pita deadline

pita deadline

Selasa, 18 September 2012

Penggunaan IABP untuk Pasien IMA dengan Syok Kardiogenik

SYOK kardiogenik merupakan salah satu komplikasi infark miokard akut (IMA) dengan angka kematian tinggi bahkan pada era terapi revaskularisasi yang agresif sekarang ini. Intra aortic balloon pump (IABP) yang diperkenalkan lebih dari lima dekade yang lalu, telah lama diterima oleh kardiolog sebagai terapi awal untuk memperbaiki aliran koroner dan perfusi organ-organ vital. Namun analisa dari studi Intra Aortic Balloon Pump in Cardiogenic Shock II trial (IABP-SHOCK II) yang dibahas pada pertemuan tahunan European Society of Cardiology Congress 2012 yang lalu, mempertanyakan efektivitas IABP untuk kelompok pasien ini. Kesimpulan studi ini juga dimuat secara simultan dalam New England Journal of Medicine edisi Agustus 2012.
Pada laporan penelitian mereka, Thiele dkk mengumpulkan data pasien IMA dengan syok kardiogenik di 37 rumah sakit di Jerman. Dari 790 pasien yang direkrut, sejumlah 600 pasien berhasil diikuti dan dianalisa dalam suatu penelitian prospektif yang terandomisasi. Sebanyak 301 pasien menjalani pemasangan IABP (grup IABP) dan 299 pasien tanpa IABP (grup kontrol). Semua pasien mendapatkan terapi medikamentosa yang optimal serta direncanakan untuk menjalani revaskularisasi dini dengan Percutaneous Coronary Intervention (PCI) ataupun tindakan bedah pintas koroner. Hasil akhir yang diteliti adalah angka kematian oleh semua sebab dalam 30 hari (30-day all-cause mortality). Dipantau pula profil kemanan penggunaan IABP yakni ada tidaknya perdarahan mayor, komplikasi iskemik perifer, sepsis dan stroke.
Di akhir penelitian, sejumlah 300 pasien di grup IABP dan 298 di grup kontrol dimasukkan ke dalam analisa akhir. Setelah 30 hari tampak bahwa 119 pasien di grup IABP (39,7%) dan 123 pasien di grup kontrol (41,3%) meninggal dunia (risiko relatif dengan IABP sebesar 0,96 dengan range 0,79-1,17 pada interval kepercayaan 95%, p=0,69). Tidak dijumpai pula perbedaan  bermakna pada end-point sekunder, yakni stabilisasi  hemodinamik, lama rawat di  ruang intensif, kadar laktat serum, dosis dan durasi penggunaan obat-obatan katekolamin dan fungsi ginjal. Dalam hal profil keamanan juga tidak dijumpai perbedaan bermakna dalam angka perdarahan mayor, komplikasi iskemik perifer, sepsis maupun stroke. Sehingga kelompok peneliti dari IABP-SHOCK II trial ini menyimpulkan bahwa penggunaan IABP tidak memperbaiki angka mortalitas 30 hari pada pasien IMA dengan syok kardiogenik yang direncanakan untuk menjalani terapi revaskularisasi dini.
Beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam interpretasi studi ini adalah bahwa ada beberapa keterbatasan dalam pelaksanaannya. Pertama, studi ini tidak tersamar, karena tidak mungkin dilakukan blinding dalam hal penerimaan intervensi IABP. Kedua, data hemodinamik dan marker inflamasi yang dianalisa terbatas yakni tekanan darah, denyut nadi, dan c-reactive protein. Kelemahan berikutnya yang dinyatakan sendiri oleh kelompok peneliti, bahwa mortalitas keseluruhan pada subjek mereka yakni sekitar 40%, adalah lebih rendah dari penelitian sebelumnya, yang mungkin berarti bahwa populasi penelitian mungkin merepresentasikan kelompok syok kardiogenik dengan profil risiko sedang dan kurang dapat digeneralisir untuk kelompok pasien dengan profil risiko yang lebih tinggi. Kelompok peneliti menyatakan telah merencanakan untuk melanjutkan penelitian ini untuk mendapatkan data mortalitas jangka panjang 6 dan 12 bulan.
Sebagai kesimpulan dari IABP-SHOCK II trial ini adalah bahwa penggunaan IABP pada pasien IMA disertai syok kardiogenik yang direncanakan untuk terapi reperfusi dini tidak memberikan perbaikan dalam hal angka kematian jangka pendek. Hasil ini tentunya mempertanyakan rekomendasi guidelines IMA oleh berbagai asosiasi internasional saat ini yang memposisikan IABP sebagai rekomendasi kelas I pada IMA dengan komplikasi syok kardiogenik. Dasar dari rekomendasi ini adalah hasil dari studi-studi observasional sementara data dari uji klinis dan meta analisis belum banyak. Studi IABP-SHOCK II yang diharapkan akan memberikan pembenaran untuk penggunaan IABP ternyata menampilkan hasil yang tidak disangka-sangka. Padastudi ini disimpulkan bahwa walaupun penggunaan IABP terbukti aman namun tidak tampak perbaikan dalam hal mortalitas maupun perbaikan hemodinamik pada pasien IMA dengan komplikasi syok kardiogenik.
Apakah hasil penelitian IABP-SHOCK II ini akan merubah praktik klinik kita sehari-hari? Para peneliti studi ini telah mengemukakan beberapa kelemahan dalam studi mereka seperti yang telah disebut sebelumnya. Pihak lain yang skeptis juga mempertanyakan mengapa 86% IABP dipasang setelah tindakan PCI yang mungkin menyebabkan efeknya tidak optimal. Terlebih lagi terdapat 10% pasien kelompok kontrol yang akhirnya berpindah ke grup IABP. Namun demikian, berdasarkan hasil studi ini, ESC telah merubah tingkat rekomendasinya untuk penggunaan IABP pada pasien IMA dengan syok kardiogenik dari kelas 1C menjadi kelas 2B. Mengenai penggunaan IABP untuk indikasi lainnya, misalnya pada pasien IMA dengan komplikasi mekanik dan sebagai support pada PCI risiko tinggi masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, apalagi dengan hadirnya beberapa jenis lain alat percutaneous circulatory assist device (PCAD), seperti Impella atau TandemHeart.

Referensi:
1.     Thiele H, Zeymer U, Neumann FJ, et al. Intraaortic balloon support for myocardial infarction with cardiogenic shock. N Engl J Med 2012; DOI 10.1056/NEJMoa1208410. Diakses dari http://www.nejm.org
2.     O’Connor CM, Rogers JG. Evidence for overturning the guidelines in cardiogenic shock. N Engl J Med 2012; DOI:10.1056?NEJMoa1209601. Diakses dari http://www.nejm.org

Siska Danny

Tidak ada komentar:

Posting Komentar