pita deadline

pita deadline

Rabu, 28 Desember 2011

Kardiologi Kwantum

I cannot seriously believe in [quantum theory] because. . . physics should represent a reality in time and space, free from spooky actions at a distance.
— Albert Einstein

Selamat tahun baru 2011,
Kesal sekali dengan pimpinan redaksi tabloid, tidak sekali ini saja, karena istilah idaman-ku tentang psychology oriented cardiolovascular ditolak mentah-mentah, termasuk psyche, mental, dan entah apalagi. Beliau ingin menyebut suatu istilah kearah kesadaran umum, consciousness. Tidak mau menjelaskan, tetapi dengan bijak memberiku buku Quantum Enigma: Physics Encounters Consciousness dimana Albert Einstein yang mengaku sudah memikirkan problem kwantum ratusan kali, pernyatannya masih tetap bersikukuh bahwa teori kwantum dimasukkan dalam teori relatifitas umum, bukan khusus. Buku itu membenturkan kwantum dengan kesadaran. Aku jadi ingat Randai-nya kebudayaan Minangkabau, tarian pencak Minang yang nan dinamis, diiringi musik pentatonis dengan cerita legenda yang berbahasa tutur tinggi, seperti Sabai nan aluih. Randai dalam filsafatnya sebenarnya juga membenturkan “budi dengan ilmu” (budi manimpo ilmu), memang itu tentang pencerahan, kata Sony! Nah, yang ini aku jadi bersemangat, karena namaku sendiri ber karakter tengahnya “Ming” dalam bahasa tulis Mandarin, gabungan antara karakter matahari dan bulan (empat coretan), adalah juga berarti pencerahan.
Tadi pagi Reza Octavianus calon kardiolog bimbingan kami berdua ‘maju besar’, menjawab semua pertanyaan kardiolog senior dengan mantab, kata Dr Yoga, tidak seperti kalau diskusi kecil. Tentang fenomena elektrokardiogram repolarisasi dini, harapannya adalah mencerahkan kardiolog agar penuh perhatian pada “penyakit listrik jantung” tersebut .. Dalam orasi ilmiahnya tersebut, memang beda dengan penampilannya sehari-hari kelihatan tegar. Seorang peneliti pada dasarnya melakukan suatu upaya lompatan kwantum kedepan atau keatas, bahkan seratus tahun kedepan seperti yang telah dilakukan oleh Albert Einstein dengan teori relativitasnya E=MC2.
Einstein telah menjelaskan makna relativitas itu bagaikan duduk 2 jam di dekat perempuan cantiik tetapi rasanya baru 2 menit, sementara duduk di perapian yang panas selama 2 menit, sudah terasa 2 jam. Memang kalau kita dapat menjelaskan sesuatu itu dengan sederhana, masih menurut Einstein berarti kita sudah menguasai apa yang kita jelaskan. Buatlah segala sesuatu itu sesederhana mungkin, tetapi juga jangan terlalu sederhana, inilah juga berarti relativitas itu sendiri.
Nah, bagaimana bila kita menjelaskan sesuatu yang bersifat ilmiah tetapi menggunakan data-data orang lain? Saya ingin menjadarkan kepada diri saya sendiri saja, saya juga melakukan upaya kwantum ke bawah, sejujurnya ilmuwan kelas dua, maksudnya model ke-2 .. maaf kepada diriku, sayup-sayup terdengar lagu Man in the miror-nya Michael Jackson almarhum. Ada kepentingan lain, justru ini yang dibutuhkan masyarakat agar masyarakat mendapatkan pencerahan hasil penelitian dari ilmuwan kelas satu (peneliti) tersebut diatas. Kelihatannya membuat pencerahan ke masyarakat adalah perbuatan yang mudah. Dalam pengertian Kardiologi Kwantum jadi cukup sulit, karena harus melakukan “reverse quantum leap”, begini kira-kira juntrungannya. Hasil suatu penelitian ilmiah (elektrofisiologi) yang njlimet tersebut (left brain), yang ingin kita sebut sebagai tuntunan, harus dibuat rangkuman yang sederahana terlebih dulu. Baru agar penyuluhannya cair, harus diberi tontonan, beserta penjelasannya (right brain) setelah itu dibuatkan kaitannya antara konsep otak kiri dan otak kanan. Kalau kita berhasil bernalar demikian, suatu hasil penelitian yang serumit apapun seperti elektrofisiologi, teknologi pacu jantung, ablasi dan defibrilasi akan sukses disampaikan ke masyarakat awam. Inilah kardiologi kwantum yang membumi untuk masyarakat. Yang melompat keatas melewati konsep ruang dan waktu, biarkan saja untuk mereka yang berprofesi kardiologi dan kedokteran vaskuler semoga tidak menjadi .. spooky actions at a distance. Selamat bekerja kembali, salam kardio.

Budhi Setianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar