Pengobatan modern gagal jantung kronik merupakan suatu pendekatan multi modalitas dengan terapi medis optimal dan penggunaan alat yang menjadi dasar manajemen pasien tersebut. Terapi resinkronisasi kardiak (CRT) merupakan pengobatan yang sudah terbukti untuk pasien gagal jantung kronik (CHF) dengan kompleks QRS lebar dan penurunan fungsi ventrikel kiri.
CRT dihubungkan dengan perbaikan morbiditas dan mortalitas pasien CHF yang diterapi dengan medis optimal. Dampak optimalisasi medikasi CHF setelah pemasangan CRT belum secara komprehensif dievaluasi. Sehingga dilakukanlah studi oleh Schmidt et al. untuk mengetahui efek dosis medikasi CHF pada morbiditas dan mortalitas pada pasien CHF setelah pemasangan CRT.
Pengobatan CHF dinilai pada 185 pasien setelah pemasangan CRT. Selama rerata follow-up 44.6 bulan, 82 pasien mengalami hasil keluaran primer (kematian, transplantasi jantung, pemasangan alat bantu, atau hospitalisasi CHF ulangan). Pengobatan dosis tinggi penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE-I) atau penghambat reseptor angiotensin (ARBs) (p = 0.001) dan penghambat beta (p < 0.001) sama halnya penurunan dosis diuretic loop (p < 0.001) dihubungkan dengan penurunan risiko keluaran primer dan mortalitas oleh semua sebab.
Ekokardiografi super-responder terhadap CRT diterapi dengan dosis tinggi ACE-I/ARB (68.1 vs 52.4%, p < 0.01) dan penghambat beta (59 vs 42.4%, p < 0.01). Selama follow-up, dosis rerata diuretic loop mengalami penurunan 20% pada super-responder, tetapi mengalami peningkatan 30% pada non responder.
CRT dihubungkan dengan perbaikan morbiditas dan mortalitas pasien CHF yang diterapi dengan medis optimal. Dampak optimalisasi medikasi CHF setelah pemasangan CRT belum secara komprehensif dievaluasi. Sehingga dilakukanlah studi oleh Schmidt et al. untuk mengetahui efek dosis medikasi CHF pada morbiditas dan mortalitas pada pasien CHF setelah pemasangan CRT.
Pengobatan CHF dinilai pada 185 pasien setelah pemasangan CRT. Selama rerata follow-up 44.6 bulan, 82 pasien mengalami hasil keluaran primer (kematian, transplantasi jantung, pemasangan alat bantu, atau hospitalisasi CHF ulangan). Pengobatan dosis tinggi penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE-I) atau penghambat reseptor angiotensin (ARBs) (p = 0.001) dan penghambat beta (p < 0.001) sama halnya penurunan dosis diuretic loop (p < 0.001) dihubungkan dengan penurunan risiko keluaran primer dan mortalitas oleh semua sebab.
Ekokardiografi super-responder terhadap CRT diterapi dengan dosis tinggi ACE-I/ARB (68.1 vs 52.4%, p < 0.01) dan penghambat beta (59 vs 42.4%, p < 0.01). Selama follow-up, dosis rerata diuretic loop mengalami penurunan 20% pada super-responder, tetapi mengalami peningkatan 30% pada non responder.
Data studi ini mengindikasikan terdapat perbaikan terapi medis (peningkatan dosis penghambat neurohormonal dan penurunan diuretic) dihubungkan dengan perbaikan morbiditas dan mortalitas setelah CRT. Hasil studi ini juga mendemonstrasikan bahwa super-responder CRT yang diterapi dengan dosis tinggi ACE-I/ARB dan penghambat beta, dengan diuretic yang diturunkan dosisnya akan mendapatkan hasil yang baik.
Dengan mengembalikan sinkronitas baik mekanik dan elektrik, CRT akan memperbaiki gejala gagal jantung dan tekanan darah. Hasilnya, pasien akan memberikan respon terhadap CRT akan mentoleransi peningkatan hambatan neurohormonal selama follow-up. Peningkatan dosis penghambat beta dan ACE-I/ARB nampaknya secara independen berhubungan dengan perbaikan keluaran dari studi ini. Efek langsung ACE-I/ARB pada ventricular reverse remodeling (seperti peningkatan LVEF) nampaknya tidak terdapat pada pemberian penghambat beta. (European Heart Journal 2014; 35: 1051–1060)
SL Purwo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar