pita deadline

pita deadline

Rabu, 08 Februari 2012

Pencitraan Cardiac Magnetic Resonance dapat Memprediksi Luaran Pasca Infark Miokardium

Pengukuran luas daerah infark miokardium dengan menggunakan pencitraan Cardiac Magnetic Resonance (CMR) dapat mengidentifikasi miokardium yang terselamatkan dan memprediksi luaran setelah sindrom iskemik akut, berdasarkan tiga studi baru yang dipublikasikan tanggal 1 Juni 2010 pada Journal of American College of Cardiology. Dua studi meneliti resonansi magnetik pada pasien Infark Miokardium Akut dengan Elevasi Segmen ST (STEMI) yang dilakukan tindakan reperfusi, dan yang lainnya mengevaluasi resonansi magnetik pada pasien stabil dengan Infark Miokardium Akut Non Elevasi Segmen ST (NSTEMI) yang dijadwalkan untuk studi invasif. Resonansi magnetik mengidentifikasi miokardium yang berisiko infark dengan pencitraan T2-weighted, yang menyoroti daerah edema miokard, luas daerah infark diukur dengan pencitraan Late Gadolinium Enhancement (LGE).


CMR memprediksi disfungsi sistolik akhir setelah STEMI

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa LGE diukur dengan pencitraan CMR mengidentifikasi nekrosis dalam fase kronis setelah infark miokardium dan memprediksi pemulihan fungsional setelah revaskularisasi. Namun, beberapa studi observasi telah menemukan “penyusutan infark” antara minggu pertama setelah infark dan pada observasi kemudian, yang menunjukkan kemungkinan bahwa LGE merupakan kombinasi dari nekrosis dan edema miokardium, sehingga kerusakan miokard pada periode awal STEMI sering overestimate. Dokter Eric Larose (Universitas Laval, Quebec City) dan koleganya mendisain sebuah studi untuk mengetahui apakah karakteristik infark dievaluasi pada jam-jam awal STEMI dapat meningkatkan prediksi akhir pemulihan sistolik ventrikel kiri (LV) dan luaran yang buruk terhadap faktor risiko tradisional yang telah diketahui sebelumnya.

Larose dan rekan memeriksa CMR dengan penyengatan kontras dari 103 pasien STEMI yang diambil dalam waktu 12 jam setelah Intervensi Koroner Perkuntan Primer (IKPP) dan enam bulan kemudian. Titik akhir primer dari penelitian ini adalah disfungsi LV sampai dua tahun kemudian. Luaran yang buruk adalah titik akhir sekunder.

Hasil yang dipublikasikan menunjukkan bahwa faktor risiko tradisional adalah prediktor sederhana disfungsi LV yang terjadi kemudian, tapi analisis regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa volume LGE selama STEMI adalah prediktor terbaik dari disfungsi LV yang terjadi kemudian (rasio odds 1,36; p = 0,03) dan merupakan prediktor kuat perubahan fraksi ejeksi LV (LVEF) dari ukuran infark transmural, obstruksi mikrovaskuler, atau miokard yang selamat selama STEMI (p = 0,02). Volume LGE LV > 23% selama STEMI secara akurat meramalkan disfungsi LV yang terjadi kemudian (sensitivitas 89%, spesifisitas 74%).

Volume LGE adalah prediktor independen yang kuat terhadap luaran yang buruk dan LGE > 23% membawa rasio hazard 6,1 untuk luaran yang buruk (p < 0,0001). Selama observasi (rata-rata 2,6 tahun), 23 pasien memiliki luaran yang buruk: satu kasus kematian, dua kasus infark miokardium, lima kasus aritmia maligna, empat kasus disfungsi berat LV (LVEF < 35%), dan 11 kasus gagal jantung selama perawatan di rumah sakit. Larose dan rekan menyimpulkan, stratifikasi risiko berdasarkan pencitraan CMR dengan kontras yang dilakukan dini pada STEMI dapat meningkatkan prognosis-terapi pada pasien yang membutuhkan pengobatan agresif.


Myocardial Salvage Index dari CMR dapat memprediksi prognosis

Dokter Ingo Eitel (Universitas Leipzig, Jerman) berpendapat bahwa penilaian penyelamatan miokardium setelah STEMI sangat penting dalam mengevaluasi keberhasilan terapi reperfusi dan memprediksi prognosis. Penilaian penyelamatan miokardium mungkin meningkatkan kemampuan dokter untuk menilai risiko infark secara cepat dan akurat dan secara klinis bermanfaat dalam triase dan penatalaksanaan pasien STEMI. Hal ini termasuk keputusan memulangkan lebih awal pasien dengan risiko rendah, pemantauan terus menerus pasien berisiko tinggi dalam perawatan intensif, dan pengambilan keputusan untuk penatalaksanaan agresif.

Eitel dan rekan menganalisis 208 pasien yang menjalani IKPP dalam waktu 12 jam dari timbulnya gejala STEMI. Mereka menggunakan T2-weighted dan LGE pada pencitraan CMR untuk menghitung Myocardial Salvage Index (MSI), yakni daerah berisiko infark dikurangi dengan ukuran infark saat ini, dibagi oleh area berisiko. Daerah berisiko sama dengan volume edema pada gambaran CMR dibagi dengan total volume massa LV. Pasien dibagi menjadi dua kelompok: yang di atas dan di bawah nilai rata-rata MSI 48. Titik akhir primer dari penelitian ini adalah kejadian kardiovaskular mayor (KKM).

KKM, termasuk kematian, reinfark, dan gagal jantung kongestif akut dalam waktu enam bulan, secara signifikan lebih rendah pada kelompok dengan MSI di atas nilai median dibandingkan pada kelompok dengan MSI di bawah nilai median (2,9% vs 22,1%, p < 0,001). Selain itu, hasil analisis rasio hazard regresi Cox menunjukkan bahwa MSI adalah prediktor terkuat dari KKM pada observasi selama enam bulan (p < 0,001), dan semua parameter prognosis klinis, angiografik, dan elektrokardiografi secara signifikan berkorelasi dengan MSI.

Berdasarkan data yang didapatkan oleh Eitel dan rekan, waktu iskemik untuk penyelamatan miokardium adalah sangat penting. Oleh karena itu, protokol dan sistem penatalaksanaan STEMI perlu ditingkatkan untuk mengurangi waktu iskemik miokardium untuk menyelamatkan sebanyak mungkin miokardium yang berisiko, dengan demikian meningkatkan hasil klinis. Penilaian retrospektif dari daerah miokardium yang diselamatkan setelah intervensi dapat membantu memprediksi prognosis pasien dan karenanya MSI bisa menjadi alat yang berharga untuk mengevaluasi modalitas reperfusi baru.


CMR mengidentifikasi miokardium yang berisiko pada pasien NSTEMI

Dokter Subha Raman (Ohio State University, Columbus), yang melakukan studi CMR pada 100 pasien NSTEMI berpendapat bahwa selain memprediksi hasil bagi pasien STEMI, CMR dapat mengidentifikasi cedera reversibel miokardium pasien NSTEMI dan dapat menjadi acuan penatalaksanaan invasif dini. Semua pasien NSTEMI dalam penelitian prospektif ini menjalani studi CMR T2-weighted dan LGE sebelum tindakan angiografi, tetapi manajemen klinis, termasuk keputusan revaskularisasi, tidak bergantung pada hasil CMR tersebut.

Dari 88 hasil pencitraan CMR yang menghasilkan gambar yang memadai, 57 menunjukkan edema miokardium. Penyakit jantung koroner obstruktif yang membutuhkan revaskularisasi sebesar 87,7% dari pasien dengan edema miokardium positif, dan hanya 25,8% dari pasien yang edema miokardium negatif (p < 0,001). Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu unit nilai T2 meningkatkan kemungkinan revaskularisasi koroner sebesar 5,70 kali. Setelah penyesuaian terhadap puncak troponin I, pasien dengan edema miokardium sekitar empat setengah kali lebih mungkin untuk mendapatkan kejadian kardiovaskular atau kematian dalam enam bulan setelah mereka NSTEMI dibandingkan mereka yang tanpa edema miokardium.

Dokter Raman mengatakan bahwa, pada pasien NSTEMI yang dirawat di rumah sakit umum kadang kala paramedis tidak dapat membawa pasien segera ke rumah sakit dengan fasilitas laboratorium kateterisasi, dokter harus dapat memutuskan, pasien mana yang harus segera dilakukan tindakan invasif dan mana yang tidak perlu atau bahkan dirugikan dengan tindakan invasif tersebut. Berdasarkan hasil studi tersebut bahwa pencitraan CMR yang dilakukan segera dapat mengidentifikasi cedera reversibel miokardium dalam NSTEMI, tanpa biomarker deklaratif atau kelainan EKG. Dokter Raman percaya bahwa CMR yang dilakukan segera (25 sampai 30 menit) dari onset gejala pada pasien NSTEMI dapat menjadi acuan pemilihan pasien yang akan mendapatkan keuntungan dari tindakan angiografi dan revaskularisasi. Dokter Raman menambahkan bahwa, karena dari hasil studi didapatkan bahwa edema miokardium dapat meningkatkan risiko luaran yang buruk, terlepas dari apakah dilakukan tindakan revaskularisasi atau tidak, hal ini menunjukkan bahwa diperlukan informasi lebih lanjut tindakan yang harus dilakukan dalam rangka strategi proteksi miokardium dan memperbaiki luaran pada miokardium yang berisiko.


Studi selanjutnya?

Raman dan rekan berencana untuk melaksanakan studi multicenter yang merandomisasi pasien NSTEMI yang berisiko rendah tanpa indikasi untuk angiografi koroner segera berdasarkan pemeriksaan CMR dan penatalaksanaan standar. Dia mencatat bahwa studi ini direkomendasikan oleh para peserta lokakarya Institut Jantung, Paru dan Darah Nasional dalam pencitraan kardiovaskular.

Dalam tajuk rencana bersama, dokter Francis Klocke (Northwestern University, Chicago) mengusulkan penelitian lebih lanjut dalam skala besar pasien iskemia yang dapat digunakan dalam menentukan nilai aditif dari pencitraan menggunakan T2-weighted.

Pedoman profesional pada CMR kemungkinan akan dihasilkan dalam tiga atau empat tahun ke depan, menurut dokter Greg Hundley (Wake Forest University, Winston-Salem), ketua komite yang menulis dokumen baru Konsensus Ahli pada Resonansi Magnetik Kardiovaskular, yang diterbitkan online 17 Mei dalam Jurnal Circulation. Komite terdiri dari perwakilan American College of Cardiology Foundation (ACCF), North American Society for Cardiovaskular Imaging, Society for Cardiovascular Magnetic Resonance, American Academy of Pediatrics, dan American College of Radiologi.

Kriteria tepat guna CMR telah dipublikasikan, jadi sekarang komite ACCF telah menciptakan sebuah dokumen konsensus yang meringkas literatur peer-review saat ini di daerah tersebut, proses pengembangan pedoman formal dapat dimulai. Sementara itu, dokter Hundley menjelaskan bahwa bagi dokter yang mengelola pasien sehari-hari, konsensus ini menyediakan panduan kapan teknologi ini dapat bermanfaat. Saat ini, CMR umumnya tersedia terbatas pada pusat-pusat kesehatan akademik yang besar, sehingga konsensus ini adalah bagian dari peta jalan (untuk memperluas teknologi pusat kesehatan lain).

(dikutip dari http://m.theheart.org/article/1083295.do)

Fransisca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar