pita deadline

pita deadline

Selasa, 18 September 2012

Sukaman Memorial Lecture Disambut Hangat pada AFCC 19 di Singapura


Asean Federation of Cardiology (AFC) dibentuk tahun 1975 di Bali, setelah selama hampir 2 tahun dilakukan penjajagan, persis “pendekatan diplomatik”, oleh Dr. Sukaman Sumaryoto, Ketua PERKI pada waktu itu. Jadi Dr. Sukaman adalah inisiator pembentukan AFC, organisasi profesi regional ASEAN yang pertama setelah organisasi kerjasama politik dan ekonomi ASEAN. Adalah Dr. Lily Rilantono, sekarang Prof, sebagai sekretaris pertemuan yang mendampingi Dr. Sukaman, bersama sejumlah tokoh senior, antara lain Dr. Joseph Eravelly dari Malaysia, Dr. Avenillo Aventura dari Philippines, Dr. Chia Boon Lock dan Dr. Charles Toh dari Singapura. Pada waktu itu iptek dan pelayanan kardiovaskuler di wilayah ini belum berkembang seperti sekarang ini.
Untuk mengenang Dr. Sukaman yang meninggal bersama isterinya Dr. Ida Sukaman dalam kecelakaan lalu lintas yang tragis di wilayah Parung-Bogor, AFC menetapkan Sukaman Memorial Lecture yang  diadakan setiap 2 tahun sekali pada waktu Asean Federation Congress of Cardiology (AFCC). Dalam perjalanan waktu Sukaman Memorial Lecture telah berkembang menjadi suatu lecture yang prestigius. Dalam AFCC ke 19 yang diadakan di Singapura tanggal 12 Juli 2012 ini Sukaman Lecture disampaikan oleh Dr. Santoso Karo Karo MPH, FIHA, FAsCC dengan judul “Sudden Cardiac Death in ASEAN Countries: Early Prevention and Management”.
Dalam awal kuliahnya di assembly room yang dipadati oleh dokter-dokter dari 22 negara peserta AFCC, Dr. Santoso Karo Karo mengemukakan bahwa berdasarkan data World Health Organization (WHO) angka kematian oleh karena penyakit jantung akan meningkat pesat di wilayah ASEAN. Data WHO juga menunjukkan bahwa ada 3 juta kematian jantung mendadak (sudden cardiac death, SCD) di dunia dengan kesintasan < 1%, bahkan di negara berkembang dimana kesadaran masyarakat dan fasilitas pelayanan sudah baik, kesintasan < 5%. Belum ada data yang dapat dipakai di wilayah ASEAN.
Definisi SCD menurut WHO yang diterima luas adalah “sudden collapse occurring within one hour of symptom”. Sudden Cardiac Death terutama disebabkan oleh penyakit jantung koroner (PJK) khususnya pada Sindroma koroner akut (SKA) dan gagal jantung. Pada usia yang lebih muda SCD oleh kardiomiopati hipertropik dapat menimpa atlit. Ada pula penyebab non struktural jantung, channelopathies, seperti Sindrom Brugada, yang dikaitkan dengan kematian pada waktu tidur di wilayah Asia Tenggara (Lai Thai di Thailand, Bangungut di Philippine), sindrom WPW dan sindrom QT memanjang. Di daerah Karo di Sumatera Utara masyarakat setempat mengenal istilah “Mate Rempet”, namun sayang sekali tidak pernah dibuktikan dengan otopsi. Dengan demikian faktor risiko yang paling penting untuk SCD adalah PJK, gagal jantung, kardiomiopati hipertropik dan riwayat SCD.
Gambaran aritmia yang terjadi sebelum atau pada saat SCD kebanyakan adalah takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikuler dan dalam proporsi kecil blok jantung. Seorang dokter di pelayanan primer dimana sudah tersedia alat ECG seyogyanya dapat mendeteksi prodromal dari SCD berupa rasa sesak, sakit dada, pusing dan berdebar dan bahkan ambruk.
Untuk skrining orang yang berisiko SCD elektrokardiogram dan ekhokardiogram adalah modalitas yang sangat penting. EKG dapat mendeteksi aritmia dan sindrom koroner akut, sedangkan ekho memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang cukup tinggi dan menjadi prediktor kuat bila LVEF < 35%. Tersedianya EKG di fasilitas pelayanan primer dan ekhokardiograf di fasilitas yang lebih tinggi akan membantu upaya mendeteksi pasien-pasien berisiko. Pemeriksaan elektrofisiologi (EP), meskipun cukup penting, masih mahal dan terbatas di sejumlah wilayah Asia Tenggara.
Dr. Karo Karo juga mengingatkan bahwa berdasarkan berbagai penelitian Implanted Cardiac Defibrillator (ICD) telah terbukti berperan sebagai pencegahan primer (Studi MADIT, MUSTT dan MADIT II) pada pasien-pasien yang belum pernah mengalami VT/VF spontan, maupun pencegahan sekunder SCD (AVID, CIDS, CASH) pada pasien-pasien yang pernah mengalami episode VT/VF spontan. Pencegahan primer dengan ICD menghasilkan penurunan risiko akibat semua sebab antara 31%-54% dalam 4-5 tahun. Pencegahan sekunder menurunkan risiko kematian akibat semua sebab antara 20 %-39 % dalam 3 - 9 tahun.
 Implantasi ICD yang terbanyak di negara ASEAN adalah di Singapura dan Malaysia, namun ICD masih sangat mahal untuk pasien dan asuransi kesehatan, hambatan untuk pasien-pasien di Indonesia dan sebagian negara ASEAN. Oleh karena itu Dr. Karo Karo mengingatkan agar para dokter di ASEAN mengoptimalkan pengobatan pasien-pasien pasca infark miokard akut dan gagal jantung sesuai pedoman/guidelines. Ini mencakup upaya mengurangi risiko serangan jantung berikutnya dengan terapi antiplatelet/anti-trombotik CABG, PTCA/stent, ACE inhibitors, Beta-blockers dan Statins. Pencegahan terjadinya dan progresifitas gagal jantung dengan antagonis aldosteron, ACE inhibitors dan Beta-blockers. MADIT II menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 31% pada pasien-pasien yang memperoleh pengobatan optimal.   
Di negara maju personil gawat darurat terlatih sudah bisa hadir merespon panggilan dalam waktu 8 menit, namun di kebanyakan negara ASEAN transportasi jadi  masalah besar. Di kota-kota metropolitan kemacetan lalu lintas luar biasa, sedang di daerah rural sulit memperolah ambulans yang baik. Pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut atau Advanced Cardiac Life Support termasuk defibrilator elektrikal otomatik atau AED, merupakan bagian penting dalam penanganan SCD. Negara-negara ASEAN harus memberikan perhatian lebih besar dalam hal ini. Singapura dan Indonesia sudah melaksanakan pelatihan BHD secara massal. Di Singapura pelatihan BHD juga termasuk penggunaan AED, karena alat ini sudah tersedia di banyak tempat strategis, sedangkan di Indonesia dan banyak negara ASEAN lain alat ini masih sangat terbatas.
Di bagian akhir kuliahnya Dr. Karo Karo merekomendasikan: 1. AFC memelopori Registri SCD untuk Negara-negara ASEAN, 2. Kolaborasi untuk pengadaan (procurement) ICD, AED dan peralatan untuk pelatihan BHD dan ACLS sehingga harganya dapat ditekan, 3. AFC dan Perhimpunan Profesi Kardiovaskular Nasional terus meningkatkan kompetensi para dokter agar konsisten melaksanakan pedoman pencegahan primer dan sekunder PJK dan HF.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar