Sumpah
Dokter Indonesia
Selain
hasus mematuhi dan menaati kode etik, seorang dokter jantung hendaknya juga menganut
prinsip bermanfaat dan amanah. Sumpah Dokter menjadi pedoman dan penyelamat dari
kejadian malpraktek.
BENAR - Baik - Bermanfaat - Amanah. Begitulah
setidaknya empat hal yang menjadi motto yang ditekankan Prof Dr dr Dede Kusmana,
salah satu tokoh, pendiri dan pelopor Yayasan Jantung Indonesia, bagaimana
sebaiknya seorang dokter jantung melaksanakan etika dan etos kerjanya.
BENAR adalah seorang dokter jantung telah
diakui secara keilmuan dan profesional. “Anda benar seorang dokter, oleh karena
telah mengikuti pendidikan akademis dan profesionalisme di suatu institusi
pendidikan dan rumah sakit yang terakreditasi,” kata Dede. Hal ini dibuktikan
dengan ijazah dan sertifikat kompetensi, untuk dokter spesialis jantung serta
dari Kolegium Ilmu Penyakit Jantung.
BAIK adalah, “Anda baik oleh karena memiliki
Kompetensi yang sudah dilatihkan dan mendapat penilaian dari pakar di bidangnya,”
kata Dede.
BERMANFAAT adalah “Anda bermanfaat karena
selama menjalankan profesi dilandasi dengan Sumpah Dokter yang telah Anda
ikrarkan,” tutur Dede.
AMANAH, terakhir, “Anda akan memegang
teguh semua rahasia pasien dan tekad suci sebagai janji yang harus ditunaikan,”
kata Dede lagi.
Dengan
demikian maka apapun tantangan, kesulitan yang dihadapi akan dapat diatasi
selama berpegang teguh pada sumpah dan kemampuan kompetensi. “Kondisi ini harus
terus dipelihara dan ditingkatkan sesuai dengan perkembangan Ilmu dan Teknologi
di bidang Kardiovaskular,” katanya.
Maklum
saja, menempuh pendidikan dan menjadi seorang dokter tentu membutuhkan ketabahan,
keuletan bahkan bagi orang tertentu, membutuhkan pengorbanan yang luar biasa.
Setelah dinyatakan lulus maka dokter mengangkat Sumpah atau Janji Dokter sesuai
dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
“Berarti
sumpah atau janji tersebut mengikat seluruh aspek kehidupan profesionalisme selama
menjalankan kewajibannya dalam ikatan dengan Allah SWT, sang pencipta alam
semesta dan dirinya serta pasien yang akan dilayaninya,” kata Dede sambil
kembali mengingatkan tentang Sumpah Dokter Indonesia (lihat Sumpah Dokter).
“Saat itu,
seseorang diberi gelar dokter setelah menempuh pendidikan akademik, memperoleh
gelar drs med (doktorandus medicus/sarjana kedokteran) dari suatu institusi pendidikan
kedokteran (fakultas kedokteran dari suatu universitas) yang telah diakui negara,”
kata Dede.
Setelah
itu, sang dokter harus melampaui penilaian yang baku (akreditasi) oleh Lembaga
Akreditasi Nasional. “Kemudian menjalankan kemampuan (kompetensi keahlian/profesi)
di pelayanan kesehatan yang juga sudah terakreditasi dari suatu rumah sakit sesuai
dengan standar yang dianut di Negara Republik Indonesia yang bersifat nasional,
misalnya KARS (komite Akreditasi Rumah Sakit), malahan ada yang meraih
akreditasi internasional.
Setelah
semuanya dapat diraih, Dede kembali menekankan satu hal yang tidak boleh ditinggalkan:
Sumpah Dokter. “Sumpah Dokter yang dilafalkan pertama kali dan satu-satunya
seumur hidup di fakultas/sekolah kedokteran. Setelah memperoleh ijazah merupakan
sumpah promisoris karena berisi janji publik dokter untuk mengawali praktik kedokteran
sebagai pengabdian profesinya,” kata Dede.
Maka, lanjut Dede, “Jelas sekali bahwa Sumpah
Dokter hanya dilakukan satu kali seumur hidup sehingga tidak mustahil sudah
lupa,” katanya. Sebab itu, Dede menyatakan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia (Perki) dalam setiap kesempatan menerima para anggota baru mewajibkan
untuk mengucapkan Sumpah Dokter tersebut, disamping Janji Profesi sebagai
dokter spesialis jantung. “Akan bermanfaat juga bagi yang sudah menyandang gelar
dokter spesialis jantung yang sudah lama tetapi masih aktif memberikan pelayanan, pendidikan dan
penelitian,” katanya.
Nah, selain
sisi keahlian dan profesionalitas, kode etik dan etos kerja yang terkandung
dalam Sumpah Dokter itulah yang menjadi bekal menjalankan profesi. “Masalah yang
paling banyak dihadapi dokter spesialis jantung adalah adanya tuntutan dari
pasien manakala diduga melakukan kelalaian (malpraktek),” kata Dede.
Malpraktek
itu, sedikit banyak ditimbulkan dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Misalnya
perkembangan teknologi kedokteran yang baru dan lebih cepat, tingkat pendidikan
masyarakat yang makin tinggi, tuntutan memperoleh sistem layanan yang lebih
baik serta peran media massa yang semakin kuat dan berpengaruh, “Termasuk budaya
materialisme yang melebihi profesionalisme,” kata Dede.
Sebab
itulah, untuk mencegah halhal yang tidak diinginkan tersebut, setidaknya ada
dua hal yang dapat dilaksanakan. Pertama, lanjut Dede, adalah tak
lain mengingat dan menjalankan Sumpah Dokter dengan sebaik-baiknya. “Seorang
dokter apapun tingkatannya, jika mengingat Sumpah dan Kode Etik masing-masing
profesi, Insya Allah akan terhindar dari kelalain profesionalisme,” kata Dede.
Jika
diartikan dalam sistem nilai, maka Sumpah Dokter adalah nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah laku, a) dalam arti sebagai kumpulan atau nilai moral, yaitu kode etik;
b) dalam arti ilmu tentang baik dan buruk atau disebut sebagai filsafat moral
(Bertens).
Kedua, jangan lupa juga, perbaikan yang terus menerus juga harus ada
dari sisi profesionalitas. Misalnya saja, terjadinya kesenjangan profesi antara
Pusat dan Daerah sebenarnya tidak perlu terjadi. Perki dan Kolegium, Fakultas
Kedokteran, serta Rumah Sakit dapat menyusun secara bersama Program Peningkatan
Kompetensi dan Keilmuan, yang saat ini terus digencarkan dalam bentuk lokakarya
atau pelatihan saat berlangsung acara ASMIHA (pertemuan ilmiah tahunan) dan
sejenisnya.
Sebagai
manusia yang tentu mempunyai keterbatasan, maka menurut Dede, jika menghadapi
masalah dan belum memiliki kompetensi yang baik, sikap bijaksana dengan merujuk
kepada sejawat yang memang pakar di bidangnya.
“Insya
Allah, jalan kemudahan akan senantiasa ditunjukan kepada hamba-Nya yang senantiasa
taat pada Sumpah Dokter yang telah diikrarkan, dan terhindar dari malpraktek,”
katanya lagi. Amin!
[Tim InaHeartnews]
Pasal 1: Sumpah Dokter
*****
Sumpah Dokter Indonesia & Penjelasan Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki) 2012
Pasal 1: Sumpah Dokter
Demi Allah saya bersumpah, bahwa:
- Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
- Saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
- Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran.
- Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya.
- Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
- Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
- Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
- Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.
- Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
- Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung.
- Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
- Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
Penjelasan:
Untuk yang beragama Islam di bagian awal mengucapkan: “Demi Allah saya
bersumpah”. Untuk penganut agama selain Islam mengucapkannya sesuai yang ditentukan
oleh agama masing-masing. Sesudah itu lafal sumpah diucapkan oleh setiap dokter secara
sendiri-sendiri ataupun bersama-sama sesuai bunyi lafal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar