pita deadline

pita deadline

Kamis, 12 Desember 2013

Liputan 25th WECOC: A Quarter Century of Achievement In Cardiovascular Science and Technology

Minggu 10 November 2013, bertempat di ruang Mutiara 1 Hotel Ritz Carlton Kuningan Jakarta, telah diadakan workshop on heart failure dengan tema tantangan klinis pada gagal jantung sebagai bagian dari acara 25th Weekend Course On Cardiology (WECOC). Para pembicaranya yang sudah dikenal handal dibidangnya, yaitu dr Erwinanto SpJP, dr Nani Hersunarti SpJP(K) dan Dr dr Bambang B Siswanto SpJP(K).
Sebagai pembicara pertama, dr Erwinanto SpJP membicarakan pendekatan klinis dalam menangani gagal jantung akut. Gagal jantung masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pada klinis yang menjadi topik adalah gagal jantung akut karena prognosisnya yang  buruk.
Gagal jantung akut didefinisikan onset baru atau rekurensi perburukan gejala dan tanda gagal jantung yang membutuhkan pertolongan segera. Walaupun demikian  belum ada defines universal mengenai kondisi gagal jantung akut. Pasien mungkin akan muncul dengan kondisi yang beragam dari edema pulmoner yang mengancam nyawa atau syok kardiogenik sampai ke kondisi hanya edema perifer.
Kondisi gagal jantung dapat dibagi menjadi tujuh keadaan, acute de novo, gagal jantung akut dekompensata, gagal jantung akut hipertensif, edema pulmoner, syok  kardiogenik, high output failure dan gagal  jantung kanan. 
Tujuan dari pengobatan gagal jantung akut adalah untuk memperbaiki gejala dan menstabilkan kondisi hemodinamik pasien. Terapi tradisional seperti oksigen, diuretik loop, nitrat dan morfin masih tetap dipakai pada terapi awal sampai sekarang. Walaupun vasodilator seperti nitrogliserin mengurangi preload dan afterload serta meningkatkan isi sekuncup, tidak terdapat bukti yang nyata mengurangi dispnea atau memperbaiki hasil keluaran.
Vasodilator mungkin lebih berguna pada pasien dengan hipertensi. Penggunaan inotropik seperti dobutamin seharusnya digunakan pada pasien dengan penurunan berat cardiac output sehingga perfusi organ dapat tercapai. Obat-obat vasopressor dengan kemampuan vasokonstriksi arteri  perifer seperti norepinefrin diberikan pada pasien dengan hipotensi berat.
Pembicara kedua dr. Nani SpJP (K) membicarakan tentang pengobatan volume overload pada resistensi diuretik. Dimana keadaan volume overload merupakan manifestasi tersering dari gagal jantung dekompensasi. Interaksi Antara disfungsi ginjal dan fungsi jantung sangatlah penting dalam mekanisme patofisiologi yang menyebabkan kongesti.
Tujuan pemberian diuretik adalah untuk mencapai keadaan yang euvolumia dengan pemberian dosis yang terendah yang mungkin dapat diberikan. Perkumpulan gagal jantung Amerika merekomendasikan diuretik loop pada dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan diuresis yang cukup hingga mencapai status volum yang optimal.
Sindroma resistensi diuretik tidak terdefinisi dengan baik, dimana diduga jika terjadi edema perifer yang masih nampak walau telah diberikan dosis diuretik loop yang adekuat, terdapat pada 30% pasien dengan gagal jantung tingkat lanjut. Hal ini mungkin diakibatkan oleh karena terjadinya edema intestinal, penurunan sekresi  diuretic serta retensi garam post diuretik.
Adapun beberapa manajemennya adalah, kurangi asupan garam < 2 gram/hari, restriksi cairan 1-1.5 liter/hari, hindari penggunaan NSAID, pemberian diuretic infus kontinu 3  mg/jam sampai 10-20 mg/jam, kombinasi dengan hidroklorotiazid 25 – 100 mg, penggunaan dopamine dosis renal 2.5 mcg/kg/menit, dapat diberikan nitrat jika tekanan darah > 110 mmHg.
Dan pembicara terakhir Dr dr Bambang B Siswanto SpJP(K), membicarakan aritmia pada gagal jantung, dengan aritmia terbanyak adalah fibrilasi atrium (AF), disusul dengan PVC serta non sustained VT. AF  dapat menyebabkan perburukan gagal jantung, juga dapat memicu gagal jantung pada pasien asimptomatik disfungsi ventrikel kiri, dan akan meningkatkan risiko tromboemboli.
AF dalam gagal jantung, kita harus mencari penyebab timbulnya seperti hipertiroid, kelainan elektrolit, hieprtensi yang tidak terkontrol serta penyakit katup mitral. Kita juga harus mencari faktor penyebabnya seperti riwayat pembedahan, PPOK atau asma, iskemia miokard akut ataupun alcohol. Serta kita harus memberikan profilaksis tromboembolisme.
ESC merekomendasikan untuk mengatur denyut jantung pada pasien gagal jantung simptomatik, disfungsi sistolik ventrikel kiri, persisten atau permanen AF dan tanpa bukti dekompensasi akut dapat diberikan beta blocker, sementara alternatifnya dapat diberikan digoksin ataupun amiodaron.
Adapun target denyut jantung berdasarkan studi AF-CHF adalah 80 kali per menit pada saat istirahat dan 110 kali per menit pada saat tes jalan 6 menit. Adapun kontrol ritme ternyata tidak lebih superior dari  kontrol denyut jantung. Kontrol ritme baik pada pasien dengan sebab sekunder yang reversible (hipertiroid) dan penyebab yang nyata seperti pneumonia. Adapun obatnya dalah amiodaron, sementara pasien dengan gagal jantung akut lebih baik dilakukan kardioversi emergensi pada kondisi hemodinamik tidak stabil.
Aritmia ventrikuler sering kali terjadi pada ventrikel kiri yang mengalami dilatasi dan penurunana fraksi ejeksi. Aritmia ventrikuler mungkin akan asimptomtik atau simptomatik (palpitasi, pusing, pre sinkop atau sinkop dan perburukan gagal jantung). PVC frekuen dan non sustained VT dihubungkan dengan kaluaran yang buruk pada gagal jantung.                      
(SL Purwo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar