pita deadline

pita deadline

Kamis, 31 Oktober 2013

Kardiologi Kuantum (22): Tri Hita Karana, Pemali, dan Asketisme Kurban

“The ideas of the moral order and of God belong to the ineradicable substrate of the human soul.” ~C.G. Jung, Dreams~ 

Salam Kardio. Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka konferensi internasional Tri Hita Karana Pembangunan Berkelanjutan yang berfokus pada pariwisata, sebagai bagian aktivitas KTT APEC 2013, di Nusa Dua, Bali, Minggu siang. Selanjutnya ANTARA News memberitakan bahwa “Tri Hita Karana adalah filosofi masyarakat Bali di mana manusia harus menjaga tiga elemen keharmonisan, yaitu manusia dengan lingkungan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan, jika ketiganya tercapai maka kemakmuran akan terwujud,” kata Yudhoyono. 
Pariwisata dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan dan merata —salah satu tiga pilar yang diusung Indonesia— menarik perhatian para anggota ekonomi KTT APEC 2013. Isu ini cukup sentral karena bisa mendorong berbagai sektor lain bergerak bersama. Disayangkan, ketiga elemen Tri Hita Karana itu, belum bisa diseimbangkan saat ini. Beberapa aktivitas perekonomian masih berbenturan dengan keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup. Oleh sebab itu, Presiden RI menyerukan setidaknya ada empat aksi bersama yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan elemen tersebut, terutama di bidang ekonomi dan lingkungan. 
Pertama, negara-negara harus siap beradaptasi dan berkembang menghadapi perubahan yang ada, terutama dalam hal lingkungan hidup. Kedua, negara-negara harus jujur dalam mengenali kekuatan dan kekurangan dalam menghadapi isu lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Ketiga, negara-negara harus mempercepat integrasi antara kebutuhan lingkungan yang lestari terhadap strategi pembangunan. Keempat, pemerintah dan para pemangku kepentingan lain harus menjalin kerjasama. “Kurangi persaingan geopolitikal yang ada, keempat aksi bersama itu dapat diterapkan dalam sektor pariwisata sehingga generasi mendatang masih dapat menikmati keindahan alam yang sekarang ada,” kata Presiden. 
Pemali, adalah larangan-larangan yang seyogyanya diikuti oleh manusia untuk dicegah karena akan menyebabkan rusaknya lingkungan, ketidak harmonisan hubungan sesama manusia dan akhirnya manusia akan semakin jauh dari Tuhannya. Ajakan hidup sehat sebenarnya sudah mengandung larangan untuk tidak memanfaatkan hasil bumi yang merusak tubuh seperti tembakau untuk merokok, ganja dan kokain untuk mabuk-mabukan termasuk alkohol yang seyogyanya bermanfaat untuk sektor kesehatan malah digunakan untuk merusak tubuh. Ketika minuman yang memabukkan itu dipakai oleh pengendara mobil menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang kerap kali merenggut banyak nyawa. Kenyataannya masih saja harus dibuat aturan-aturannya agar diikuti dan disertai dengan ancaman-ancaman bila melanggarnya. 
Setiap negara tentu saja memiliki undang-undang yang mengatur tentang hubungan manusia dengan lingkungannya untuk menjaga kelestarian kehidupan bersama. Peraturan-peraturan daerah banyak diterbitkan untuk mengatur ulah manusia tentang bagaimana harus membuang sampah serta masalah kebersihan lainnya. Dilarang merokok di tempat-tempat umum, di pompa-pompa bensin bahkan tentang bahaya merokok sudah dicantumkan di bungkus rokoknya itu sendiri. Kenyataannya manusia masih banyak yang melanggarnya dengan semua konsekwensinya. Melanggar undang-undang negara dan segala peraturannya adalah persoalan yang luas, mulai yang sederhana sampai yang serius seperti keinginan untuk melepaskan diri dari suatu negara. Sebaiknya setiap warga negara mematuhi undang-undang dan peraturannya agar tercapai harmoni diantara warga negara dengan pemerintahannya yang memang mendapat amanah untuk melindungi warga negaranya dengan peraturan yang adil, seadil-adilnya. 
Pemali yang paling mudah dilanggar didalam kehidupan bermasyarakat adalah cekcok yang berkelanjutan. Jaman sekarang percekcokan dari hal-hal yang sepele sering menjadi tawuran. Masih di bulan Oktober 2013 ketika tulisan ini dibuat tawuran antara pelajar sekolah bukan lagi dengan senjata tajam dan tumpul diantara mereka, sudah ada yang menyiramkan air keras ke bus yang sedang berjalan dan berakhir dengan korban anggota masyarakat umum. Tentu saja pelakunya ditangkap aparat keamanan untuk diminta pertanggung jawabannya di depan hukum. Percekcokan tersebut akan lebih indah bila itu dilakukan di dalam forum-forum diskusi yang terpimpin dan dikelola dengan baik. Percekcokan yang lebih keras diselesaikan dan disalurkan dalam olah raga bela diri, tinju, dan olahraga yang dinamis lainnya seperti badminton, tenis dan sebagainya. 
Jenis pemali unik yang tidak kalah pentingnya di lingkungan kita yang akhir-akhir ini menjadi marak adalah pelampiasan hawa nafsu luamah (sahwat, seks) terhadap lawan jenis. Sebenarnya pelampiasan hawa nafsu ini menjadi “lumrah” ketika dilaksanakan dalam koridor pernikahan. Pernikahan yang indah bukan karena diselenggarakan dengan penuh kemewahan tetapi justru karena kesederhanaannya. Cinta yang dibangun antara laki-laki dan perempuan, direstui oleh kedua orangtua dari kedua fihak yang terlibat dan disahkan oleh peraturan agama dan atau negara. Pengesahan oleh peraturan negara menjadi sangat penting untuk melindungi anak-anak yang dilahirkan ada yang mengasuhnya secara hukum sehingga masih terlindungi oleh hukum ahli waris sekiranya orang tuanya meninggal dunia. 
Tidak hanya artis yang kurang berhati-hati dalam hal sahwat bahkan orang berpendidikan tinggi, berkedudukan tinggi sampai mereka yang tergolong pendeta dan ulama. Ada kalanya ketidakhati-hatiannya itu berakhir diujung kematian akibat penyakit HIV Aids, lebih sulitnya lagi HIV Aids jaman sekarang dapat ditularkan juga di luar hubungan seksual. Sekiranya perserongan tersebut menghasilkan anak-anak yang memiliki masalah hukum bukan karena kesalahannya sendiri, semoga anak-anak tersebut masih mendapatkan kasih sayang yang memadai dan pendidikan yang mencukupi dari yang terlibat. Masyarakat akan ikut menderita sekiranya banyak anak-anaknya yang dilahirkan dengan proses yang menyimpang tersebut. Ambil contoh di kampung-kampung ibukota yang dihuni oleh turis-turis hitam dari benua Afrika dan kebetulan terdapat banyak anak-anak kecil yang kulitnya hitam legam padahal kedua orang tua mereka berkulit sawo matang, apakah kita masih dapat tersenyum? 
Dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan akan terlihat harmonis apabila tercapai kesepakatan secara sukarela diantara manusia untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Sangat menyedihkan ketika melihat dalam surat kabar cetak maupun elektronik dalam satu agama saja ketika beribadah dipisahkan oleh sekat padahal sukunya sama dan menyebut nama Tuhannya dalam istilah yang sama pula. Sudah terlalu banyak konflik SARA yang secara kebetulan kita ketahui. 
Asketisme kurban. Masih di bulan yang sama, ASEP SALAHUDIN, Esais dan Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya di akhir tulisannya merenungkan spirit berkurban pada Idul Adha tahun ini diharapkan bisa menyelesaikan persoalan bangsa, agar kehidupan kembali menemukan adabnya. Bukankah semangat berkorban yang diteladankan manusia pergerakan yang membuat Republik ini bisa keluar dari jerat kolonialisasi? Berkorban bukan hanya benda, raga, bahkan nyawa. 
Termasuk berkorban dengan menjatuhkan pilihan hidup asketik. Hatta yang tidak terbeli sepatu Bally, Natsir yang jasnya robek, Bung Karno yang masih punya utang 80 gulden kepada Karim Oei, Agus Salim yang hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lain sampai akhir hayatnya, Syahrir yang apa adanya, Tan Malaka yang jarang berganti pakaian, dan lain sebagainya. Kepada mereka, penghormatan tulus segenap rakyat dipersembahkan. Kepada keluhuran budi, sikap jujur, akal sehat, gaya hidup yang halal, dan satunya kata dengan perbuatan. Mereka dengan gemilang telah sukses menyembelih “hasrat kebinatangan” ketika diberi amanah menjadi penyelenggara negara. Walaupun mereka tidak berkali-kali naik haji, tidak terlampaui fasih melapalkan teks kitab suci. 
Demikianlah hubungan antara manusia dengan lingkungan, antar sesamanya dan kebaktiannya kepada Tuhan YME seperti yang terasa dalam Tri Hita Karana masih memerlukan penjelasan. Menjadi lebih jelas ketika disandingkan dengan konsep Pemali yang berlawanan itu dan diakhiri dengan semangat menyembelih “hasrat kebinatangan” manusia ketika berhubungan dengan sesamanya. Salam Kuantum. 
Budhi S. Purwowiyoto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar