pita deadline

pita deadline

Selasa, 20 Maret 2018

KARDIOLOGI KUANTUM ke-40: Neurosis Kardiak dengan Pendekatan Kardiologi Kuantum

“Para Nabi adalah manusia super, karena dapat membangkitkan beberapa sifat dari jiwa manusia dan meninggikan derajat kejiwaannya. Mereka mampu mengubah watak manusia menjadi beradab. Inspirasi, tutur kata dan perilaku para Nabi masih diikuti oleh umatnya ribuan tahun kemudian, sampai hari ini.” 
(Candra Jiwa Indonesia; 2016 Magnum Opus, hal. 17)

SALAM KARDIO. Suatu pengalaman menarik tentang re-edukasi keyakinan religi datang dari seorang pasien yang berkunjung ke poliklinik Paviliun Sukaman 14 November 2017, sekitar pukul 06.00 sore. Rasanya baru sekali itu mendapat kiriman pasien dari seorang profesor ahli jantung dengan diagnosis cardiac neurosis. Pasien yang berprofesi sebagai ibu guru piano ini mengaku “selalu merasa sakit jantung”.
Keluhannya sakit dada, lemas, lekas lelah sehingga beliau memakai kursi roda. Pasien tinggal di Palu. Selama ini mengaku sudah berobat ke beberapa dokter dan kardiolog rupanya mereka belum atau tidak menemukan penyakitnya. Belakangan, professor mengatakan sang pasien bercerita merasa ada yang “mengirim” penyakitnya. Intinya dia merasa ada gangguan makhluk halus yang jahat.
Cardiac neurosis (Da Costa’s syndrome) adalah prototipe penyakit berkeluhan jantung tetapi kardiolog tidak dapat menemukan penyakit jantungnya. Tentu saja, tidak mungkin menyerahkan pasien model begini ke ahli jiwa (psikolog, psikiater) apalagi sang pasien merasa sakit jantung dan bukan sakit jiwa! Selain itu rasanya banyak juga kardiolog yang belum pernah menulis diagnosis cardiac neurosis apalagi sindroma da Costa.
Padahal WHO sudah menyiapkan kodenya pada ICD sejak awal abad ke XX. Pertengahan abad XX sindroma Da Costa berubah menjadi neurosis jantung. Pada awalnya diklasifikasikan sebagai “F45.3” (dibawah kode somatoform disorder dari sistim kardiovaskuler) pada ICD-10, dan sekarang diklasifikasikan pada "somatoform autonomic dysfunction" (suatu tipe dari kelainan psikosomatik).
Setelah mendengarkan dengan seksama keluhan pasien, saya teruskan dengan pemeriksaan sekitar faktor risiko jantungnya seperti merokok, darah tinggi, kadar kolesterol dan kadar gula darahnya untuk mendeteksi penyakit dislipidemi dan kencing manis. Diteruskan dengan riwayat keluarga apakah ada yang serangan jantung, meninggal mendadak, atau serangan stroke pada usia muda yaitu pria < 55 tahun dan wanita < 65 tahun. Kesimpulannya, semua tidak ada.
Dari catatan psikolog sebelumnya yang memeriksa pasien ini, ternyata dia memiliki riwayat KDRT alias kekerasan dalam rumah tangga. KDRT sering dijelaskan sebagai tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis dan keharmonisan hubungan sesuai yang termaktub dalam pasal 1 UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Pasien ini menurut pemeriksaan psikolog dalam keadaan depresi sedang dan memiliki kepribadian tipe A. Setelah mengetahui bahwa pemeriksaan fisik, elektrokardiogram dan riwayat pemeriksaan ekokardiografinya normal, saya yakin bahwa diagnosisnya adalah neurosis kardiak.
Saya tawarkan ke psikiater beliau menolak karena merasa masih sehat jiwanya. Akhirnya saya suruh menarik nafas panjang seraya menyebut nama Yesus setelah saya ketahui kolom agamanya menunjukkan singkatan KP atau Kristen Protestan. Menyebut nama Ye-sus: ‘Ye-‘ ketika menarik nafas dan ‘-sus’ ketika mengeluarkan nafas panjang. Saya suruh berulang-ulang, kapan saja melakukannya dan ketika menyebut nama-Nya di dalam hati, dibatinkan saja.
Biasanya saya tambahkan keterangan agar cipta dan nalar yang merupakan dua bagian utama angan-angan yang bekerja di otak diheningkan. Ketika mengheningkan cipta-nalar (thought­analysis) ini, pangerti (comprehension) bagian ke-3 dari angan-angan, menurut Candra Jiwa Indonesia (Soenarto) justru bekerja di jantung. Introspeksi, introversi satu atau dua kata yang sesuai dengan agama/kepercayaannya tersebut melalui pangerti ini dimaksudkan untuk menggeser titik berat (episentrum) kesadaran ke pusat imateri di dalam diri manusia itu sendiri dimana eksistensi dan aspek Ketuhanan berada. Pangerti (bhs. Jawa Kamayan) memiliki kemampuan deduksi, supervisi, dan bersifat superior.
Jelas Candra Jiwa Indonesia sepakat dengan konsep adanya semacam ‘otak mini’ di dalam jantung. Laporan penelitian menunjukkan ada sekitar 40.000 sel syaraf yang berada di jantung. Seorang professor aritmia mengiakannya karena di dalam pekerjaannya dalam bidang elektrofisiologi sehari-hari merasakan adanya sekelompok sel dalam jalur induksi tertentu memiliki sifat sel-sel syaraf, yang berbeda dari sifat-sifat sel-sel jantung pada umumnya. Re-edukasi keyakinannya tersebut saya lakukan sesuai dengan pengetahuan sederhana yang telah saya miliki sebelumnya.
Saya yakinkan kepada pasien, kalau anda sudah memiliki Sang Kristus, berarti sudah memiliki segala-galanya. Hatipun harus selau gembira, karena gembira adalah obat yang mujarab. Saya sampaikan juga suatu kredo: “Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup, tiada akan sampai kepada Allah Bapa tanpa melalui Sang Kristus.” Saya teruskan. “Apakah engkau lupa bait Allah ada di dalam dirimu?”
Tiba-tiba air muka ibu guru tersebut menjadi cerah, memerah. Tidak terduga pasien tersebut bertanya balik kepada saya. Insting manusia memang selalu sehat walaupun sedang sakit, teorinya Prof. Soemantri Hardjoprakoso memang begitu. “Dokter agamanya apa?” Kali ini saya yang kaget, tapi saya jawab tidak langsung dan lebih bersifat universal: “Bukan agamamu (seperti yang tertulis di KTP) yang menyelamatkanmu, tetapi imanmu kepada Dia-lah yang menyelamatkannya.”
Rupanya, jawaban ini sudah dianggap pas dan memuaskan oleh pasien, bahkan minta ijin foto selfie dengan saya dan didampingi perawat pria yang kebetulan beragama Katolik… klik, klik… gambar diambil dengan handphone adik iparnya.
Sambil berdiri pasien bertanya apakah saya akan memberikan obat? Saya jawab sama sekali tidak. Memang para dokter juga tidak ada yang memberi obat. Lho sekarang kok bisa jalan? Sekalian saya larang untuk menggunakan kursi rodanya. Pelan-pelan pasien berjalan keluar ruang praktek. Saya sampaikan agar berterima kasih ke pada-Nya saja, Dia-lah yang menyembuhkannya bukan saya. Bahkan, saya juga tidak menulis resep apapun.

HUBUNGAN ANTARA PUSAT EMOSI DENGAN BENTUK WAJAH, PERSYARAFAN, SERTA JANTUNG
Manivestasi Kepribadian Psikosomatik. Emosi menyebabkan perubahan frekuensi dan irama denyut jantung, sesuai dengan penampilannya. Kelainan psikosomatik berhubungan dengan kelainan aktivasi syaraf otonom, jaringan endokrin dan sistim imun, serta berhubungan dengan emosi yang berlebihan sehingga menyebabkan disfungsi organik. Di bidang kesehatan menggunakan klasifikasi ”somatoform disorder” pada the ICD 10 (International Classification of  Diseases, tenth edition).


Tulisan ini semoga menjadi “penggugah bangun pagi” kita semua agar memperhatikan jenis penyakit seperti ini. Sebab kita memiliki kardiolog yang handal dengan kompetensi dan penguasaan teknologinya yang dapat meyakinkan orang lain untuk menegakkan diagnosis cardiac neurosis serta memiliki psikolog klinik atau psikiater yang lebih mampu untuk menanganinya.
Tidak terlalu sulit bagi kardiolog untuk mendiagnosisnya, tetapi juga tidak mudah untuk mengerti apalagi melakukan psikoterapi, bila diperlukan. Untuk urusan psikoterapi, serahkan saja kepada ahlinya. Tetapi pengetahuan tentang sindroma ini wajib diketahui dari menegakkan diagnosis sampai rencana penatalaksanaannya.
Ada persoalan lain yaitu tidak mudah untuk meyakinkan pasien bahwa dia tidak sedang menderita sakit jantung. Walaupun sudah dilakukan pemeriksaan macam-macam oleh beberapa ahli jantung atau ahli lainnya. Persoalan lain lagi seperti pada pasien ini menolak untuk dikirim ke psikiater.
Nama lain dari cardiac neurosis yang sebelumnya dikenal sebagai Da Costa’s syndrome (postwar syndrome) ini disebut juga sebagai chronic asthenia, effort syndrome, functional cardiovascular disease, neuro circulatory asthenia, primary neu rasthenia, subacute asthenia dan irritable heart.
Diperlukan kolaborasi kardiolog, psikolog, psikiater, dan ahli psikosomatik untuk menanggulanginya. Perlu persamaan persepsi dan kesepakatan bersama sampai seberapa jauh dapat ditegakkan diagnosisnya. Apakah cukup pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram dan X-foto dada saja? Apakah perlu treadmill test, bahkan dilanjutkan ke CT-skening pembuluh koroner?
Penulis memberi semangat agar kardiolog senantiasa berholistik-eklektik (memilih yang terbaik), berholistik saja terasa masih kurang, sesuai anjuran dari Prof. Kusumanto Setyonegoro, Bapak Psikiatri Indonesia. Marilah kita berwawasan psikologi-psikiatri, tanpa harus menjadi psikolog atau psikiater. Bahkan harus lebih rajin mengirim klien-sehat jantung ini kepada psikolog atau psikiater, dan jangan diperiksa macam-macam yang terlalu canggih karena sesungguhnya ia bukan pasien-sakit jantung.
Akhirnya, perlu diresapkan kembali lafal sumpah dokter dengan penuh perasaan: “—Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.—“ Terima kasih
Salam kuantum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar