pita deadline

pita deadline

Selasa, 05 Juni 2018

SpJP Harus Senantiasa Istiqomah, Tawadhu, Bersyukur & Amanah

HAMPIR semua wartawan kalangan kesehatan mengenal sosok dokter yang ramah dan cekatan ini: Dr Jetty Sedyawan SpJP(K). Selain menjalankan amanat sebagai Sekjen Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2016–2018 dan melayani pasien, Jetty juga sibuk dengan beragam aktivitas. Mulai sebagai pembicara dalam berbagai pertemuan kesehatan, kegiatan bantuan sosial, Jetty juga aktif dalam kegiatan di Kementerian Kesehatan. Berikut perbincangan beliau dengan Tabloid InaHeartnews, Maret.

Kira-kira kode etik apa yang paling krusial harus selalu ditaati dan dilaksanakan SpJP?
Sebenarnya IDI termasuk PERKI sudah siap mengantisipasi segala persoalan dalam pelayanan kedokteran. Pada prinsipnya seluruh kode etik kedokteran Indonesia harus ditaati tanpa memandang dokter spesialis apapun. Kalau ditanya yang paling krusial, saya pilih dari Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 8 kewajiban umum yang berbunyi: “Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventiv, kuratif dan rehabilitatif) baik fisik maupun psikososial serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya”.

Masyarakat kini makin kritis. Bagaimana dampaknya terhadap kinerja dokter jantung?
Menarik sekali pertanyaan ini, saya menjawab dengan dua pokok yaitu professional dan patient safety. Ilmu kedokteran saat ini menganut evidence based medicine. SpJP dituntut untuk selalu update, mumpuni dalam ilmu pengetahuan dan peka terhadap perkembangan ilmu kedokteran, khususnya ilmu penyakit kardiovaskular.
Perkembangan media sosial di masyarakat mempunyai dampak positif dan negatif. Yang perlu diwaspadai adalah isu hoax yang beredar. Mitos-mitos tentang penanggulangan kesehatan dan iklan-iklan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk klinik-klinik palsu yang kerap merugikan masyarakat. Masyarakat harus lebih bijak dan teliti dalam mencermati tiap kebenaran hal yang ada. Bila ada keraguan jangan segan-segan untuk konsultasi ke dokter jantung dan pembuluh darah.

Bagaimana mempersempit jurang layanan kesehatan dokter jantung di pusat maupun daerah?
Alhamdulillah, telah terbit buku Model Optimal Pelayanan Kardiovaskular Rumah Sakit Rujukan, yang disusun team PERKI dan Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah tahun 2017 yang dipimpin DR Dr Ismoyo Sunu SpJP. Ini merupakan karya gemilang, menjawab pertanyaan kebutuhan pemetaan penempatan dan fasilitas pelayanan kardiovaskular RS Rujukan di seluruh Indonesia. Jumlah SpJP di Indonesia terbatas. Saat ini ada sekitar 1.000 SpJP untuk melayani 250 juta penduduk Indonesia. Yang memprihatinkan mereka lebih banyak bekerja di kota-kota besar. Sebenarnya ketentuan penempatan SpJP adalah di Rumah Sakit tipe A dan B. Masyarakat daerah dan pedesaan juga berhak mendapat pelayanan.
PERKI telah mengadakan pertemuan dengan IKBTKVI, dalam upaya mencapai pelayanan Kardiovaskular yang baik. Masalah ini pun telah kami sampaikan kemarin pada pertemuan dengan PPSDM, agar Kemenkes juga mendukung terlaksananya penempatan dan memfasilitasi para SpBTKV di daerah.

Bagaimana pula pandangan dokter terhadap masalah gratifikasi kepada dokter jantung?
Anggota PERKI melalui cabang PERKI beberapa kali mengadakan malam klinik khusus membicarakan Etik kedokteran termasuk isu gratifikasi. Kami telah mengadakan diskusi dengan berbagai pihak terkait mengenai gratifikasi, kerja sama IDI dengan KPK. Informasi dan acuannya telah disampaikan pada rapat Pleno PERKI, November lalu. Gratifikasi juga sudah diatur dalam pasal 12B, Undang-undang nomor 20 tahun 2001. Secara umum PP PERKI mendukung upaya pemberantasan korupsi dalam semua lini.
Pencegahan selalu lebih baik, telah kami imbau untuk mencegah timbulnya masalah gratifikasi dengan cara melaporkan ke PERKI Cabang selanjutnya ke PERKI Pusat untuk kemudian dilaporkan ke IDI Pusat bila ada SpJP menerima bantuan apapun baik untuk kepentingan pendidikan berkelanjutan ataupun promosi obat-obatan pada acara-acara ilmiah. Selanjutnya IDI akan melaporkannya ke KPK.

Bagaimana pula upaya terbaik untuk mengatasi para dokter jantung yang melanggar etika atau malpraktek?
IDI dan PP PERKI telah memiliki aturan dan standar tentang pelanggaran etika. Jika ditanyakan upaya terbaik dalam menangani dokter jantung yang melanggar etika adalah dengan pencegahan terlebih dahulu. Sebaiknya bila terjadi pelanggaran etika, PERKI cabang melaporkan segera kepada PERKI Pusat, sehingga dapat ditangani dengan baik, tidak sampai gaduh dan bisa berkembang ke ranah hukum. Bila sudah ada masalah etik, perhimpunan PERKI mempunyai dewan yang akan mendalami masalah etik tersebut dan tidak segan-segan memberikan sanksi bila ada anggota yang terbukti bersalah. Bila ada dugaan pelanggaran, Dewan Etik PERKI memanggil SpJP terkait, mengumpulkan data guna mencari kebenaran dan menentukan pelanggaran etik saja atau pelanggaran displin.
Kalau masuk pelanggaran disiplin, maka kasus itu akan diproses melalui sidang MKDKI untuk memutuskan sanksinya. Kalau pelanggaran etik, hasil keputusan Dewan Etik PERKI melaporkan secara tertulis berat-ringannya pelanggaran bersama sanksinya. Selanjutnya Ketua PERKI menyampaikannya kepada MKEK IDI. Eksekusi adalah wewenang IDI.
Soal malpraktek, lha ini yang sulit, karena ada perbedaan pengertian antara masyarakat dan profesi kedokteran. Masyarakat menuntut kalau berobat harus sembuh, kalau operasi harus berhasil sedangkan pelayanan dokter prinsipnya melakukan pelayanan dengan usaha tertinggi/terbaik. Jadi ada yang tidak puas atau tidak sembuh, lantas menuduh malpraktek, padahal bukan. Maka komunikasi dokter-pasien harus jelas dan informed consent harus dimengerti.
Yang utama seorang SpJP harus senantiasa istiqomah, tawadhu, penuh syukur dan amanah. Taat dan paham pada Kodeki, hukum, budaya malu dan takut akan hukuman akhirat merupakan dasar pencegahan pelanggaran etik, disiplin dan malpraktek.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar