Para ahli menciptakan alat pacu jantung
tanpa kabel. Lebih kecil, sangat praktis dan beresiko rendah. Sejumlah pasien
jantung Indonesia telah menikmati teknologi ini. Namun sayang, harganya masih tinggi.
Apa yang harus dilakukan?
WUJUDNYA sekilas tampak seperti peluru
panjang, dengan kait besi seperti jangkar pada salah satu ujungnya. Besarnya
hampir sama dengan uang logam Rp 500. Itulah alat leadless pacemaker atau
pacu jantung tanpa kabel, teknologi terbaru yang dikembangkan sebuah perusahaan
yang bermarkas di Mounds View, Minnesota, Amerika Serikat.
Alat leadless
pacemaker ini memiliki ukuran hanya sepersepuluh pacu jantung konvensional dengan
panjang 25,9 mm dan berat 2 gram saja. “Pacu jantung ini menggunakan teknologi tanpa
kabel sehingga dapat dipasang ke dalam jantung tanpa harus melalui kompleksitas
penanaman kabel di dalam pembuluh darah,” tutur Dr Dicky A Hanafy SpJP(K),
FIHA, kardiologis dari RS Harapan Kita.
Saat ini,
lanjut Dicky, teknologi mampu membuat segala sesuatunya menjadi lebih kecil,
lebih tahan lama dan lebih efektif. Para ilmuwan teknologi kedokteran juga membuat
alat-alat kedokteran menjadi lebih efektif, termasuk pada alat pacu jantung. “Mereka
kini mampu membuat alat yang lebih kecil, chip yang tidak membutuhkan banyak
tenaga, baterai yang tahan lama, dan sebagainya,” kata Dicky.
Sejumlah
perusahaan memang berlomba-lomba menciptakan pacemaker yang lebih canggih.
Namun, sejauh ini, baru satu perusahaan yang mendapat persetujuan Food and Drug Administration (FDA),
badan pengawasan obat dan makanan Amerika Serikat, pertengahan tahun lalu.
Banyak yang
berharap, teknologi baru ini dapat lebih banyak membantu penderita jantung.
Maklum saja, hingga saat ini, pemasangan alat pacu jantung konvensional memang
masih menyisakan sejumlah masalah dengan resiko kesehatan yang tinggi bagi pasien.
Misalnya, mulai dari kerusakan lead pacu jantung, ancaman infeksi, pneumotoraks
hingga regurgitasi trikuspid.
Apakah
leadless kemudian dapat mengatasi berbagai persoalan itu? Yang pasti, karena tanpa
kabel, banyak juga keuntungan yang dapat diraih. Di dalam tubuh alat ini sudah terdapat
semacam baterai dan generator listrik yang bekerja sebagaimana laiknya alat konvensional
untuk memacu jantung agar bekerja dengan baik. Leadless pacemaker diperkirakan dapat
bekerja menjaga jantung pasien hingga 10 tahun lamanya.
“Kelebihan
dari leadless ini karena tanpa operasi. Jadi jauh lebih simpel dengan tingkat keberhasilan
mencapai 99% dibandingkan yang konvensional sebesar 85%,” kata Dicky. Jika
dibandingkan soal malfunction alat ini, Dicky mengatakan leadless di bawah 4% sedangkan
yang konvensional dapat mencapai 17%. “Jadi dilihat dari sisi ini, leadless memang
lebih menjanjikan,” katanya.
Penelitian yang
diadakan FDA memang menunjukkan hal itu. Leadless pacemaker telah diterapkan
pada setidaknya 719 pasien jantung. “Sebanyak 98% pasien mengalami denyut
jantung yang memadai setelah menggunakan alat ini selama 6 bulan” demikian laporan
tersebut. Komplikasi pada pasien memang terjadi, seperti kejadian rawat inap
berkepanjangan, gumpalan darah di kaki (deep vein thrombosis), masalah paru-paru
(pulmonary embolism), cedera jantung, dislokasi perangkat dan serangan
jantung. Namun jumlah pasien yang mengalaminya hanya di bawah 7%.
Lantas
bagaimana dengan Indonesia? Sejauh mana dapat diterapkan pada pasien jantung di
sini? Ternyata pihak RS Harapan Kita telah menerapkannya pada 11 pasien jantung.
“Kami telah memilih sejumlah pasien itu yang rata-rata memang berusia lanjut
dan kira-kira memiliki faktor risiko yang tinggi,” kata Dicky. Setelah
berlangsung selama enam bulan, menurut Dicky, kondisi mereka baik-baik saja.
“Kami terus memantau kondisi mereka,” katanya.
Pada
dasarnya, semua pasien jantung dapat segera memakai alat ini. Kontraindikasi yang
terjadi pada dasarnya hampir sama dengan yang konvensional. “Tetapi kalau dibandingkan,
jelas itu lebih kecil dibandingkan dengan yang biasa. Kontraindikasi memang
relatif tetapi jika itu hampir absolut pada yang konvensional, maka pada
leadless dia menjadi lebih kecil,” katanya.
Satu-satunya
yang bisa disebut kelemahan, menurut Dicky, adalah harga leadless pacemaker
yang masih tergolong sangat mahal menurut ukuran kantong pasien jantung Indonesia.
Untuk saat ini, untuk harga per unitnya saja, mencapai Rp 170 juta. Itu belum termasuk
biaya pasang di dalam jantung. Jika dihitung dengan pajak alat kesehatan, ppn
10% dan sebagainya, “Biaya keseluruhan yang harus ditanggung pasien dapat menjadi
sekitar Rp 180 juta,” kata Dicky. Saat ini harga pacu jantung konvensional
memang jauh lebih murah, hanya sekitar Rp 15-20 juta per unit.
Padahal,
penyakit jantung masih merajai Indonesia. Angka kematian akibat gagal jantung masih
cukup tinggi. Di sebuah rumah sakit saja ada 1.239 pasien gagal jantung selama
tahun 2013. “Dari pasien itu setengahnya lemah jantung, fungsi jantung sudah
menurun,” ujar Dicky.
Sebab itulah,
Dicky menyatakan sebaiknya sejumlah pihak yang berkepentingan dapat bersama-sama
urun rembuk mengatasi masalah ini. Mulai dari Kementerian kesehatan, para pakar
jantung, komunitas jantung hingga lembaga swasta. “Misalnya kita dapat saja mengadakan
subsidi khusus bagi pasien-pasien yang benar-benar memerlukan teknologi ini,
yang memiliki resiko tinggi dan sebagainya,” tutur Dicky lagi.
[Tim InaHeartnews]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar