pita deadline

pita deadline

Kamis, 15 Januari 2015

Penyakit Arteri Koroner Nonobstruktif Berkaitan dengan Peningkatan Progresif Angka Infark Miokard dan Mortalitas dalam 1 Tahun

Diterjemahkan dari heartwire oleh Arindya Rezeky

PENYAKIT arteri koroner nonobstruktif berhubungan dengan peningkatan risiko infark miokard dalam 1 (satu) tahun diban­dingkan dengan individu tanpa adanya gangguan koroner, berdasarkan hasil analisis besar yang dilakukan pada pasien di sistem kesehatan Veteran Affairs (VA).
Beberapa peneliti juga melakukan obsevasi secara progresif bahwa terdapat angka yang lebih tinggi pada individu yang mengalami infark dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif pada satu, dua, atau tiga pembuluh darah, hal tersebut menunjukkan bahwa setelah pemeriksaan dasar karakteristik pasien, penyakit koroner nonobstruktif berkaitan dengan peningkatan risiko infark miokard secara signifikan dalam 1 tahun dibandingkan pasien tanpa penyakit arteri koroner.
Ketua peneliti dr. Thomas Maddox (Pusat Medis Denver VA, CO) mengatakan bahwa hasil tersebut berbanding lurus dengan dasar biologis dari penyakit arteri koroner dan konsisten dengan studi biologik sebelumnya yang mengatakan bahwa mayoritas kejadian infark miokard berkaitan dengan stenosis nonobstruktif.
Beliau mengatakan bahwa ketika klinisi melakukan angiografi koroner, fokus pada umumnya adalah melihat penyakit obstruktif untuk menentukan penyebab angina dan untuk menentukan apakah pasien merupakan kandidat untuk dilakukan PCI elektif. Namun, menurut Maddox hal ini menjadi suatu “pesan” penting yang disampaikan untuk kardiologis, dokter layanan primer, atau pasien yang dilakukan angiogram koroner dengan hasil hanya stenosis nonobstruktif.
Untuk pasien-pasien ini, “Memang benar bahwa stenosis nonobstruktif mungkin tidak menyebabkan nyeri dada dan mungkin anda bukan kandidat untuk dilakukan PCI, tapi itu bukan berarti anda baik-baik saja”, kata Maddox. “Hanya saja anda tidak perlu PCI pada saat itu. Hal yang anda butuhkan adalah pencegahan farmakoterapi dengan statin dan aspirin. Jika anda perokok, berhentilah merokok. Semua gaya hidup sehat yang kita tahu dapat membantu”
Studi ini dipublikasikan pada 5 November 2014 oleh Journal of the American Medical Association.


Analisi Besar dari VA Healthcare Database
Peneliti-peneliti mengumpulkan data penyakit nonobstruktif setelah adanya program Clinical Assessment, Reporting, and Tracking (CART) VA. Program CART me­rekam data anatomik dari seluruh angiogram koroner dan menelusuri hasil longitudinal.
Studi termasuk 37.674 individu yang menjalani angiografi elektif untuk penyakit arteri korner pada tahun 2007-2012. Semua pasien tidak ada yang terdiagnosis memliki gangguan arteri korener sebelumnya. Lebih dari setengah pasien pada studi memiliki penyakit arteri koroner obstruktif (55.4%), sementara 22.3% memiliki penyakit nonobstruktif. Penyakit arteri koroner nonobstruktif adalah terdapat satu atau lebih stenosis ≥ 20% tapi <70%. Penyakit arteri koroner obstruktif adalah terdapat stenosis ≥ 70%, atau ≥ 50% jika stenosis terjadi pada left main coronary artery (LMCA).
“Kami melihat banyak dari penyakit arteri koroner nonobstruktif pada populasi kateter —pada data kami seperempat pasien— dan saya pikir semua orang sadar, berdasarkan biologis penyakit koroner, hal ini dapat berujung terhadap infark miokard dan kematian,” ucap Maddox terhadap heartwire. “Akan tetapi, tidak ada yang meneliti hal ini karena banyaknya formulir registrasi pada lab kateterisasi, dengan cara mereka dikumpukan, termasuk pasien yang hanya memiliki bukti adanya penyakit obstruktif. Hasilnya adalah kita buta ter­hadap hasil pada populasi ini”
Dalam analisis mereka, terjadinya infark miokard dalam 1 tahun, angka kejadian adalah 0.11% tanpa penyakit arteri korener, 0.24% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif satu pembuluh darah, 0.56% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif dua pembuluh darah, dan 0.59% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif tiga pembuluh darah. Angka terjadinya infark juga meningkat secara progresif pada individu dengan penyakit arteri korner obstruktif pada satu, dua dan tiga pembuluh darah (atau LMCA)
Berdasarkan mortalitas, angka juga menunjukkan peningkatan secara progresif pada tipe penyakit arteri koroner dan luasnya. Pada pasien tanpa adanya penyakit arteri koroner, mortalitas dalam 1 tahun adalah 1.38%, dimana individu dengan gangguan atteri koroner nonobstruktif pada satu, dua, atau tiga pembuluh darah, angka mortalitas dalam 1 tahun adalah 2.02%, 1.50%, dan 2.72%. Pada suatu model multivariat, hanya penyakit arteri koroner nonobstruktif dengan tiga pembuluh darah yang berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas dalam 1 tahun.
Risiko terjadinya infark miokard dalam 1 tahun, sama halnya dengan risiko mortalitas, yaitu terdapat peningkatan secara progresif pada penyakit arteri koroner yang luas daripada peningkatan tiba-tiba antara nonobstruktif dan obstruktif. Hasil tersebut “menunjukkan adanya keterbatasan dari karakteristik dikotom pada penyakit arteri koroner dari angiografi menjadi obstruktif dan nonobstruktif untuk memprediksi infark”
Terhadap heartwire, Maddox, seorang preventif karodiologis, mengatakan bahwa ketika beliau menerima hasil kateter yang menunjukkan adanya penyakit nonobstruktif, beliau akan mengatakan pada pasiennya “ada hal yang harus dilakukan” dan pasien tersebut memiliki suatu penyakit yang perlahan tumbuh. “Suatu hari anda akan memiliki stent atau suatu hari anda akan mengalami nyeri dada yang berkaitan dengan hal tersebut”, katanya, “Dan bahkan hari ini, anda dapat menderita serangan jantung, jadi mari kita mencari cara untuk menurunkan risiko tersebut” Pada tahap selanjutnya, Maddox mengatakan bahwa hasil ini harus dikonfirmasi ulang pada pasien wanita (karena hampir 98% pada populasi VA adalah pria), walaupun beliau tidak meyakini bahwa proses biologis penyakit arteri koroner akan jauh berbeda dan penyakit arter koroner nonobstruktif hampir memiliki risiko infark yang sama. Beliau juga ingin adanya studi-studi —dengan modifikasi gaya hidup atau intervensi obat— yang diberikan terhadap pasien dengan penyakit nonobstruktif untuk menentukan apakah intervensi ini dapat mengurangi risiko infark miokard.*
Michael O'Riordan

10th Asian Interventional Cardiovascular Therapeutics

10th Asian Interventional Cardiovascular Therapeutics (AICT) telah diselenggarakan di Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta pada tanggal 27-29 November 2014. Lebih dari 500 peserta dari seluruh Asia berpartisipasi dalam acara internasional tahunan kardiologi ini. Tepat setelah dibuka secara simbolis dengan opening ceremony, disajikan empat kelompok presentasi di setiap ballroom berupa berbagai topik seputar dunia intervensi jantung dan pembuluh darah, termasuk Update in Mitral Clip, Complications in Coronary Intervention, Imaging and Physiology Summit for Complex Lession Intervention, Complex PCI, serta Live demo dari berbagai pusat jantung di Asia.
Hari pertama perhelatan AICT ke-10 ini ditutup dengan acara makan malam bersama (gala dinner) yang diselenggarakan di Hotel JW Marriott.
Hari kedua AICT ke-10 dimulai dengan 4 topik utama dalam setiap ballroom. Salah satu topik yang menarik adalah mengenai upaya meningkatkan pelayanan terhadap kasus ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) dengan menciptakan sebuah STEMI Networks. Dipimpin oleh dr. Sunarya Soerinata SpJP(K) dan Sameer Mehta, MD, dalam diskusi ini, semua peserta diajak untuk membahas tentang prosedural terapeutik pada kasus STEMI kompleks. Selain itu tidak kalah penting, juga dibahas mengenai tantangan untuk meningkatkan mana­jemen prehospital terhadap kasus STEMI guna meningkatkan proses rujukan pasien dan meminimalisir keterlambatan.
Setelah istirahat makan siang, pertemuan ilmiah dilanjutkan dengan sesi yang berbeda seperti sesi CTO, Imaging for Cardiovascular Interventional, Serious Complication in Cardiovascular Intervention dan live demo.
Hari terakhir AICT ke-10 ini dilanjutkan dengan pertemuan ilmiah setengah hari. Joint Session AICT-EuroPCR menjadi sebagian besar bagian dari acara pada kongres hari ke-3 ini, hingga acara penutupan.*

 
 
 
 
 
 
 
 

Kardiologi Kuantum (31): Transplantasi Jantung "Mati"

"If you would indeed behold the spirit of death, open your heart wide unto the body of life. For life and death are one, even as the river and the sea are one." - Kahlil Gibran

SALAM KARDIO. Hari Jumat, 24 Oktober 2014 media di Australia mengumumkan langkah kemajuan para peneliti dan ahli bedah jantungnya dalam transplantasi jantung terhadap 2 pasien dengan menggunakan jantung donor yang sudah berhenti berdenyut. Penemuan ini membuka kemungkinan lebih banyak pasien yang dapat ditolong setelah sekian lama menunggu transplantasi jantung. Setelah jantung tersebut dibuk-tikan mati selama 20 menit sebelum di resusitasi menggunakan cairan khusus baru kemudian di transplantasikan ke tubuh pasien. Peneliti memperkirakan akan menolong lebih banyak pasien sampai 30%. Teknik ini dikembangkan oleh Institut Riset Jantung Victor Chang dan Rumah Sakit St Vincent di Sydney.
Secara tradisionil, jantung donor dipersiapkan setelah terjadi kematian batang otak, tetapi jantung masih berdenyut. Jika denyut jantung berhenti, terjadi kekurangan pasokan oksigen. Kekurangan oksigen ini menyebabkan kerusakan dan kematian sel-sel jantung, sehingga transplantasi tersebut menjadi tidak ideal. Oleh karena itu, dibutuh-kan jantung yang masih berfungsi, di simpan di dalam es, dan di cangkokkan ke penerimanya dalam waktu 4 jam untuk menjaga kualitas jaringannya. Sementara itu pada organ ginjal dan liver telah dapat dilakukan setelah kematian sedangkan pada jantung tidak pernah.
Tim riset tersebut dipimpin oleh Professor Bob Graham, Direktur Eksekutif dari Institut Victor Chang menyatakan bahwa salah satu pasien donor telah kehilangan sebagian besar otaknya. Yang menyedihkan adalah sebagian kecil masih berfungsi sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai suatu kematian. Keluarganya diberi tahu bahwa pasien calon donor ini tidak mempunyai harapan hidup lagi. Setelah keluarganya setuju, semua bantuan hidup termasuk mesin pernafasan dihentikan, sementara itu tampak jantungnya berhenti berdenyut perlahan-lahan dalam waktu 15 menit. Secara hukum ditunggu lagi selama 5 menit dan dipastikan benar-benar berhenti baru jantungnya dikeluarkan dan diletakkan dalam boks peralataan yang dapat memasukkan darah yang mengandung oksigen. Pelan-pelan jantung berdenyut kembali, kehangatan-nya dapat dijaga, diberi cairan pendukungnya, dan jantungnya dapat dibawa bersama dengan tempatnya tersebut. Di manakah kunci keberhasilannya? Apakah terletak pada cairan pendukungnya atau pada boks peralatannya yang dapat menyalurkan darah, cairan pendukung dan kemampuan menghangatkannya? Menurut Bob Graham kedua-duanya sama pentingnya karena secara aktual dapat terlihat awal jantung berdenyut dan berfungsi dengan baik akan lebih meyakinkan ahli bedah.
Definisi kematian adalah matinya batang otak yang diperlihatkan oleh 2 elektroenfalogram, suatu rekaman aktivitas gelombang otak dalam 24 jam. Pada keadaan ini pasien di klasifikasikan sebagai meninggal, semua bantuan hidup masih dapat diberikan sampai jantungnya dapat diambil. Jantungnya masih berdenyut dan tekanan darahnya masih baik, ia masih mendapatkan oksigen kemudian jantungnya diambil, diletakkan dalam es dan dibawa ke penerimanya. Dengan sistim Dr Graham dapat meningkatkan jumlah donor sebesar 20-30% dari sebelumnya. Sekarang jantungnya dapat dipertahankan dalam waktu lebih lama. Sebagai perbandingan, kita hanya dapat mempertahankan dalam waktu 4 jam saja di dalam es, sehingga donor jantung hanya memungkinkan diperoleh pada jarak antara kota Queensland sampai Sydney. Sekarang memungkinkan mendapatkan donor di seluruh benua Australia, mendapatkan waktu pencocokan lebih baik sehingga sehingga persiapan dapat diperbaiki sejak awal untuk proses jangka panjangnya.
Lompatan panjang ini bukan hanya bermanfaat bagi Australia saja tetapi juga untuk seluruh dunia bahkan definisi kematian bukan hanya mati batang otak tetapi adalah mati jantung. Di negara-negara yang sebelumnya tidak memungkinkan dilakukannya transplantasi jantung karena definisi kematiannya adalah matinya jantung dan bukan mati batang otak seperti Jepang, Vietnam dan negara-negara lainnya. Secara potensial terbuka kemungkinan untuk melakukannya dengan metode ini.
Kedua pasien yang dioperasi oleh ahli bedah jantung Peter MacDonald dan Kumud Dhital dalam keadaan sangat baik. Pasien pertama Michelle Gribilar, wanita berumur 57 tahun dari Sydney, sudah keluar dari rumah sakit. Pasien kedua Jan Damen menerima jantung 2 minggu sebelum berita ini dirilis, memerlukan waktu perawatan lebih pendek. Pada donor pasien yang pertama awalnya kelihatan penampilan jantungnya sangat buruk ketika diangkat. Setelah dimasukkan dalam “kotak [mesin] Graham” pelan-pelan jantungnya kembali berdenyut dan pada pemeriksaan histologi pada biopsi jantungnya dan ekhokardiogram memperlihatkan fungsi jantung yang normal. Ini merupakan lopatan kedepan yang spektakuler sehingga dapat menolong kira-kira 30-40% pasien yang belum tertolong pada saat ini. Tim Dr Graham memerlukan waktu 12 tahun untuk mengembangkan cairan dan pompa yang menjaga oksigenisasi jantung, mengurangi kerusakan dan mempertahan-kan jaringan. Jantung yang tadinya berwarna biru saat diambil dari donor kembali lagi menjadi berwarna pink dan organ tersebut diresusitasi menjadi berdenyut kembali. Keadaan ini sangat penting karena berdenyutnya kembali jantung di dalam kotaknya yang khusus tersebut merupakan indikator yang baik yang menjamin jantung berfungsi kembali setelah di transplantasikan kepada penerimanya.   
Prof. Mohamed Omar Salem menulis bahwa banyak kebudayaan berpendapat bahwa jantung merupakan sumber emosi, semangat dan kebijaksanaan. Bahkan masyarakat menggunakannya sebagai perasaan atau sensasi cinta dan suasana emosi lainnya di area jantung. Riset selanjutnya menunjukkan bahwa jantung dapat berkomu-nikasi dengan otak yang secara meyakinkan menentukan bagaimana kita menerima dan bereaksi terhadap dunia. Kelihatannya jantung memiliki logikanya sendiri yang sering berbeda dari pengarahan sistim saraf otonom. Bahkan Lacey dan Lacey, 1978 berpendapat bahwa jantung memberikan pesan yang berarti kepada otak, tidak hanya untuk dimengerti saja tetapi juga seyogyanya diikuti pesannya.
Setelah risetnya yang mendalam, Dr Armour (1994) memperkenalkan konsep “otak [di dalam] jantung” fungsionil. Risetnya menguak bahwa jantung memiliki sistim saraf intrinsik yang kompleks dan istimewa yang dapat dikualifikasikan sebagai ‘otak kecil.’ Otak kecil dalam jantung tersebut merupakan kerjasama dari beberapa tipe neuron, neurotransmitter, protein-protein dan sistim pendukungnya seperti pada otak. Sistim tersebut mampu bekerja mandiri seperti otak kepala untuk belajar, mengingat, dan bahkan merasa dan bersensasi. Sistim saraf jantung terdiri dari kira-kira 40.000 neuron, Dr. Armour (1991) menyebutnya sebagai neurit sensori. Informasi dari jantung termasuk sensasi perasaan dikirimkan ke otak melalui beberapa sistim saraf aferen. Jalur saraf aferen ini memasuki otak melalui medulla, dan secara bertingkat masuk ke pusat otak yang lebih tinggi yang berpengaruh terhadap persepsi, membuat keputusan dan proses kognitif lainnya. Riset membuktikan bahwa jantung mengkomunikasikan informasi ke otak dan seluruh tubuh melalui interaksi gelombang elektromagnetik. Jantung menghasilkan area gelombang elektromagnetik yang berirama kuat dan menyeluruh. Komponen magnetiknya lebih kuat 500 kali dibandingkan dengan area magnetik dari otak yang dapat diteteksi beberapa kaki dari badan. McCraty, Bradley dan Tomasino (2004) dalam jurnal alternatif dan kedokteran komplementer menduga bahwa lapangan megnetik jantung berfungsi sebagai gelombang pembawa informasi yang menyediakan sinyal sinkronisasi global untuk seluruh tubuh. Agak sulit dicerna bahwa pengaruh elektromagnetik atau sistim komunikasi ‘energetik’ tersebut beroperasi selapis di bawah kesadaran (awareness). Interaksi energetik berkontribusi pada atraksi atau penolakan yang terjadi di antara pribadi-pribadi, dan pengaruhnya di dalam hubungan sosial.
Candra Jiwa Indonesia berani berpendapat bahwa ketiga fungsi angan-angan manusia memang bekerja di dua organ yaitu otak dan jantung manusia. Cipta (pangaribawa) yang berkemampuan membentuk gambar-gambar fikiran dan nalar (prabawa) yang menghubung-hubungkan informasi gambar-gambar tersebut bekerja di otak. Proses interaksi antara cipta dan nalar tersebut disimpulkan oleh pengertian (pangerti, kamayan) yang tempat kerja, dan penyimpanan hasil kerjanya di jantung. Petanyaannya adalah bagaimana bila jantungnya diganti dengan jantung orang lain, apakah proses dan memorinya menjadi lain? Penulis berusaha menjawab kemungkinannya bisa saja terjadi dinamika informasi karena bekerjanya seperti sistim “cloud” pada beberapa komputer yang bersinergi, sehingga informasi tersebut selalu tersimpan di “awan” begitu salah satu komputer itu rusak dan memerlukan perbaikan atau penggantian. Sistim tersebut digunakan di dalam dunia maya internet sebagai tempat penyimpanan data di dunia maya tersebut yang dapat diakses dari mana saja kita berada, mengguna-kan komputer apa saja yang beroperasi di dunia maya tersebut. Nah, transplantasi jantung ini memunculkan suatu teori baru yang disebut oleh Kate Ruth Linton sebagai “memori seluler” pada jantung transplantasi. Salam Kuantum.
Budhi S. Purwowiyoto

Risiko Kardiovaskuler Lipoprotein A (Hasil Studi Prospektif Bruneck 15-Tahun)

LIPOPROTEIN(a), yang biasanya disingkat Lp (a) dan diucapkan sebagai lipoprotein “little”  merupakan Low Density Lipoprotein (LDL). Seperti pada semua lipoprotein terdiri dari sebuah inti dari molekul cholesteryl ester (CE), trigliserida, satu lapis permukaan fosfolipid, molekul kolesterol yang tidak teresterifikasi, dan semuanya dibungkus dengan satu molekul apolipoprotein B-100 (apoB100). Menempel pada apo B100 melalui ikatan disulfide adalah glikoprotein seperti plasminogen disebut dengan apoprotein (a) atau disebut dengan apo (a). Lp(a) tidak mempunyai fungsi fisiologis tetapi diduga merupakan faktor risiko genetik terkuat untuk penyakit kardiovaskuler. Kadar Lp (a) dalam sirkulasi sebagian besar ditentukan secara genetic terutama melalui gen LPA. Jumlahnya dapat meningkat pada individu karena adanya pengulangan angka pada Kringle IV type 2 (KIV-2) dan adanya bermacam polimorfisme nukleotida tunggal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa Lp (a) merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskuler. Namun, apakah Lp(a) memodifikasi penilaian risiko klinis belum sepenuhnya dimengerti. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah Lp (a) meningkatkan prediksi risiko kejadian penyakit kardiovaskuler.
Penelitian Peter Willeit dkk tersebut dilakukan pada tahun 1995 dengan me­ngukur kadar Lp (a) pada 826 laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 45-84 tahun dari populasi umum. Kejadian Penyakit kardiovas-kulernya kemudian dicatat setelah tindak lanjut lebih dari 15 tahun. Hasil yang didapatkan adalah dalam model yang telah disesuaikan dengan variabel-variabel pada Framingham Risk Score (FRS) dan Reynolds Risk Score (RRS), rasio hazard (HR) untuk kejadian penyakit kardiovaskuler adalah 1,37 per 1-SD lebih tinggi dari ukuran Lp (a) (SD=32 mg/dl) dan 2,37 jika dibandingkan dengan 5 angka teratas kuintil dengan kuintil lainnya. Penambahan Lp (a) ke RRS mening­katkan indeks C sebesar 0,016.
Dari 502 subyek yang tetap bebas dari penyakit kardiovaskuler, 82 diantaranya dilakukan pengklasifikasian ulang menjadi risiko rendah dan 49 diantaranya menjadi risiko yang lebih tinggi. Sedangkan 148 subyek yang berkembang menjadi penyakit kardiovaskuler, 18 orang diklasifikasikan ulang menjadi risiko lebih tinggi dan 17 diantaranya menjadi risiko lebih rendah. Pada subyek dengan risiko sedang (15%=<30%) pengklasifikasian akhir akibat peningkatan Lp (a) adalah 22,5% untuk bukan kasus, 17,1% untuk kasus, dan 39,6% pada keseluruhannya. Ukuran Allel spesifik Lp(a) tidak menambah kemampuan prediksi dari FRS atau RRS atau Lp (a). Sebagai kesimpulan Peningkatan Lp (a) memprediksi hasil akhir penyakit kardiovaskuler dalam periode 15 tahun dan meningkatkan prediksi risiko penyakit kardiovaskuler. (J Am Coll Cardiol 2014; 64: 851–60)
Hari Yudha & Budhi SP

Perbandingan Skor Risiko Framingham, SCORE dan Model Prediksi Kardiovaskular WHO/ISH pada Populasi Asia

MODEL prediktor risiko kardiovaskular digunakan untuk kemudahan klinis dalam mengidentifikasi dan manajemen populasi berisiko tinggi, serta mengkomunikasikan risiko tersebut secara efekif. Jurnal ini meneliti validitas dan utilitas dari 4 model prediktor risiko kardiovaskular pada populasi Asia di negara berkembang. Data diambil dari survey berbasis populasi nasional dari 14.863 partisipan yang ber­usia 40-65 tahun. Skor risiko Framingham, SCORE (Systematic Coronary Risk Evaluation) pada daerah berisiko tinggi dan rendah serta model WHO/ISH dianalisis. Keluaran utama dari penelitian ini adalah mortalitas kardiovaskular dalam 5 tahun. Diskriminasi kemudian dihitung pada keseluruhan model kemudian dilakukan kalibrasi pada model SCORE.
Faktor risiko kardiovaskular cende­rung tinggi pada perokok  20%, obesitas 32%, hipertensi 55%, diabetes mellitus 18% dan hiperkolestrolemia 34%. FRS dan SCORE-tinggi dan rendah menunjukkan keunggulan dalam stratifikasi risiko. FRS dan SCORE tinggi dan rendah juga merupakan diskriminan bagus untuk mortalitas kardiovaskular, area dibawah kurva ROC (AUC) 0.768. Model WHO/ISH menunjukkan diskriminasi yang buruk, AUC 0.613.
Model Prediksi risiko kardiovaskular pada sumber informasi terbatas peranan­nya sangat penting. Model tersebut seha­rus­nya dapat membedakan secara memadai antara risiko kardiovaskular rendah dan tinggi untuk mengoptimalkan terapi pada kelompok yang besar. Model prediksi kardiovaskuler WHO/ISH telah direkomendasikan untuk stratifikasi faktor risiko negara-negara dengan sumber data yang kurang memadai. Keinginan utama yang terkandung dalam rekomendasi ini adalah tidak terdapatnya hasil penelitian yang terkait dengan daftar ada-tidaknya hasil kolesterol. Model WHO/ISH yang digunakan pada studi ini memasukkan angka kolesterol total, namun tidak dapat menstratifikasi risiko kardiovaskular secara akurat.
Studi ini menggarisbawahi bahwa model WHO/ISH harus divalidasi sekira­nya akan dipakai untuk menghitung stratifikasi risiko kardiovaskular. Impli­kasi penggunaan prediksi risiko WHO/ISH tanpa validasi dapat mencemaskan. Pada populasi Malaysia, model WHO/ISH secara tidak tepat mengkategorikan sebagian besar masyarakat berada pada risiko kardiovaskular yang rendah. Masalah ini membahayakan prevensi, kontrol  dan monitoring penyakit jantung ketika sumber daya dan dana diarahkan ke skrining individu dengan risiko tinggi  dengan kemungkinan teridentifikasi lebih rendah, sehingga yang terobati lebih sedikit akibatnya banyak terjadi komplikasi. Ketika kendala tingginya angka kejadian dan kematian akibat penyakit jantung di negara berkembang bisa lebih tinggi atau lebih rendah, klasifikasi yang salah tentang kehadiran risiko kardiovaskular pada periode yang menentukan untuk memulai atau meningkatkan strategi penanggulangannya tidak dapat diterima, ini akan mengganggu upaya pencegahan.
Sebagai kesimpulan, Model FRS dan SCORE-tinggi dapat digunakan untuk mengidentifikasi risiko tinggi kardiovaskular pada populasi Malaysia. Model SCORE-tinggi memprediksi risiko lebih akurat pada laki-laki namun underestimate pada wanita. (Intern J. Cardio. 176 (2014) 211–218)
Habibie Arifianto & Budhi SP