pita deadline

pita deadline

Selasa, 20 November 2012

Kegunaan Ultrasound Paru dalam Memprediksi Tekanan Paru dan Jantung

“Mudah digunakan menjadikan ultrasound paru lebih sering digunakan dalam memprediksikan tekanan kardiak sisi kanan dan resistensi vaskuler paru.”

MANAJEMEN gagal jantung dan pencegahan hospitalisasi pasien gagal jantung secara luas tergantung pada pemeriksaan status volum dan cardiac filling. Dimana yang terakhir dideskripsikan sebagai kongesti hemodinamik.
Penilaian secara bedside dari tekanan pengisian pada pasien gagal jantung masih menjadi suatu tantangan dengan keakuratan pemeriksaan sisi kanan kardiak dan kiri sekitar 71% dan 60%.
Walaupun tekanan intrakardiak secara langsung dapat diukur dengan menggunakan monitoring hemodinamik secara invasive, evaluasi bedside massih menjadi batu loncatan penilaian klinis pasien dengan setting rawat jalan.
Peningkatan penilaian klinis dengan menggunakan tes non invasif radiografi thoraks, ekokardiografi, penilaian impedans intrathorakal, peptide natriuretik dan variasi tekanan nadi, akan tetapi tindakan ini mempunyai banyak keterbatasan.
Ultrasound paru memperlihatkan metode baru dalam pendekatan kuantitatif  penilaian kongesti paru. Tehnologi ini tersedia dengan cepat pada setting penanganan akut serta tehnik ini sederhana, dapat  digunakan cepat dan bersifat non invasif.
Penilaian sonografi cairan paru ekstravaskuler didasarkan atas artefak arbeverasi yang muncul dari pleural line dan yang  berasal dari penebalan septum interlobularis oleh cairan. Artefak ini dikenal dengan B lines (juga dikenal comet tails or lung comets).
Jumlah B lines dilaporkan berkorelasi dengan jumlah cairan paru ekstravaskuler dan penurunan dalam beberapa jam hemodialisis atau dalam beberapa hari pengobatan gagal jantung akut.
Kebanyakan gagal jantung yang eksaserbasi dihubungkan dengan peningkatan progresif tekanan cardiac filling (kongesti hemodinamik) menyebabkan kongesti pulmoner. Jika tidak ada pemeriksaan gold standard, penggunaan tekanan atrial kanan (RAP) dan tekanan baji paru (PCWP) sering digunakan sebagai penanda kongesti paru.
Sehingga untuk mengetahui hubungan antara jumlah B line dan tekanan intra kardiak dilakukanlah studi oleh Platz et al. Dilakukanlah studi observasional prospektif pada pasien rawat inap dan jalan yang menjalani pemeriksaan kateterisasi jantung kanan (RHC) pada pusat pendidikan. Dengan 100 subjek dilakukan ultrasound paru pada delapan zona. Dimana 92 subjek dilakukan RHC, 79 subjek telah lengkap menjalankan pemeriksaan ultrasound paru pada seluruh zona (rerata usia 61 tahun; 26 wanita; rerata fraksi ejeksi ventrikel kiri LVEF 58%; 35 subjek dengan gagal jantung; 22 subjek dengan transplantasi post kardiak)
Jumlah B lines berkorelasi dengan pengukuran tekanan atrium kanan (r = 0,32), tekanan diastolik arteri pulmoner (PADP) (r = 0,34), rerata tekanan arteri pulmoner (mPAP) (r = 0,43), tekanan sistolik arteri pulmoner (PASP) (r = 0,48) dan resistensi vaskuler paru (PVR) (r = 0,51) (p < 0,005 untuk ke semua hasil), tetapi tidak untuk PCWP.
Setiap penambahan nilai B lines dihubungkan dengan peningkatan 1 mmHg PASP dan peningkatan 0,1 Wood units PVR. Hubungan ini tetap sama setelah dilakukannnya penyesuaian multivariate (p = 0,002).
Studi ini memperlihatkan threshold > 5 B lines pada 8 zona paru untuk memprediksikan peningkatan PASP. Pemeriksaan ultrasound paru pada 8 zona, dengan adanya > 3 B lines dimana paling sedikit satu zona setiap hemithoraks (total > 6 B lines) menunjukkan perbedaan antara gagal jantung dengan penyebab dispnea akut lainnya dengan sensitivitas 78 – 100% dan spesifitas 72 – 95%, dibandingkan dengan pemeriksaan NT-proBNP sensitivitas 85 – 92% serta spesifitas 63 – 89%. (Eur J Heart Fail 2012; 14: 1276-84)

SL Purwo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar