pita deadline

pita deadline

Jumat, 10 Agustus 2012

Stress Pekerjaan Merusak Jantung Perempuan, Namun Tak Ada yang Tahu Mengapa?

23 Juli, 2012 (Cambridge, Massachusetts) — Sebuah studi baru menunjukkan bahwa wanita-wanita yang mengalami stres berat dalam bekerja berisiko 40% lebih besar  untuk mengalami kejadian kardiovaskular dalam periode waktu 10 tahun dibandingkan wanita-wanita yang memiliki stress pekerjaan yang ringan. Dr Natalie Slopen (Universitas Harvard, Cambridge, MA) dan koleganya mempublikasikan penemuan ini secara online pada 18 Juli 2012 di PLoS One.
Angka kejadian CVD terbanyak didapatkan pada kedua golongan wanita beban kerja tinggi, yaitu golongan dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi namun kontrol terhadap pekerjaannya rendah, serta pada golongan wanita pekerja aktif (tuntutan pekerjaan tinggi, namun memiliki otonomi yang tinggi terhadap pekerjaannya). Penemuan ini mengejutkan, seperti yang dikatakan Dr Michelle A Albert (Brigham and Women’s Hospital, Boston, MA) pada heartwire, karena pada mayoritas riset sebelumnya —yang objek penelitiannya lebih banyak pada pria— tidak menemukan peningkatan risiko CVD pada mereka yang memiliki pekerjaan yang ‘aktif’.
Terdapat hubungan yang besar antara stress pekerjaan yang besar dengan risiko kejadian kardiovaskular yang belum dapat kita mengerti.
Kedua golongan ini —Wanita dengan beban kerja tinggi serta wanita pekerja aktif— keduanya memiliki resiko peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular sebesar 40%. Wanita dengan beban kerja yang tinggi memiliki risiko lebih tinggi berdasarkan studi banding yang melibatkan pria, akan tetapi pada kelompok wanita pekerja aktif, bukanlah grup di mana terdapat banyak hasil studi yang mencakup pria maupun wanita kelompok ini tidak memiliki korelasi insiden kejadian antara pria dan wanita dengan angka kejadian  penyakit kardiovaskuler pada wanita.
Penemuan besar lainnya adalah penemuan bahwa lebih dari 70% korelasi antara tingkat kerja dan risiko penyakit kardiovaskuler “tidak dapat dijelaskan dengan  faktor resiko yang biasa terjadi atau ansietas/depresi” menurut Albert. “ Terdapat proporsi besar antara hubungan resiko    kerja dan resiko penyakit kardiovaskular yang kami pun belum bisa mengerti hingga saat ini.”
Menurut slopen dkk, stressor yang berkaitan dengan pekerjaan juga berhubungan dengan resiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Namun pada studi-studi sebelumnya awalnya dilakukan kepada para pria. Sedangkan pada wanita baru diadakan sedikit percobaan, dan studi-studi ini hanya memiliki satu hasil akhir seperti penyakit jantung koroner atau stroke, serta hasilnya tidak konsisten.
Informasi mengenai efek stressor yang terkait pekerjaan sebagai faktor resiko kardiovaskular pada wanita normal sangat penting, melihat terjadinya peningkatan yang dramatis dari partisipasi wanita dalam tuntutan pekerjaan selama beberapa dekade terakhir, dan fakta bahwa stressor psikososial memberikan efek yang berbeda pada pria dan wanita.
Terdapat sebuah riset baru yang mempelajari lebih dari 22.00 wanita tenaga kesehatan dalam Women’s Health Study. Studi ini menanyakan kepada wanita-wanita tersebut stressor dalam pekerjaan mereka, seperti kiprah mereka, beban pekerjaan, tuntutan pekerjan, skill yang dibutuhkan, pengontrolan dalam pengambilan keputusan, dan keamanan pekerjaan.
Albert mengatakan salah satu kekuatan dari riset ini adalah hasil akhir kombinasi antara MI nonfatal, stroke, revaskularisasi koroner, dan kematian kardiovaskular, yang dikatakannya sebagai “sangat komprehensif dan tervalidasi dari rekam medis”.
Selama 10 tahun follow up, terdapat 170 MI, 163 stroke iskemik, 440 revaskularisasi koroner, dan 52 kematian kardiovaskular. Dalam Cox proportional-hazard models yang disesuaikan dengan perancu-perancu yang potensial, wanita dengan stress pekerjaan yang tinggi (tuntutan tinggi, kontrol rendah) memiliki risiko 38% lebih besar untuk mengalami kejadian CVD dibandingkan wanita yang memiliki stress pekerjaan rendah (tuntutan rendah, kontrol tinggi; rate ratio 1.38; 95 % CI 1.08-1.77). Hasil yang mirip juga didapatkan pada wanita denga pekerjaan yang aktif (tuntutan tinggi, kontrol  tinggi) yakni berisiko 38% lebih besar untuk mengalami kejadian CVD dibandingkan stress pekerjaan rendah (95% CI 1.07 – 1.77).
Tidak ada buktinya terdapatnya asosiasi antara kejadian CVD dengan job insecurity.
“Tubuh kita mampu menghadapi stress yang normal, jadi yang dibicarakan di sini adalah stress yang di atas normal, di mana tubuh sudah tidak mampu beradaptasi lagi dengan stress”, ujar Albert.
“Tetapi kita tidak dapat menghilangkan stress pekerjaan, dan kita tidak bisa menghindari pekerjaan kita, jadi kita harus menemukan cara untuk bertahan. Kami tahu bahwa mekanisme pertahanan diri memegang pertahanan penting dalam meminimalisasi efek stress, seperti dalam literatur kesehatan jiwa. Tapi kami belum mengetahui banyak tentang itu dari literatur kardiovaskular, karena datanya tidak cukup, apalagi untuk wanita.”
Beliau merekomendasikan untuk cara pengendalian stress, tiap orang harus memastikan bahwa mereka banyak istirahat, menyediakan waktu untuk beraktivitas yang membuat rileks, “dan tidak membiarkan pekerjaan mengganggu waktu pribadi. Karena kita hidup dalam zaman elektronik, di mana kita menghabiskan waktu kita berkutat dengan alat-alat elektronik. Kita harus menghindari ini. “ Beliau juga mengungkapkan pentingnya dukungan dari jaringan sosial di sekitar kita.
Direksi dan perusahaan juga bertanggung jawab memastikan para pekerjanya tidak kelebihan beban pekerjaan. “Mereka harus menyadari bahwa produktivitas akan menurun jika para pekerjanya dalam keadaan stress.” Dan dokter juga harus selalu menanyakan mengenai stress pekerjaan kepada setiap pasiennya.
(Dwita Rian Desandri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar