Kejadian henti jantung dapat terjadi di mana saja. Di Amerika Serikat, tercatat hampir 360.000 kejadian henti jantung terjadi di luar rumah sakit, atau bisa dikatakan hampir 1000 kasus per hari. Sedangkan henti jantung yang terjadi di rumah sakit memiliki insidens sekitar 209.000 kasus. Sayang data di Indonesia hingga saat ini belum tersedia. Namun demikian, diperkirakan kejadian henti jantung mendadak di Indonesia juga memiliki insidens yang cukup tinggi.
Walaupun Amerika Serikat memiliki sistem dan sumber daya yang sudah maju, hanya sebagian kecil individu yang mengalami henti jantung mendadak yang dapat diselamatkan. Dari 360.000 kasus henti jantung di luar rumah sakit, sekitar 40% korban telah mendapatkan bantuan Resusitasi Jantung Paru (RJP) oleh penolong yang menemukan korban. Korban yang berhasil diselamatkan kurang lebih berjumlah 9.5%, suatu angka yang sebenarnya cukup besar mengingat cepatnya perburukan yang terjadi pada kasus henti jantung menjadi kematian yang ireversibel. Kasus henti jantung di rumah sakit memiliki angka keberhasilan pertolongan yang lebih tinggi, yaitu 23,9% pada dewasa dan 40,2% pada anak-anak. Di Indonesia, dimana sistem pelayanan emergensi medis yang baik belum tersedia, hampir semua kasus henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit baru mendapat penanganan setelah korban dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit. Hal ini menyebabkan pertolongan biasanya terlambat. Kerusakan organ, terutama sistem saraf dan kardiovaskular, telah terjadi permanen dan berdasarkan pengamatan penulis memiliki angka keberhasilan pertolongan yang mendekati nol.
Kunci dari keberhasilan pertolongan pada kasus henti jantung adalah penanganan yang cepat dan tepat, baik oleh penolong yang menemukan korban maupun tenaga kesehatan yang menolong selanjutnya. Korban harus segera mendapat akses ke sarana kesehatan, segera mendapat pertolongan RJP, segera mendapat defibrilasi (bila VF/VT), segera mendapat bantuan hidup lanjut, dan bila sirkulasi pasien dapat dikembalikan pasien mendapatkan perawatan pasca resusitasi dan tata laksana definitif terhadap penyebab henti jantung. Kesemua ini disebut sebagai ‘chain of survival’. Dapat dilihat bahwa rantai kehidupan ini mungkin melibatkan banyak orang dalam melakukan pertolongan pada korban henti jantung, mulai dari orang awam yang menemukan korban, paramedis/perawat, dokter emergensi dan dokter spesialis yang menangani kemudian. Semakin banyak anggota masyarakat yang mampu melakukan pertolongan pertama pada kasus henti jantung, semakin banyak korban henti jantung yang masih reversibel saat pertolongan datang/mencapai rumah sakit. Demikian juga semakin terlatih petugas kesehatan dalam melakukan bantuan hidup lanjut, semakin besar kemungkinan korban mencapai sirkulasi spontan.
PERKI selaku perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular di Indonesia merasa berkewajiban untuk membantu mengatasi kekurangan sumber daya, terutama sumber daya manusia untuk menolong kasus-kasus henti jantung di Indonesia. Sejak tahun 1998, secara rutin PERKI mengadakan pelatihan bantuan hidup dasar untuk orang awam (Basic Life Support / BLS), untuk perawat (Basic Cardiovascular Life Support / BCLS) dan untuk dokter/perawat UGD-ICU-ICCU (Advanced Cardiovascular Life Support / ACLS PERKI). Dan pada tahun 2008, PERKI membuat suatu yayasan yang dinamakan Yayasan PERKI (IHA Foundation) untuk mengelola pelatihan-pelatihan ini secara lebih profesional. Yayasan PERKI bekerja sama erat dengan PERKI-PERKI cabang di seluruh Indonesia sehingga pelatihan-pelatihan ini dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Indo nesia dari Aceh hingga Papua.
Pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan PERKI bukanlah franchise dari pelatihan American Heart Association (AHA). Metode dan pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan nasional di bidang kegawatdaruratan kardiovaskular dan bukan semata-mata keterampilan mengatasi kasus henti jantung. Misalnya pada ACLS PERKI diberikan juga materi mengenai interpretasi EKG gawat darurat, gagal jantung akut dan sindroma koroner akut yang merupakan kasus sehari-hari di lapangan di mana dokter umum seringkali menjadi ujung tombak pelayanan.
Materi yang disampaikan pada pelatihan mengacu pada beberapa guidelines resusitasi dan advanced life support internasional, terutama yang dikeluarkan oleh American College of Cardiology / American Heart Association (ACC / AHA) dan European Resuscitation Council (ERC). Namun demikian, guidelines yang ada harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Tidak semua hal yang tercantum dalam guidelines Amerika atau Eropa dapat diaplikasikan di Indonesia yang memiliki sumber daya dan sistem kesehatan yang berbeda. Contoh diantaranya adalah ketersediaan obat-obatan. Tidak semua obat yang direkomendasikan guidelines ada di pasaran Indonesia, atau kalaupun ada beberapa diantaranya sangat sulit diperoleh.
Contoh lain adalah ketiadaan sistem pelayanan emergensi medis (Emergency Medical Service / EMS) yang memadai. Guidelines Amerika disesuaikan dengan kondisi setempat dimana penolong yang menemukan korban dapat menelepon hotline emergensi (911) sehingga penolong dapat memperoleh panduan serta pertolongan berupa ambulans lengkap yang akan datang dalam waktu cepat. Hingga saat ini, kondisi ideal seperti ini masih belum dapat terlaksana di Indonesia. Pada kasus-kasus henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit, seringkali korban lah yang harus dibawa ke sarana kesehatan/rumah sakit akibat tidak tersedianya pelayanan emergensi yang mobile. Jadi, walaupun dikatakan bahwa korban henti jantung itu non-transportable, kadangkala tetap harus diajarkan bagaimana melakukan transportasi korban henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit.
ACLS PERKI diakreditasi oleh Kementerian Kesehatan RI melalui PPSDM Kemenkes RI, yang merupakan badan tertinggi yang berwenang memberikan akreditasi pelatihan bidang kesehatan di Indonesia dan secara keilmuan diakreditasi oleh Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Indonesia.*
Walaupun Amerika Serikat memiliki sistem dan sumber daya yang sudah maju, hanya sebagian kecil individu yang mengalami henti jantung mendadak yang dapat diselamatkan. Dari 360.000 kasus henti jantung di luar rumah sakit, sekitar 40% korban telah mendapatkan bantuan Resusitasi Jantung Paru (RJP) oleh penolong yang menemukan korban. Korban yang berhasil diselamatkan kurang lebih berjumlah 9.5%, suatu angka yang sebenarnya cukup besar mengingat cepatnya perburukan yang terjadi pada kasus henti jantung menjadi kematian yang ireversibel. Kasus henti jantung di rumah sakit memiliki angka keberhasilan pertolongan yang lebih tinggi, yaitu 23,9% pada dewasa dan 40,2% pada anak-anak. Di Indonesia, dimana sistem pelayanan emergensi medis yang baik belum tersedia, hampir semua kasus henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit baru mendapat penanganan setelah korban dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit. Hal ini menyebabkan pertolongan biasanya terlambat. Kerusakan organ, terutama sistem saraf dan kardiovaskular, telah terjadi permanen dan berdasarkan pengamatan penulis memiliki angka keberhasilan pertolongan yang mendekati nol.
Kunci dari keberhasilan pertolongan pada kasus henti jantung adalah penanganan yang cepat dan tepat, baik oleh penolong yang menemukan korban maupun tenaga kesehatan yang menolong selanjutnya. Korban harus segera mendapat akses ke sarana kesehatan, segera mendapat pertolongan RJP, segera mendapat defibrilasi (bila VF/VT), segera mendapat bantuan hidup lanjut, dan bila sirkulasi pasien dapat dikembalikan pasien mendapatkan perawatan pasca resusitasi dan tata laksana definitif terhadap penyebab henti jantung. Kesemua ini disebut sebagai ‘chain of survival’. Dapat dilihat bahwa rantai kehidupan ini mungkin melibatkan banyak orang dalam melakukan pertolongan pada korban henti jantung, mulai dari orang awam yang menemukan korban, paramedis/perawat, dokter emergensi dan dokter spesialis yang menangani kemudian. Semakin banyak anggota masyarakat yang mampu melakukan pertolongan pertama pada kasus henti jantung, semakin banyak korban henti jantung yang masih reversibel saat pertolongan datang/mencapai rumah sakit. Demikian juga semakin terlatih petugas kesehatan dalam melakukan bantuan hidup lanjut, semakin besar kemungkinan korban mencapai sirkulasi spontan.
PERKI selaku perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular di Indonesia merasa berkewajiban untuk membantu mengatasi kekurangan sumber daya, terutama sumber daya manusia untuk menolong kasus-kasus henti jantung di Indonesia. Sejak tahun 1998, secara rutin PERKI mengadakan pelatihan bantuan hidup dasar untuk orang awam (Basic Life Support / BLS), untuk perawat (Basic Cardiovascular Life Support / BCLS) dan untuk dokter/perawat UGD-ICU-ICCU (Advanced Cardiovascular Life Support / ACLS PERKI). Dan pada tahun 2008, PERKI membuat suatu yayasan yang dinamakan Yayasan PERKI (IHA Foundation) untuk mengelola pelatihan-pelatihan ini secara lebih profesional. Yayasan PERKI bekerja sama erat dengan PERKI-PERKI cabang di seluruh Indonesia sehingga pelatihan-pelatihan ini dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Indo nesia dari Aceh hingga Papua.
Pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan PERKI bukanlah franchise dari pelatihan American Heart Association (AHA). Metode dan pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan nasional di bidang kegawatdaruratan kardiovaskular dan bukan semata-mata keterampilan mengatasi kasus henti jantung. Misalnya pada ACLS PERKI diberikan juga materi mengenai interpretasi EKG gawat darurat, gagal jantung akut dan sindroma koroner akut yang merupakan kasus sehari-hari di lapangan di mana dokter umum seringkali menjadi ujung tombak pelayanan.
Materi yang disampaikan pada pelatihan mengacu pada beberapa guidelines resusitasi dan advanced life support internasional, terutama yang dikeluarkan oleh American College of Cardiology / American Heart Association (ACC / AHA) dan European Resuscitation Council (ERC). Namun demikian, guidelines yang ada harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Tidak semua hal yang tercantum dalam guidelines Amerika atau Eropa dapat diaplikasikan di Indonesia yang memiliki sumber daya dan sistem kesehatan yang berbeda. Contoh diantaranya adalah ketersediaan obat-obatan. Tidak semua obat yang direkomendasikan guidelines ada di pasaran Indonesia, atau kalaupun ada beberapa diantaranya sangat sulit diperoleh.
Contoh lain adalah ketiadaan sistem pelayanan emergensi medis (Emergency Medical Service / EMS) yang memadai. Guidelines Amerika disesuaikan dengan kondisi setempat dimana penolong yang menemukan korban dapat menelepon hotline emergensi (911) sehingga penolong dapat memperoleh panduan serta pertolongan berupa ambulans lengkap yang akan datang dalam waktu cepat. Hingga saat ini, kondisi ideal seperti ini masih belum dapat terlaksana di Indonesia. Pada kasus-kasus henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit, seringkali korban lah yang harus dibawa ke sarana kesehatan/rumah sakit akibat tidak tersedianya pelayanan emergensi yang mobile. Jadi, walaupun dikatakan bahwa korban henti jantung itu non-transportable, kadangkala tetap harus diajarkan bagaimana melakukan transportasi korban henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit.
ACLS PERKI diakreditasi oleh Kementerian Kesehatan RI melalui PPSDM Kemenkes RI, yang merupakan badan tertinggi yang berwenang memberikan akreditasi pelatihan bidang kesehatan di Indonesia dan secara keilmuan diakreditasi oleh Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Indonesia.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar