pita deadline

pita deadline

Senin, 04 Juni 2012

Rivaroxaban Memperkecil Resiko Terjadinya Kejadian Kardiovaskular pada Pasien Sindroma Koroner Akut

RIVAROXABAN, suatu penghambat faktor Xa, terbukti mengurangi kejadian kardiovaskular (kematian kardiovaskular, stroke, atau serangan jantung) pada pasien sindroma koroner akut dibandingkan dengan tatalaksana standar. Penlitian ini dipresentasikan pada uji klinis Sunday’s Late Breaking.
Penelitian Anti Xa Therapy Rivaroxaban To Lower Cardiovascular Events in Addition to Standart Therapy in Subject with Acute Coronary Syndrome-Thrombolysis in Myocardial Infarction 51 (ATLAS ACS 2-TIMI 51) menunjukkan adanya penurunan semua penyebab mortalitas lebih dari 30% dan trombosis Stent sebanyak 31% pada pasien dengan Rivaroxaban.
ATLAS ACS 2-TIMI 51 merupakan suatu penelitian tahap 3 dengan randomisasi, tersamar ganda, placebo-controlled, event-driven yang mengikutsertakan 15.526 pasien sindroma koroner akut rawat inap. Semua pasien diterapi dengan aspirin dosis rendah dan distratifikasi dengan petunjuk dokter berdasarkan penggunaan thienopyridin (Clopidogrel atau Ticlodipin; Stratum 2) atau tidak (Stratum 1). Pasien dirandomisasi dengan rasio 1:1 untuk menerima Rivaroxaban 2,5 mg 2 kali sehari (5.174 pasien), rivaroxaban 5 mg 2 kali sehari (5.176 pasien) atau plasebo 2 kali sehari.
Sasaran efektivitas primer adalah gabungan dari kematian kardiovaskular, infark miokard atau stroke. Pendarahan mayor merupakan sasaran keamanan primer dari penelitian.
Analisis awal dilaksanakan pada pasien-pasien yang menerima Rivaroxaban dengan kedua dosis. Pada akhir tahun ke 2, pasien dengan Rivaroxaban mengalami penurunan resiko kematian kardiovaskular, stroke, dan serangan jantung sebanyak 16% dibandingkan dengan pasien yang menerima tatalaksana standar (Hazard ratio: 0,84 ; 95% interval kepercayaan: 0,74-0,96)
Pada sasaran primer didapati 8,9%  pasien dengan Rivaroxaban dan 10% pasien dengan tatalaksana standar mengalami kematian kardiovaskular, stroke, serangan jantung.
Ketika dianalisa berdasarkan dosis, pasien yang menerima rivaroxaban 5 mg 2 kali sehari mengalami penurunan 15% resiko kematian kardiovaskular, stroke, dan serangan jantung dibandingkan tatalak-sana standar, tetapi risiko kematian kardiovaskular sama pada kedua kelompok.
Rivaroxaban 2,5mg 2 kali sehari terbukti bermanfaat pada semua sasaran termasuk kematian kardiovaskular dan kematian dengan segala penyebab. Data-data ini juga menunjukkan hasil yang signifikan ketika dianalisa pada pasien yang menerima aspirin dan thienopyridine yang menjadi 93% populasi pasien.
Untuk ukuran keamanan primer, Rivaroxaban meningkatkan insiden perdarahan mayor secara signifikan. Insiden perdarahan selama 2 tahun adalah 2,4% untuk Rivaroxaban 5 mg 2 kali sehari, 1,8% untuk Rivaroxaban 2,5 mg 2 kali sehari, dan 0,6% untuk pasien dengan plasebo (p<0,001 dibandingkan dengan tatalaksana standar). Walaupun resiko perdarahan lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan Rivaroxaban, insiden perdarahan fatal sama antara pasien dengan Rivaroxaban dengan  terapi standar.
Michael Gibson, MD, MS, peneliti senior dari TIMI Study Group dan kepala peneliti ATLAS ACS STUDY mengatakan “Rivaroxaban sebagai tambahan terhadap terapi  antiplatelet merupakan strategi efektif untuk mengurangi kejadian kardiovaskular pada pasien sindroma koroner akut.”
Walaupun resiko perdarahan mayor dan perdarahan intrakranial lebih tinggi pada pasien yang menerima Rivaroxaban jangka panjang, Gibson mengatakan bahwa tidak ada resiko perdarahan intrakranial fatal atau perdarahan fatal yang berlebihan. Apakah Rivaroxaban sebaiknya diberikan kepada pasien lebih dari 2 tahun masih merupakan diskusi terbuka. Efektifitas Rivaroxaban dengan latar belakang terapi antiplatelet menimbulkan pertanyaan apakah pantas untuk mengurangi terapi lain sementara terapi baru dimulai.
Hasil-hasil ini dipublikasikan secara berkesinambungan pada The New England Journal of Medicine edisi Nov.13.

Administrasi abciximab
Pada presentasi terkini abciximab bolus yang diberikan intrakoroner terbukti mempunyai efektivitas yang sama dengan pemberian intravena selama intervensi koroner perkutan (Percutaneous Coronary Intervention /PCI) setelah ST Elevation myocardial infarction (STEMI). Akan tetapi, pemberian intrakoroner mempunyai hubungan yang erat dengan menurunnya kejadian gagal  jantung di masa mendatang. Kata Holder Thiele, MD, Kepala Penelitian Abciximab Intracoronary versus Intravenously Drug Application in ST/Elevation myocardial infarction (AIDA STEMI) dan wakil direktur departemen Penyakit Dalam dan Kardiologi University of Leipzig. Abciximab menghambat agregrasi platelet dan merupakan penghambat reseptor IIb/IIIa yang ditemukan pada platelet.
AIDA STEMI merandomisasi 2.065 pasien untuk menerima Abciximab baik secara  intrakoroner (1.032 pasien) atau intravena (1.033 pasien). AIDA STEMI merupakan penelitian dengan randomisasi pertama yang mempunyai kekuatan yang cukup untuk meneliti sasaran klinis dari morbiditas dan mortalitas kardio dari pasien STEMI yang menjalani PCI. Sasaran utama dari penelitian AIDA STEMI Jerman merupakan suatu sasaran gabungan dari kematian dengan segala sebab, infark berulang atau gagal jantung kongestif baru dalam 90 hari setelah mendapatkan obat.
Thiele menunjukkan adanya 7% kematian dalam 90 hari, menderita serangan    jantung berulang atau gagal jantung baru dari pasien yang menerima abciximab intrakoroner dan 7,6% dari pasien yang menerima abciximab secara intravena. Perbedaan ini tidak signifikan karena penelitian ini mempunyai kekuatan untuk menunjukan 4% pengurangan absolut pada penggunaan abciximab intrakoroner.
Pada sasaran primer gabungan tidak ditemukan adanya kematian atau infark berulang pada pasien yang menerima abciximab. Akan tetapi, insiden gagal jantung lebih rendah secara signifikan ditemukan pada pasien yang menerima abciximab intrakoroner (2,4% vs 4,1% untuk pemberian intravena, p=0,04). Akan tetapi penelitian tidak bisa dikonfirmasi dengan melihat pada ukuran infark pada saat resolusi segmen ST.
AIDA STEMI dilaksanakan karena laporan sebelumnya mengatakan abciximab intrakoroner menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi pada daerah terapi, menjaga jaringan dan fungsi jantung, akan tetapi, pada populasi yang besar ini, efektifitas Abciximab s intrakoroner dan intravena mempunyai efektivitas yang sama. Masih perlu dicari tahu apakah penyebab perbedaan hasil disebabkan oleh pasien risiko rendah, distribusi cepat abciximab intravena atau administrasi antiplatelet ganda.  Selain itu, apakah abciximab intrakoroner tidak dapat diberikan pada pasien dengan infark luas dan thrombus masih harus ditentukan. Panduan PCI 2011 mengindikasikan pemberian Abciximab intrakoroner pada pasien yang menjalani PCI primer.


Heparin pada pasien Non-STEMI 
Adnan Kastrati, MD, Kepala peneliti dan direktur dari ISAR Research Center at Deutsches Herzzentrun di German Heart Center, Munich, menyatakan dua obat antikoagulasi-heparin dan bivalirudin mempunyai efektifitas yang sama mencegah kematian atau kejadian kardiovaskuler lanjutan.
Pada penelitian Intracoronary Stenting dan Anti-Thrombotic Regiment: Rapid Early Action For Coronary Treatment (ISAR-REACT 4), 1.721 pasien Non-STEMI menerima terapi PCI (biasanya Baloon Angioplasty), dirandomisasi untuk menerima abciximab dan heparin (861 pasien) atau bivalirudin (861 pasien).
Pada penelitian tersamar ganda, sasaran primer gabungan dari kematian segala penyebab, infark miokard berulang, revaskularisasi target segera atau perdarahan mayor mencapai 10,9% pada pasien yang menerima abciximab dan heparin dan 11% yang menerima bivalirudin.
Kurva insiden kumulatif pasien yang menerima abciximab atau bivalirudin hampir sama. Data ini tidak signifikan karena penelitian ini didisain untuk menunjukan 30% penurunan angka kejadian pasien yang menerima abciximab dan heparin. Tidak  ada manfaat dari pasien yang menerima abciximab. Hal ini tampak pada beberapa analisis sub grup meliputi umur, jenis kelamin, indeks masa tubuh atau fungsi ginjal. Ketika tiap sasaran dipelajari terpisah, kurva insiden kumulatif dapat dianggap sama untuk kematian miokard infark dan revaskularisasi pembuluh darah target segera.
Untuk sasaran keamanan sekunder, episode perdarahan mayor terjadi secara signifikan pada pasien yang menerima abciximab dan heparin (4,7% vs 2,6% untuk Bivalirudin), dan pasien yang menerima abciximab dan heparin mempunyai 80% resiko perdarahan lebih besar dibandingkan bivalirudin.
Pasien pada penelitian ini diterapi dengan aspirin dan clopidogrel. Prasugrel atau ticagrelor, dua obat antiplatelet baru tidak digunakan untuk penelitian ini. Akan tetapi hal ini tidak akan mengubah hasil penelitian ini.
Abciximab dan bivalirdin digunakan secara luas pada pasien Non- STEMI. Sampai sekarang belum ada penelitian yang membandingkan kedua obat ini.
“Hasil penelitian ini bersama dengan hasil penelitian yang dilaporkan untuk STEMI menunjukkan Bivalirudin lebih dipilih pada pasien infark myokard akut yang menjalani PCI, baik dengan atau tanpa elevasi segmen ST,” ungkap Kastrati.
Hasil ini di publikasikan secara berkesinambungan pada The New England Journal of Medicine edisi Nov.13.

Hasil ADOPT 
Suatu uji klinis terkini lainnya mengemukakan apixaban, suatu penghambat langsung aktif faktor Xa oral yang diberikan selama 30 hari terbukti sama efektif dengan 6-14 hari terapi enoxaparin ketika diberikan pada pasien sakit yang berisiko tromboemboli vena.
Penelitian The Apixaban Dosing to Optimize Protection from Thrombosis (ADOPT)  menganalisa lebih dari 6500 pasien rawat inap dengan gagal jantung kongestif, gagal nafas akut atau kondisi lain yang berisiko tinggi terjadi tromboemboli vena. Pasien dirandomisasi untuk menerima apixaban (3,255 pasien) atau enoxaparine (3,273 pasien). Pasien menerima oral apixaban (2,5mg 2 kali sehari) selama 1 bulan atau enoxaparin (40mg per hari) selama sedikitnya 6 hari.
Hasil pemeriksaan tungkai dengan ultrasound pada hari ke-10 dan hari ke-30 dilakukan pada semua pasien, namun sebanyak 800 dan 1.000 pasien pada setiap  kelompok tidak ditindaklanjuti karena   pemeriksaan ultrasound tidak lengkap. Sasaran primer penelitian ini adalah gabungan dari tromboemboli vena dan kematian yang berhubungan dengan tromboemboli vena.
Sebanyak 2,7% (60 dari 2.211) pasien yang diberi apixaban selama 30 hari mengalami kejadian tromboemboli vena seperti kematian, trombosis vena dalam atau emboli paru. Sedangkan pasien yang menerima enoxaparin mengalami kejadian  serupa sebanyak 3,1% (70 dari 2.284). Perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (resiko relatif apixaban 0,87; p=0,44).
Perdarahan terjadi pada 7,7% pasien  dengan apixaban dengan enoxaparine, namun hal ini tidak signifikan. Akan tetapi pasien yang menerima Apizaban mengalami perdarahan mayor sebanyak 0,47%, sedangkan pasien dengan enoxaparine sebesar 0,19%. Perdarahan mayor adalah perdarahan yang menyebabkan kematian, stroke atau kejadian serius lainnya.
Pasien berumur 40 tahun keatas mempunyai keterbatasan gerak dan di rawat inap sedikitnya 3 hari.
Samuel Z. Goldhaber,MD Kepala peneliti dan direktur Venus Thromboembolism Research Group di Brigham dan Woman’s Hospital di boston mengatakan “ADOPT memiliki kekuatan penelitian yang rendah karena 1/3 pemeriksaan ultrasound tidak dilakukan. Lagipula penggunaan enoxaparin lebih dari 6 hari bahkan setelah pasien pulang bukan merupakan terapi standar. Pemeriksaan ultrasound pada hari ke-10 juga bukan merupakan standar pelayanan pada pasien pulang dan pasien yang sedang menjalani   therapi trombosis vena dalam silent.”
ADOPT tidak diterima secara luas pada pasien-pasien  rawat inap sebab pemeriksaan rutin tromboemboli vena tidak dilakukan saat pasien pulang. Kelompok risiko tinggi harus di identifikasi agar dapat menerima profilaksis tromboemboli vena.
Hasil ini di publikasikan secara berkesinambungan pada The New England Journal of Medicine edisi Nov.13.

Vorapaxar pada pasien sindroma koroner akut
Vorapaxar, suatu antagonis reseptor trombin yang diberikan pada therapi standard gagal memenuhi sasaran primer pada penelitian Thrombin Receptor Antagonist for Clinical Event Reduction in Acute Coronary Syndrome (TRA•.CER).
TRA•.CER adalah suatu penelitian prospektif, dirandomisasi, tersamar ganda, dan placebo-controlled yang mengikutsertakan 12.944 pasien sindroma koroner akut dari 37 negara.
Pasien yang di ikut sertakan pada penelitian harus memiliki gejala Iskemi dalam 24 jam sebelum masuk rumah sakit, dan peningkatan dari salah satu baik troponin maupun CK-MB atau elevasi segmen ST, dan sedikitnya satu kriteria risiko tinggi tambahan: umur > 55, Infark miokard sebelumnya, menjalani revaskularisasi (PCI/CABG) diabetes mellitus atau penyakit arteri perifer.
Semua pasien menerima therapi stan-dar yaitu aspirin dan clopidogrel, PCI (seperti kateterisasi, stenting koroner atau operasi bila diperlukan). Sasaran primer gabungan meliputi kematian kardiovaskular, infark miokard, stroke, iskemia berulang dengan rawat inap, dan revaskularisasi koroner segera.
Pasien di randomisasi untuk menerima vorapaxar dengan dosis inisial 40 mg diikuti dosis rumatan 2,5 mg per hari (6473 pasien) atau plasebo (6471 pasien). Terapi dimulai sebelum PCI.
Vorapaxar tidak berbeda secara statistik dengan terapi standar ditinjau dari hasil klinis primer (18,5% vs 19,9%). Pasien dengan vorapaxar juga tidak menunjukkan  hasil yang signifikan untuk kematian kardiovaskular, infark myokard atau stroke.
Pasien dengan Vorapaxar memiliki 3 kali lipat risiko perdarahan dibandingkan pasien dengan plasebo. Hal ini tidak diharapkan dan hubungannya dengan penggunaan aspirin dan clopidogrel masih harus diteliti.
Vorapaxar adalah suatu penghambat PAR-1, yaitu suatu reseptor pada platelet. Anti platelet lain seperti clopidogrel, prasugrel, ticagrelor bekerja pada reseptor P2Y12 yang terletak di membran platelet. Suatu tahap 2 sebuah penelitian menunjukkan Vorapaxar lebih efektif dari placebo.
Kenneth W. Mahaffey, MD ketua peneliti dan co-director Institut Penelitian klinik Duke di Durham, N.C. menyatakan “Apakah penghambatan PAR-1 memberikan  hasil lebih baik dengan strategi medikasi lain atau pada populasi pasien penyakit   jantung koroner masih harus diteliti lanjut.
Hasil ini di publikasikan secara berkesinambungan pada The New England Journal of Medicine edisi Nov.13.
Starry HR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar