“...physician must be content to end not in certainties, but rather ini statistical probabilities. The modern cardiologist thus has a right to feel certain, within statistical constraints, but never cocksure. Absolut certainty remains for theologians-and like-minded physicians.”
~ David H. Spodick, 1975
Salam Kardio. Memang berbeda antara ilmuwan dan agamawan, ilmuwan mulai meneliti, bekerja berdasarkan ketidakpastian, sementara agamawan tentu saja berdasarkan kepastian akan kebenaran sabda Tuhan yang termuat di dalam kitab suci-Nya. Oleh karena itu para dokter sebagai anggauta ilmuwan “merasa” kebenarannya terikat dengan probabilitas di dalam ilmu statistik. Namun demikian, kardiologi kuantum sependapat dengan anggapan bahwa kebenaran adalah yang kita yakini saat ini, sampai terbukti berubah di saat yang lain. Kebenaran yang terakhir inilah yang kita pegang untuk beraktivitas selanjutnya.
Para dokter selalu mengikuti dengan seksama panduan-panduan internasional dari kelompok pakar yang selalu memberikan arahannya berdasarkan penelitian-penelitian skala besar dengan metodologi dan induksi statistik yang tepat. Oleh karena itu hasil penelitian yang tidak berdasarkan evidence-base yang telah dilakukan dengan metodologi yang benar “tidak dianggap bermutu”, adakalanya disebut sebagai penelitian sampah, terasa sadis sekali istilahnya.
Di dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh gerak dinamika kadangkala mendengar bahkan melihat sendiri fenomena tabrakan, entah karena motor yang berjalan dengan kencang sehingga pengemudinya lupa mengerem laju kendaraannya. Di pihak lain orang yang menyeberang tidak memperhatikan adanya kendaraan yang berjalan kencang. Mengantuknya sang sopir sering membawa malapetaka taksi atau bus yang menabrak pembatas jalan, pohon, tabrakan antar kendaraan, diantaranya bahkan masuk jurang. Sampai hari ini Pak Polisi mengukur kejadian-kejadian tersebut dengan akurat berdasarkan posisi, kecepatan linier, rem yang diinjak, geseran kendaraan terhadap jalan raya mengikuti hukum Newton.
Nah, bagaimana ketika mengukur kejadian-kejadian di angkasa dengan benda-benda di langit dengan massa yang kecil yang terganggu dengan sistem gaya tarik matahari dan benda-benda besar lainnya sehingga mengganggu hasil pengukuran perjalanan benda-benda di langit seperti orbitnya Uranus, tidak mengikuti hukum alamnya Newton. Nah, meliriklah ilmuwan dengan hukumnya Einstein yang ternyata mampu membuktikan kebenarannya dalam kerangka teori relativitas. Tidak hanya mendapat hadiah Noble melainkan ditetapkan oleh majalah Time menjadi manusia (jenius) abad XX.
Werner Karl Heisenberg, adalah ilmuwan istimewa, ia membangun teori yang bertentangan dengan teori Einstein bahkan ketika teori Einstein sedang berada di puncaknya (1927). Teorinya adalah teori tentang ketidak pastian. Kita juga menjadi bingung karena semakin akurat kita menentukan suatu posisi benda (kuantum), makin tidak akurat momentumnya baik energi maupun waktunya. Begitu juga sebaliknya, oleh karena itu benda tidak dapat ditentukan letaknya secara cermat, tidak menentu tempatnya sehingga posisinya bisa di mana saja! Pantaslah kemudian perhitungan-perhitungannya dikenal sebagai mekanika matriks. Dunia tersebut oleh pengelola hadiah noble The Royal Swedish Academy of Sciences 2012 dikatakan sebagai dunia kuantum, dalam publikasinya kepada masyarakat umum ketika memberikan hadiah nobel di akhir tahun 2012, memberikan judul pada artikelnya sebagai “particle control in a quantum world”.
Tentu saja teori tersebut diterapkan pada benda-benda yang berskala subatom (kuantum) ketika manusia masih belum mampu “menangkap” benda-benda kuantum seperti elektronnya Berillium dan fotonnya atom Riedberg yang sebesar “kue donat”, atom yang terbesar karena besarnya seribu kali atom biasa. Mungkin atom lainnya dapat kita anggap secara awam sebesar kacang (peanut) maka atom Riedberg kira-kira seribu kali gedenya alias sebesar donat (donut). Upaya penangkapannya juga unik dengan cara mendinginkannya mendekati angka absolut, menjepitnya dengan medan listrik dan mengukurnya dengan denyutan sinar laser (Haroche, Paris) atau atomnya dijalankan melalui kotak bercermin superkonduktor khusus berdiameter 2,7 mm dan diukur perjalanan foton yang mengikutinya ternyata sepanjang keliling bumi 40.000 km (Wineland). Dalam posisi inilah ion dalam posisi superposisi sehingga pada saat yang sama dapat dipelajari energi terbesar dan terkecilnya.
Konsep superposisi telah diwacanakan oleh Erwin Schrodinger dalam fisika teorinya tentang “Kucing Schrodinger”. Sekiranya tidak ada teori tentang fisika kuantum, pasti tidak akan melahirkan reaktor nuklir, pembangkit listrik tenaga atom dan bom atom pemusnah masal. Tidak perlu membayangkan bom kuantum, yang perlu adalah menyadari bahwa betapa dahsyatnya Tuhan yang imateri yang sering disebut-sebut di dalam artikel Kardiologi Kuantum yang selalu merujuk pada Candra Jiwa Indonesia.
Sesungguhnya, perasaan (feeling) manusia juga berada di antara dua kutub positif dan negatif, berbeda dengan akal manusia yang memiliki perspektif yang tak terhingga. Penulis ingin mengatakan disini bahwa perasaan manusia berada pada status kuantum “superposisi”. Percaya (kepada yang transendental) adalah posisi kuantum yang tertinggi yang seyogyanya dimiliki para ilmuwan dan para dokter. Perasaan senang, menerima, menarik berada pada kutub positif dan perasaan sedih, menolak dan tidak suka berada pada posisi negatif.
Prof. Soemantri menjelaskan bahwa perasaan yang “superposisi” tersebut terbentuk akibat interreaksinya, saling berpengaruhnya angan-angan (akal) manusia dengan nafsu-nafsunya. Suasanya dua sentra vitalitas akal dan nafsu inilah yang membentuk perasaan manusia. Meminjam Teori kuantum sebagai penjelasannya di sini adalah nafsu-nafsu yang status kesadarannya asadar (sesuai pendapat Freud tentang “Das Id”) tersebut juga memiliki dua polaritas yaitu egosentripetal (egoistik yang dapat berubah menjadi egonetral) dan egosentrifugal (sosial dan suprasosial). Kedua nafsu tersebut didukung oleh dua nafsu lainnya yang tidak bermomentum, tidak berpolaritas namun memiliki energi yang saling mendekatkan yaitu sufiah (desire, lust) dan energi yang eksplosif yaitu amarah (passion). Karena nafsu yang statusnya tidak sadar itu berinteraksi dengan akal yang paling lengkap potensinya dengan statusnya sadar maka perasaan manusia menjadi berstatus sadar.
Dalam evolusinya kesadaran manusia hidup di tengah-tengah masyarakat dunia yang selalu berkembang dan selalu berubah ini ada dua pilihan bagi jiwanya memilih sikap jiwa positif atau negatif. Pemilihan superposisi seyogyanya di dalam kerangka pemikiran akal saja yang pada situasi tertentu misalnya berada pada posisi diam, hening sejenak, tidur atau sedang mendekatkan diri kepada-Nya. Suasana hidup sehari-hari adalah situasi bagaikan Sang Kusir (akal, angan-angan) sedang mengendalikan 4 ekor kuda; dua ekor kuda di depan dan dua di belakangnya: putih dan kuning di depan dan hitam serta merah di belakangnya. Tali-pengendali (perasaan) yang menghubungkan antara kusir (akal) dan nafsu tersebut agar terkendali dalam suasana jiwa yang positif. Karena jiwa yang sehat akan menghasilkan fisik yang sehat. Di dalam badan yang sehat belum tentu menghasilkan jiwa yang sehat.
Kembali kepada teori ketidak pastian tersebut seolah-olah para ilmuwan pemenang hadiah Noble telah terbelah menjadi dua kutub yaitu Niels Bohr, Werner Heisenberg, Wolfgang Pauli, dkk terbukti salah pada satu kutub dan Albert Einstein, Erwin Schroedinger, Louis Victor Broglie, David Bohm, dkk terbukti benar, pada kutub yang lain. Masih ada pertanyaan dari fisikawan terkemuka di Indonesia Liek Wilardjo tentang penelitan yang sifatnya kualitatif, tidak “pasang jarak” —disinterested atau detached— tetapi justru ajur-ajer, meluluhkan diri dengan komunitas yang diteliti? [atau malah meneliti dirinya sendiri] Apakah penelitiannya dianggap menjadi subjektif dan bias karena terlibat secara emosionil? Bagaimana sekiranya semua sentra vitalitasnya berhenti bekerja, angan-angan, perasaan dan nafsunya diam tidak bekerja bahkan sadar, percaya, taat pada pencerahan dari pusat vitalitas yang lebih luhur di dalam dirinya sendiri yang oleh Einstein dianggap sebagai intuisi? Memang kita telah melahirkan masyarakat yang mengagungkan pembantu yang terpercaya (akal) tetapi melupakan anugerah yang agung dari Dia yang Maha Agung, yang disebut intuisi. Itulah kira-kira pesan yang hendak disampaikan oleh Albert Einstein. Salam kuantum.
Budhi S. Purwowiyoto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar