pita deadline

pita deadline

Senin, 04 Juni 2012

Pencitraan Non Invasif pada Sindroma Nyeri Dada Akut

Penggunaan terkini pencitraan jantung difokuskan pada tiga aspek untuk penanganan pasien dengan nyeri dada:
1.  Pencitraan diharapkan mampu meningkatkan kevalidan diagnosis pada situasi akut
2.  Pencitraan mempunyai peranan untuk penapisan selain koroner sebagai penyebab nyeri dada
3.  Penggunaan pencitraan untuk stratifikasi resiko jika infark miokard telah disingkirkan pada chest pain unit.

Teknik pencitraan pada pasien dengan kecurigaan nyeri dada karena sebab iskemik
Untuk membantu diagnosis sindrom koroner akut (SKA), modalitas pencitraan dapat mengevaluasi perfusi miokard/fungsi ventrikel atau anatomi koroner. Bukti obyektif adanya iskemia atau sumbatan kroner dapat mengurangi waktu pengobatan pada pasien dengan dugaan SKA, sedangkan ekslusi dari adanya iskemi dapat mempercepat waktu kepulangan pasien dengan aman.

Ekokardiografi
Analisa adanya transient segmental hipokinesia atau akinesia mungkin dapat dideteksi selama iskemia, juga diagnosa banding seperti diseksi aorta, emboli paru, stenosis aorta, hipertrofi kardiomiopati, atau efusi perikard dapat diidentifikasi.
Perubahan regional wall motion abnormalities (RWMA) yang baru dapat menjadi petunjuk untuk membantu diagnosis SKA pada pasien dengan EKG yang sulit dievaluasi perubahannya (LBBB atau irama pacu jantung).
Penggunaan kontras atau myocardial contrast echocardiography pada pasien dengan nyeri dada berkelanjutan dikatakan sama akuratnya dengan resting MPI sebagai deteksi awal untuk kebutuhan revaskularisasi dini.
Stress echocardiography mempunyai kemampuan untuk stratifikasi resiko sebelum pasien pulang ke rumah. Sensitifitas dan spesifitas untuk endeteksi PJK obstruktif adalah masing-masing 86% dan 81%. Begitu pula dalam pemantauan 6 bulan, Negative Predictive Value (NPV) untuk cardiac event awal dan lanjut berkisar 91-96%.

Pencitraan nuklir
Sensitivitas rest MPI untuk akut MI >90% pada onset nyeri kurang dari 6 jam. Sementara NPV berkisar 99%, sehingga jika pasien dengan nyeri dada berkelanjutan mempunyai normal rest MPI, dikatakan kemungkinan besar pasien tidak dalam kondisi SKA. Pasien dengan rest MPI normal memiliki kemungkinan sangat kecil < 1% untuk 30 hari cardiac event rate dan jika memiliki abnormal rest MPI mempunyai kemungkinan 10-30% terjadinya 30 hari cardiac event rate. Walaupun single rest MPI tidak dapat membedakan antara SKA dan berkurangnya regional aliran darah karena infark sebelumnya.

CT Scan Jantung
Saat ini 64 slices CT scan merupakan syarat minimum untuk pengerjaan CT angiografi, dengan denyut nadi dibawah 60 kali permenit untuk mencapai kualitas pencitraan yang optimal. Pada pasien dengan denyut nadi tinggi, terdapat aritmia, obesitas yang ekstrem atau kesulitan untuk menahan nafas, penggunaan CT angiografi koroner (CTCA) hendaknya dikaji ulang.

Skor kalsium
Kalsifikasi didalam arteri koroner dapan dideteksi dan dikuantifikasi tanpa menggunakan cairan kontras. Kalsium pada arteri korener selalu disebabkan oleh proses aterosklerosis, kecuali pada pasien dialisis, kalsifikasi ini dapat tidak disebabkan oleh aterosklerosis. Kuantifikasi dari kalsium koroner ini dalam banyak penelitian merupakan prognostik yang sangat baik berkorelasi dengan kejadian kardiovaskular utamanya infark miokard dan kematian karena sebab jantung pada kondisi prevensi primer. Tetapi adanya kalsium koroner tidak berguna pada kondisi SKA, karena ketiadaan kalsium tidak untuk menapiskan SKA.

CT angiografi koroner
CTCA merupakan metode yang dapat memvisualisasikan arteri untuk mendeteksi dan terutama menapiskan stenosis. Banyak penelitian terkait dengan SKA, antara lain ACCURACY dengan pasien resiko rendah SKA, didapatkan sensitivitas 95-99%, spesifitas 64-83%, dan NPV 97-99% untuk mengidentifikasi sedikitnya satu arteri koroner yang mengalami stenosis. PPV cukup rendah 64-86%, hal ini disebabkan kecenderungan untuk estimasi yang berlebihan pada derajat stenosis di tempat yang terdapat kalsifikasi.
Berbagai konsensus ahli ACCF/SCCT/ACR/AHA/ASE/ASNC/NASCI/SCAI/SCMR tahun 2010 juga ESC guidelines terbaru untuk manajemen pasien non-STEMI mengemukakan bahwa keutamaan penggunaan CTCA adalah untuk menapiskan adanya stenosis pada kondisi nyeri dada akut. Penelitian CT-STAT yang melibatkan 16 lokasi penelitian secara acak dengan 700 pasien, mengkonfirmasi bahwa penggunaan CTCA adalah aman dan cost-effective untuk mengevaluasi pasien dengan resiko ringan nyeri dada akut.
Pada kondisi yang ideal, CTCA dapat memberikan informasi detail visualisasi baik stenosis maupun non stenosis plaque aterosklerosis koroner. Lesi terkait SKA seringkali tampak sebagai lesi dengan volume besar dan didominasi oleh non calcified plak, juga positive remodelling.
Kombinasi antara CTCA dan CT perfusi menarik untuk dikaji lebih dalam, tetapi hinngga kini belum tampak kegunaan secara klinis pada kondisi nyeri dada akut.


MRI Jantung
Kelebihan MRI jantung adalah dapat membedakan antara kondisi akut dan kronik infark miokard berdasar teknik pencitraan T2-weighted oedema. Selain itu sebagaimana ekokardiografi, juga bisa menganalisa RWMA kondisi resting, juga diseksi aorta dan Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (HOCM) yang presentasi klinisnya mirip SKA. Lebih lanjut, CMR mempunyai kemampuan unik mengidentifikasi kondisi miokarditis yang juga dapat datang dengan kondisi seperti SKA.
Stress CMR dengan dobutamine mempunyai kemampuan NPV yang baik untuk memprediksi flow-limiting stenosis. Selain itu kini penggunaan vasodilator seperti adenosine juga aman digunakan pada kondisi SKA untuk menilai myocardial inflow yang tampak sebagai berkurangnya cadangan perfusi segmental yang menunjukkan kondisi iskemia. Selain itu untuk penilaian microvascular dysfunction termasuk microvascular spasm yang juga sebagai penyebab nyeri dada akut akan tampak sebagai circular subendocardial delay dari gadolinium yang masuk pada miokard. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada teknik first pass perfusion.


Teknik pencitraan pada pasien dengan kecurigaan nyeri dada karena sebab non iskemik

Emboli paru
Pencitraan yang dapat digunakan adalah CT angiografi secara direk dan TTE/TEE secara indirek dengan melihat gagal jantung kanan. CMR pulmonary angiografi juga dapat digunakan untuk kondisi ini.

Sindroma Aorta Akut
Merupakan sebuah spektrum yang mengancam jiwa meliputi diseksi aorta, hematom intramural, penetrating atherosclerotic ulver dan komplit atau inkomplit ruptur dari aneurisma aorta. Pencitraan diperlukan untuk menentukan apakah diperlukan tindakan pembedahan, intervensi perkutan atau konservatif. Pencitraan hendaknya dilakukan pada keseluruhan aorta mulai aorta ascendence hingga arteri iliaka. CMR dan CTCA mempunyai keunggulan untuk menilai lebih komprehensif. CTCA lebih memungkinkan untuk digunakan pada kondisi akut di emergency departement. TEE digunakan jika pasien dalam kondisi hemodinamik tidak stabil di unit perawatan intensif. Guidelines terkini menyatakan bila kecurigaan tinggi secara klinis tetapi modalitas awal memberikan hasil negatif, hendaknya diulang dengan modalitas yang lain.

Perikarditis
Ekokardiografi merupakan modalitas yang dianjurkan sebagai inisiasi karena cepat dan mudah dilaksanakan.Diagnosa perikarditis ditegakkan jika pasien terdapat efusi perikard dengan tidak adanya regional wall motion abnormality pada non diagnostik EKG yang disertai nyeri dada menetap. Bila terdapat keterbatasan jendela akustik dapat dilakukan CTCA atau CMR.

Miokarditis
Modalitas pencitraan yang dianjurkan adalah MRI jantung karena dapat memberikan informasi tentang adanya edema, inflammatory hyperemia dan irreversible inflammatory injury sesuai kriteria Lake Louise. Memang hingga kini penelitian masih berlanjut dengan menyertakan biopsi endomiokardium sebagai standart emas. Penggunaan CMR untuk evaluasi miokarditis ini mempunyai spesifitas dan PPV yang tingi tapi sensitivitas sekitar 67%.


Berikut adalah tabel dari ESC guidelines pada SKA yang menyertakan teknik pencitraan untuk validasi diagnostik. (Euro H Jou–Cardiovascular Imaging (2012) 13; 69–78)





Dr Saskia Handari, SpJP

Sumber:
Non-invasive imaging in acute chest pain syndromes
Udo Sechtem1*, Stephan Achenbach1,2, Matthias Friedrich 1,3,4,5,6,7,
Frans Wackers1,8,9,10, and Jose´ L. Zamorano1,11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar