pita deadline

pita deadline

Selasa, 03 April 2012

Viability dengan Cardiac MR sebagai Jawaban STICH Trial

THE Surgical Treatment for Ischemic Heart Failure (STICH) trial, merupakan studi oleh Bonow dkk, yang memicu perdebatan tentang manfaat penilaian viability pada pasien sebelum menjalani revaskularisasi. Dalam studi tersebut, sesuai judul studi yang menggunakan pendekatan bedah, revaskularisasi pilihannya adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Kesimpulan sub studi viability STICH, yang dipublikasikan April tahun 2011 yang lalu di New England Journal of Medicine (NEJM), adalah bahwa penilaian viability dengan nuklir (SPECT) dan dobutamine stress echo atau kombinasi keduanya, yang berdasarkan hasilnya kemudian dibagi menjadi 2 grup: grup yang viable dan yang non viable, kemudian grup yang viable dibagi lagi menjadi 2 grup, salah satu grup menjalani CABG dan terapi medikamentosa optimal, sementara grup lainnya terapi medikamentosa optimal saja, mengungkapkan risiko kematian yang tidak berbeda bermakna (31,2% dan 35,4% berurutan, p=0,53). Kesimpulan ini seakan bertentangan dengan pemahaman makna viability   itu sendiri yaitu kemungkinan untuk pulih pasca revaskularisasi.
Selama ini telah diketahui bahwa kesintasan jangka panjang pada pasien dengan penyakit jantung koroner (CAD) dan fraksi ejeksi (EF) ventrikel kiri (LV) yang rendah sangat buruk, sehingga tujuan utama manajemen pada kelompok pasien ini adalah menentukan pasien mana yang akan mendapatkan manfaat dari revaskularisasi. Pasien yang mendapatkan manfaat dari revaskularisasi adalah pasien yang masih memiliki miokard yang viable, yaitu masih ada kemungkinan pulih bila telah mendapat suplai darah lagi, sehingga akan menunjukkan keluaran yang baik pasca tindakan revaskularisasi. STICH trial membuktikan walaupun dari hasil nuklir dan dobutamine stress echo hasilnya viable, revaskularisasi tidak memberikan manfaat tambahan di atas terapi medikamentosa saja selama observasi 5 tahun.
Namun bila kita perhatikan empat keterbatasan studi STICH diungkap dalam  artikel tersebut yang salah satunya menyebutkan bahwa modalitas yang digunakan adalah SPECT (nuklir) dan dobutamine stress echo, sementara modalitas delayed-enhanced cardiac magnetic resonance (DE-CMR) atau dikenal dengan transmurality Late Gadolinium Enhancement (LGE) tidak digunakan dalam penelitian tersebut.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa transmurality LGE mampu memprediksi pemulihan disfungsi ventrikel kiri (LV) pasca revaskularisasi dan perbaikan fraksi EF. Baru-baru ini pada terbitan Februari 2012, JACC mempublikasikan suatu studi prospektif yang dimulai sejak tahun 2009 oleh Gerber dkk yang mengevaluasi kesintasan dari 144 pasien (130 diantaranya pria), berumur 65 + 11 tahun, dengan CAD dan disfungsi LV (EF 24 + 7%) yang diperiksa menggunakan DE-CMR, pasien dikelompokkan viable bila transmurality LGE <50%. Delapan puluh enam pasien menjalani revaskularisasi komplit (79 CABG, 7 PCI), sementara sisanya 58 pasien hanya mendapat terapi medikamentosa. Dilakukan pengamatan selama 3 tahun, didapatkan 49 pasien meninggal. Kesintasan selama tiga tahun pada pasien yang hanya mendapatkan terapi medikamentosa pada disfungsi miokard yang masih viable, lebih buruk dibanding yang non viable, dengan perbedaan bermakna secara statisitik (48% vs 77% survival, p = 0.02), namun pada grup pasien yang menjalani revaskularisasi, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara pasien viable dengan yang non viable (88% vs 71%, p =NS). Risiko terjadinya kematian tetap lebih tinggi secara bermakna pada pasien viable yang hanya mendapat terapi medikamentosa dibandingkan yang dilakukan revaskularisasi (Hazard Ratio : 2.5 [95%CI: 1.1 to 6.1], p = 0.02). Studi ini menunjukkan bahwa revaskularisasi pada pasien dengan miokard yang viable dapat memperbaiki keluaran, dibandingkan hanya mendapatkan terapi medikamentosa.
Kesimpulan dari temuan kedua studi tersebut adalah bahwa penilaian viability dengan nuklir dan dobutamine stress echo tidak membuktikan memberi manfaat klinis untuk pemilihan pasien CABG, sehingga penilaian viability perlu memanfaatkan modalitas DE-CMR yaitu transmurality LGE yang terbukti menunjukkan perbedaan kesintasan pasien viable yang dilakukan revaskularisasi dengan yang tidak. Dengan demikian STICH trial tidak mengubah pemahaman dasar bahwa membiarkan pasien dengan miokard yang viable tanpa revaskularisasi meningkatkan risiko kematian pasien tersebut. Untuk menjadi catatan bahwa kedua penelitian tersebut tidak membicarakan tentang ischemic burden atau beban iskemik di luar scar yang juga menjadi salah satu prediktor risiko kejadian kardiovaskular yang telah mapan sejak publikasi Hachamovitch dkk di jurnal Circulation pada tahun 2003. (Reff. Redaksi) (Circulation 2003; 107: 2900) 


Gambar 1. STICH trial menunjukkan pada pasien viable, CABG+medikamentosa sama dengan medikamentosa saja.

Gambar 2. Gerber et al membuktikan bahwa pada pasien viable, revaskularisasi+medikamentosa lebih baik daripada medikamentosa saja. 


Referensi:
1. Bonow RO et al. Myocardial viability in ischemic left ventricular dysfunction. N Engl J Med 2011;364:1617-25.
2. Gerber BL et al. Prognostic value of myocardial viability by delayed-enhanced magnetic resonance in patients with coronary artery disease and low ejection fraction. J Am Coll Cardiol 2012;59:825-35.
3. Hachamovitch R et al. Comparison of the short-term survival benefit associated with revascularization compared with medical therapy in patients with no prior coronary artery disease undergoing stress myocardial perfusion single photon emission computed tomography. Circulation 2003; 107:2900.

Novi Anggriani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar