pita deadline

pita deadline

Jumat, 24 April 2015

The 2nd InaHRS: All about Cardiac Arrhythmias and Device Therapy

PERTEMUAN ilmiah kedua dari Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) yang dinanti-nantikan akhirnya kembali diselenggarakan pada 6 - 7 Desember 2014, bertempat di Ritz Carlton Hotel, Mega Kuningan, Jakarta. Sesuai dengan tema “Everything You Want to Know about Cardiac Arrhythmias and Device Therapy”, acara yang diketuai oleh Dr. Dicky A. Hanafy, SpJP(K) ini menyajikan program-program ilmiah yang berkualitas dalam bidang gangguan irama jantung (cardiac arrhythmias) serta tatalaksana terbarunya.
The 2nd InaHRS berlangsung meriah selama dua hari, acara yang diselenggarakan terdiri dari workshop, simposium serta tidak ketinggalan presentasi poster. Pada hari pertama acara dimulai dengan lima topik workshop yang berlangsung paralel di dua tempat. Empat workshop diadakan di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan dengan topik antara lain “Atrial Fibrillation”, “Holter and Cardiac Monitoring”, “Fast Conclusion in Emergency Arrhythmias” serta “Electrophysiology Study and AVNRT Ablation”. Sedangkan satu topik lainnya, “Permanent Pace Maker (PPM)”, diadakan di RSPAD Gatot Subroto dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Setiap ruangan workshop dipadati oleh sekitar 20-30 peserta yang sangat antusias dalam bidang keilmuan yang diminatinya tersebut.
Acara inti berupa simposium dilanjutkan pada hari pertama setelah acara makan siang. Pembicara dan peserta dari berbagai wilayah di Indonesia serta belahan bumi lainnya antara dari Australia, Korea dan Singapura turut hadir dan meramaikan acara ilmiah tersebut. Topik yang disajikan sangat menarik serta menyeluruh, satu persatu masalah gangguan irama jantung turut menjadi bahan diskusi, mulai dari pendekatan tatalaksana klinis dari bradikadia, atrial fibrilasi, metode kontrol heart rate pada gagal jantung, ventricular premature beats hingga pembahasan mengenai Sudden Cardiac Death dan Syncope.
Topik simposium lainnya yang tidak kalah menarik adalah debat tentang tatalaksana dari Idiopathic Ventricular Premature Beat, apakah obat-obatan antiaritmia ataukah radiofrequency ablation yang lebih superior. Berbagai topik tentang device therapy terkini seperti Left Atrial Appendage (LAA) Occluder sebagai pencegahan stroke pada Atrial Fibrilasi dan Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) dengan Quadripolar Technology dan Multi-Point Pacing juga tidak ketinggalan untuk menjadi perbincangan hangat dalam acara ilmiah ini.
Sebuah sesi interaktif dan menarik “Unknown ECG dan Intracardiac Tracing” menjadi pertanda dari berakhirnya The 2nd InaHRS. Sesi ini berhasil menjadi penutup yang sangat berkesan dalam acara kali ini. Semua peserta mendapat materi handout berupa gambaran elektrokardiogram (EKG) unik yang dipresentasikan oleh para pembicara dan panelist. Debat serta berbagai perbedaan pendapat terus menghujani satu persatu kasus yang dibawakan, sungguh merupakan forum yang sangat hidup dan bermanfaat.
Penyelenggaraan The 2nd InaHRS ditutup dengan pengumuman pemenang poster serta acara door prize. Kesuksesan dalam acara kali ini tak lepas dari kerja keras panitia serta dukungan dari perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia (PERKI) serta para sejawat kardiologi di seluruh pelosok Indonesia dan mitra sponsor yang dengan semangat dan tidak henti-hentinya berjuang untuk memajukan penatalaksaan penyakit dalam bidang kardiovaskular di Indonesia untuk kedepannya, khususnya dalam bidang aritmia jantung.
Stephanie Salim

Ujian Panel Nasional Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

Ujian Oral Nasional telah dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2015 di Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD, Bali dan pada tanggal 17-18 Januari 2015 di Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK USU, Medan. Peserta Ujian Oral Nasional Kolegium adalah peserta yang telah lulus Ujian Tulis CBT / Ujian Tulis sebelumnya. Di FK USU Medan peserta yang ikut Ujian Oral ada 18 orang dengan 10 penguji. Sedangkan di FK UNUD, Bali peserta yang ikut ujian oral nasional ada 8 orang dengan 5 orang penguji.

Nama-nama Peserta yang telah lulus Ujian Oral Nasional 17-18 Januari 2015 tersebut adalah :
  1. Dr. Artha Hot Gumanti Yolanda Sinaga (FK USU)
  2. Dr. Donny Yugo Hermanto (FK UI)
  3. Dr. Fajar Ashari (FK UNPAD)
  4. Dr. Rosmaliana (FK USU)
  5. Dr. Sulistiowati (FK UI)
  6. Dr. Teuku Bob Haykal (FK USU)
  7. Dr. Dyna Evalina Syahrul (FK UI)
  8. Dr. Yuke Sarastri (FK USU)
  9. Dr. Siska Yulianti (FK UI)
  10. Dr. Rinelia Minaswary (FK USU)
  11. Dr. Suci Indriani (FK UI)
  12. Dr. Susiyanti (FK UNAND)
  13. Dr. Tengku Winda Ardani (FK USU)
  14. Dr. Danayu Sanny Prahasti (FK UI)
  15. Dr. Teuku Realsyah, SpPD (FK USU)
  16. Dr. Muh. Barri Fahmi Harmani (FK UI)
  17. Dr. Puspita Sari Bustanul (FK UI)
  18. Dr. Dini Rostiati (FK UNPAD)
  19. Dr. Sany R. Suwardana (FK UNUD)
  20. Dr. Zulfahmi (FK UGM)
  21. Dr. Nyoman Sukami Artadana (FK UNUD)
  22. Dr. Agus Probo Suyono (FK UNDIP)
  23. Dr. I Kadek Susila Surya Darma (FK UNUD)
  24. Dr. Ida Bagus Rangga Wibhuti (FK UNUD)
  25. Dr. Rizki Amalia Gumilang (FK UGM)
  26. Dr. Eko Saputra (FK UNUD)

Nama-nama Penguji Ujian Oral Nasional 17-18 Januari 2015 adalah:
  1. Prof. Dr. Harmani Kalim, SpJP, FIHA
  2. Prof. Dr. Ganesja M. Harimurti, SpJP, FIHA
  3. Dr. RWM. Kaligis, SpJP, FIHA
  4. Prof. Dr. A. Afif Siregar, SpA, SpJP, FIHA
  5. Dr. Toni Mustahsani Aprami, SpPD, SpJP, FIHA
  6. Dr. Sunarya Soerianata, SpJP, FIHA
  7. Dr. Poppy S. Roebiono, SpJP, FIHA
  8. Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP, FIHA
  9. Dr. Eko Antono, SpJP, FIHA
  10. Dr. Masrul, SpPD, SpJP, FIHA
  11. DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP, FIHA
  12. Prof. Dr. I Wayan Wita, SpJP, FIHA
  13. DR. Dr. Iwan Dakota, SpJP, FIHA
  14. Dr. Hariadi Hariawan, SpPD, SpJP, FIHA
  15. Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP, FIHA

Ujian Oral Nasional diadakan 4 kali setahun di daerah-daerah yang berbeda dan dibagi menjadi 2 bagian yaitu Indonesia Wilayah Barat dan Indonesia Wilayah Timur. Untuk Ujian Tulis Nasional (Computerized Base Test) On Line  berikutnya yaitu tanggal 9 Maret 2015 dan Ujian Oral Nasional berikutnya yaitu tanggal 28 Maret 2015 akan diadakan di Bagian Kardiologi & Kedokteran Vaskular FK UNAIR, Surabaya dan di Bagian Kardiologi & Kedokteran Vaskular FK UNPAD, Bandung.

Penyakit Jantung Didapat pada Pasien Dewasa dengan Penyakit Jantung Kongenital

PASIEN dewasa dengan penyakit jantung kongenital memiliki peningkatan risiko mengalami penyakit jantung didapat yang sebanding dengan populasi umum. Penyakit jantung didapat seperti penyakit jantung koroner, atau komplikasi non-kardiak seperti penyakit ginjal kronik merupakan kondisi yang harus diperhatikan sebagai sekuel dari penyakit jantung kongenital. 

Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Beberapa faktor ditemukan berperan penting terhadap timbulnya PJK pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital. Pada beberapa kasus transposisi arteri besar yang dioperasi saat kecil, ditemukan juga kelainan pada arteri koroner. Selain itu, pada Sindrom Eisenmenger, gejala angina dan iskemia miokard dapat timbul karena kompresi ekstrinsik pada ostium koroner sinistra oleh dilatasi arteri pulmonal. Beberapa prosedur operasi untuk penyakit jantung kongenital (misalnya reimplantasi arteri koroner dalam prosedur arterial switch untuk koreksi transposisi arteri besar; contoh lainnya adalah replacement truncus aorta pada Sindrom Marfan) dapat menimbulkan efek samping pada arteri koroner.Lebih jauh lagi, pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital mungkin pula ditemukan aterosklerosis. 

Faktor Risiko Kardiovaskular 
Faktor Risiko Kardiovaskular seperti hipertensi arterial dan hiperlipidemia berperan penting dalam perkembangan penyakit aterosklerosis. Pada sebuah studi yang meneliti prevalensi faktor risiko tersebut pada 141 pasien dewasa dengan PJ Kongenital dan PJ Koroner, didapatkan bahwa sebagian besar pasien (82%) memiliki satu atau lebih faktor risiko yaitu hipertensi arterial sistemik (53%) dan hiperlipidemia (25%). Sebuah studi dari Belgia yang meneliti 1976 pasien dewasa dengan PJ Kongenital, melaporkan hanya sekitar 20% tanpa faktor risiko kardiovaskular. Median usia pada penelitian tersebut adalah 26 tahun; hal ini menunjukkan perlunya pencegahan lebih dini. 
Prevalensi hipertensi arterial pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital berkisar antara 30% dan 50%. Beberapa pasien dewasa dengan PJ Kongenital dengan defek jantung kongenital tertentu lebih rentan mengalami hipertensi. Pada sebuah studi, ditemukan bahwa prevalensi hipertensi ditemukan lebih tinggi pada pasien koarktasio aorta (45%) dibandingkan dengan VSD (16%).
Di lain hal, penelitian mengenai obesitas masih kontradiktif. Sebuah studi di Belgia menyatakan bahwa prevalensi obesitas pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital lebih tinggi dibanding populasi umum. Namun, studi di Belanda menemukan hal yang sebaliknya dimana proporsi pasien dewasa dengan PJ Kongenital dengan obesitas atau overweight lebih kecil dibandingkan populasi umum. Obesitas pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital dapat disebabkan oleh kehidupan sedenter dan kurangnya olahraga. Faktor berikutnya adalah dislipidemia. Walaupun belum banyak penelitian terkait faktor ini, sebuah studi melaporkan prevalensi dislipdemia pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital usia tua sebesar 27%. Pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital dan PJ Koroner, prevalensi hiperlipidemia adalah antara 10 – 75% tergantung dari tipe defek jantung kongenital. 
Terakhir, faktor risiko yang cukup penting adalah diabetes mellitus. Dua studi melaporkan prevalensi diabetes pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital sekitar 3%, namun tidak berbeda dengan prevalensi pada kelompok kontrol (tanpa penyakit jantung kongenital). 

Manifestasi Klinis 
Gejala klinis PJK pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital tidak berbeda dengan gejala angina pada umumnya. Sebuah studi pada 250 pasien dewasa dengan PJ Kongenital yang menjalani angiografi koroner (dengan indikasi selain PJK),melaporkan sebanyak 10% pasien memiliki PJK. Pada studi ini, PJK tidak ditemukan pada pasien dengan usia di bawah 40 tahun. Di lain hal, penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian oleh Yelonetsky et al Dimana terdapat 14% pasien dewasa dengan PJ Kongenital dibawah usia 40 tahun mengalami PJK (atau PJK Prematur). Penelitian besar lainnya di Amerika Serikat melaporkan bahwa infark miokard merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital non-sianotik. 

Risiko PJK pada Beberapa Jenis Penyakit Jantung Kongenital 
Pada pasien dengan kelainan jantung sianotik, ditemukan beberapa faktor anti-aterosklerosis, seperti hiperbilirubinemia, hipokolestrolemia, peningkatan regulasi NO, dan faktor lainnya. Dalam penelitiannya, Giannakoulas et al melaporkan bahwa tidak ada pasien dengan kelainan jantung sianotik yang mengalami PJK bermakna. Hal ini didukung oleh Fyfe et al yang melaporkan juga tidak menemukan adanya PJK dengan obstruksi pada pasien dengan kelainan jantung sianotik, Namun, pasien dengan kelainan jantung sianotik masih harus diawasi untuk PJK, karena sebuah penelitian oleh Yelonetsky et al melaporkan bahwa ditemukan PJK pada 7 pasien dengan Sindrom Eisenmenger. 
Pada pasien dengan koarktasio aorta, risiko terjadinya PJK tidak jauh berbeda dengan risiko kardiovaskular yang ditemukan pada populasi umum. Sebuah penelitian yang menggunakan basis data dari kota Quebec melaporkan bahwa ditemukan prevalensi PJK dan stroke yang lebih tinggi pada pasien dengan koarktasio aorta dibandingkan pasien dewasa dengan PJ Kongenital lainnya. 

Penyakit Jantung Didapat lainnya 
Aritmia yang dialami pasien dewasa dengan PJ Kongenital dapat berupa bradiaritmia atau takiaritmia (atrial atau ventrikular). Bradiaritmia biasanya disebabkan oleh disfungsi nodus SA atau abnormalitas konduksi atrioventrikular. Etiologi dari aritmia yang dialami dapat berupa sikatriks pasca operasi, abnormalitas struktural yang menetap, dan komorbiditas lainnya. Aritmia biasanya diperberat oleh gangguan hemodinamik dan disfungsi sistolik. Disfungsi diastolik dapat pula ditemukan pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital, seperti pada pasien penyakit jantung pada umumnya. Faktor risiko timbulnya disfungsi diastolik pada pasien ini antara lain umur, hipertensi arterial,obesitas, dan diabetes. Disfungsi diastolik berhubungan dengan aritmia atrial, khususnya atrial fibrilasi. 
Pasien dengan tetralogi Fallot memiliki risiko tinggi mengalami aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak; berhubungan dengan abnormalitas struktural, disfungsi ventrikel, dan sikatriks pasca operasi. Penyakit jantung iskemik dapat pula menjadi faktor penyebab aritmia ventrikel pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital. 
Gagal jantung pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital lebih sering disebabkan oleh disfungsi ventrikel kanan, disfungsi katup atau aliran pirau, daripada oleh disfungsi sistolik ventrikel kiri. Prevalensi gagal jantung kronik tertinggi didapatkan pada pasien dengan anatomi kompleks seperti ventrikel tunggal fisiologis (single ventricle physiology) atau transposisi arteri besar (transposition of the great arteries). Gagal jantung umumnya disebabkan oleh patofisiologi defek jantung kongenital, yaitu ventrikel kanan sistemik pada transposisi arteri besar, serta faktor lain seperti sianosis yang berkepanjangan dan riwayat operasi jantung sebelumnya. Disfungsi diastolik pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital juga dapat memicu terjadinya gagal jantung. Giannakoulas et al meneliti hubungan antara PJK, ukuran ventrikel sistemik, dan gangguan fungsional pada pasien PJK. Dia melaporkan bahwa PJK berperan dalam timbulnya dilatasi ventrikel dan keterbatasan fungsional. Sampai saat ini belum ada terapi berbasis-bukti yang baik untuk gagal jantung pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital, karena beberapa studi yang dilakukan sejauh ini merupakan studi kecil, tidak disamarkan dan masih menunjukkan hasil yang kontradiktif. 

Pasien Dewasa dengan PJ Kongenital di Masa Depan 
Pencegahan primer merupakan pendekatan utama untuk mencegah timbulnya PJK pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital. Pasien ini harus menerapkan gaya hidup sehat, tidak merokok, dan mengontrol tekanan darah secara teratur. Jika ada kecurigaan terhadap PJK, dapat dilakukan pemeriksaan dengan EKG atau dengan stress perfusion cardiovascular MRI. Namun, interpretasi EKG dengan latihan/beban menjadi sulit karena dapat disamarkan oleh temuan abnormal seperti bundle branch block yang berhubungan dengan kelainan struktural dan kelainan akibat operasi sebelumnya. Sebagai alternatif, pada pasien tersebut dapat dilakukan stress perfusion cardiovascular MRI. Skema di bawah ini dapat digunakan untuk panduan diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung didapat pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital. (Tutarel Oktay . Acquired Heart Conditions in Adults With Congenital Heart Disease : A Growing Problem.2014. Available at: http://medscape.com)


Gambar 1. Skema diagnosis dan tatalaksana pasien dewasa dengan PJ Kongenital dengan kecurigaan PJK 

dr. Rissa Ummy Setiani 
Dokter Umum PTT Puskesmas Baso 
Kabupaten Agam, Sumatera Barat

Penambahan Nilai Prognostik Skor Kalsium Arteri Koroner pada Koronarografi dengan Tomografi Komputer

Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA) muncul sebagai pendekatan diagnostik alternatif terhadap angiografi koroner invasif pada CAD. Uji Coronary Artery Calcium Score (CACS) dilakukan secara ekstensif pada subjek asimptomatik sebagai petanda untuk penyakit arteri koroner subklinik. Pengkajian dari CACS telah menunjukkan kemampuan prediktif yang mampu melengkapi dan independen untuk kejadian jantung (cardiac event) lanjutan yang bukan hanya suatu uji fungsional pada pasien simptomatik dengan dan tanpa diketahui penyakit arteri koroner. Tujuan objektif dari studi Kongkiat Chaikriangkrai dkk ini adalah untuk menguji kemampuan prognostik tambahan dari CACS yang lebih dari CCTA itu sendiri pada pasien simptomatik tanpa diketahui penyakit jantung koroner yang menjalani pemeriksaan CCTA. Pasien-pasien simptomatik tanpa diketahui PJK, baik dengan pemeriksaan CACS dan CCTA secara independen berhubungan dengan peningkatan kejadian jantung dan evaluasi dengan CACS sebagai tambahan penilaian dari CCTA secara keseluruhan akan meningkatkan kemampuan prediksi untuk kejadian jantung kedepannya dibandingkan dengan penilaian CCTA sendiri.
Temuan utama pada studi ini adalah bahwa pertama, CACS memiliki nilai independen dan menambah nilai prognostik lebih dari hanya penilaian CCTA stenosis pada pasien simtomatik tanpa diketahui CAD sebelumnya. CACS secara independen berkaitan dengan angka kejadian jantung bahkan setelah penyesuaian terhadap faktor risiko klinikal dan stenosis koroner dari CCTA. Kedua, studi ini menunjukkan bahwa CACS memberikan tambahan nilai prognostik yang lebih dari CCTA stenosis dan faktor risiko klinik. Temuan pada studi ini memberikan bukti bahwa risiko serangan jantung masa depan berhubungan dengan derajat stenosis luminal dan kalsifikasi koroner yg dideteksi dengan CACS.
CACS secara relatif merupakan tes kuantitatif yg hasilnya dapat di reproduksi yang mana analisis CCTA pada praktek klinik sehari2 nampaknya dianggap terbaik untuk tes semi-kuantitatif. CACS lebih mudah dan lebih divalidasi dibandingkan analisis plak burden atau tipe plak dengan CCTA. Dari perspektif klinis nilai prognostik dari CACS memiliki implikasi yang potensial terhadap strategi manajemen yaitu 1. Agresifitas therapi medis pada sejumlah kecil pasien dengan normal CCTA tetapi positif CACS, 2. Pertimbangkan angiografi invasif pada pasien dengan 50% stenosis tetapi CACS-nya tinggi (>400) untuk menyingkirkan pengecilan arti stenosis CCTA, dan 3. Pertimbangan angiografi invasif pada pasien dengan kemungkinan revaskularisasi pada pasien dengan stenosis >50% stenosis dan peningkatan nilai CACS (>400)
Kesimpulan, Pasien-pasien simptomatik tanpa diketahui PJK, baik CACS dan CCTA secara independen berhubungan dengan peningkatan kejadian jantung dan evaluasi dengan CACS sebagai tambahan penilaian dari CCTA meningkatkan kemampuan prediksi untuk kejadian jantung kedepannya dibandingkan dengan penilaian CCTA sendiri. (Journal of the American College of Cardiology 2015 in press)

Hari Indratno dan Budhi S. Purwowiyoto

Penyalahgunaan Aspirin pada 1 dari 10 Pasien Risiko Rendah di Klinik Jantung

Lebih dari 10 % pasien yang merupakan perwakilan sampel dari poliklinik jantung di Amerika Serikat mengkonsumsi aspirin dengan “tidak tepat” untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular; hal tersebut dikarenakan risiko 10 tahun mereka untuk terserang penyakit kardiovaskular kurang dari 6% menurut penelitian terbaru.
Penelitian tersebut, dipublikasikan pada 20 Januari 2015 oleh Journal of the American College of Cardiology, menemukan bahwa pengunaan aspirin yang tidak tepat dalam berbagai praktik kardiologi bervariasi mulai 0% hingga 70%. 
Karena aspirin tersedia luas di pasaran, tidak semua penyalahgunaan aspirin dikarenakan oleh peresepan aspirin; dalam beberapa kasus, pasien seringkali memutuskan untuk mengkonsumsinya sendiri, ujar penulis senior Dr Salim S Virani (Michael E DeBakey Veterans Affairs Medical Center, Houston, TX) kepada Heartwire. 
Bagi kardiolog, pesan yang disampaikan yaitu “bagi semua pasien yang diresepkan aspirin (untuk pencegahan primer) atau mereka yang mengkonsumsi aspirin sendiri, harus dibiasakan memperhitungkan risiko penyakit kardiovaskularnya dalam 10 tahun, kemudian berdiskusi dengan pasien tentang risiko dan keuntungannya” ujar beliau. 
Riset ini mengidentifikasi sebuah bagian penting untuk perbaikan kualitas, yang mempunyai efek bermakna. Aspirin digunakan oleh sekitar 36% populasi di Amerika Serikat, beliau menambahkan “Pengunaan aspirin dengan lebih ilmiah berpotensi untuk memperbaiki keluaran kardiovaskular dan mencegah kerugian yang disebabkan oleh medikamentosa pada semua pasien yang datang ke klinik kami.” 
Studi lebih lanjut dibutukan untuk menginvestigasi luasnya variasi praktek penggunaan aspirin yang tidak tepat untuk pencegahan primer pada pasien risiko rendah dan untuk mengevaluasi keuntungan dari pengunaan aspirin pada pasien dalam terapi statin, penulis pertama Dr Ravi S Hira (Baylor College of Medicine, Houston, Texas) dan kolega menambahkan. 
Para peneliti mengidentifikasi 254.399 pasien yang berkunjung pada 119 klinik kardiologi Amerika Serikat yang merupakan bagian dari National Cardiovascular Disease Registry Practice Innovation and Clinical Excellence (PINNACLE) dan memakai aspirin selama bulan Januari 2008 hingga Juni 2013. Kriteria eksklusi sampel antara lain pasien yang memakai aspirin untuk prevensi sekunder penyakit kardiovaskular dan yang menggunakan warfarin, clopidogrel, ticlopidine, dan atau kombinasi aspirin-dipiridamol lepas lambat. 
Hira dkk menggunakan kalkulator risiko Framingham (berdasarkan usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes, merokok, kolesterol total dan HDL, tekanan darah sistolik, dan obat-obatan hipertensi) untuk menghitung risiko 10 tahun pasien untuk penyakit kardiovaskular. 
Hingga tiga-perempat pasien (72,9%) memiliki variabel yang tidak lengkap, terutama kadar kolesterol, sehingga hanya terdapat 68.808 pasien yang skor risikonya dapat dihitung. 
Para peneliti memakai risiko “konservatif” penyakit kardiovaskular 10 tahun kurang dari 6% sebagai indikator penyalahgunaan aspirin untuk pencegahan penyakit kardiovaskular primer, meskipun menurut beberapa pedoman, penggunaan yang tidak tepat terjadi pada risiko dibawah 10 %, tegas Virani. 
Mereka menemukan bahwa 11,6% pasien yang menggunaan aspirin memiliki risiko penyakit kardiovaskular 10 tahun kurang dari 6%. 
Pasien yang mengggunakan aspirin dengan tidak tepat jika dibandingkan dengan yang seharusnya cenderung lebih muda (usia rata-rata 49,9 tahun dibandingkan 65,9) dan lebih sering wanita (79,7% dibadingkan 52,6%). 
Adjusted median rate ratio (MRR) untuk penggunaan aspirin yang tidak sesuai dalam berbagai praktik klinik yang berbeda adalah 1,63, yang berarti terdapat kemungkinan 63% bahwa jika ada dua pasien “identik” yang tampak di dua tempat praktik berbeda, satu pasien mungkin telah menggunakan aspirin dengan tidak tepat. 
Setelah peneliti mengeksklusi wanita dengan usia lanjut dan pasien dengan diabetes (yang lebih diuntungkan jika mendapat aspirin) serta menyingkirkan penggunaan statin – yang meningkat selama periode studi – penggunaan yang tidak sesuai dan MRR relatif tidak berubah.

Studi Menekankan Pentingnya untuk Memperhitungkan Risiko yang Mendasari 
Diminta untuk berpendapat, Dr. Francisco Lopez-Jimenez (Mayo Clinic, Rochester, MN) berkata bahwa “Pesan yang paling penting adalah untuk mengenal bahwa ada masyarakat yang mengkonsumsi aspirin percaya bahwa mereka sedang melindungi dirinya dari serangan jantung saat sesungguhnya mereka sedang memaparkan dirinya terhadap risiko [perdarahan] dari aspirin dan mungkin sekali tidak ada keuntungannya sama sekali. Hal tersebut mungkin mewakili jutaan orang lainnya, seiring dengan luasnya penggunaan aspirin” tegas beliau. 
Menurut Lopez, tulisan tersebut sangat baik dalam menekankan bahwa klinisi wajib menentukan risiko dasar pasien untuk mengalami kejadian kardiovaskular. “Mungkin salah satu cara untuk menilai risiko tersebut adalah dengan menggunakan AHA pooled-cohort calculator,” yang juga memperhitungkan ras sama halnya dengan petanda risiko Framingham, sarannya. 
Pada sebuah editorial serupa[2], Dr. Freek WA Verheught (Radboud University, Amsterdam, Netherland) menyatakan bahwa hasil karya Hira et al “unik dan penting,” karena hampir seluruh uji klinis yang melihat bahwa penggunaan aspirin sebagai pencegahan primer penyakit kardiovasular dilakukan pada praktek dokter umum.
Walaupun “Ahli jantung biasanya mendapatkan pasien dengan penyakit jantung simptomatik, yang dalam pencegahan primer, namun mungkin juga ada pasien tanpa penyakit jantung koroner yang menemui ahli jantung untuk alasan lainnya, seperti nyeri dada atipikal, aritmia, atau gagal jantung dan mereka dengan risiko kejadian koroner,” kata beliau. 
“Karena itu, pada praktek kardiologi penting bahwa faktor risiko harus dinilai dan mulailah terapi profilaksis yang tepat,” menurut beliau, sesuai dengan penelitian penulis dan Lopez. 
Risiko perdarahan ekstrakranial yang terkait aspirin “mungkin akibat strategi pencegahan lainnya [termasuk statin] seringkali diterapkan dan digunakan secara luas pada praktik kardiologi,” menurut Verheugt. “Karena itu, penggunaan aspirin harus dihindari, terutama pada populasi pasien yang lebih muda, seperti yang didemonstrasikan pada studi sekarang”. (Ref: Marlene Busko. Misguided Aspirin Use in 1 in 10 Low-Risk Heart-Clinic Patients: Study. Medscape. Jan 12, 2015.)
Stephanie Salim 

Referensi:
1. Hira RS, Kennedy K, Nambi V, et al. Frequency and practice-level variation in inappropriate aspirin use for the primary prevention of cardiovascular disease: insights from the National Cardiovascular Disease Registry's Practice Innovation and Clinical Excellence Registry. J Am Coll Cardiol 2015; 65:111–21. Abstract.
2. Verheugt FWA. The role of the cardiologist in the primary prevention of cardiovascular disease with aspirin. J Am Coll Cardiol 2015; 65:122–23. Editorial

Optimalisasi Pengobatan Tekanan Darah dengan Fixed-Dose Combination Perindopril / Amlodipine pada pasien dengan Hipertensi Arterial

MESKIPUN pemahaman dan kesadaran tentang peranan hipertensi pada penyakit kardiovaskuler terus – menerus meningkat, World Health Organization (WHO) membuat hipertensi sebagai faktor resiko mortalitas nomer 1 dengan 13% kematian di dunia yang disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan hipertensi.[1] Tentunya, pasien dengan hipertensi tidak terkontrol akan rutin ditemukan pada praktek kedokteran sehari-hari dan akan terus menjadi tantangan bagi banyak dokter.
Sekarang banyak diketahui bahwa banyak pasien yang memerlukan 2 atau lebih obat anti-hipertensi untuk mencapai dan menjaga tekanan darah agar terkontrol.[2] Oleh karena itu, terapi kombinasi telah didukung sepenuhnya oleh pedoman sebagai lini pertama dan lini kedua terapi alternatif. Belakangan ini, pedoman telah menetapkan bahwa strategi dengan memilih kombinasi penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dengan penghambat kanal kalsium (CCB) atau diuretik harus lebih diutamakan agar memaksimalkan cara kerja dan jalur molekuler mereka yang sinergis atau sejalan.[3] Khususnya, kombinasi penghambat Angiotension Converting Enzyme  (ACE) seperti perindopril, dengan CCB dihidropiridin seperti amlodipine, diharapkan memberikan perbaikan tekanan darah dan luaran kardiovaskuler, sembari meningkatkan aliran vena dan menurunkan kejadian oedema pada pengobatan amlodipine.[4,5] Selanjutnya, pedoman telah mendukung formulasi pil tunggal (Single pill) yang diyakini akan meningkatkan kepatuhan minum obat dan menurunkan kejadian kesalahan dalam pengobatan.
Pengobatan hipertensi dengan perindopril / amlodipine belakangan ini diakui dengan bentuk Fixed-Dose Combination (FDC), sesuai dengan rekomendasi pedoman dan didukung dengan hasil studi ASCOT (Anglo-Scandinavian Cardiac Outcome Trial) dan dengan data tambahan yang menjelaskan setiap obat sebagai monoterapi. [3-6] Pada studi ASCOT, pengobatan pada pasien hipertensi dengan kombinasi CCB (amlodipine) dan penghambat ACE (perindopril) dengan jelas menurunkan mortalitas dan kejadian kardiovaskuler dibandingkan dengan pengobatan dengan penyekat reseptor beta-adrenergik atau strategi dengan diuretik tiazid.[7] Selanjutnya, amlodipine, yang mana juga digunakan untuk mengurangi nyeri dada pada pasien penyakit arteri koroner, telah menunjukkan penurunan tekanan darah dan kejadian kardiovaskuler pada pasien hipertensi dengan atau tidak adanya penyakit arteri koroner.[8-11] Perindopril telah menunjukkan penurunan tekanan darah secara efektif, memperbaiki fungsi endotel dan abnormalitas dari struktur dan fungsi pembuluh darah yang berkaitan dengan hipertensi untuk memperlambat aterosklerosis dan mortalitas kardiovaskuler secara signifikan pada banyak pasien.
Pengobatan dengan fixed-dose combination menggunakan penghambat Angiotension-Converting Enzyme (ACE), seperti perindopril ditambah dengan penghambat kanal kalsium (CCB), seperti amlodipine, telah didukung oleh pedoman karena mereka memperbaiki kontrol tekanan darah dan luaran kardiovaskuler pada pasien hipertensi, sementara itu juga dapat ditoleransi dan ditaati dengan baik oleh pasien.
Berdasarkan Studi SYMBIO (StudY of optiMized Blood pressure lowering therapy with fixed cOmbination perindopril / amlodipine), studi ini untuk mengetahui kenyataan pada praktek klinis pada efek penurunan tekanan darah dan toleransi perindopril / amlodipine FDC pada pasien yang pernah diobati dengan penghambat ACE dan / atau CCB namun hipertensinya tidak terkontrol dan pada hipertensi yang terkontrol namun tidak toleran pada pengobatan penghambat ACE dan / atau CCB yang sebelumnya, dokter internis dan dokter umum di Slovakia diminta untuk mempertimbangkan pendaftaran pada pasien hipertensi yang diobati dengan penghambat ACE dan / atau CCB (terutama amlodipine) untuk hipertensi dan yang telah diobati dengan perindopril / amlodipine FDC oleh dokter. Pasien tersebut adalah pasien yang memiliki hipertensi yang tidak terkontrol secara adekuat (TDS/TDD > 140 / 90 atau > 130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes melittus tipe 2 atau dengan resiko tinggi kardiovaskuler[2]) atau pasien dengan tekanan darah terkontrol dalam pengobatan namun dengan pernah memiliki gejala yang dicurigai akibat toleransi buruk pada pengobatan penghambat ACE dan / atau CCB yang sebelumnya. Pasien dengan diekslusi apabila: mereka berumur kurang dari 18 tahun; memiliki hipersensitivitas atau tidak toleran pada perindopril atau amlodipine; memiliki infak miokard akut atau stroke akut dalam < 3 bulan; terdiagnosa atau dicurigai memiliki hipertensi sekunder; memiliki penyakit serius yang mempengaruhi prognosis; atau kontraindikasi pada pengobatan (seperti kehamilan dan wanita menyusui).


Figur 1. Tekanan darah setelah 1 bulan dan 3 bulan pengobatan dengan perindopril/amlodipine. (a) TDS dam TDD pada seluruh kohort; (b) TDS dinyatakan dengan tingkat dari hipertensi. Terdapat tiga tingkatan hipertensi menurut definisi pedoman hipertensi ESC/ESH 2007.[2] Mean dan standar deviasi dilaporkan; analisis dilakukan pada populasi yang ditujukan untuk diobati. Pada figur 1a jumlah pasien terhadap TDS digambarkan pada aksis x; jumlah pasien terhadap TDD sama + 5 pasien. Angka pada figur 1b sesuai dengan jumlah pasien pada setiap subgroup pada baseline. BP = Blood pressure; DBP = Diastolic BP; HTN = Hypertension; SBP = Systolic BP.  * p < 0,0001 vs baseline.

Figur 2. Persentase pasien yang mencapai tekanan darah target dari waktu ke waktu oleh tingkatan hipertensi. Nilai target dan kelompok berdasarkan keparahan didefiniskan menurut pedoman hipertensi ESC/ESH 2007.[2] Tekanan darah target didefiniskan sebagai TDS/TDS < 140/90 mmHg atau < 130/80 mmHg pada pasien diabetes mellitus tipe II atau dengan resiko tinggi kardiovaskuler. Analisa dilakukan pada populasi yang ditujukan untuk diobati. Angka sesuai dengan jumlah pasien setiap subgroup pada baseline. Pasien yang mencapai TD target saat baseline (n=140) tidak digambarkan. BP = Blood pressure; DBP = Diastolic BP; HTN = Hypertension; SBP = Systolic BP.


Keamanan dan toleransi
Pengobatan dengan FDC perindopril/amlodipine dapat ditoleransi dengan baik. Setelah 3 bulan pengobatan, efek samping yang paling sering terjadi adalah oedema tungkai (5,4%), dispneu (1,8%), sakit kepala (1,2%), batuk (1%) dan vertigo (1%). Tidak ditemukan adanya efek samping yang serius.
Jumlah pasien yang menderita edema tungkai akibat amlodipine menurun dari 163 dari 1085 pasien (15%) hingga 86 pasien (7,9%) setelah 1 bulan, pada pengobatan perindopril.
Pada SYMBIO sebuah studi fase IV, longitudinal selama 3 bulan mengenai pengobatan optimisasi dengan FDC perindopril/amlodipine menghasilkan penurunan signifikan secara klinis dan statistik pada tekanan darah pasien dengan insufisiensi kontrol hipertensi dan atau toleransi buruk pada pengobatan sebelumnya dengan ACE inhibitor dan atau CCB. Perubahan secara signifikan pada tekanan darah tercatat tanpa memperhatikan keparahan baseline dan pengobatan baseline. Target tekanan darah dicapai 74% populasi dari keseluruhan pasien, 84% pasien dengan hipertensi tingkat 1, dan 52% pasien dengan hipertensi tingkat 3. Pengobatan cukup bisa ditoleransi dan berhubungan dengan 58% penurunan jumlah pasien dengan edema tungkai akibat amlodipin.
Pentingnya kontrol tekanan darah secara berkala untuk kesehatan jantung jangka panjang sudah diketahui dengan baik.[ Selanjutnya, data dari studi jangka panjang sebelumnya menyimpulkan bahwa keuntungan studi jangka panjang akan dihasilkan dari pengobatan dengan FDC perindopril/amlodipin. Pada percobaan ASCOT-BPLA,[7] pengobatan 5 tahun dengan amlodipin/perindopril menyebabkan penurunan signifikan secara statistik pada mortalitas kardiovaskular (24%), stroke (23%), total kejadian kardiovaskular dan prosedur (16%), gagal jantung (16%), kejadian koroner total (13%), dan kematian akibat semua sebab (11%) dibandingkan pengobatan atenolol/bendroflumethiazide. Kemudian secara jangka panjang, pasien yang diobati dengan FDC perindopril/amlodipin diharapkan mengalami peningkatan morbiditas kardiovaskular dan mortalitas yang berhubungan dengan penurunan tekanan darah dari efek spesifik perindopril/amlodipin.
Pada studi sekarang, dimana 77% pasien diobati dengan ACE inhibitor atau kombinasi dengan CCB sebelum kriteria inklusi, penggantian pengobatan baseline ACE inhibitor/amlodipin dengan kombinasi pasti perindopril/amlodipin menyebabkan penurunan signifikan pada tekanan darah. Hasil ini mungkin bisa dijelaskan perbedaan relevan secara klinis pada profil ACE inhibitor yang berbeda. Tentu saja karena ACE inhibitor memiliki farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda, profil efikasi dan tolerabilitas diharapkan berbeda juga. Contohnya perindopril dimana telah didemonstrasikan efikasi antihipertensinya selama 24 jam dengan pengobatan 1 kali sehari. Dengan rasio menuju puncak 75-100%, perindopril menunujukkan bahwa ia memiliki efikasi 24 jam ketika ditambahkan CCB kerja panjang amlodipin dengan rasio menuju puncak 87%.[19]

KESIMPULAN
Data dari studi ini mendemostrasikan bahwa pada praktek klinik sehari-hari di Slovakia, perindopril/amlodipin FDC cukup efektif dan memiliki toleransi baik pada penurunan tekanan darah hingga mencapai target tekanan darah yang direkomendasi pada pasien yang memiliki banyak faktor resiko dan komorbiditas. Meskipun terbukti bahwa keuntungan pada penggunaan amlodipin/perindopril pada pasien hipertensi yang bebas dari penyakit jantung terhadap morbiditas dan mortalitas,[18] studi tambahan untuk jangka panjang yang spesifik pada FDC perindopril/amlodipin dibutuhkan, untuk menunjukkan penurunan tekanan darah pada studi ini dan disimpukan menjadi penurunan morbiditas kardiovaskular dan peningkatan kelangsungan hidup. Meskipun demikian, data perindopril/amlodipin yang ada disini digabungkan dengan data yang membuat tentang amlodipin dan perindopril menunjukkan bahwa perindopril/amlodipin FDC sangat efektif dan mudah digunakan sebagai pilihan pengobatan jangka panjang untuk hipertensi arterial. (Refferensi dapat dilihat di sini)

Evan Hindoro, Arlis Karlina

Kombinasi Antibiotik dan Spirinolakton Meningkatkan Kejadian Kematian Mendadak pada Usia Lanjut

Peresepan antibiotik yang sering digunakan seperti trimetroprim-sulfametoksazol bersamaan dengan spirinolakton, diuretik yang digunakan untuk pasien dengan gagal jantung, dapat meningkatkan risiko pasien usia lanjut untuk kematian mendadak, berdasarkan hasil penelitian di Kanada. Penelitian tersebut dipublikasikan online tanggal 2 Februari 2015 oleh Canadian Medical Association Journal (CMAJ).
Para peneliti yang dipimpin oleh Tony Antoniou, PhD, dari St. Michael's Hospital di Toronto, Ontario, Canada, memeriksa data pasien  berusia 66 tahun atau lebih yang diterapi dengan spirinolakton selama tahun 1994 hingga 2011. Analisis data berasal dari resep pasien, perawatan di rumah sakit dan catatan asuransi kesehatan, termasuk juga data demografik dasar dari kantor catatan kependudukan Ontario. Dari kelompok 206.319 pasien yang diteliti, 11.968 meninggal mendadak dan 349 meninggal dalam waktu 14 hari saat diresepkan satu dari lima antibiotik.
Secara garis besar, 29.141 penggunaan trimetroprim-sulfametoksazol pada pasien yang diresepkan spirinolakton terkait dengan 215 kematian dalam 14 hari, dengan nilai persentase 0,74%.
Pasien yang diresepkan trimetroprim-sulfametoksazol telah mempunyai risiko lebih dari dua kali (adjusted odds ratio [OR], 2.46; 95% dengan confidence interval [CI], 1.55 - 3.90) untuk kematian mendadak dibandingkan pasien yang diresepkan amoksilin, antibiotik yang umum lainnya.
Diantara antibiotic lainnya dalam penelitian, ciprofloxacin (adjusted OR, 1.55; 95% CI, 1.02 - 2.38) dan nitrofurantoin (adjusted OR, 1.70; 95% CI, 1.03 - 2.79) juga menunjukkan peningkatan risiko dibandingkan dengan amoksisilin, walaupun risikonya berkurang pada nitrofurantoin pada analisis selanjutnya. Norfloxacin (adjusted OR, 0.86; 95% CI, 0.47 - 1.58) menunjukkan tidak ada risiko.
Lebih dari 20 juta peresepan trimetroprim tercatat di America Serikat setiap tahunnya. Obat tersebut paling sering digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih dalam kombinasi dengan sulfametoksazol.
Penulis menyatakan bahwa trimetroprim-sulfametoksazol dan spirinolakton merupakan obat yang sering diresepkan, dan tinggi kecenderungannya untuk diresepkan bersamaan. Mereka juga menyampaikan bahwa dokter mungkin meremehkan bahayanya pada pasien dengan penyakit jantung, menyalahkan kematian akibat penyakit jantung, dibandingkan hiperkalemia.
Claudene George, MD, RPh, assistant professor of clinical medicine, geriatrik, di Albert Einstein College of Medicine, Bronx, New York, memberitahu Medscape Medical News bahwa hasil penelitian menjadi peringatan dan mereka akan merubah praktek peresepannya.
"Saya akan berpikir dua kali saat mempertimbangkan pilihan antibiotik untuk pasien dengan spirinolakton,” kata beliau. “Jika pilihan yang cocok tidak tersedia, maka kadar kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor ketat selama terapi.”
Dr. George menyampaikan bahwa penisilin dan sefalosporin mungkin merupakan alternative antibiotic yang cocok. Ciprofloxacin biasanya merupakan alternative yang baik “tetapi juga terkait dengan peningkatan risiko dari kematian jantung mendadak, yang cukup mengejutkan,” ujarnya.
Jika tidak ada alternatif lain yang cocok, dokter harus mengawasi kadar kalium dan mempertimbangkan klirens kreatinin pasien saat obat tersebut digunakan secara bersamaan.
Dr. George menambahkan bahwa awalnya beliau berpikir bahwa fungsi ginjal memainkan peran penting yang menyebabkan hiperkalemia dan kematian mendadak, sesuatu yang tidak digali dalam penelitian.
Pada studi sebelumnya, Dr. Antoniou dan kolega menemukan bahwa trimetroprim-sulfametoksazol, dikombinasi dengan spirinolakton, mencetuskan hiperkalemia lebih dari 12 kali dibandingkan amoksisilin.
"Kami menemukan bahwa trimetoprim–sulfametoksazol terkait dengan peningkatan risiko bermakna dari kematian mendadak pada pasien usia lanjut yang menggunakan spirinolakton, sebuah temuan yang diduga akibat hiperkalemia yang dicetuskan trimetroprim. Kami juga menemukan bahwa terdapat kaitan klinis yang cukup penting pada ciprofloxacin dan kemungkinan nitrofurantoin,” penulis menyimpulkan. “Ketika tepat secara klinis, klinisi harus mempertimbangkan alternatif antibiotik lain pada pasien dalam terapi spirinolakton” (Antibiotic, Spironolactone Combo Ups Sudden Death in Elderly. Medscape. Feb 03, 2015)

Rendy Suherman Sidik

Kardiologi Kuantum (ke-32): Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity)

Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. (It is said that the well-known Buddha and Shiva are two different substances. They are indeed different,  yet how is it possible to recognise their difference in a glance, since the truth of Jina (Buddha) and the truth of Shiva is one. They are indeed different, but they are of the same kind, as there is no duality in Truth). ~Dr. Soewito Santoso*)

SALAM KARDIO. Hari-hari ini para dokter dan petugas kesehatan lainnya di Timur tengah pastilah sedang sibuk-sibuknya bekerja karena ada eskalasi pertempuran dengan masuknya kombatan Koalisi baru  Yordania yang telah menganggap perangnya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) adalah perangnya sendiri bersamaan dengan Koalisi USA, Inggris dan teman-temannya. ISIS diketahui telah membantai  Shiah, Sunni, dan Kurdi di Siria dan Iraq. Setelah Letnan Muath Al Kassasbeh seorang Pilot F-16 Yordania dibakar hidup-hidup dan Haruna Yukawa (42) dibunuh dengan keji, dan jurnalis Jepang Kenji Goto (47) dipotong lehernya, dan Kayla Moeller (26) diperkirakan diculik ISIS pada 4 Agustus 2013 di kota Aleppo, usai bekerja di sebuah rumah sakit yang dikelola lembaga Doctors Without Borders asal Spanyol.Banyak pemimpin dunia terperangah dan merasa kebi-ngungan melihat sepak terjang ISIS yang saat ini telah menguasai sepertiga wilayah Syria dan Iraq. Dari kacamata ideal Unity in diversity  sering terlihat betapa sulitnya menyatukan perbedaan berbagai kelompok sekalipun esensi syahadat/ kredo/ pahuger-an-nya sama dalam satu religi, mungkin politik dengan keinginan memaksakan kehendaknya dalam memperebutkan kekuasaanlah yang membedakannya. Mereka berpesta-pora kekerasan berdarah-darah orang lain masih menebak-nebak apa yang diperjoangkan, yang pasti orang-orang kesehatan dan kemanusiaanlah yang “mencuci” piring-piringnya. Boleh jadi kalau diperiksa oleh dokter yang mengikuti pola diagnosis Freud pastilah banyak diantara mereka yang kurang sehat jiwanya, entah depresi, paranoid maupun neurotik.
Adalah kenyataan bahwa Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan, namun umat Islam di Indonesia menempati posisi yang terbesar jumlahnya. Di dunia yang sedang bergolak memperebutkan kekuasaan ini populasi muslim di Indonesia menduduki posisi terbesar jumlahnya diharapkan pemikirannya pun dapat dijadikan juga sebagai referensi terbesar di dunia. Islam di Indonesia harus mampu menunjukkan diri sebagai Islam yang moderat dan toleran. Islam yang mampu menjaga kebersamaan dan kedamaian adalah Islam yang menjadi jalan tengah arus pemikiran solusi peradaban dunia. Itulah yang menjadi harapan Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla ketika menyampaikan pidato pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Senin (9/II-2015). “Pemikiran-pemikiran Islam yang baik harus menjadi referensi dunia, yakni Islam yang moderat, Islam yang jadi jalan tengah,” demikian menurut beliau. Pertemuan ini difahami sebagai pertemuan puncak para ulama, cendekiawan, pengusaha, dan perwakilan ormas Islam se-Indonesia, dihadiri sekitar 400 peserta.
Ada baiknya para dokter dan siapa saja juga belajar dari alam, alam semesta seakan-akan membuka dirinya bahwa ia memang tidak memiliki (kesadaran) ego tetapi sebaliknya dan pasti memiliki ke(tidak) sadaran kolektif. Tentu saja pemahaman ini terasa pas bagi para dokter yang mengkritisi pemikiran Dokter Sigmun Freud bahwa ketidak sadaran atau kesadaran yang berbau kolektif; dalam pemahaman atheis, Kesadaran Kolektif (Tuhan) memang dianggap tidak ada. Tengoklah keatas, pertama, sepertinya langit maha mengayomi dan tanpa pilih kasih, memayungi menerima semua di bawahnya. Oleh karena itu dapat dimengerti orang-orang Tiongkok sejak dulu banyak yang menganggap bahwa Langit-lah yang menjadi Tuhan (Sang Ti); kasihnya tidak memilih. Kedua, ada langit di atas sana, maka di bawah ini ada bumi yang berfungsi mendukung semua kehidupan di atasnya, juga tidak pilih kasih walaupun ia di-“sakiti” oleh petani. Tanahnya dicangkul, diluku dan di garu di bolak-balik tanahnya, tetap mendukung petani untuk memberikan hasil pertanian yang bermanfaat sesuai keinginan petaninya, yaitu ketika yang ditanam padi maka akan menghasilkan padi juga, bukan jagung.
Ketiga, matahari dan rembulan juga menerangi tanpa pilih kasih. Konon, sebagian besar nenek-moyang bangsa Jepang termasuk menyembah, mengagungkan Matahari, ini dapat dilihat dari benderanya yang bergambar matahari di tengahnya dan berwarna merah dengan dasar putih. Menurut catatan Wikipedia, bendera ini secara resmi disebut Nisshōki (日章旗, "bendera simbol matahari") dalam bahasa Jepang, namun secara umum dikenal sebagai Hinomaru (日の丸 ?, "lingkaran matahari). Bendera lingkaran matahari dipakai sebagai bendera nasional untuk kapal-kapal dagang berdasarkan Maklumat No. 57 tahun 3 Meiji (dikeluarkan pada 27 Februari 1870), dan sebagai bendera nasional yang digunakan oleh Angkatan Laut menurut Maklumat No. 651 tahun 3 Meiji (dikeluarkan pada 27 Oktober 1870). Apakah nenek moyang Jepang menganggap bahwa panas matahari akan menguapkan air, dan uap air ini diatas sana akan menjadi awan dan menurunkan hujan yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan sehingga mereka mengagungkannya, wallahu a’lam, tetapi setiap bangsa, setiap religi selalu ada yang di agungkannya. Orang Jawa menyebut matahari sebagai Srengenge, orang Sunda menyebutnya Panon Poek, orang Inggris menyebut The Sun dan orang Belanda menyebutnya sebagai De Zon, padahal itu-itu juga yang ditunjuk. Mataharinya satu tetapi setiap suku, setiap bahasa menyebutnya berlainan, walaupun bermacam-macam nama, maknanya satu jua pemaknaan ini tercakup di dalam pengertian unity in diversity, bhinneka tunggal ika.
Di dalam forum KTT ASEAN ke-25 di Nay Pyi Taw Myanmar, Kamis 13 November 2014 yang lalu, Presiden Jokowi menyebutkan betapa posisi jalur laut Indonesia sangat strategis sehingga RI akan fokus memilih menjadi negara maritim. Indonesia menganggap KTT Asia Timur berperanan penting bagi keamanan, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi di kawasan pantas untuk menyampaikan gagasannya tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Pada abad ke-21 ini sedang terjadi pergeseran pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia dari Barat ke Asia Timur. Pertumbuhan ekonomi di kawasan ini yang rata-rata 7% pertahun, dengan total GDP sekitar USD 40 trilyun menempatkan Asia Timur paling dinamis secara ekonomi dengan 40% perdagangan dunia terjadi di kawasan ini.
Jalur laut yang menghubungkan dua samudra strategis—Hindia dan Pasifik—merupakan jalur penting lalu-lintas perdagangan dunia. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah “lorong” lalu lintas maritim dunia yang di dalamnya menyimpan potensi kekayaan besar—energi dan sumberdaya laut lainnya—yang akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan. Indonesia berada tepat di tengah-tengah proses perubahan strategis itu, terbuka peluang peranannya baik secara geografis, geo-politik, maupun geo-ekonomi. Ada lima pilar yang diajukan beliau yang dimulai dari 1. membangun kembali budaya maritim pada 17 ribu pulaunya, 2. pembangunan kedaulatan pangan laut melalui industri perikanan dan nelayan sebagai pilar utamanya, 3. prioritas pembangunan infrastruktur maritim, Tol Laut, industri perkapalan sampai pariwisata maritim, 4. diplomasi maritim yang mempersatukan kawasan untuk menghilangkan konflik di laut, pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut, dan akhirnya, 5. pembangunan kekuatan pertahanan maritim untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim NKRI.
Dengan menjadi satunya  samudera Pacifik, Atlantik, Arctik, dan Hindia antara lain melalui Terusan Nicaragua yang akan dibuat oleh Tiongkok. Sementara itu disebelah tenggara Terusan Nicaragua yaitu terusan Panama dan nun jauh di sana Terusan Suez terlihat juga gerak pembangunannya untuk meningkatkan kemampuan transitnya sebanyak duakali telah terasa telah menyatukan 4 samudera dan 5 benua, menjadikan kita semua bersaudara, maka Poros Maritim Indonesia menjadi komplemen maritim dunia bagi unity in diversity. Semoga Tuhan YME mengabulkannya, amin. Salam Kuantum
(Budhi S. Purwowiyoto)

*) Santoso, Soewito Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana 975:578. New Delhi International Academy of Culture