LDL-C pada pasien dislipidemia dengan diabetes direkomedasikan dibawah 70 mg/dL sesuai dengan guideline ESC/EAS 2011 atau penurunan LDL-C ≥ 50% dari baseline apabila target LDL-C tidak tercapai dengan statin poten dosis tinggi (baseline ≥ 150 mg/dL). Sedangkan guideline ACC/AHA 2013 merekomendasikan pasien dislipidemia dengan diabetes yang berumur 40-75 tahun dihitung terlebih dahulu risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan menggunakan Pooled Cohort Equation. Apabila skor < 7.5% maka diterapi dengan moderate intensity statin namun apabila skor ≥ 7.5% maka diterapi dengan high intensity statin.
Pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal memiliki risiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler meskipun karakteristik pada pasien tersebut memiliki kadar LDL-C yang rendah. Berdasarkan guideline ESC/EAS 2011, pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal (eGFR < 60ml/min/1.73m²) termasuk dalam kategori very high risk dimana LDL-C direkomendasikan dibawah 70 mg/dL atau atau penurunan LDL-C ≥ 50 % dari baseline apabila target LDL-C tidak tercapai dengan statin poten dosis tinggi (baseline ≥ 150 mg/dL).
PT. AstraZeneca Indonesia kembali bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia Cabang Jakarta dan Cabang Bandung menyelenggarakan kegiatan Meet the Experts dengan tema High-risk patients: the best approach for treating CVD risk yang menghadirkan Dr. Erwinanto, SpJP(K) dan Dr Shaiful Azmi Yahaya, MD, Mmed dari Institut Jantung Negara, Kuala Lumpur Malaysia sebagai narasumber. Diskusi di Jakarta dipimpin oleh Dr. Pradana Tedjasukmana, SpJP(K) sedangkan diskusi di Bandung dipimpin oleh Dr. Achmad Fauzi Yahya, SpJP(K). Pada kegitatan ini dibahas 4 studi kasus tentang pasien dengan risiko tinggi yaitu pasien dislipidemia dengan diabetes, pasien dislipidemia dengan ACS, pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal, dan pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler berdasarkan skoring.
Kesempatan pertama disampaikan oleh Dr. Erwinanto, SpJP(K) yang fokus pada kasus pasien dislipidemia dengan diabetes dan pasien risiko tinggi berdasarkan skoring. Kasus yang perta ma dikatakan seorang pria berumur 57 tahun dengan diabetes, hasil EKG tidak diketahui ad anya MI. Pria tersebut sedang diterapi dengan obat hipertensi, serta tidak merokok. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar total kolesterol 190 mg/dL, LDL-C 103 mg/dL, HDL-C 36 mg/dL, TG 255 mg/dL, pria tersebut tidak mengkonsumsi obat penurun kolesterol. Apakah pria tersebut bisa dianggap dislipidemia? berdasarkan guideline ESC/EAS 2011, pasien dengan diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 dengan kerusakan target organ seperti mikroalbuminuria maka sudah dianggap sebagai kelompok pasien very high risk dimana target LDL-C direkomendasikan dibawah 70 mg/dL. Pada kasus ini pria tersebut dianggap dislipidemia karena mempunyai kadar LDL-C 103 mg/dL sehingga diturunkan dibawah 70 mg/dL. Strategi pengobatan seperti apa yang direkomendasikan? rekomendasi pertama, terapi dengan statin yang sesuai intensitas penurunan LDL-C. Baseline LDL-C pria tersebut adalah 103 mg/dL dan target LDL-C dibawah 70 mg/dL sehingga dibutuhkan penurunan LDL-C sebesar 32%. Dengan melihat kemampuan statin dalam menurunkan LDL-C maka pilihan yang ada yaitu Rosuvastatin 5 mg, Atorvastatin 10 mg, Simvastatin 20 mg atau Pitavastatin 2 mg. Rekomendasi yang kedua, penurunan LDL-C sebesar ≥ 50% dari baseline tetapi dengan syarat apabila target LDL-C dibawah 70 mg/dl tidak berhasil dicapai. Rekomendasi yang ketiga, penambahan ezetimibe dengan statin. Pilihan tersebut dilakukan apabila target penurunan LDL-C tidak berhasil dicapai dengan statin poten (baseline ≥ 150 mg/dL). Apakah obat-obat non-statin dapat diberikan? golongan fibrat dapat diberikan langsung ketika kadar TG ≥ 500 mg/dL. Sedangkan penambahan fibrat pada terapi statin dilakukan apabila pasien mempunyai kadar TG masih tetap diatas 200 mg/dL meskipun target LDL-C sudah tercapai dengan statin pada pasien dengan risiko tinggi dan risiko sangat tinggi untuk menurunkan non-HDL-C menjadi 30 mg/dL diatas target LDL-C. Golong an niacin tidak direkomendasikan. Apabila merujuk pada guideline ACC/AHA 2013 pasien dengan diabetes melitus tipe 1 atau 2 berumur 40-75 dihitung terlebih dahulu risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan menggunakan Pooled Cohort Equation. Hasil perhitungan pada kasus ini menunjukkan risiko penyakit jantung untuk 10 tahun kedepan adalah 9,9%, sehingga rekomendasi terapi menggunakan high intensity statin yang mana dapat menggunakan Rosuvastatin 20-40 mg atau Atorvastatin 40-80 mg.
Kasus kedua adalah seorang pria berumur 65 tahun tanpa hipertensi, tanpa riwayat penyakit kardiovaskuler maupun diabetes, tanpa riwayat keluarga dengan ASCVD, dan lingkar pinggang 88 cm. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar kolesterol total 190 mg/dL, LDL-C 103 mg/dL, HDL-C 42 mg/dL, dan TG 225 mg/dL. Fungsi hati dan ginjal dalam keadaan normal, begitu juga pada pemeriksaan EKG. Apakah pria tersebut membutuhkan terapi statin untuk menurunkan risiko kardiovaskuler? berdasarkan SCORE risk chart, pria tersebut mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler 10 tahun kedepan 8-10% atau termasuk kategori pasien dengan risiko tinggi - sangat tinggi. Baseline LDL-C 103 mg/dL dan target LDL-C 70-100 mg/dL sehingga dibutuhkan penurunan 3-32%. Penghitungan dengan pooled cohort equation menunjukkan angka 14.8% sehingga dibutuhkan terapi high intensity statin.
Dr Shaiful Azmi Yahaya, MD, Mmed melanjutkan dengan kasus ketiga yang merupakan pasien dislipidemia dengan gangguan ginjal. Dikatakan hanya ada 3 RCT yang tersedia untuk statin pada pasien CKD yaitu 4D (Die Deutsche Diabetes Dialyse Studie, 2003), AURORA (A study to evaluate the Use of ROsuvastatin in subjects on Regular Hemodialysis: an assessment of survival and cardiovascular events, 2009), dan SHARP (Study of Heart And Renal Protection, 2011). Pada kasus ini, seorang wanita berumur 68 tahun dengan keluhan bilateral edema tungkai bawah, pemeriksaan menujukkan BP 148/84 mmHg, PR 79/min, RR 18/min, BT 36.90C, BMI 28, PE: S4 over apex, mild bilateral lower leg edema. Pasien ini mempunyai riwayat hipertensi ringan, tanpa diabetes, riwayat merokok, dan tidak ada riwayat keluarga terkena penyakit kardiovaskuler. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hgb: 10.9 gm/dl, WBC: 10000, Platelet: 325000, gula darah puasa: 110 mg/dL, HbA1C: 6.2%, serum albumin: 3.2 gm/dL, Cr: 1.5, eGFR 36.7 (MDRD), BUN: 28, urine protein: ++, ALT: 23, kolesterol total: 228 mg/dL, LDL-C: 142 mg/dL, HDL-C: 28 mg/dL, TG: 389 mg/dL, EKG: LVH (tidak ada Q wave). Saat ini pasien meminum Amlodipine 5 mg, fenofibrat 200 mg, dan aspirin 10 mg. Tingkat risiko pasien tersebut adalah CKD stadium 3, sindroma metabolik, penghitungan framingham risk score adalah 24% dan pooled cohort equations yaitu 27.4%. Target pengobatannya yaitu BMI, Tekanan Darah < 140/90 mmHg (ESH/ESC 2013) dan LDL-C < 100 mg/dL atau < 70 mg/dL. Pada kasus ini terapi yang direkomendasikan adalah perubahan gaya hidup, penambahan losartan 100 mg, dan penambahan rosuvastatin 10 mg. Setelah 3 bulan, hasil pemeriksaan pada pasien ini adalah home BP: 132/78 mmHg, BMI 27, gula darah puasa: 104 mg/dL, HbA1C: 6.1%, Cr: 1.4, eGFR 40 (MDRD), urine protein: +, ALT: 33, kolesterol total: 160 mg/dL, LDL-C: 78 mg/dL, HDL-C: 30 mg/dL, TG: 281 mg/dL. Ada pertanyaan yang muncul, apakah beberapa statin mempengaruhi ginjal dan fungsi ginjal? penelitian yang dilakukan oleh Shepherd, et al (2006) menguji keamanan dan tolerabilitas dari rosuvastatin menggunakan database yang terintegrasi dari 33 penelitian yang melibatkan 16.876 pasien dan mewakili 25.670 pasien yang selama bertahun-tahun terus-menerus menggunakan terapi rosuvastatin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien yang diobati dengan rosuvastatin 5-40 mg ≤ 52 minggu, ≥ 96 minggu dan ≥ 144 minggu, kadar kreatinin serum menurun di seluruh kelompok dosis masing-masing sebesar 1-3 µmol/L, 3-4 µmol/L, dan 4-5 µmol/L. Meskipun perbaikan rata-rata eGFR dari baseline yang relatif kecil, hal tersebut ditemukan pada pasien yang menerima terapi rosuvastatin dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Besarnya perubahan eGFR yang terjadi dengan terapi rosuvastatin cenderung meningkat selama masa pengobatan dan tampaknya tidak terkait dengan dosis rosuvastatin. Selain itu, hasil menunjukkan peningkatan eGFR yang berarti tidak memperburuk fungsi ginjal.
Kasus keempat yaitu dislipidemia pada pasien ACS, seorang pria berumur 68 tahun dengan nyeri dada saat beristirahat yang berlangsung selama 30 menit dan dirasakan 3 jam sebelum periksa. Pria tersebut memiliki riwayat hipertensi, merokok, hiperkolesterolemia dan meminum obat secara tidak teratur. Hasil pemeriksaan kolesterol total 261 mg/dL, TG 160 mg/dL, HDL-C 44 mg/dL, LDL-C 185 mg/dL, CK-MB: 8.88 ng/ml (kisaran referensi: 0-5), Troponin (TnI): 0.385 ng/ml (kisaran referensi: 0-0.78). Pemeriksaan EKG dalam keadaan normal, sedangkan pemeriksaan CT koroner menunjukkan adanya oklusi koroner total. Pria tersebut didiagnosis non-ST-segment elevation ACS dan diberikan aspirin 300 mg loading, ticagrelor 180 mg loading, carvedilol 12.5 mg, LMWH. Selain itu, dia juga diberi rosuvastatin 20 mg loading dan 20 mg 2 jam sebelum PCI. Keesokan paginya, CAG dan PCI dilakukan, MRI menunjukkan adanya ukuran infark yang relatif kecil (7%). Pada kondisi awal terdapat hiperkinesia tetapi sekarang sudah hilang.
Statin sebagai pre-treatment adalah pilihan yang sangat baik, efek protektif pada pasien dengan ACS telah terbukti dalam beberapa penelitian besar yang dilakukan secara acak.
Dalam meta analysis dari 13 penelitian, pre-loading dengan statin menunjukkan hasil klinis yang lebih baik. Guideline ACCF/AHA/SCAI 2011 untuk PCI direkomendasikan penggunaan statin dosis tinggi sebelum PCI untuk mengurangi risiko periprocedural MI terutama pada pasien yang belum pernah mendapatkan statin atau statin-naïve.*
(ARTIKEL SPONSOR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar