Kewaspadaan Indonesia terhadap hipertensi perlu ditingkatkan.
Penderita hipertensi wanita cenderung naik. Hipertensi cenderung membuat biaya
sosial, ekonomi dan kesehatan makin tinggi.
Indonesian Society of Hypertension (InaSH) atau Perhimpunan Dokter
Hipertensi Indonesia kembali mengadakan pertemuan ilmiah. Dalam pertemuan ke-11
tahun ini, setidaknya hadir 1500an pakar dan dokter hipertensi dari dalam dan
luar negeri yang diselenggarakan di Sheraton Jakarta Gandaria City Hotel pada
24-26 Februari 2017.
“Kami cukup
berbahagia karena terjadi peningkatan jumlah peserta dibandingkan dengan tahun
lalu. Selain itu juga terjadi peningkatan kualitas. Misalnya kami menerima
setidaknya 80an hasil penelitian dari berbagai kalangan dokter. Bahkan juga
dari kawasan terpencil di Indonesia. Inilah yang harus terus kita bina,” kata
Dr. Eka Harmeiwaty, Sp.S, Ketua Panitia 11th InaSH. Hasil penelitian ilmiah
akan ditampilkan dalam bentuk seminar, workshop, presentasi jurnal ilmiah serta
beberapa penghargaan yang bertaraf nasional maupun internasional.
InaSH ke11
mengambil tema Hypertension 2017: The Science for Today’s and Tomorrow’s
Practice. Sejumlah anggota organisasi profesi seperti Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI), juga turut andil dalam acara ini.
Dalam
kesempatan itu, Ketua InaSH, Dr. dr. Yuda Turana, SpS, berharap InaSH tak hanya
bermanfaat bagi para anggota, tetapi juga masyarakat luas, termasuk di
antaranya para pejabat negara yang mengurusi
bidang kesehatan. “Biaya sosial dan ekonomi yang dikeluarkan untuk pengobatan
makin terlihat. Sebagian besar penyakit yang ditangani lewat BPJS Kesehatan
saat ini, sebagian besar berawal dari hipertensi,” tutur Yuda.
Sebab
itulah, beberapa pakar dan anggota InaSH 2017 sepakat memfokuskan pada
hipertensi wanita. “Hipertensi pada wanita sering dianggap kurang penting dan
tidak terdiagnosa dengan baik. Pada kenyataannya hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya gangguan jantung, gangguan ginjal, stroke, demensia bahkan
kematian,” tutur dr Arieska Ann Soenarta, SpJP(K), FIHA, FAsCC pakar senior
hipertensi yang juga salah satu pendiri InaSH, di Sekretariat InaSH, Jalan
Danau Diatas, Jakarta.
Maklum saja, hingga saat ini, hipertensi masih
merupakan tantangan besar di Indonesia. Padahal, boleh dibilang, hipertensi
merupakan awal dari beragam penyakit yang lebih berat, karena merusak berbagai
organ vital. Namun sayangnya, pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan di
seluruh Indonesia tentang hipertensi tercatat masih rendah dengan jumlah kasus
yang tidak terdiagnosa dan jumlah pasien yang tidak mendapat terapi yang
memadai masih tinggi.
Ann kemudian memaparkan data, pada usia 65
tahun ke atas, prevalensi hipertensi pada wanita adalah 28.8, lebih tinggi
dibandingkan laki-laki dengan prevalensi 22.8 (Riskesdas 2013). Walaupun data
lainnya menyebutkan, selain faktor hormonal, didapati bahwa angka perkiraan
hidup (life expectancy) wanita lebih tinggi dari pria.
“Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting
dalam penyebab terjadinya penyakit Kardio-Cerebro-Vascular (KCV). Kematian di
dunia sebagian besar disebabkan oleh penyakit KCV, baik pada pria maupun wanita.
Dalam kurun waktu antara tahun 2000-2025 diperkirakan akan terjadi peningkatan
prevalensi sebanyak 9% pada pria dan 13% pada wanita,” kata Ann.
Para
pembicara lainnya wanti-wanti agar masyarakat lebih memperhatikan gejala
hipertensi. Betapa tidak, dampak yang di timbulkannya dapat merembet pada organ
lain. Misalnya terjadi gangguan jantung, serangan stroke, ginjal dan demensia.
Menurut
Yuda, masyarakat perlu mewaspadai hipertensi karena merupakan hulu dari timbulnya
penyakit-penyakit yang lebih berat. Serangan stroke, misalnya, memang sering disebut
sebagai silent killer. “Tapi penyakit itu merupakan ujungnya saja.
Awalnya adalah gejala hipertensi yang tidak dirawat,” kata Dr dr Yuda Turana,
SpS, Ketua InaSH.
Tak hanya
itu, hipertensi ujung-ujungnya juga berdampak pada penurunan fungsi otak seperti
demensia. Lagi-lagi, menurut penelitian yang ada, resiko wanita terkena
demensia lebih tinggi dibanding pria.
“Penelitian
yang dilakukan di Yogyakarta pada Desember 2015 - Januari 2016 menunjukkan bahwa
wanita yang terkena stroke kemungkinan mengalami demensia sebanyak 7 kali lipat,
dibandingkan dengan pria yang hanya 4 kali lipat,” kata Yuda.
Hipertensi
juga dapat merambat ke organ ginjal. “Kerusakan ginjal akibat hipertensi,
misalnya, sangat ditentukan oleh tingginya angka tekanan darah sehingga dinding
pembuluh darah di ginjal menebal dan kaku yang disebut nephrosclerosis,” tutur
ahli ginjal hipertensi dr Tunggul D Situmorang, SpPD KGH, yang juga menjadi
Wakil Ketua InaSH.
Karena itu,
lanjut Tunggul, pengendalian tekanan darah yang baik harus dilakukan hingga
mencapai target yang ditentukan. Kerusakan ginjal akibat hipertensi setidaknya dapat
diperlambat sehingga terhindar dari gagal ginjal tahap akhir yang membutuhkan dialisis
(cuci darah).
[Tim
InaHeartnews]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar