“At the very heart of quantum theory—which is used to describe how subatomic particles like electrons and protons behave—is the idea of a wave function. A wave function describes all of the possible states that such particles can have, including properties like energy, momentum, and position.”
Salam Kardio. Seperti kita ketahui selama ini, fisika kuantum atau mekanika kuantum adalah cabang ilmu fisika yang mempelajari perilaku partikel-partikel dasar penyusun alam semesta pada skala yang lebih kecil dari ukuran atom. Di ranah itu, partikel-partikel tersebut berperilaku tak lazim karena hukum fisika klasik yang kita kenal di dalam kehidupan sehari-hari tidak berlaku lagi. Google telah menghormatinya dengan membuatkan Doodle bertemakan kucing untuk mengenang hari ulang tahun yang ke-126 (12 Agustus 2013) fisikawan unggul Erwin Schrödinger (12 August 1887 - 4 January 1961) atas teori eksperimen paradoksnya yang telah diajukan pada tahun 1935. Kucing (paradoks) Schrödinger sebenarnya adalah hasil penelitian penulisnya yang diolah di angan-angannya sendiri tentang kemungkinan yang terjadi di dalam fisika kuantum ketika itu partikel kuantum belum ditemukan. Ia ingin menunjukkan dua kemungkinan yang tidak mungkin terjadi di dunia kenyataan dalam satu skenario, namun diyakini terjadi dalam waktu yang bersamaan di dunia yang berbeda, dunia kuantum.
Adalah seekor kucing rumahan yang dimasukkan kedalam boks metal yang berisi bahan (sumber) radioaktif, alat pendeteksi radioaktif Geiger, palu bertali yang terkait pada tuas Geiger tersebut, dan tepat dibawahnya terdapat botol kimia yang isinya racun yang dapat membunuh kucing di dalam boks tersebut. Boks metal tersebut tidak mungkin dan tidak boleh dibuka, karena kucingnya akan mati. Ketika bahan radio aktif tersebut memancarkan radiasinya ke semua arah, akan terdeteksi oleh alat Geiger tersebut. Tuasnya akan jatuh ketika pancaran radioaktifnya berkurang, menurun karena radioaktifnya menyampah (decay) dan palunya akan memecahkan botol racun di bawahnya dan kucingnya akan mati akibat racun tersebut. Tetapi segala kemungkinan harus dipikirkan, termasuk sebenarnya kucing tersebut masih hidup hanya kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya, atau malah kucing tersebut sebenarnya sudah mati karena pancaran radioaktifnya.
Sebenarnya percobaan imajiner yang digagas oleh Erwin Schrödinger (penerima Penghargaan Nobel Fisika 1933) tersebut membahas segala kemungkinan yang bisa terjadi di masa datang namun kita tidak bisa mengintipnya, bila dibuka kucingnya juga mati karena tuas akan turun dan palu akan memecahkan botol racun tersebut. Termasuk ketika kita kembali ke masa “lalu” adalah adanya kemungkinan kucing tersebut berada di dalam suatu status superposisi yaitu keadaan kebersamaan antara hidup dan mati, disinilah muncul istilah paradoks; terletak di antara status hidup dan mati sekaligus. Pengertian ini diterima oleh dunia kuantum yang berasaskan banyaknya dunia yang eksis dalam waktu yang bersamaan.
Nah, dapat dikatakan bahwa kucing tersebut terbelah dalam dua dunia kuantum yang berbeda. Ketika pengamat pertama menemukan kucingnya masih hidup, berarti ia berada di dunia kuantum yang “kucingnya masih hidup”, sebaliknya pengamat kedua dapat saja berada di dunia kuantum lainnya yang “kucingnya sudah mati”. Menyampahnya zat radioaktif adalah suatu proses random yang para akhli fisika sendiri belum dapat memprediksi kapan akan terjadi. Mereka menyatakan atom berada di dalam status yang dikenal sebagai superposisi —sekaligus menyampah atau tidak eksis pada saat yang sama. Selama boks metal belum dibuka, pengamat tidak akan mengetahui apakah kucing itu hidup atau mati —yang menurut Schrödinger sendiri “hidup dan mati ...mendapatkan bagian yang sama” sampai terobservasi.
Erick Martell, profesor fisika dan astronomi dari Universitas Millikin menjelaskan, “Jika anda mencoba memprediksi dan anda menganggap mengetahui status dari kucing, anda [mungkin] menuju ke kesalahan. Sebaliknya jika anda menganggap terjadinya semua status kemungkinan yang ada, anda mungkin benar.” Begitu boks tersebut dibuka menjadi jelas bahwa kucing Schrödinger ternyata hidup atau mati, tetapi tidak keduanya di dalam satu kenyataan. Menurut Martell, Schrödinger mengembangkan konsep paradoks untuk menjelaskan salah satu titik penting di dalam fisika kuantum yaitu tentang status partikel gelombang.
Pada akhir 1800 dan awal 1900 telah ditemukan fenomena bahwa benda yang amat kecil tidak mengikuti Hukum Newton. Hukum yang berlaku untuk menghitung gerak bola, orang atau mobil tidak dapat menjelaskan bagaimana atom dan elektron bekerja. Jantungnya teori kuantum menjelaskan partikel subatomik seperti elektron dan proton memiliki fungsi sebagai gelombang. Fungsi gelombang menggambarkan kombinasi semua status kemungkinan yang ada bahwa partikel kuantum memiliki energi, momentum, dan posisi.
Seluruh sistim fisika kuantum (1), dapat dideskripsikan menggunakan fungsi gelombang. Deskripsi sistimnya (2), bersifat probabilitas, karena fungsi gelombang itu sendiri melambangkan probabilitas. Niels Bohr berbeda pendapat dengan Albert Einstein karena meyakini (3) ketidakmungkinan mengetahui posisi dan momentum partikel secara akurat di satu waktu. Sementara itu asas ketidak pastian Heisenberg menyatakan (4) semakin banyak atom yang dimiliki suatu benda, maka efek kuantumnya akan semakin berkurang. Perilaku benda akan makin dekat dengan prinsip fisika klasik (makrokosmos). Heisenberg dianggap sebagai pemegang pilar kedua fisika kuantum setelah Schrödinger.
Keempat “pilar” pemikiran tersebut dikenal sebagai tafsiran Kopenhagen (1927), semacam konsensus (interpretasi) pertama yang berlaku di dunia fisika kuantum. Nah, kelompok fisikawan unggul ini berpikiran positif logis terhadap Kucing Schrödinger yang dianggap penting adalah teramatinya kucing tersebut mati—atau hidup setelah kotak dibuka. Mengenai bagaimana sewaktu kucing masih di dalam boks metal sebelum dibuka tidaklah penting, mereka bersikap agnostik saja alias acuh-tak acuh, mati saja atau hidup saja, bahkan mati-sekaligus-hidup dalam satu status (superposisi) tidak menjadi persoalan, begitu saja kok repot, kira-kira begitulah.
Penulis menempatkan Fisika Kuantum sebagai “interface” antara ilmu Kardiologi Klasik dengan Kardiologi kuantum yang holistik-eklektik (mental-spiritual) berada diantara jantung yang fisik-kasar-nya terikat dengan ilmu anatomi-fisiologi kedokteran (berhubungan dengan ruang-waktu makrokosmos yang nyata, mengikuti Hukum Fisika Klasik) dengan ilmu jiwa, mental, atau fisik-halus yang terikat oleh fisika kuantum dengan teori gelombangnya: Mind, Ego-fisik halus, desire, passion, dan perasaan. Alam Sejati (spiritual) yang imateri, omnipotensi (mahakuasa) tempat bermukimnya Tripurusa (TreFoil): Suksma Kawekas (TheSource, sumber hidup, asal mula dan tujuan hidup); ialah sadar kolektif-statis. Suksma Sejati (TheForce) sebagai sadar kolektif-dinamis adalah utusan-Nya TheSource dan yang menghidupi atau yang menjadi Penuntun dan Gurunya Roh Suci (TheSelf) sebagai sadar-(kolektif)-terbatas; adalah “tuannya” sang-Aku-mentalnya manusia. Yang terakhir ini belum ada ilmu untuk menyelidikinya kecuali belief atau religi, ketika di akhir evolusinya manusia sinar kehidupan TheSelf ditarik kembali ke sumbernya, hancurlah seluruh subsistimnya (mental/jiwanya) yang masih terikat oleh ruang-waktu (fana).
Begitu uniknya posisi “interface” dalam Kardiologi Kuantum yang ternyata masih sangat sulit dibedakan mana yang ilmu fisika klasik, fisika kuantum, filsafat terapan, kebudayaan, humaniora dan spiritual. Dr. dr. Amiliana M. Soesanto SpJP, FIHA Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI yang baik hatinya itu masih mau menulis dalam semacam sambutan atas permintaan seniornya. Penulis tersebut telah mengulas makna jantung dari perspektif yang tidak lazim membuat “Kardiologi Kuantum” menjadi unik dan mungkin bagi sebagian orang dianggap eksentrik. Dengan halusnya masih ditambahkan kata-kata... Namun Bertrand Russell, penulis buku A History of Western Philosophy [juga] mengatakan ...Do not fear to be eccentric in opinion, for every opinion now accepted was once eccentric....
Dalam satu rapat yang dipimpinnya untuk intern Divisi Preventif dan Rehabilitasi Kardiovaskular (Rabu, 16 April 2014) diputuskan bahwa buku Kardiologi Kuantum yang berwarna “pinky” (secara bercanda ‘disebutkan’ oleh Dr. Basuni Radi) tersebut bukan seperti lazimnya buku ajar di Fakultas Kedokteran FKUI, tetapi sangat mungkin akan diterima di Fakultas Filsafat atau humaniora lainnya, untuk itu sama sekali tidak berhak mencantumkan nama Divisi, apalagi nama Departemen. Dr. Andang H. Joesoef yang gigih itu (Ketua Divisi sejak sebelum pensiun) menginginkan salah satu buku dari Oktalogi CJI agar dicap dengan nama Departemennya. Setelah rapat itu ia hanya bisa tersenyum: “Pemikiran anda masih terlalu jauh ke depan, memang belum saatnya untuk bisa diterima!” Penulisnya sendiri mengikuti pola metaforik-agnostik yang anti-stres...” Memang bukunya sendiri [2019] juga belum menghendakinya, ia sementara ini masih menjalani hidupnya sebagai penghias nusantara!”... Sejarah telah membuktikan, siapa saja yang tersenyum paling akhir, itulah yang paling berbahagia.
Sebagai penulis tentu saja akan selalu mengingatkan kata-kata Albert Einstein: “A person who never made a mistake never tried anything new.” Kepada siapa saja untuk dengan gigih dan gagah menyampaikan pemikiran apa saja yang dianggap baru [kalau masih ada di dunia ini?] kepada masyarakat dengan penuh semangat, tanpa rasa takut sedikitpun untuk berbuat suatu kesalahan yang semestinya dapat diperbaiki dan disempurnakan di kemudian hari secara terus-menerus. Salam Kuantum.
Adalah seekor kucing rumahan yang dimasukkan kedalam boks metal yang berisi bahan (sumber) radioaktif, alat pendeteksi radioaktif Geiger, palu bertali yang terkait pada tuas Geiger tersebut, dan tepat dibawahnya terdapat botol kimia yang isinya racun yang dapat membunuh kucing di dalam boks tersebut. Boks metal tersebut tidak mungkin dan tidak boleh dibuka, karena kucingnya akan mati. Ketika bahan radio aktif tersebut memancarkan radiasinya ke semua arah, akan terdeteksi oleh alat Geiger tersebut. Tuasnya akan jatuh ketika pancaran radioaktifnya berkurang, menurun karena radioaktifnya menyampah (decay) dan palunya akan memecahkan botol racun di bawahnya dan kucingnya akan mati akibat racun tersebut. Tetapi segala kemungkinan harus dipikirkan, termasuk sebenarnya kucing tersebut masih hidup hanya kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya, atau malah kucing tersebut sebenarnya sudah mati karena pancaran radioaktifnya.
Sebenarnya percobaan imajiner yang digagas oleh Erwin Schrödinger (penerima Penghargaan Nobel Fisika 1933) tersebut membahas segala kemungkinan yang bisa terjadi di masa datang namun kita tidak bisa mengintipnya, bila dibuka kucingnya juga mati karena tuas akan turun dan palu akan memecahkan botol racun tersebut. Termasuk ketika kita kembali ke masa “lalu” adalah adanya kemungkinan kucing tersebut berada di dalam suatu status superposisi yaitu keadaan kebersamaan antara hidup dan mati, disinilah muncul istilah paradoks; terletak di antara status hidup dan mati sekaligus. Pengertian ini diterima oleh dunia kuantum yang berasaskan banyaknya dunia yang eksis dalam waktu yang bersamaan.
Nah, dapat dikatakan bahwa kucing tersebut terbelah dalam dua dunia kuantum yang berbeda. Ketika pengamat pertama menemukan kucingnya masih hidup, berarti ia berada di dunia kuantum yang “kucingnya masih hidup”, sebaliknya pengamat kedua dapat saja berada di dunia kuantum lainnya yang “kucingnya sudah mati”. Menyampahnya zat radioaktif adalah suatu proses random yang para akhli fisika sendiri belum dapat memprediksi kapan akan terjadi. Mereka menyatakan atom berada di dalam status yang dikenal sebagai superposisi —sekaligus menyampah atau tidak eksis pada saat yang sama. Selama boks metal belum dibuka, pengamat tidak akan mengetahui apakah kucing itu hidup atau mati —yang menurut Schrödinger sendiri “hidup dan mati ...mendapatkan bagian yang sama” sampai terobservasi.
Erick Martell, profesor fisika dan astronomi dari Universitas Millikin menjelaskan, “Jika anda mencoba memprediksi dan anda menganggap mengetahui status dari kucing, anda [mungkin] menuju ke kesalahan. Sebaliknya jika anda menganggap terjadinya semua status kemungkinan yang ada, anda mungkin benar.” Begitu boks tersebut dibuka menjadi jelas bahwa kucing Schrödinger ternyata hidup atau mati, tetapi tidak keduanya di dalam satu kenyataan. Menurut Martell, Schrödinger mengembangkan konsep paradoks untuk menjelaskan salah satu titik penting di dalam fisika kuantum yaitu tentang status partikel gelombang.
Pada akhir 1800 dan awal 1900 telah ditemukan fenomena bahwa benda yang amat kecil tidak mengikuti Hukum Newton. Hukum yang berlaku untuk menghitung gerak bola, orang atau mobil tidak dapat menjelaskan bagaimana atom dan elektron bekerja. Jantungnya teori kuantum menjelaskan partikel subatomik seperti elektron dan proton memiliki fungsi sebagai gelombang. Fungsi gelombang menggambarkan kombinasi semua status kemungkinan yang ada bahwa partikel kuantum memiliki energi, momentum, dan posisi.
Seluruh sistim fisika kuantum (1), dapat dideskripsikan menggunakan fungsi gelombang. Deskripsi sistimnya (2), bersifat probabilitas, karena fungsi gelombang itu sendiri melambangkan probabilitas. Niels Bohr berbeda pendapat dengan Albert Einstein karena meyakini (3) ketidakmungkinan mengetahui posisi dan momentum partikel secara akurat di satu waktu. Sementara itu asas ketidak pastian Heisenberg menyatakan (4) semakin banyak atom yang dimiliki suatu benda, maka efek kuantumnya akan semakin berkurang. Perilaku benda akan makin dekat dengan prinsip fisika klasik (makrokosmos). Heisenberg dianggap sebagai pemegang pilar kedua fisika kuantum setelah Schrödinger.
Keempat “pilar” pemikiran tersebut dikenal sebagai tafsiran Kopenhagen (1927), semacam konsensus (interpretasi) pertama yang berlaku di dunia fisika kuantum. Nah, kelompok fisikawan unggul ini berpikiran positif logis terhadap Kucing Schrödinger yang dianggap penting adalah teramatinya kucing tersebut mati—atau hidup setelah kotak dibuka. Mengenai bagaimana sewaktu kucing masih di dalam boks metal sebelum dibuka tidaklah penting, mereka bersikap agnostik saja alias acuh-tak acuh, mati saja atau hidup saja, bahkan mati-sekaligus-hidup dalam satu status (superposisi) tidak menjadi persoalan, begitu saja kok repot, kira-kira begitulah.
Penulis menempatkan Fisika Kuantum sebagai “interface” antara ilmu Kardiologi Klasik dengan Kardiologi kuantum yang holistik-eklektik (mental-spiritual) berada diantara jantung yang fisik-kasar-nya terikat dengan ilmu anatomi-fisiologi kedokteran (berhubungan dengan ruang-waktu makrokosmos yang nyata, mengikuti Hukum Fisika Klasik) dengan ilmu jiwa, mental, atau fisik-halus yang terikat oleh fisika kuantum dengan teori gelombangnya: Mind, Ego-fisik halus, desire, passion, dan perasaan. Alam Sejati (spiritual) yang imateri, omnipotensi (mahakuasa) tempat bermukimnya Tripurusa (TreFoil): Suksma Kawekas (TheSource, sumber hidup, asal mula dan tujuan hidup); ialah sadar kolektif-statis. Suksma Sejati (TheForce) sebagai sadar kolektif-dinamis adalah utusan-Nya TheSource dan yang menghidupi atau yang menjadi Penuntun dan Gurunya Roh Suci (TheSelf) sebagai sadar-(kolektif)-terbatas; adalah “tuannya” sang-Aku-mentalnya manusia. Yang terakhir ini belum ada ilmu untuk menyelidikinya kecuali belief atau religi, ketika di akhir evolusinya manusia sinar kehidupan TheSelf ditarik kembali ke sumbernya, hancurlah seluruh subsistimnya (mental/jiwanya) yang masih terikat oleh ruang-waktu (fana).
Begitu uniknya posisi “interface” dalam Kardiologi Kuantum yang ternyata masih sangat sulit dibedakan mana yang ilmu fisika klasik, fisika kuantum, filsafat terapan, kebudayaan, humaniora dan spiritual. Dr. dr. Amiliana M. Soesanto SpJP, FIHA Ketua Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI yang baik hatinya itu masih mau menulis dalam semacam sambutan atas permintaan seniornya. Penulis tersebut telah mengulas makna jantung dari perspektif yang tidak lazim membuat “Kardiologi Kuantum” menjadi unik dan mungkin bagi sebagian orang dianggap eksentrik. Dengan halusnya masih ditambahkan kata-kata... Namun Bertrand Russell, penulis buku A History of Western Philosophy [juga] mengatakan ...Do not fear to be eccentric in opinion, for every opinion now accepted was once eccentric....
Dalam satu rapat yang dipimpinnya untuk intern Divisi Preventif dan Rehabilitasi Kardiovaskular (Rabu, 16 April 2014) diputuskan bahwa buku Kardiologi Kuantum yang berwarna “pinky” (secara bercanda ‘disebutkan’ oleh Dr. Basuni Radi) tersebut bukan seperti lazimnya buku ajar di Fakultas Kedokteran FKUI, tetapi sangat mungkin akan diterima di Fakultas Filsafat atau humaniora lainnya, untuk itu sama sekali tidak berhak mencantumkan nama Divisi, apalagi nama Departemen. Dr. Andang H. Joesoef yang gigih itu (Ketua Divisi sejak sebelum pensiun) menginginkan salah satu buku dari Oktalogi CJI agar dicap dengan nama Departemennya. Setelah rapat itu ia hanya bisa tersenyum: “Pemikiran anda masih terlalu jauh ke depan, memang belum saatnya untuk bisa diterima!” Penulisnya sendiri mengikuti pola metaforik-agnostik yang anti-stres...” Memang bukunya sendiri [2019] juga belum menghendakinya, ia sementara ini masih menjalani hidupnya sebagai penghias nusantara!”... Sejarah telah membuktikan, siapa saja yang tersenyum paling akhir, itulah yang paling berbahagia.
Sebagai penulis tentu saja akan selalu mengingatkan kata-kata Albert Einstein: “A person who never made a mistake never tried anything new.” Kepada siapa saja untuk dengan gigih dan gagah menyampaikan pemikiran apa saja yang dianggap baru [kalau masih ada di dunia ini?] kepada masyarakat dengan penuh semangat, tanpa rasa takut sedikitpun untuk berbuat suatu kesalahan yang semestinya dapat diperbaiki dan disempurnakan di kemudian hari secara terus-menerus. Salam Kuantum.
Budhi S. Purwowiyoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar