pita deadline

pita deadline

Jumat, 28 April 2017

Sejarah Pendidikan Kardiologi: Memperjuangkan Amanat Founding Fathers

“Lapangan kardiologi sebegitu luasnya, hingga bagi para Internis Umum tak mungkin lagi dapat tetap mengikuti dan menguasai kemajuan­-kemajuan dalam lapangan ini” (Gan Tjong Bing, 1957)


BEGITULAH salah satu pernyataan pendiri dan ketua Perki pertama, dr Gan Tjong Bing pada tanggal 16 Nopember 1957. Pada saat itu, masih dalam suasana mempertahankan kemerdekaan dan gejolak revolusi, dunia kedokteran Indonesia juga menggeliat. Dr Gan yang baru kembali dari luar negeri saat itu memaparkan bahwa “Per kembangan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI tidak dapat dipisahkan dari Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Indonesia yang mulai berkembang pada tahun lima puluhan”.
“Pada saat itu, secara kelembagaan Perki menjadi lebih kuat dan berkembang. Itu karena ilmu jantung yang berkembang terus menerus, yang tidak mungkin lagi jika hanya ditampung oleh lingkup penyakit dalam saja,” kata Prof  Dr dr Rachmat Romdoni, tokoh ahli jantung dari RS Universitas Airlangga, Surabaya.
Para founding fathers dan sejumlah tokoh kedokteran Indonesia kemudian merintis dan meletakkan dasar-­dasar keilmuan kardiologi. Sejarah perkembangan ilmu kardiologi terbagi dalam 4 periode. Yaitu periode Perintis, periode Lembaga Kardiologi Nasional (LAKARNAS), periode Bagian Kardiologi di RSCM dan periode Bagian/Departemen Kardiologi di RS Jantung Harapan Kita (Buku Jejak Kardiologi 1957-­2005, Prof  Dr dr Dede Kusmana --ed)

Periode Perintis, 1957 - 1964
Pada periode ini, penyelenggaraan pendidikan kardiologi berlangsung di RSCM. Pada awalnya, dalam satu angkatan hanya terdapat 1 sampai 2 orang peserta atau asisten ahli. Ketika itu belum terdapat program, kurikulum dan tahapan pendidikan yang jelas. Pendidikan pada tahap ini bersifat magang dimana seorang peserta atau asisten ahli biasanya hanya mengikuti kegiatan konsulen atau dokter ahli. Para peserta atau asisten dididik harus belajar semi-­mandiri.
Namun, mereka juga dengan gigih belajar hingga ke Luar Negeri. Salah satu staf yang pertama kali dapat menikmatinya adalah dr Sukaman pada periode 1959-­1961 di Amerika Serikat, dr Asikin Hanafiah ke London pada 1961­-1962. Dr Tagor G.M. Siregar dan dr Loethfi Oesman ke Kanada pada 1966-­1967.

Periode Lembaga Kardiologi Nasional (LAKARNAS),  1965-1975
Sejak 1960­an, para dokter jantung menginginkan terwujudnya suatu lembaga resmi yang dapat mewadahi segala aktivitas keilmuan dan profesi kardiologi. Keinginan itu tercapai dengan dibentuknya Lembaga Kardiologi Nasional (LAKARNAS) pada 17 Agustus 1965. Pada waktu itu semua tenaga di bidang kardiologi ditugaskan bekerja di LAKARNAS. Maka semua kegiatan Kardiologi, baik itu pelayanan, penelitian, kuliah, demonstrasi serta ujian mahasiswa dilaksanakan dokter­-dokter LAKARNAS.
Pada periode ini keadaan bagian Kardiologi masih sederhana, menyebabkan keterbatasan tersedianya sarana dan dana untuk penelitian. Walau demikian, semangat untuk berbenah dan berprestasi tetap tinggi. Pada periode inilah konsep kurikulum pendidikan kardiologi digodog dan dibahas sehingga menghasilkan suatu kurikulum yang community oriented. Konsep ini merupakan hasil Kongres Perhimpunan Kardiologi I, pada Agustus 1974. Maka produk kardiologi ini pun dipakai sebagai kurikulum resmi pendidikan dokter ahli jantung saat itu.

Periode Bagian Kardiologi di RSCM, 1976 - 1984
Pada 10 Nopember 1976 dengan terjadi perubahan status pusat Kardiologi FKUI/RSCM menjadi bagian Kardiologi FKUI/RSCM. Sejak saat itu, pusat kegiatan kardiologi Indonesia lebih banyak dipusatkan pada FKUI/RSCM. Pada 1979, dibentuklah Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebagai suatu sistem yang dibina dan dikembangkan Dirjen Dikti saat itu, melalui Konsorsium llmu Kesehatan yang kemudian disebut Komisi Disiplin llmu Kesehatan (KDIK) Dewan Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Menteri Pendidikan saat itu kemudian mengeluarkan kebijakan tentang PPDS adalah salah satu dari 14 program studi di Universitas Indonesia (UI) yang penyelenggaraan pendidikannya dibawah Fakultas Pascasarjana. Pada periode ini untuk menyelesaikan pendidikan Kardiologi, para asisten harus membuat penelitian akhir/Tesis. Pada periode ini juga ditandai dengan penambahan sejumlah fasilitas kesehatan seperti cardiac emergency dan ICCU, laboratorum kateterisasi dan sebagainya.

Periode Departemen Kardiologi di RSJ Harapan Kita, 1985 - Sekarang
Pada 1 Agustus 1985, lokasi dan kegiatan Kardiologi dipindahkan dari RSCM ke RS Jantung Harapan Kita. Periode ini juga ditandai oleh pembuatan buku katalog pendidikan dan kurikulum yang secara resmi diakui oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan. Konsep yang diterima ketika itu adalah katalog Pendidikan Kardiologi dari Bagian Kardiologi pada 1986. Konsep ini pun mengalami berbagai penyempurnaan beberapa tahun kemudian.
Pada periode ini fase Pendidikan Spesialis Jantung dimulai dan berkembang dengan pesat dengan dukungan sarana dan prasarana yang lebih baik. Kegiatan ilmiah tahunan yang secara rutin diadakan PERKI maupun Dept Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI, memungkinkan para PPDS untuk berkiprah dengan menampilkan penelitian dan mendapatkan ilmu dari para pakar baik dalam maupun luar negeri.
Nah, berbagai pencapaian ini, menurut Prof Romdoni haruslah dipertahankan dan ditingkatkan. Ibarat mempertahankan dan mengembangkan amanat founding fathers. “Beragam pusat pendidikan harus diperkuat dan pesertanya harus ditambah. Kalau bisa setidaknya ada 150­an SpJP yang dihasilkan setiap tahunnya,” kata Romdoni, yang pernah menjadi Ketua PERKI Pusat pada 2012-­2014.
Selain itu, untuk memperkecil jurang antara Pusat dan Daerah, Romdoni mengusulkan agar sistem pendidikan dan kemandirian di daerah diperkuat. “Jadi salah satunya tolong ada regulasi pendidikan yang juga mendukung pengembangan daerah. Misalnya untuk Kedokteran Nuklir, tidak semuanya harus ke Jakarta. Jadi orang­-orang di daerah juga terakomodasi,” tutur Romdoni lagi.


[Tim InaHeartnews]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar