fungsi endotel, dan akhirnya menurunkan peradangan.
Pada sudut pandang permainan antara vasodilatasi dan angiogenesis, yang menjadi fakta bahwa vasodilatasi berperanan dalam angiogenesis karena berperanannya NO yang memiliki properti vasodilatasi, dipromosi oleh fungsi endotel dan bioavailibiltas NO, yang tercapai karena adanya peningkatan shear stress. Penelitian pada anjing kolateralnya memang meningkat dengan cepat dibanding pada manusia, Tetapi harus diingat bahwa ekstrapolasi hasil penelitian tersebut pada manusia masih harus menjadi pertanyaan. (Yang D, Wu G. Vasculoprotective properties of enhanced external counterpulsation for coronary artery disease: Beyond the hemdinamics. Int J Cardiol (2012), doi: 10.1016/j.ijcard.2012.04.003)
Budhi Setianto

Ticagrelor vs Clopidogrel pada Pasien ACS dan Riwayat Stroke atau TIA

PASIEN dengan sindroma koroner akut (ACS) dan riwayat stroke atau transient ischemic attack (TIA) memiliki peningkatan risiko terjadinya kejadian kardiak rekuren termasuk kematian dan infark miokard serta perdarahan intracranial.
Clopidogrel yang dikombinasi dengan aspirin telah digunakan secara sukses untuk mencegah kejadian thrombosis pada pasien ACS, tetapi pasien dengan riwayat stroke tetap memiliki risiko tinggi komplikasi iskemik dan perdarahan, termasuk peningkatan risiko perdarahan intracranial.
Ticagrelor adalah inhibitor oral nontienopiridin P2Y12 yang aktif setelah di absorbs dan mengikat secara langsung dan bersifat reveersibel terhadap reseptor tersebut, yang memberikan efek lebih cepat, tinggi dan konsisten inhibisi platelet dibandingkan clopidogrel.
Studi PLATO (the PLATelet inhibition and patient Outcomes) menunjukkan ticagrelor lebih superior dibandingkan clopidogrel untuk mencegah kematian akibat kardiovaskuler, infark miokard atau stroke tanpa peningkatan yang signifikan pada semua kejadian perdarahan mayor pada populasi luas pasien ACS.
Tingginya angka perdarahan mayor yang tidak berhubungan dengan bedah pintas koroner diobservasi pada kelompok ticagrelor. Perdarahan fatal didapatkan 0.3% pada kedua kelompok baik ticagrelor maupun clopidogrel. Tetapi lebih banyak pasien memiliki perdarahan intracranial fatal pada kelompok ticagrelor (11 dari 9.235) dibandingkan clopidogrel (1 dari 9.186).
Obat antitrombotik yang baru dan lebih poten harus dievaluasi dengan keseimbangan antara efikasi dan keamanan, terutama pada pasien yang lebih lemah.
Untuk mengetahui efikasi klinis dan keamanan ticagrelor dibanding clopidogrel pada pasien riwayat stroke atau TIA dilakukanlah analisis subkelompok dari studi PLATO tersebut.
Mengevaluasi efek pengobatan ticagrelor dibandingkan clopidogrel pada pasien dengan ACS dengan dan tanpa riwayat stroke atau TIA. Dari 18.624 pasien, 1.152 (6.2%) memiliki riwayat stroke atau TIA.
Pasien tersebut memiliki risiko infark miokard (11.5% vs 6.0%), kematian (10.5% vs 4.9%), stroke (3.4% vs 1.2%) dan perdarahan intracranial (0.8% vs 0.2%) dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat stroke atau TIA.
Di antara pasien riwayat stoke atau TIA, pengurangan hasil akhir primer dan mortalitas total 1 tahun dengan ticagrelor dibandingkan clopidogrel adalah konsisten dengan seluruh hasil studi: 19.0% vs 20.8% (HR 0.87; 95%CI 0.66-1.13; p = 0.84) dan 7.9% vs 13.0% (HR 0.62; 95% CI 0.42-0.91).
Kejadian perdarahan pada keseluruhan studi PLATO adalah sama: 14.6% vs 14.9% (HR 0.99; 95% CI 0.71-1.37) dan perdarahan intracranial tidak sering terjadi (4 vs 4 kasus).
Pasien ACS dengan riwayat stroke atau TIA mempunyai jumlah yang banyak pada subkelompok tersebut, mempunyai kecenderungan bertambah buruk hasil akhir klinis, dan menjadi tantangan kemampuan klinis kita.
Analisis terkini dari risiko tinggi subkelompok pasien riwayat stroke atau TIA memperlihatkan lebih poten dan konsisten inhibisi agregasi trombosit dengan pengikatan yang reversibel reseptor P2Y12 dari ticagrelor mengurangi kejadian iskemik  tanpa peningkatan yang signifikan dari seluruh komplikasi perdarahan mayor.
Faktanya, makin poten efek anti trombotik risiko perdarahan intracranial atau stroke fatal adalah rendah dan mortalitas total secara signifikan berkurang pada ticagrelor. Pengobatan dengan ticagrelor seharusnya tidak ditunda pada pasien ACS dengan riwayat stroke iskemik atau TIA. (Circulation 2012; 125: 2914-21)
SL Purwo