pita deadline

pita deadline

Selasa, 03 April 2012

Penghambat Renin-Angiotensin Bermanfaat pada Gagal Jantung dengan Penyakit Ginjal

SINDROM kardiorenal adalah kasus yang sering menyulitkan perawatan jangka panjang pasien gagal jantung kronik. Seringkali kita teralihkan perhatian dari mengobati gagal jantung menjadi berusaha mengobati perburukan ginjal, padahal ada kemungkinan bahwa perburukan fungsi ginjal tersebut diakibatkan oleh penurunan perfusi glomerulus akibat penurunan curah jantung yang terjadi pada pasien gagal jantung, sehingga teralihkannya perhatian kita, membuat tanpa disadari semakin memperburuk fungsi ginjal tersebut akibat tidak teratasinya penurunan perfusi glomerulus.
Suatu penelitian baru mengemukakan bahwa manfaat dari sistem penghambat renin-angiotensin pada gagal jantung sistolik dapat digunakan secara luas termasuk pada pasien usia lanjut dengan penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease – CKD). Padahal sebagaimana kita ketahui penghambat renin-angiotensin pada penyakit ginjal berisiko meningkatkan angka serum kreatinin dan kadar kalium dalam darah. Terbukti dalam penelitian tersebut, pasien usia lanjut dengan gagal jantung sistolik dan CKD yang mendapatkan terapi penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) atau penyekat reseptor angiotensin (ARB) saat dipulangkan setelah perawatan, memiliki penurunan angka kematian 14% selama pengamatan 8 tahun lebih.
Dr. Ali Ahmed dari Universitas Alabama di Birmingham menyatakan bahwa manfaat penghambat ACE dan ARB pada pasien gagal jantung sistolik sudah jelas. Namun, harus diperhatikan keamanan penggunaannya dan manfaatnya pada pasien gagal jantung berusia lanjut dan pasien gagal jantung dengan CKD, dan bahwa sebagian besar pasien gagal jantung adalah pasien usia lanjut yang juga menderita CKD.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa penghambat ACE dan ARB dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan pada pasien dengan gagal jantung sistolik dengan CKD ringan-sedang.
Dari American Journal of Medicine diketahui bahwa penelitian tersebut menyertakan 1.665 pasien dengan ejection fraction (EF) <45% dan estimated glomerular filtration rate (eGFR) <60 mL/min. Sebanyak 1046 (63%) pasien diberikan terapi penghambat ACE (n=866) atau ARB (n=180) saat dipulangkan, dan 17 pasien menerima kedua obat tersebut.
Peneliti menggunakan propensity score matching untuk mengumpulkan kohort dari 444 pasang pasien yang mendapatkan dan tidak mendapatkan terapi ini, yang memiliki 56 karakteristik dasar yang seimbang. Dari 888 pasien tersebut, 591 pasien menderita CKD stadium 3B atau lebih.
Selama pemantauan 8 tahun lebih, kematian terjadi sebesar 75% dan 79% masing-masing pada pasien dengan CKD yang mendapatkan terapi dan tidak mendapatkan terapi (hazard ratio 0,86; p=0,045). Penurunan yang serupa juga didapatkan pada angka seluruh penyebab kematian pada sub kelompok pasien dengan eGFR <45 mL/min (HR 0,83; p=0,046).
Efek proteksi lebih jelas terlihat pada pasien-pasien yang menerima terapi tersebut pada dosis targetnya atau lebih.
Dr. Ahmed menyatakan ada kemungkinan bahwa efek obat-obatan tersebut pada pasien dengan CKD tidak seefektif pada pasien tanpa CKD. Diantara 171 pasang pasien tanpa CKD, penghambat renin-angiotensin berkaitan dengan hampir 30% penurunan angka kematian karena semua hal (HR 0,72; p=0,015) dan angka hospitalisasi gagal jantung (HR 0,71; p =0,023).

Gambar 1. Kurva Kaplan – Meier untuk segala penyebab kematian pada propensity-matched cohort dari pasien usia lanjut dengan gagal jantung sistolik dengan CKD yang menerima dan tidak menerima penghambat ACE atau ARB saat dipulangkan setelah perawatan. CI = confidence interval.

Dr. Robert A. Phillips dari Universitas Massachusetts di Worcester yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan “Dokter spesialis dan dokter umum seringkali khawatir dalam memberikan penghambat renin-angiotensin seperti penghambat ACE atau ARB, ketika terdapat penurunan GFR, tetapi sebenarnya pasien-pasien tersebutlah yang mendapatkan manfaatnya. Hal ini  dapat dilihat pada penelitian African American mengenai penyakit ginjal dan hipertensi” – (Arch Intern Med. 2009; 169: 1587-1594) – “dan pada penelitian tersebut hanya didapatkan sedikit kejadian hiperkalemia.”
Dr. Ahmed dan rekan-rekan mengemukakan beberapa faktor yang membedakan penelitian mereka dengan penelitian-penelitian sebelumnya, antara lain besar sampel, lama waktu observasi, penggunaan metodologi yang lebih akurat, penggunaan penghambat ACE dan ARB, dan penggunaan   terapi kontemporer untuk gagal jantung   sistolik.
Namun menurut Dr. Phillips, penelitian tersebut bukanlah suatu penelitian randomisasi sehingga bisa terjadi bias. Selain itu mereka tidak mengikuti intermediate end points sehingga tidak diketahui insiden hiperkalemia atau efek samping lainnya. Tetapi dalam hal angka kematian, terapi yang diberikan tampaknya memang memberi manfaat pada pasien gagal jantung dengan penurunan EF dan eGFR yang cukup rendah. Kita tetap harus berhati-hati dalam memantau pasien-pasien yang diberikan terapi penghambat renin-angiotensin.
Dr. Ahmed menyatakan bahwa dari seluruh pasien gagal jantung, obat-obatan ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat alergi atau riwayat efek samping dengan penggunaan sebelumnya, dan harus digunakan dengan perhatian lebih pada pasien dengan tekanan darah sistolik yang rendah, tingkat kalium darah yang tinggi, dan gagal ginjal.
Pelajaran yang dapat diambil dari penelitian tersebut adalah ada bukti bahwa pada pasien dengan sindrom kardiorenal yang memiliki kemungkinan besar bahwa penurunan fungsi ginjalnya diakibatkan oleh penurunan perfusi glomerulus, tidak perlu takut untuk tetap memberikan penghambat sistim renin-angiotensin, dengan tetap memantau dinamika kadar kreatinin selama pengobatan, karena jika benar, akan bermanfaat menurunkan risiko kematian pasien. (http://bit.ly/yRpJYA)
Rahmalia Gusdina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar