pita deadline

pita deadline

Selasa, 18 September 2012

Penderita T2DM dengan Tubuh Ramping Tidak Selamanya Baik

PARA peneliti menyebutnya “paradoks obesitas” dengan temuan bahwa pasien obesitas dengan penyakit tertentu, seperti gagal jantung atau penyakit ginjal kronis, hidup lebih lama dari rekan-rekan mereka yang lebih ramping.
Tampak bahwa paradoks mungkin juga berlaku untuk penderita diabetes. Dalam sebuah penelitian terhadap pasien yang mengidap diabetes angka kejadian kematian lebih tinggi di antara berat badan normal daripada subyek obesitas.
Carnethon et. al. melakukan analisis dari 5 penelitian kohort longitudinal diantaranya the Atherosclerosis Risk in Communities study, Cardiovascular Health Study, Coronary Artery Risk Development in Young Adults study, Framingham Offspring Study, dan Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis. Sebanyak 2.625 peserta dilibatkan dalam analisis tersebut.
Tidak seperti studi-studi lainnya dimana pasien memiliki diabetes pada saat awal penelitian, studi ini difokuskan pada orang-orang yang bebas diabetes pada awal dilakukannya studi, untuk meminimalkan pengaruh jangka waktu terjadinya diabetes dan penurunan berat badan sekunder yang tidak disengaja atau disengaja, serta penentuan diabetes dan diagnosisnya.
Mereka memilih studi dengan pengukuran berat badan yang telah diulang, begitu juga dengan kadar glukosa puasa, dan penggunaan obat. Dilakukanlah penilaian kovariat, follow-up longitudinal untuk penilaian angka kejadian dan kematian.
Pasien dianggap memiliki diabetes jika mereka memiliki kadar glukosa puasa 126 mg/dL atau lebih tinggi atau melaporkan penggunaan obat hipoglikemik atau insulin. Indeks massa tubuh (BMI) digunakan untuk menentukan status berat badan, dengan berat badan normal didefinisikan sebagai BMI antara 18,5 kg/m2 sampai 24,9 kg/m2, kelebihan berat badan sebagai antara 25 kg/m2 sampai 29,9 kg/m2, dan obesitas sebagai 30 kg/m2 atau lebih. Mulai dari pemeriksaan di mana diabetes pertama kali diidentifikasi, para pasien ditindaklanjuti sampai mereka meninggal, datang pada akhir pengawasan kohort mereka, atau hilang selama follow-up.
Didapatkan dalam studi kohort tersebut, 293 peserta (11,2%) memiliki berat badan normal untuk diabetes. Sebanyak 449 kematian (17,1% dari kohort gabungan; 165,5 per 10.000 orang per tahun) terjadi selama follow-up, 178 (6,8% dari kohort; 66,1 per 10.000 orang per tahun) akibat kardiovaskuler dan 253 (9,6%; 99,0 per 10.000 orang per tahun) dari penyebab non kardiovaskuler, dengan 18 penyebab kematian yang tersisa tak teridentifikasi.
Mortalitas total, kardiovaskular dan non kardiovaskuler antara pasien dengan berat badan normal adalah 284.8, 99.8 dan 198.1 per 10.000 orang per tahun, masing-masing dibandingkan dengan pasien obesitas, diantaranya adalah tingkat 152.1, 67.8 dan 87.9 per 10.000 orang-tahun. Setelah penyesuaian kovariat untuk seks, usia, ras, tingkat pendidikan, lingkar pinggang, tingkat lipid dan status merokok, serta pasien dengan berat badan normal memiliki hazard ratio (HR) yang secara signifikan meningkat  untuk mortalitas total (HR, 2.08; interval  kepercayaan 95% [CI] , 1.52-2.85, p < 0.001) dan kematian non kardiovaskuler (HR, 2.32; 95% CI, 1.55-3.48, p < 0.001) dibandingkan dengan pasien yang lebih berat. Pasien dengan berat badan normal juga memiliki SDM yang lebih tinggi untuk kematian kardiovaskular (HR, 1.52; 95% CI, 0.89-2.58), tetapi secara statistik tidak signifikan (p = 0.06).
Keterbatasan studi ini menurut peneliti adalah penggunaan BMI untuk menentukan status berat badan, bukan tindakan langsung dari adipositasnya. Pasien dengan BMI yang lebih tinggi mungkin memiliki lebih banyak jaringan lemak, yang lebih sensitif terhadap insulin dari jaringan lemak. Inkonsistensi di seluruh studi dalam menelaah status merokok adalah keterbatasan lain, seperti kurangnya informasi tentang penggunaan obat lain pada pasien (antidepresan), yang mendorong terjadinya diabetes dan juga terkait dengan kematian yang lebih tinggi.
Namun, studi ini menambah dimensi penting sebagai bukti yang mendukung paradoks obesitas pada diabetes, karena merupakan yang pertama mengukur BMI pada saat terjadinya diabetes, menghilangkan efek perancu potensial dari jangka waktu diabetes. Mereka menyimpulkan bahwa studi ini adalah “wake-up call” bagi upaya preventif untuk semua pasien dengan diabetes, termasuk yang mereka sebut “ individu metabolik obesitas dengan berat badan normal”, yang mungkin terbuai rasa aman yang palsu karena mereka tidak memiliki berat badan yang berlebihan. (JAMA 2012; 308: 581-590; 619-620)
SL Purwo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar