pita deadline

pita deadline

Rabu, 28 Desember 2011

Kegunaan dan Keamanan Celivarone pada Pasien dengan ICD untuk Prevensi Serangan Aritmia dan Kematian Mendadak

“Celivarone tidak efektif untuk pencegahan timbulnya aritmia pada ICD atau kematian mendadak”.

Pasien yang selamat dari serangan takikardi ventrikel (VT) ataupun fibrilasi ventrikel (VF) mempunyai risiko rekurensi sebesar 10-50% dalam 2 tahun.
Aritmia ventrikuler ini bertanggungjawab pada dua per tiga kasus kematian mendadak setiap tahunnya di Amerika Serikat.
ICD (Implantabel Cardioverter-Defibrillators) digunakan sebagai terapi standar pencegahan sekunder kematian mendadak pada pasien risiko tinggi dari serangan aritmia yang mengancam nyawa tersebut dan juga digunakan lebih banyak lagi dalam pencegahan primer kematian mendadak pasien risiko tinggi lainnya.
ICD dapat memutuskan serangan aritmia ventrikel tersebut tetapi tidak dapat mencegah serangan berikutnya.
Lebih dari 50% pasien dengan ICD membutuhkan terapi antiaritmik tambahan untuk mencegah berulangnya shock yang diberikan ICD jika terjadi VT/VF atau sebagai pencegahan shock lainnya yang sering diakibatkan oleh AF.
Obat tersebut membantu pasien mengurangi ketidaknyamanan pengisian dan keausan batere, dilain pihak shock yang diberikan berulang kali dihubungkan dengan tingginya angka mortalitas dan hospitalisasi yang mahal.
Celivarone merupakan derivat benzofuran non iodinasi yang digunakan untuk aritmia atrial maupun ventrikel. Obat ini menghambat kanal kalsium, natrium, beberapa kalium, dan respon á1 dan â1 adrenergik, serta stimulasi reseptor angiotensin II.
Untuk menilai keamanan dan keefektifan celivaron dalam mencegah serangan aritmia ventrikel pada ICD dan kematian mendadak dilakukanlah studi ALPHEE.
Studi ALPHEE dilakukan pada 151 center kardiologi di 26 negara dari September 2009 sampai Mei 2011, dengan tujuan utamanya menilai kegunaan celivarone (50, 100, atau 300 mg/hari) dibandingkan placebo, dengan menggunakan amiodarone (200 mg/hari setelah dosis permulaan 600 mg/hari selama 10 hari) sebagai kalibrator. dalam hal mencegah serangan aritmia pada ICD dan kematian mendadak.
Sedangkan tujuan sekundernya adalah menilai keamanan dan tolerabilitas obat tersebut.
Menggunakan 486 pasien dengan dengan LVEF d” 40% dan menggunakan ICD pada 1 bulan terakhir atas indikasi VT/VF atau yang telah menggunakan ICD dengan rekaman irama VT/VF 1 bulan terakhir, kemudian dirandomisasi, dengan median terapi selama 9 bulan.
Didapatkan hasil proporsi serangan aritmia ventrikel pada ICD ataupun kematian mendadak pada placebo sebesar 61,5%; celivaron 50mg sebesar 67%, 100 mg 58,8%, dan 54,9% pada celivarone 300 mg, serta 45,3% pada kelompok amiodarone.
Sementara HR untuk hasil akhir primer berkisar antara 0,86 untuk celivarone 300 mg sampai 1,199 untuk celivarone 50 mg, untuk hasil akhir sekunder dilaporkan memiliki kemanan yang dapat diterima.
Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa anti aritmik celivarone tidak efektif dalam mencegah timbulnya serangan aritmia ventrikel pada pasien dengan ICD dan risiko kematian mendadak. (Circulation 2011; 124: 2649-60)

SL Purwo

Nilai Diagnostik Pemeriksaan Fisik dan Tambahan pada Pasien Suspek Gagal Jantung di Pelayanan Primer

“NT-proBNP dan pemeriksaan fisik membantu penegakan diagnosis dan memperbaiki penilaian klinis pada pasien baru dengan gejala suspek gagal jantung”

Penegakan diagnosis awal pasien gagal jantung non akut merupakan hal yang penting karena pemberian terapi yang berbasis bukti dapat mencegah atau memperlambat progresivitas gagal jantungnya.
Oleh karena itu dilakukanlah studi oleh Kedler dkk, yang bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang BNP untuk meningkatkan efisien dan keakuratan dalam mendiagnosis gagal jantung baru pada pasien pelayanan primer tanpa gejala akut.
Menggunakan 721 pasien dengan gejala dan tanda suspek gagal jantung (sesak, cepat lelah, retensi cairan) yang dirujuk ke delapan klinik yang dikelola dokter umum, dimana klinik ini berada dalam lingkup 7 RS di Belanda.
Studi ini merupakan studi keakuratan diagnosis secara cross sectional dengan validasi eksternal. Kemudian subjek penelitian tersebut dilakukan work up diagnosis terstandar dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik (palpasi apex, auskultasi jantung, pulmo dan abdomen, edema, JVP), EKG, CXR (CTR dan gambaran edem pulmo), spirometri, lab standar (Hb, elektrolit, CRP, fungsi hati dan ginjal, NT-proBNP) dan ekokardiografi.
Didapatkan kombinasi 3 jenis riwayat penyakit (usia, PJK dan penggunaan diuretik loop) ditambah 6 jenis pemeriksaan fisik (irama dan laju nadi, displaced apex beat, ronki, murmur dan peningkatan JVP) menunjukkan nilai diagnostik independen (c-statistic 0,83).
NT-proBNP merupakan penunjang tes diagnostik yang sangat kuat, meningkatkan c-statistic sampai 0,86 dan menunjukkan perbaikan sebesar 69% (p < 0,0001).
Dari studi ini dapat ditarik kesimpulan dalam praktik sehari-hari, suatu rumusan diagnostic tersebut diatas dapat memperhitungkan kemungkinan gagal jantung pada pasien baru dengan kecurigaan gagal jantung non akut. (Circulation 2011; 124: 2865-73)

SL Purwo

Noninvasive Fractional Flow Reserve Non Invasif dapat Mengubah Angiografi Secara Drastis

Hasil dari penelitian Diagnosis of Ischemia-Causing Stenoses Obtained via Noninvasive Fractional Flow Reserve (DISCOVER FLOW) menunjukkan bahwa stenosis koroner yang menyebabkan iskemia dapat diidentifikasi secara noninvasive dengan analisis coronary computed angiograms (CCTAs).
Peneliti senior DISCOVER FLOW dari pusat Kesehatan Cedars-Sinai, Los Angeles dr. James Min mengatakan metode ini berpotensi untuk mengubah tatalaksana pasien, karena untuk pertama kalinya kita memiliki kemampuan untuk melihat stenosis koroner dan iskemia secara bersamaan, dan memiliki kemampuan untuk menentukan lesi yang menyebabkan iskemia. Min juga mengungkapkan kesulitan jika terjadi sebuah skenario dimana seseorang memiliki tes stres yang abnormal dan kemudian dilakukan angiografi dan melihat empat atau lima stenosis, tetapi tidak benar-benar tahu mana yang menyebabkan iskemia. Tapi proses ”fractional flow reserve virtual” yang baru ini atau FFRCT-dapat mengukur aliran cadangan fraksional untuk lesi masing-masing dengan data yang diambil dari CCTA, sehingga mengungkapkan stenosis yang menyebabkan iskemia dan harus diintervensi, serta yang stenosis lakukan tidak perlu diobati.Sebelumnya belum ada metode one-stop shop untuk menentukan lesi yang menyebabkan iskemia secara noninvasif.
Seperti dilansir heartwire di EuroPCR 2011, di DISCOVER FLOW, Dr KooBon-Kwon (Seoul National University Hospital, Korea) dan rekan-rekan perhitungan digunakan untuk menilai FFRCT159 pembuluh darah pada 103 pasien yang menjalani CCTA. Hasil studi ini diterbitkan dalam edisi 1 November, 2011 dari Journal of American College of Cardiology.
Semua pasien juga menjalani CCTA invasif dan kateterisasi pencitraan FFR invasif. Iskemia didefinisikan sebagai FFR dari < 0,80 dan anatomis penyakit koroner obstruktif didefinisikan sebagai stenosis > 50% yang diukur pada scan CCTA. Kinerja diagnostik FFRCT dan CCTA dinilai terhadap FFR invasif sebagai standar referensi. Dari pasien dalam penelitian ini, 56% memiliki setidaknya satu pembuluh darah dengan FFR < 0,80.
Karena hanya sekitar setengah dari stenosis lebih dari 50% yang benar-benar menyebabkan iskemia, spesifisitas penilaian tradisional dari stenosis oleh CCTA di bawah 50%. Keprihatinan yang ada adalah bahwa diidentifikasinya beberapa stenosis bermakna dikonfirmasi dengan angiografi, tetapi lesi tidak benar-benar menyebabkan iskemia. Fractional Flow Reserve mengukur berapa banyak dari aliran darah diblokir oleh lesi, sehingga sekitar 25% lebih akurat daripada CCTA tradisional dalam memilih lesi yang menyebabkan iskemia, Min menjelaskan.
FFRCT dapat menilai stenosis dari CCTA scan-prospektif gated atau retrospektif gated-tanpa teknik pencitraan tambahan atau perubahan pada parameter akuisisi. Sama seperti komputasi dinamika fluida yang dapat memprediksi perilaku sayap pesawat terbang di bawah parameter lingkungan yang berbeda, FFRCT dapat mengukur aliran darah melalui arteri koroner didasarkan pada geometri spesifik coroner dan miokardium pasien.
Dalam tajuk rencana bersama, Dr Stephan Achenbach (Universitas Giessen, Jerman) menyebutkan DISCOVER FLOW sebagai langkah pertama yang mengesankan yang perlu diikuti dan hasil pemeriksaan terinci dari metode ini akan diterjemahkan untuk manfaat klinis bila diterapkan pada skala yang lebih luas skala dengan kelompok pasien yang paling mungkin mendapatkan manfaat dari analisa tambahan ini. Beliau menyimpulkan sangat memungkinkan mendapatkan informasi fungsional yang sangat rinci dari sepenuhnya set data anatomi dan kemudian dipertemukan dengan fungsinya. Beliau menambahkan konsep ini membutuhkan dan sepantasnya mendapatkan penelitian lebih lanjut dengan lingkup yang lebih luas dan kemungkinan besar tidak hanya terbatas pada daerah CCTA.









Membuktikan FFRCT pada pasien
Pada pertemuan American Heart Association di Orlando di bulan yang akan dating, dr Min akan mempresentasikan hasil dari substudy DISCOVER FLOW khususnya pada stenosis intermediate (40-69%), dimana merupakan pilihan terapi yang paling sulit. Dr. Min menyatakan jika dokter melihat stenosis 90% atau !0%, maka sebagian besar akan merasa nyaman untuk menentukan pilihan tindakan, tetapi jika stenosis terletak antara 40-70%, maka ada kemungkinan lesi itu menyebabkan iskemik, tetapi kita tidak akan pernah tahu pasti sampai kita benar-benar memeriksanya.
DISCOVER FLOW didesain untuk mengevaluasi akurasi dari FFRCT pada level per-pembuluh darah, tetapi demonstrasi yang paling mungkin akan nilainya adalah kemampuannya dalam membantu penentuan terapi untuk tiap pasien. Penelitian DEFACTO, yang telah menyelesaikan pengambilan sampelnya pada 17 pusat penelitian sekitar sebulan yang lalu, mengevaluasi FFRCT per pasien. Dikatakan oleh Min penelitian ini merupakan penelitian yang sangat penting. Secara spesifik 285 pasien studi DEFACTO mencari kemampuan CCTA ditambah FFRCT untuk menentukan ada atau tidaknya nya setidaknya satu stenosis arteri coroner yang signifikan pada tiap subjek studi. Kateterisasi invasive FFR adalah standar referensi. Min mengharapkan studi ini dapat diselesaikan dalam kuartal pertama 2012.

(Edrian dikutip dari: theheart.org/article/1299631.do)

Asupan Vitamin C Rendah sebagai Prediktor Kejadian Jantung pada Pasien dengan Gagal Jantung

Liputan AHA 2011 Scientific Sessions

Vitamin C diketahui berperan dalam metabolisme kolagen. Selama ini kolagen lebih sering dikaitkan dengan fibrosis jantung akibat keseimbangan sintesis dan degradasi yang terganggu, yaitu inhibisi degradasi kolagen. Dalam AHA 2011 Scientific Sessions, ada sebuah presentasi yang menemukan hubungan asupan vitamin C yang adekuat dengan keluaran yang baik pada pasien dengan gagal jantung. Pasien dengan gagal jantung yang mengkonsumsi diet tinggi vitamin C mengalami kejadian jantung dalam setahun separuh dibanding pasien dengan diet rendah vitamin C, berdasarkan hasil studi yang dipresentasikan di American Heart Association 2011 Scientific Sessions. Dalam sebuah penelitian yang dipimpin oleh Dr Eun Kyeung Song (University of Ulsan, Korea), 212 pasien gagal jantung (45% dengan NYHA kelas 3 atau 4) di tiga rumah sakit di Amerika Serikat (AS) menyelesaikan suatu four-day food diary yang diverifikasi oleh ahli diet. Setiap pasien diperiksa kadar hs-CRP kemudian di follow-up selama satu tahun. Berdasarkan formula Institute of Medicine, 82 pasien (39%) menjalani asupan vitamin C yang tidak adekuat. Setelah satu tahun, 61 pasien (29%) mengalami kejadian jantung atau meninggal dunia. Asupan vitamin c rendah berhubungan dengan kadar hs-CRP yang lebih tinggi (OR 2,4) dan keduanya, asupan vitamin C rendah (HR 2,0) dan hs-CRP > 3 mg/dL, berhubungan dengan rentang waktu event-free survival yang lebih pendek setelah analisis multivariat berbagai faktor usia, gender, BMI, kelas fungsional, LVEF, komorbid lain, total asupan kalori dan obat-obatan. Song mengatakan bahwa ini adalah penelitian pertama yang menghubungkan asupan vitamin C yang rendah dan rentang waktu event-free survival yang pendek. Peneliti mengajukan hipotesis bahwa vitamin c mungkin memiliki kontribusi dalam jalur inflamasi pasien gagal jantung. Co-author penelitian ini yaitu Dr Terry Lennie (University of Kentucky, Lexington) mengatakan bahwa diuretik yang digunakan oleh pasien gagal jantung mungkin memberi kontribusi kehilangan vitamin C karena sifat vitamin C yang larut air.
Mengomentari studi tersebut, dr Clyde Yancy (Northwestern University, Chicago, IL) menyampaikan ke Heartwire bahwa walau ditemukan hubungan asupan vitamin C dengan keluaran yang lebih baik, “kita harus menenangkan entusiasme kita. Jelas terdapat manfaat dalam diet tinggi vitamin C, tapi belum jelas bahwa vitamin C sebagai satu-satunya penyebab.” Ia mengajukan kemungkinan bahwa pasien dengan asupan vitamin C yang lebih tinggi dibanding dengan defisiensi asupan vitamin C, adalah akibat tingginya asupan buah dan sayuran dan rendahnya asupan lemak dan karbohidrat, sehingga menyebabkan perbaikan kesehatan jantung melalui berbagai jalur selain vitamin C.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk studi lebih lanjut yang mengevaluasi apakah terdapat perubahan struktur, fungsi dan pergerakan miokard dengan modalitas MRI kardiak, yang mungkin mendasari perbedaan keluaran pada pasien dengan asupan vitamin C yang cukup dibandingkan dengan yang tidak adekuat, mengingat peran vitamin C dalam sintesis kolagen. Mungkin selain inhibisi degradasi kolagen, terdapat mekanisme lain misalnya kurang tepatnya sintesis kolagen atau kualitas kolagen yg dihasilkan juga berakibat buruk bagi fungsi jantung. Hasil studi ini juga menarik untuk diaplikasikan dalam praktek sehari-hari mengingat ketersediaan vitamin C cukup luas dan relatif mudah dijalankan oleh pasien.

(Sony HW, disarikan dari theheart.org http://bit.ly/rFI0bb)

Pencegahan Penyakit Kardiovaskular pada Perempuan

Liputan AHA 2011 Scientific Sessions

Mitos penyakit jantung adalah penyakit pria telah dipatahkan, penyakit kardiovaskular juga merupakan penyebab kematian nomor satu pada perempuan.
Selama ini, populasi perempuan merupakan minoritas dalam berbagai riset kardiovaskular, dengan tumbuhnya kesadaran tentang meningkatnya penyakit kardiovaskular pada populasi perempuan, maka studi pada perempuan mulai banyak dilakukan, dan temuan-temuan penting pada studi-studi tersebut adalah antara lain:
* Pemberian aspirin rutin direkomendasikan untuk pencegahan serangan jantung pada pria, namun tidak pada perempuan.
* Lebih banyak perempuan yang meninggal akibat stroke daripada pria.
Sehingga mulai disadari bahwa perlu ditingkatkan awareness, pencegahan dan penatalaksanaan penyakit kardiovaskular harus dilakukan baik pada pria maupun perempuan, dan harus disadari adanya perbedaan aspek gender dalam tatalaksana.
Berdasarkan guideline tersebut diklasifikasikan risiko CVD pada wanita, risiko tinggi (> 1 keadaan risiko tinggi) ditandai dengan CHD, CVD, PAD, aneurisma aorta abdominalis, CKD tahap akhir, DMT2, risiko CVD 10 tahun > 10%.
Sedangkan pada keadaan risiko (> 1 faktor risiko mayor) jika terdapat kebiasaan merokok, SBP > 120 mmHg DBP > 80 mmHg, kolesterol total > 200 mg/dl, HDL < 50 mg/dl, sentral obesitas, pola diet yang jelek, inaktivitas fisik, riwayat keluarga dengan CVD prematur, sindroma metabolik, bukti aterosklerosis subliklinis lanjut, kapasitas latihan yang menurun, penyakit vaskuler kolagen autoimun sistemik, riwayat preeclampsia, diabetes gestasional, hipertensi terpicu hipertensi.
Pada guideline ini juga dibahas pedoman intervensi gaya hidup, intervensi faktor-faktor risiko utama dan intervensi obat - obatan dengan tujuan preventif, serta rekomendasi diet spesifik untuk perempuan.
Disebutkan juga tindakan intervensi untuk prevensi CVD pada wanita tidak berguna dan tidak efektif jika didapatkan terapi menopause (terapi hormon), mendapatkan suplemen antioksidan, asam folat, dan aspirini untuk infark miokard pada wanita < 65 tahun.
Kriteria CVD yang ideal adalah kolesterol total < 200 mg/dl, BP < 120/ < 80 mmHg, GDP < 100 mg/dl, BMI < 25 kg/m2, tidak merokok, aktivitas fisik (intensitas fisik moderat > 150 menit/minggu, diet sesuai DASH. (Circulation 2011, 123: 1243-1262)

Antonia Anna Lukito
RS Siloam Karawaci dan FK UPH

Sel Punca Jantung Memperbaiki Fungsi Ventrikel Kiri dan Mengurangi Luas Infark pada Kardiomiopati Iskemik

Liputan AHA 2011 Scientific Sessions

Penelitian stem cell atau sel punca, untuk terapi penyakit jantung selama ini masih kontroversial, namun dalam AHA scientific session tahun 2011 ini ada sebuah studi kecil tentang sel punca yang mendapat tempat untuk mempresentasikan hasil awalnya. Sebuah studi kecil fase 1 memberikan alasan untuk optimis dalam terapi kardiomiopati iskemik dengan autologous cardiac stem cells (CSCs). Infus intrakoroner sel punca memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan mengurangi luas infark pada pasien dengan gagal jantung pasca infark miokard. Sel punca jantung diisolasi dan diperbanyak dari 1 gram jaringan otot yang diambil dari pasien saat operasi jantung dan diinfuskan rata-rata 113 hari pasca operasi. “Infus satu juta CSCs tidak berhubungan dengan efek samping hingga satu tahun dan menghasilkan perbaikan fungsi ventrikel kiri yang bermakna empat bulan pasca infus dan bahkan perbaikan yang lebih nyata satu tahun pasca infus dan dihubungkan dengan kenaikan kapasitas fungsional, perbaikan kualitas hidup dan penurunan luas infark,” demikian penyataan Dr Robert Bolli (University of Louisville, Kentucky) bersama koleganya.
Dipublikasikan tanggal 14 November 2011 di Lancet dan dipresentasikan di American Heart Association (AHA) 2011 Scientific Sessions, studi yang dikenal sebagai Stem Cells in Patients with Ischemic Cardiomyopathy (SCIPIO), diikuti oleh 16 pasien pasca infark dengan disfungsi ventrikel kiri (Left Ventricular Ejection Fraction [LVEF] < 40%). Dari 14 pasien yang dianalisis, LVEF meningkat dari 30,3% sebelum infus intrakoroner sel punca jantung, menjadi 38,5% empat bulan pasca infus (p=0,001), dengan peningkatan yang lebih nyata setelah satu tahun. Dalam tujuh pasien kontrol, tidak ada perubahan LVEF. Luas infark yang dievaluasi dengan MRI kardiak pada tujuh pasien menunjukkan pengurangan 24% pada empat bulan dan 30% pada satu tahun (p=0,04).
“Sel punca jantung cukup menarik untuk aplikasi kardiovaskular karena dalam keadaan normal dapat ditemukan pada jantung orang dewasa dan dapat diisolasi dan diperbanyak bahkan dari biopsi endomiokard.” Tulis Bolli dan koleganya. “Sel-sel tersebut diduga mengisi kembali pool miosit dan sel vaskular jantung yang mati selama masa kehidupan suatu organisme.”
Keberhasilan penggunaan sel punca jantung dengan infus intrakoroner dari autologous CSCs yang diambil dari miokard pasien saat operasi jantung ini tidak diikuti hasil positif dari penelitian dengan menggunakan sel punca autologous bone-marrow mononuclear cells yang diambil dari sumsum tulang, sebab hasilnya kurang memuaskan. Walaupun publikasi ini merupakan hasil awal (initial results), namun studi ini dapat dijadikan dasar untuk melanjutkan ke studi lebih lanjut dengan metode yang sama, yaitu studi fase 2 dengan jumlah sampel yang lebih besar.

(Sony HW, disarikan dari theheart.org http://bit.ly/sIpENC)

Kardiologi Kwantum

I cannot seriously believe in [quantum theory] because. . . physics should represent a reality in time and space, free from spooky actions at a distance.
— Albert Einstein

Selamat tahun baru 2011,
Kesal sekali dengan pimpinan redaksi tabloid, tidak sekali ini saja, karena istilah idaman-ku tentang psychology oriented cardiolovascular ditolak mentah-mentah, termasuk psyche, mental, dan entah apalagi. Beliau ingin menyebut suatu istilah kearah kesadaran umum, consciousness. Tidak mau menjelaskan, tetapi dengan bijak memberiku buku Quantum Enigma: Physics Encounters Consciousness dimana Albert Einstein yang mengaku sudah memikirkan problem kwantum ratusan kali, pernyatannya masih tetap bersikukuh bahwa teori kwantum dimasukkan dalam teori relatifitas umum, bukan khusus. Buku itu membenturkan kwantum dengan kesadaran. Aku jadi ingat Randai-nya kebudayaan Minangkabau, tarian pencak Minang yang nan dinamis, diiringi musik pentatonis dengan cerita legenda yang berbahasa tutur tinggi, seperti Sabai nan aluih. Randai dalam filsafatnya sebenarnya juga membenturkan “budi dengan ilmu” (budi manimpo ilmu), memang itu tentang pencerahan, kata Sony! Nah, yang ini aku jadi bersemangat, karena namaku sendiri ber karakter tengahnya “Ming” dalam bahasa tulis Mandarin, gabungan antara karakter matahari dan bulan (empat coretan), adalah juga berarti pencerahan.
Tadi pagi Reza Octavianus calon kardiolog bimbingan kami berdua ‘maju besar’, menjawab semua pertanyaan kardiolog senior dengan mantab, kata Dr Yoga, tidak seperti kalau diskusi kecil. Tentang fenomena elektrokardiogram repolarisasi dini, harapannya adalah mencerahkan kardiolog agar penuh perhatian pada “penyakit listrik jantung” tersebut .. Dalam orasi ilmiahnya tersebut, memang beda dengan penampilannya sehari-hari kelihatan tegar. Seorang peneliti pada dasarnya melakukan suatu upaya lompatan kwantum kedepan atau keatas, bahkan seratus tahun kedepan seperti yang telah dilakukan oleh Albert Einstein dengan teori relativitasnya E=MC2.
Einstein telah menjelaskan makna relativitas itu bagaikan duduk 2 jam di dekat perempuan cantiik tetapi rasanya baru 2 menit, sementara duduk di perapian yang panas selama 2 menit, sudah terasa 2 jam. Memang kalau kita dapat menjelaskan sesuatu itu dengan sederhana, masih menurut Einstein berarti kita sudah menguasai apa yang kita jelaskan. Buatlah segala sesuatu itu sesederhana mungkin, tetapi juga jangan terlalu sederhana, inilah juga berarti relativitas itu sendiri.
Nah, bagaimana bila kita menjelaskan sesuatu yang bersifat ilmiah tetapi menggunakan data-data orang lain? Saya ingin menjadarkan kepada diri saya sendiri saja, saya juga melakukan upaya kwantum ke bawah, sejujurnya ilmuwan kelas dua, maksudnya model ke-2 .. maaf kepada diriku, sayup-sayup terdengar lagu Man in the miror-nya Michael Jackson almarhum. Ada kepentingan lain, justru ini yang dibutuhkan masyarakat agar masyarakat mendapatkan pencerahan hasil penelitian dari ilmuwan kelas satu (peneliti) tersebut diatas. Kelihatannya membuat pencerahan ke masyarakat adalah perbuatan yang mudah. Dalam pengertian Kardiologi Kwantum jadi cukup sulit, karena harus melakukan “reverse quantum leap”, begini kira-kira juntrungannya. Hasil suatu penelitian ilmiah (elektrofisiologi) yang njlimet tersebut (left brain), yang ingin kita sebut sebagai tuntunan, harus dibuat rangkuman yang sederahana terlebih dulu. Baru agar penyuluhannya cair, harus diberi tontonan, beserta penjelasannya (right brain) setelah itu dibuatkan kaitannya antara konsep otak kiri dan otak kanan. Kalau kita berhasil bernalar demikian, suatu hasil penelitian yang serumit apapun seperti elektrofisiologi, teknologi pacu jantung, ablasi dan defibrilasi akan sukses disampaikan ke masyarakat awam. Inilah kardiologi kwantum yang membumi untuk masyarakat. Yang melompat keatas melewati konsep ruang dan waktu, biarkan saja untuk mereka yang berprofesi kardiologi dan kedokteran vaskuler semoga tidak menjadi .. spooky actions at a distance. Selamat bekerja kembali, salam kardio.

Budhi Setianto

Epidemiology is Fun, if It is not Fun It is Not Epidemiology, It is Hypertension

(BS Purwo for 8th APCH 2011, Taipei, Taiwan)

Tampak Dr. Ann Soenarta diantara juri dan para pemenang “Young Investigator Award”

Selamat Tahun Baru 2012, semoga berbahagia selalu!
Perhelatan besar hipertensi baru saja usai, sebagai acara penutup tahun 2011 yaitu 8th Asian-Pacific Congress of Hypertension di Taipei, Taiwan. Tentu saja dihadiri oleh dokter-dokter Asia Pasfik. Abstraknyapun akan dimuat sebagai suplemen dari Journal of Hypertension suatu jurnal resmi yang dikelola oleh dua organisasi internasional, yaitu International Society of Hypertension dan European Society of Hypertension. Ada 24 kategori abstrak mulai dari Adrenal, atherosklerosis, epidemiologi, dibetes, ners, nutrisi, kehamilan, sampai miscellaneous, yang terakhir ini untuk menampung abstract langka.
Menjadi pengamat di 8th APCH, Taipei, Taiwan tanggal 24-27 Nopember, 2011 merupakan keprihatinan tersendiri. Ketika melihat salah seorang trustee, orang Indonesia dan sekaligus memimpin sidang “The young investigator award” APCH, ternyata tidak ada seorang penelitipun bahkan seorang pembicara apapun tentang hipertensi dari Indonesia di pertemuan Asia Pasifik tersebut. Padahal INA-SH didukung oleh 3 organisasi dokter spesialis terkemuka di Indonesia: PERNEFRI, PERDOSI, dan PERKI, satu-satunya model organisasi yang paling unik di dunia. Perhatikan, ada wakeup call di APCH ini setelah Dr Ann Soenarta (Senior APCH), Dr Erwinanto (SekJen INA SH) mempersiapkan segala sesuatu dengan gigihnya, sampai membagikan “gimmick” ..istimewa. Dalam perhelatan semacam ini, para senior dan pemimpin delegasi hipertensi berbagai negara biasanya sudah saling kenal, pastilah mereka teman-teman lama Dr. Ann Soenarta dan Dr Santoso Karo Karo (presenter). Pada waktu makan pagi atau makan siang lobby biasanya berlangsung. Akhirnya perjoangan mereka bertiga berhasil memenangkan bidding bahwa APCH 2015 akan diadakan di Bali. Terus terang penulis sangat berapresiasi kepada teman-teman sejawat dari neurologi yang selalu ‘unjuk gigi nasional’ dalam mempersiapkan penelitian-penelitian tentang hipertensi. Bagaimana dengan sejawat-sejawat kardiovaskuler?
Semenjak diperkenalkannya alat pengukur tekanan darah yang “cuffed base” oleh Riva Rocci 1896, Nikolai Korotkof 1905 dengan tekanan darah air raksanya. Kira-kira 1970 berkembang pengukur yang menggunakan batere berdasarkan oscillometry sebagai cikal bakal ABPM monitor tekanan darah perifer yang bermemori itu. Barulah pada tahun 1993 Michael O’Rourke dengan metode tonometri berhasil mengukur tekanan darah arteri sentral. Bahkan tahun 2011 ditandai era peralatan monitoring tekanan darah sentral.
Merasakan pahit getirnya penelitian ‘big’ epidemiologi (di lapangan): MONICA, JAK-VAS, yang dimotori oleh kardiolog dan neurolog: Dr Sukaman, Prof Boedi Darmojo alm. dkk, Dr. Andradi, Dr. Adre dkk, yang data dan semangatnya telah menghasilkan lulusan-lulusan akademik S2, S3 di dalam maupun luar negeri masih terasa kurang mendapat dukungan penuh dari atasan maupun organisasi terkait lainnya, itu terjadi sudah lebih dari 20 tahun yang lalu. Kesulitan dalam pengorganisasian, memobilisasikan personil, dan mendapatkan anggaran masih dapat di atasi oleh semangat peneliti dan sedikit tetapi sangat berarti dari pimpinan yang terkait.
Semangat meneliti harus senantiasa dibangkitkan oleh siapa saja di lembaga-lembaga manapun juga. Penelitian sesungguhnya adalah sebuah upaya yang besar, layaknya sebuah ‘calon’ karya besar oleh karena itu masih memerlukan semangat, bahkan kadang-kadang memerlukan sebuah passion. Apakah penelitian itu berskala kecil, menengah maupun besar seringkali kandas oleh upaya-upaya kecil atau hanya karena ketidak pedulian atau ketidak sadaran lingkungan bahkan pimpinan tentang penelitian itu sendiri, tragis memang dirasakannya. Passion itu sendiri lebih dari semangat, tetapi bukan sebuah karir, tetapi semata-mata sebuah cinta entah kemana arah dan tujuannya, atau lebih dalam daripada itu, mungkin itu suatu intuisi.
Adalah sebuah pemikiran yang masih perlu mendapatkan kritik yang tajam dari peer group peneliti sekiranya diusulkan sebuah penelitian yang self reporting health professionals, bermanfaat bagi dirinya sendiri serta organisasi pengampunya, multi disiplin dan berdampak luas. Berdampak luas diartikan sebagai penelitian itu dapat dikembangkan atau sebagai transetter bagi organisasi/ rumah sakit lainnya. Diyakini relatif lebih mudah mendapatkan dana intern karena bermanfaat bagi sumber daya manusianya sendiri. Penelitiannya dapat berupa penelitian kwalitatif, kwantitatif: mulai dari seri kasus, kohort sampai intervensi. Penelitian dasar penyakit seperti genetik, epigenetik dan lingkungan, proteinomik, serta preklinik lainnya dapat diikut sertakan. Hasil penelitiannyapun dapat di publikasikan baik internal maupun eksternal. Diperlukan pendekatan yang jelas, bijak dan ‘love and care’ kepada para pihak.
Demikianlah oleh-oleh dari menghadiri Asian-Pacific Congress of Hypertension ke 8 di Taipei, Taiwan tanggal 24-27 Nopember 2011. Sebagai pengamat, salah satu dari empat peserta Indonesia pada ‘The lone international hypertension simpocia parallel’ di Taipei, yang memperkenalkan suatu kombinasi ARB dan CCB dari salah satu prinsipal obat-obatan terkemuka di Eropa. Gagasan awal kemungkinan mengembangkan Hi Nurse Study ini masih mengharapkan kritikan, semangat, passion, intuision dan masukan dari siapa saja: ners, dokter, kardiolog, peer groups dan tentu saja dari para pimpinan saya sendiri Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI serta RSJPD/ PJN Harapan Kita di Jakarta.
Terima kasih.

Refleksi PERKI Tahun 2011

Tahun 2011 telah berlalu, semoga para sejawat anggota PERKI mempunyai kesan yang indah pada periode yang baru saja lewat ini! Bagi teman-teman umat Kristiani di seluruh penjuru tanah air kami mengucapkan “Selamat Natal 2011”, dan bagi semuanya “Selamat Tahun Baru 2012”. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan berkahNya bagi kita semua di masa-masa yang akan datang, melebihi tahun lalu…………… Amien…………..
Pekerjaan kita pada tahun 2012 tentu akan bertambah banyak, karena dari tahun ke tahun penyakit kardiovaskuler (PKV) terus meningkat prevalensinya. Global Burden of Disease Study tahun1996 meramalkan bahwa PKV akan meningkat jumlah dan persentasenya sebagai penyebab kematian manusia di seluruh dunia. Kalau pada tahun 1990 PKV mengakibatkan kematian 14.000.000 manusia (28% seluruh kematian), maka pada tahun 2020 nanti diramalkan mencapai 25.000.000 (37%). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2007, kematian akibat PKV (penyakit jantung, hipertensi dan strok) mencapai 31,9%. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah pernyataan WHO bahwa 76% kematian akibat PKV akan terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tentu keberhasilan pengendalian PKV di negara-negara maju patut kita tiru.
Kalau laporan WHO (2010) memperkirakan angka seluruh kematian di Indonesia mencapai 6,25 per 1000 penduduk, berarti ada 1.500.000 kematian pada tahun 2010 dan 478.500 diantaranya diakibatkan oleh PKV. Meskipun Riskesdas 2007 menyebutkan angka kematian akibat strok mencapai 15,4% sedangkan akibat penyakit jantung dan hipertensi 16,5%, tetapi WHO pada tahun 2004 mengestimasikan perbandingan kematian akibat penyakit jantung dan hipertensi terhadap kematian akibat penyakit serebrovaskuler untuk wilayah Asia Tenggara adalah 15 :7 (gambar 1). Dengan demikian, diperkirakan 326.250 (27.188 perbulan) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit jantung iskemik, penyakit jantung reumatik dan penyakit jantung hipertensi.


















Gambar 1. Estimasi Proposi Kematian (%) WHO South-East Region 2004. Kematian di negara-negara Asia Tenggara akibat penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit jantung reumatik masing-masing mencapai 13,9%, 1%, 0,8% pada laki-laki dan 12,3%, 1,1%, 0,9% pada perempuan. Sedangkan kematian akibat penyakit serebrovaskular mencapai 6,6% pada laki-laki dan 7,5% pada perempuan.

Anggota PERKI memang harus terus menggaungkan pentingnya menghindari berbagai faktor risiko PKV seperti merokok, dislipidemia, kurang berolahraga, hipertensi, diabetes mellitus, obesitas dan stress. Menurut Riskesdas 2007, prevalensi hipertensi pada usia >18 tahun mencapai 29,8%, tetapi tidak lebih dari seperempatnya saja dari populasi ini yang mengetahui dirinya mengidap hipertensi dan menerima pengobatan. Hal serupa terjadi pada diabetes mellitus, yang prevalensinya di Indonesia mencapai 5,7%. Kebiasaan berolah raga setiap hari 30 menit atau makan sayur dan buah lima kali sehari seperti yang dianjurkan WHO, belum menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebaliknya, kebiasaan buruk merokok masih sangat tinggi, dan tidak terlihat penurunan bermakna dari tahun ketahun. Riskesdas 2010 melaporkan bahwa laki-laki usia 15 tahun keatas 66% perokok, mengakibatkan 76% penduduk menjadi perokok pasif. Prevensi primordial (mencegah berkembangnya faktor risiko), prevensi primer (manajemen faktor risiko) dan prevensi sekunder (manajemen penyakit) untuk PKV, benar-benar harus mendapat perhatian seluruh anggota PERKI.
Dominasi PKV sebagai masalah kesehatan di Indonesia semakin hari semakin nyata, oleh sebab itu cabang-cabang PERKI telah menyelenggarakan acara ilmiah untuk memberikan bekal ilmu dan pengetahuan bagi para dokter umum, spesialis lain dan juga Ners atau Teknisi kardiovaskuler. Acara demikian selalu mendapat sambutan dengan melimpahnya peserta. The 1st Depok Cardiovascular update yang dilaksanakan di akhir 2011 terpaksa menolak peserta yang mendaftar onsite.
Perkembangan Sub-spesialisasi bidang kardiovaskuler di Indonesia pada tahun 2011 sungguh menggembirakan, tercatat beberapa kegiatan besar seperti:
Kelompok Vascular (Indonesian Society of Vascular Medicine) tahun2011 mendapat kepercayaan untuk menyelenggarakan The 53rd Annual World Congress International College of Angiology di Nusa Dua Bali. Tentu keindahan pulau dewata telah mengundang decak kagum para peserta luar negeri, yang umumnya ingin kembali ke Indonesia.
Kelompok Kerja Prevensi dan Rehabilitasi Kardiovaskular (Indonesian Cardiovascular Prevention and Rehabilitation / Ina CP*R) telah bangkit kembali dengan menyelenggarakan Workshop di Surabaya. Acara ini berlangsung sukses berkat dukungan PERKI dari berbagai cabang di seluruh Indonesia. Angkat topi pada PERKI cabang Padang yang mengirim 3 peserta, termasuk sesepuhnya Prof. Asnil Sahim. Prof. WayanWita dari PERKI cabang Bali juga tidak ketinggalan, dengan kameranya yang selalu mampu membidik obyek-obyek menarik termasuk jembatan Suromadu. Kerja keras dr. Dyana Sarvasti SpJP dan kawan-kawan PERKI cabang Surabaya telah mampu memberikan jawaban, bahwa PERKI sangat peduli dengan upaya prevensi dan rehabilitasi.
Kelompok Kerja Echocardiografi (Indonesian Society of Echocardiography / ISE) rutin setiap tahun menyelenggarakan pertemuan ilmiah di Jakarta. Acara ini juga mendapat perhatian banyak peserta. Beberapa anggota ISE telah menghadiri annual scientific meeting Euro -- Echo di Budapest. Prof. Madjid, SpPD, SpJP (anggotaPERKI Medan) mempresentasikan tesisnya mengenai echocardiography dalam forum bergengsi ini, suatu hadiah untuk kolega kita yang pantang menyerah ini. Dr. Arif Nugroho SpJP Staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Universitas Diponegoro / RSUD Dr. Kariadi Semarang kini sedang berada di Utrech-Netherland mengikuti pelatihan Echocardiografi sebagai bekal untuk menyandang gelar konsultan di bidang tersebut. Dalam ASMIHA 21 yang akan datang, tokoh Echo Eropah dr. Pinto dari Portugal yang juga menjadi ketua Affiliate Member European Society of Cardiology akan hadir, jangan sampai terlewatkan.
Kelompok Intervensi Kardiovaskular (Indonesian Society of Interventional Cardiology / ISIC) juga telah menyelenggarakan pertemuan ilmiah tahunan di Jakarta. Acara yang disertai dengan transmisi dari laboratorium kateterisasi Semarang dan Medan membuktikan bahwa, daerah-daerah di luar Jabodetabek juga berkembang pesat.
Pada tahun 2011 ini 40 anggota tim pengajar ACLS – PERKI telah mengikuti sertifikasi ACLS-American Heart Association, membuat tim ACLS – PERKI berstandar Internasional. Pengakuan dari PP SDM KementerianKesehatan RI juga telah diperoleh, disamping dari IDI yang memang sudah lama didapat. Hal yang membanggakan adalah kemampuan PERKI untuk menyelenggarakan 10 kelas sekaligus pada setiap akhir minggu, sehingga peserta tahun 2011 menembus angka 6000. Sungguh kita harus bangga dan memberikan apresiasi kepada teman-teman yang telah mengorbankan akhir minggunya untuk mengajar keseluruh penjuru tanah air.
PERKI juga membantu Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dalam menyiapkan pelatih Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk awam. Demo 300 pelatih BHD yang terdiri dari anggota YJI di Monas beberapa minggu lalu adalah bukti bahwa kerja keras anggota PERKI tak sia-sia.
Pada tahun 2011 enam anggota PERKI berada di Divisi Echocardiography dan Divisi Vascular Phillipine Heart Center secara bergiliran, selama 4 minggu. Program ini terlaksana berkat kerjasama dengan Phillipine Heart Association dan dukungan Perusahaan Farmasi Darya Terafarma. Direncanakan pada tahun 2012 program serupa untuk para intervensionis dapat dilaksanakan, bekerjasama dengan Vietnam Society of Cardiology. Program semacam ini akan memberikan wawasan yang lebih luas bagi para anggota PERKI, terutama bagi mereka yang bekerja sebagai staf pengajar di pusat-pusat pendidikan.
PERKI juga mempunyai peran sentral dalam Aliansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PP-PTM). Pada tanggal 5-7 Desember 2011 Aliansi PP-PTM atas dukungan WHO telah menyelenggarakan workshop untuk menilai apakah Paket Essensial untuk PTM yang dibuat oleh WHO dapat diaplikasikan di fasilitas pelayanan primer (Puskesmas) Indonesia. Acara ini difasilitasi oleh WHO Head Quarter (Genewa) dr. Shanthi Mandis dan WHO SEARO (New Delhi) dr. Renu Garg.
Yang tak kalah serunya kejadian di akhir tahun 2011 adalah lahirnya Indonesian Women Cardiologist (IWoC), yaitu grup dokter SpJP perempuan. Tujuan dibentuknya IWoC adalah untuk menggiatkan program Go Red for Women, mempererat hubungan sesama SpJP perempuan dan memberikan peluang lebih besar bagi SpJP perempuan untuk berkembangdalam kariernya. Mereka berkomunikasi melalui black-berry dalam 2 grup. Dari komunikasi ini kita dapat memantau aktifitas para Srikandi PERKI yang bekerja sendiri di daerah-daerah, seperti: dr. Darti SpJP di Papua, dr. Leonora SpJP di NTT, dr. Sri Hastuti SpJP di Bengkulu dan dr. Novita SpJP di Lhokseumawe. Kesulitan mereka dapat dicarikan solusinya bersama-sama.
Semoga refleksi atas apa yang telah PERKI lakukan pada tahun 2011 menjadi pendorong bagi kita semua untuk bekerja lebih giat lagi bagi nusa, bangsa dan negara. Bravo PERKI !

Ketua PP PERKI
dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA

Rabu, 16 November 2011

Kalsifikasi Koroner dan Osteoporosis, Apa Kaitannya?

AHLI Patologi sudah lama mengenal kalsifikasi arterial, namun baru belakangan ini terjadi peningkatan perhatian terhadap kalsifikasi plak aterosklerosis, karena : 1) mudah dideteksi secara non-invasif (dengan alat Multislice CT); 2) berkaitan erat dengan besarnya plak aterosklerosis; 3) merupakan parameter surrogate untuk aterosklerosis, sehingga dapat digunakan sebagai deteksi dini preklinik dari penyakit kardiovaskular; dan 4) berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskular (Doherty et al. 2004).
Konsekuensi klinis dari kalsifikasi koroner adalah berkaitan erat dengan berat plak aterosklerotik (Rumberger et al. 1995), peningkatan risiko infark miokard dan instabilitas plak (Fitzgerald et al. 1992), serta kalsifikasi koroner sendiri diduga berperan pada inisiasi atau laju penyakit kardiovaskular. (Giachelli et al. 2001)
Kalsifikasi vaskular dulu dianggap sebagai suatu proses degeneratif pasif dan tak terelakkan yang mengakibatkan deposisi mineral pada dinding vaskular terjadi pada tahap lanjut aterosklerosis. Namun, studi-studi terbaru mengidentifikasi kalsifikasi vaskular pada tahap dini aterosklerosis dan timbulnya berkaitan dengan kejadian kardiovaskular. Derajat kalsifikasi berhubungan dengan inflamasi vaskular lokal serta progresifitas aterosklerosis. Pada dekade terakhir, telah banyak dikemukakan kaskade signal molekuler yang sangat teregulasi & kompleks yang mengendalikan kalsifikasi vaskular. (Mazzini and Schulze 2006; Belovici and Pandele 2008)
Osteoporosis beserta fraktur tulang yang diakibatkannya merupakan masalah kesehatan umum utama dan semakin menonjol. Patogenesis osteoporosis sangat kompleks pada berbagai fase dari pertumbuhan, pemeliharaan dan pengurangan tulang, serta faktor-faktor non skeletal seperti insiden jatuh dan risiko patah tulang. (Samelson and Hannan 2006)
Telah lama diamati adanya fenomena paradoks antara osteoporosis dan kalsifikasi vaskular, pada pasien osteoporosis, terjadi pengeroposan atau berkurangnya jaringan tulang pada saat yang bersamaan dengan pembentukan tulang di dinding pembuluh darah. (Demer 2002)
Selama ini, osteoporosis dan penyakit kardiovaskular dianggap sebagai dua proses penuaan non-modifiable yang berbeda dan tak berhubungan satu dengan yang lain, namun kemudian ditemukan banyak bukti bahwa kedua fenomena ini saling berkaitan secara biologis. Selama pembentukan kalsifikasi vaskular, transisi sel otot polos vaskular menjadi fenotipe osteoblast-like mempromosi pelepasan struktur vesikular dan mineralisasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya berhubungan dengan metabolisme mineral, seperti fosfor, kalsium atau hormon paratiroid, yang mempengaruhi super saturasi struktur dan eksepresi faktor osteogenik. (Cannata-Andia et al.; Whitney et al. 2004)
Timbul pertanyaan, apakah kalsifikasi vascular mempengaruhi metabolism tulang, dan terdapat crosstalk antara kedua jaringan tersebut. Bukti baru menunjukkan, beberapa inhibitor dari jalurWnt, seperti secreted frizzled Proteins 2 & 4 dan Dickkopf related protein-1 (DKK-1), menghubungkan kalsifikasi vaskular dan osteoporosis. (Cannata-Andiaet al.2011)
Pertanyaan lebih lanjut, apakah laju perkapuran vaskular dapat dibatasi ataupun dicegah, dan apakah hal ini berpengaruh pada klinis pasien.

Referensi:
Belovici, M. I., and G. I. Pandele. 2008. [Arterial media calcification in patients with type 2 diabetes mellitus]. Rev Med Chir Soc Med Nat Iasi 112 (1): 21-34.
Biggs, W. S. 2008. Calcium supplementation: Data were misrepresented. BMJ 336 (7641): 404.
Bolland, M. J., P. A. Barber, R. N. Doughty, B. Mason, A. Horne, R. Ames, G. D. Gamble, A. Grey, and I. R. Reid. 2008. Vascular events in healthy older women receiving calcium supplementation: randomised controlled trial. BMJ 336 (7638): 262-266.
Cannata-Andia, J. B., P. Roman-Garcia, and K. Hruska. The connections between vascular calcification and bone health. Nephrol Dial Transplant 26 (11): 3429-3436.
Demer, L. L. 2002. Vascular calcification and osteoporosis: inflammatory responses to oxidized lipids. Int J Epidemiol 31 (4): 737-741.
Doherty, T. M., L. A. Fitzpatrick, D. Inoue, J. H. Qiao, M. C. Fishbein, R. C. Detrano, P. K. Shah, and T. B. Rajavashisth. 2004. Molecular, endocrine, and genetic mechanisms of arterial calcification. Endocr Rev 25 (4): 629-672.
Fitzgerald, P. J., T. A. Ports, and P. G. Yock. 1992. Contribution of localized calcium deposits to dissection after angioplasty. An observational study using intravascular ultrasound. Circulation 86 (1): 64-70.
Flipon, E., S. Liabeuf, P. Fardellone, R. Mentaverri, T. Ryckelynck, F. Grados, S. Kamel, Z. A. Massy, P. Dargent-Molina, and M. Brazier. Is vascular calcification associated with bone mineral density and osteoporotic fractures in ambulatory, elderly women? Osteoporos Int.
Giachelli, C. M., S. Jono, A. Shioi, Y. Nishizawa, K. Mori, and H. Morii. 2001. Vascular calcification and inorganic phosphate. Am J Kidney Dis 38 (4 Suppl 1): S34-37.
Hsia, J., G. Heiss, H. Ren, M. Allison, N. C. Dolan, P. Greenland, S. R. Heckbert, K. C. Johnson, J. E. Manson, S. Sidney, and M. Trevisan. 2007. Calcium/vitamin D supplementation and cardiovascular events. Circulation 115 (7):846-854.
Lappe, J. M., and R. P. Heaney. 2008. Calcium supplementation: Results may not be generalisable. BMJ 336 (7641): 403; author reply 404.
London, G. M. Soft bone - hard arteries: a link? Kidney Blood Press Res 34 (4): 203-208.
Mazzini, M. J., and P. C. Schulze. 2006. Proatherogenic pathways leading to vascular calcification. Eur J Radiol 57 (3): 384-389.
Miller, P. D. Vitamin d, calcium, and cardiovascular mortality: a perspective from a plenary lecture given at the annual meeting of the american association of clinical endocrinologists. Endocr Pract 17 (5): 798-806.
Phan, O., O. Ivanovski, I. G. Nikolov, N. Joki, J. Maizel, L. Louvet, M. Chasseraud, T. Nguyen-Khoa, B. Lacour, T. B. Drueke, and Z. A. Massy. 2008. Effect of oral calcium carbonate on aortic calcification in apolipoprotein E-deficient (apoE-/-) mice with chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant 23 (1): 82-90.
Puccetti, L. 2008. Calcium supplementation: Confounders were ignored. BMJ 336 (7641): 403-404; author reply 404.
Ramlackhansingh, J. N. 2008. Calcium supplementation: Some issues on outcomes. BMJ 336 (7641): 403; author reply 404.
Reid, I. R., M. J. Bolland, A. Avenell, and A. Grey. Cardiovascular effects of calcium supplementation. Osteoporos Int 22 (6):1649-1658.
Rumberger, J. A., D. B. Simons, L. A. Fitzpatrick, P. F. Sheedy, and R. S. Schwartz. 1995. Coronary artery calcium area by electron-beam computed tomography and coronary atherosclerotic plaque area. A histopathologic correlative study. Circulation 92 (8): 2157-2162.
Samelson, E. J., and M. T. Hannan. 2006. Epidemiology of osteoporosis. Curr Rheumatol Rep 8 (1): 76-83.
Whitney, C., D. E. Warburton, J. Frohlich, S. Y. Chan, H. McKay, and K. Khan. 2004. Are cardiovascular disease and osteoporosis directly linked? Sports Med 34 (12): 779-807.

Antonia Anna Lukito
RS Siloam Karawaci dan FK UPH

Prediktor Kejadian SKA pada Pemeriksaan CT-Scan

DEWASA ini pemeriksaan CT scan telah menjadi salah satu modalitas diagnostik pada penyakit jantung koroner (PJK). Memang, dibandingkan dengan kateterisasi yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard), CT scan menawarkan beberapa keuntungan, salah satunya adalah non invasif. Sedemikian populernya modalitas ini, membuat beberapa rumah sakit menawarkan pemeriksaan calcium score (CCS) sebagai salah satu pemeriksaan penyaring PJK pada paket-paket medical check-up tertentu. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemeriksaan CT scan pembuluh darah koroner yang lengkap terdiri dari dua tahap, yakni pemeriksaan calcium score (tanpa zat kontras) dan angiorafi koroner (dengan zat kontras).
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa CCS berbanding lurus dengan proses aterosklerosis pembuluh darah koroner, semakin tinggi nilainya, yang menandakan deposit kalsium pada dinding pembuluh darah, maka semakin berat juga proses aterosklerosis. Selain itu, dengan CCS dapat ditentukan prognosis pasien tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat petanda lain pada pemeriksaan angiografi koroner yang dapat memperkirakan timbulnya sindroma koroner akut (SKA), yaitu soft plaque (SP) atau low-attenuation plaques (LAP) dan positive vessel remodeling (PR).
Penelitian yang dilakukan Motoyama dkk menunjukkan bahwa temuan LAP dan PR pada pemeriksaan CT angiografi koroner berkaitan erat dengan timbulnya SKA di masa mendatang. Studi ini dilatarbelakangi fakta bahwa karakteristik lesi koroner penyebab SKA (culprit lesion) mencakup LAP dan PR, akan tetapi hingga saat itu belum ada penelitian yang menunjukkan hubungan prospektif antara kedua karakteristik lesi tersebut dengan SKA. Sebanyak 1,059 pasien yang menjalani CT angiografi koroner diikutkan dalam studi ini. Hasil CT scan dianalisis untuk menentukan ada atau tidaknya LAP dan PR yang dikaitkan dengan timbulnya SKA di masa mendatang. Masa observasi berkisar antara 17 hingga 37 bulan.
Dari 45 pasien yang memiliki karakteristik plak dengan LAP dan PR (keduanya), timbul SKA pada 10 pasien (22.2%), jauh lebih tinggi dibanding 1 (3.7%) kejadian SKA pada pasien yang hanya memiliki salah satu karakteristik tersebut. Pada kelompok pasien tanpa LAP maupun PR tapi dengan angiografi abnormal, SKA hanya terjadi pada 0.5% kasus, sedang pada 167 pasien dengan hasil angiografi yang normal, tak satupun yang terkena SKA selama masa observasi. Disimpulkan, pasien dengan karakteristik PR dan LAP pada pemeriksaan CT angiografi koroner merupakan kelompok risiko tinggi terkena SKA di masa mendatang dibanding kelompok tanpa karakteristik tersebut.
Walaupun CT scan telah terbukti memiliki manfaat dan keunggulan tersendiri dalam diagnosis dan tatalaksana PJK, tetap harus dipertimbangkan faktor biaya, efek samping penggunaan zat kontras dan bahaya radiasi setiap akan melakukan pemerikaan tersebut. Perlu diketahui bahwa tingkat radiasi pemeriksaan CT scan koroner lengkap mencapai ratusan kali radiasi pemeriksaan foto toraks. Untuk itu, setiap pemeriksaan hendaknya didasarkan atas petunjuk dokter sesuai indikasi yang ada, termasuk untuk pemeriksaan calcium score.

(J Am Coll Cardiol 2009; 54(1): p.49-57.
Estu

Menyambut 54 Tahun Ulang Tahun Perki

TANGGAL 16 November merupakan hari yang bersejarah bagi Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI), karena pada tanggal tersebut 54 tahun yang lalu PERKI dilahirkan. Adalah dr. Gan Tjong Bing, seorang Internist Cardiologist lulusan Belanda yang berfikiran visioner, mendeklarasikan berdirinya PERKI. Ia sendiri menjabat sebagai sekretaris Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) yang didirikan beberapa jam lebih awal. Dalam pidatonya dengan jujur ia mengatakan bahwa, ilmu kardiologi demikian luasnya, dan tak mungkin dikuasai oleh seorang yang menyandang brevet Internist.
Sejak itulah secara konsisten ia mengembangkan profesi kardiologi. Pada tahun 1966 dibantu oleh dr. Ong Kee Hian, ia menerbitkan buku berjudul: PENJAKIT DJANTUNG. Buku yang diterbitkan oleh Yajasan Kardiologi Indonesia pada 1967 itu, kini melengkapi koleksi The National Library of Australia. Memang, saat itu penyakit jantung reumatik paling menonjol, tapi belajar dari pengalamannya di Europa, diprediksikan prevalensi penyakit jantung koroner akan meningkat cepat di Indonesia. Ia menyadari, dengan penduduk yang begitu besar, Indonesia pasti akan memerlukan banyak ahli jantung dan kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secepatnya. Terobosan harus dibuat untuk mengantisipasi kebutuhan ahli jantung yang siap melayani masyarakat Indonesia yang demografinya tidak sesederhana negeri Belanda.
Perjuangan untuk mengembangkan pendidikan ahli jantung memang bukan hal yang mudah, hambatan demi hambatan harus ia lalui. Profesi yang baru ini pun tak menjanjikan jaminan hidup yang layak bagi dirinya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menerima tawaran kembali ke negeri kincir angin. Meskipun demikian, dr. Gan Tjong Bing telah berbuat sesuatu untuk Indonesia. Jasanya selalu dikenang oleh lima ratusan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, yang kini tersebar di seluruh Indonesia.
Perjuangan mengembangkan pelayanan dan profesi kardiologi kemudian diteruskan oleh dr. Sukaman, didukung oleh mitra kerjanya seorang ahli bedah jantung dr. Iwan Santoso. Beberapa ahli jantung muda (dr. Ranti, dr. Luthfi, dr. Tagor, dr. Asikin Hanafiah dan dr. Lily Rilantono) ikut mendampingi perjuangannya di kala itu. Dr. Sukaman adalah penggagas berdirinya Asean Federation of Cardiology, oleh karena itu SUKAMAN LECTURE selalu menghiasi acara ilmiah organisasi kardiologi negara-negara anggota Asean yang jumlahnya terus bertambah. Perannya dalam mendirikan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dan Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita juga sangat dominan. Konsep pelayanan kardiovaskuler holistik yang berwawasan nasional sudah ada dibenaknya, oleh karena itu rumah sakit ini disebut juga Pusat Kesehatan Jantung Nasional (PKJN).
Dr. Sukaman memang seorang pejuang tanpa pamrih. Pembawaannya tenang dan berwibawa, tak banyak bicara, tetapi hangat dalam persahabatan.”Ketika itu aku harus naik kereta api ke Jogya untuk bergabung dengan suami yang sedang berjuang, dia yang mengantarkan aku ke stasiun dengan menggendong Niesye anakku yang masih balita. Kereta begitu penuh, kami harus berdesak-desakan untuk mencapai kursi yang sudah dipesan. Aku menyuruhnya segera turun, karena kereta sudah hampir jalan, namun dengan tenang ia menolak. Don’t worry……, aku bisa turun di Bekasi katanya, ketika kereta mulai berjalan. Sukaman memang seorang sahabat yang setia”, kenang ibu Eri Sudewo istri sahabat dr. Sukaman dalam perjuangan dan kolega yang sama-sama belajar di Swedia.
Kini, apa yang dikatakan oleh dr. Gan Tjong Bing memang terasa sekali kebenarannya. Ilmu dan teknologi di bidang kardiovaskuler maju begitu pesat, penyakitnya pun menjadi top sebagai penyebab kematian. Subspesialisasi kardiovaskuler berkembang, sehingga tak seluruhnya dapat dikuasai secara mendalam oleh seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP). Subspesialisasi ini memerlukan tambahan pendidikan untuk mencapai kepakaran yang sejati. Ada delapan bidang subspesialisasi yang berkembang di Indonesia saat ini: intervensi, aritmia dan elektrofisiologi, klinikal dan perawatan intensif kardiovaskuler, ekokardiografi, pencitraan kardiovaskuler, vaskuler, penyakit jantung bawaan dan rehabilitasi jantung. Masih ada subspesialisasi lain yang sudah berkembang di negara-negara maju namun belum dikembangkan di Indonesia.
Masyarakat mulai merasakan, betapa pentingnya kehadiran seorang SpJP di wilayahnya, mereka semakin memahami bahwa kematian akibat serangan jantung bisa terjadi tiba-tiba di mana saja, tanpa pandang sosial ekonomi dan usia. Kematian mendadak selebriti muda seperti Adji Masaid membuat praktek SpJP mendadak ramai oleh kedatangan kelompok muda usia yang dibayangi ketakutan dan ingin check up jantung.
Pola makan sehat seperti makan buah dan sayur lima kali sehari dan banyak makan makanan berserat, kurang dipahami oleh masyarakat kita. Mereka mengira sayur yang dibubuhi santan kental, juga merupakan sayur yang sehat untuk disantap. Belum lagi makanan cepat saji resepasing, yang tumbuh menjamur di kota-kota besar. Olah raga 30 menit atau jalan kaki 3 km setiap hari, hanya taat diikuti oleh sebagian kecil masyarakat. ”Harus berangkat pagi sekali supaya tak terhambat kemacetan lalu lintas, dan sampai rumah sudah larut malam”, itulah alasan klasik yang sering kita dengar. Kondisi-kondisi seperti ini membuat prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas semakin meningkat.
Obesitas sentral berhubungan erat dengan sindroma metabolik yang ditandai hipertensi, dislipidemia dan diabetes mellitus, kelainan-kelainan yang sangat berperan dalam proses atherosklerosis. Sayangnya, tak banyak kolega yang menyediakan alat pengukur berat badan, tinggi badan dan lingkar perut di tempat prakteknya. Kawasan Sulawesi Utara – Manado dan sekitarnya adalah daerah dengan prevalensi obesitas sentral tertinggi di Indonesia (lingkar perut >80 cm pada perempuan dan > 90 cm pada laki-laki). Upaya kolega kita memberikan ceramah kesehatan jantung dan pembuluh darah di pemerintah daerah, ibu-ibu Dharma Wanita bahkan di gereja-gereja belum cukup. Sekolah-sekolah harus juga dijangkau, karena di sana seringkali obesitas sudah mulai terjadi. Belum lagi kebiasaan merokok yang sulit dicegah pada sebagian besar pria Indonesia, terlebih-lebih dengan maraknya promosi industri rokok yang bermodal besar. Rupa-rupanya setoran cukai rokok yang mencapai 50 triliun rupiah membuat pemerintah enggan untuk menanda tangani konvensi anti tembakau.
Pelatihan khusus untuk petugas penyuluh kesehatan tentang kesehatan kardiovaskuler perlu digalakan, bukan saja di Manado, tetapi juga di wilayah Indonesia lainnya. Tentu harus ada kerjasama yang baik antara PERKI cabang/komisariat dengan pemerintah daerah dan YJI setempat. Karena strok juga mempunyai latar belakang penyebab yang sama, maka gerakan pencegahan penyakit jantung dan pembuluh darah perlu dilaksanakan bersama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (PERDOSSI) dan Yayasan Strok Indonesia di wilayah masing-masing. Di tingkat pusat, PERKI dan YJI menginisiasi pembentukan Aliansi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Non Communicable Disease/NCD), dimana kanker, penyakit paru obstruktif kronik dan diabetes merupakan sasaran utamanya selain penyakit kardiovaskuler. Berbagai organisasi profesi kedokteran dan lembaga swadaya masyarakat terkait bergabung, bersama menyatukan langkah. Upaya pencegahan dan pengendalian NCD memang terkait satu sama lain, kolaborasi diharapkan akan memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Dewasa ini pencegahan dan pengendalian NCD memang bukan prioritas, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Akibatnya, anggaran yang disediakan untuk program ini sangat kecil, karena tidak termasuk dalam target Millenium Development Goals (MDGs), seperti HIV. Padahal para ahli kesehatan masyarakat menyadari, bahwa sekitar dua pertiga kematian dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular. Berbeda dengan negara-negara maju, mereka faham sekali betapa besar kerugian yang diderita oleh negara akibat kenaikan prevalensi penyakit tidak menular. Bukan saja karena ongkos pengobatannya sangat besar, tetapi juga karena kerugian akibat hilangnya produktifitas pasien yang umumnya masih menjadi tulang punggung keluarga. Betapa tidak, seorang pasien yang harus menjalani bedah pintas koroner menghabiskan sekitar 60–80 juta rupiah, pemasangan 1 stent 40 juta, 2 stent 60 juta, 3 stent 80 juta. Hal yang sama dengan pengobatan kanker, kesemuanya memerlukan obat dan peralatan medis import yang mahal harganya. Lalu, pantaskah barang-barang penyambung nyawa itu dianggap sebagai barang mewah yang harus dikenai pajak tinggi?
Prevalesi NCD di negara berkembang terus meningkat, tetapi di negara maju justru turun. Penurunan ini terjadi berkat upaya pencegahan dan pengendalian NCD yang sangat agresif, didukung oleh anggaran yang memadai. WHO meramalkan bahwa 80% kematian akibat NCD akan terjadi di negara-negara berkembang. Tentu kemajuan terapi ikut berperan, intervensi dini pada pasien penyakit jantung koroner dan revaskularisasi cepat ketika terjadi infark miokard akut berhasil mengurangi angka kematian, menurunkan masa rawat pasien dan mengurangi komplikasi yang memerlukan penangan mahal dan kronik. Pengorganisasian jejaring yang kuat, sangat menentukan keberhasilan ini. Kolaborasi antara pelayanan primer, sekunder dan tersier sudah terstruktur; pelayanan pra rumah sakit termasuk paramedik dan sarananya dipersiapkan sungguh-sungguh, sehingga layanan ini berjalan sesuai protokol. Kesemuanya dapat terlaksana karena para dokter SpJP memahami benar, bahwa pada hakekatnya keberadaan mereka adalah untuk menurunkan prevalensi penyakit kardiovaskuler, mengupayakan agar pasien dengan penyakit kardiovaskuler dapat dideteksi dini dan bagi yang mengalami serangan sindroma koroner akut mendapat penanganan awal sebagaimana mestinya. Membagi ilmu dan menyerahkan sebagian kewenangannya kepada dokter di pelayanan primer adalah suatu keniscayaan.
Kemenangan perjuangan untuk memasukkan NCD ke dalam target MDGs telah dicapai pada tanggal 19-20 September 2011 yang lalu, dalam United Nation summit di New York. Presiden dan utusan berbagai negara anggota PBB secara serentak memberikan dukungan untuk memasukkan NCD ke dalam target post MDGs 2015. Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri Kesehatan, masing-masing beserta stafnya. President Indonesian Heart Association yang juga menjadi Ketua Aliansi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular ikut hadir di sana. Menteri Luar Negeri Marty M. Natalegawa yang mewakili Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menyatakan: “non-communicable diseases were affecting mostly working-age adults, eroding the most productive generation in the world today, thus reducing the gross domestic product of low to middle-income countries by as much as 5 per cent. “This is one reason why poverty is so wide-spread,” he said. “In our view, prevention is the key to resolving it. Prevention is and will be our priority.” Akhirnya, semua negara serentak menyatakan bahwa, NCD bukan hanya penting untuk kesehatan, tetapi juga untuk kelangsungan perkembangan suatu bangsa. Oleh karena itu, prevensi NCD mutlak diperlukan dan harus mendapat prioritas.
Ada dua kewajiban yang kini harus kita laksanakan bersama. Pertama mensosialisasikan deklarasi yang telah disepakati di UN summit itu, kepada seluruh lapisan masyarakat, para akademisi, organisasi profesi, media massa dan tentu saja pemerintah di berbagai lini. Kedua, mendorong terealisasinya empat hal yang telah disepakati, yaitu: terwujudnya kerangka pemantauan global terhadap keberhasilan pencapaian target global dan indikator nasional NCD serta faktor risikonya - pada akhir tahun 2012; persiapan langkah-langkah kerjasama multisektoral - selesai pada akhir tahun 2012; pemantapan kebijakan multisektoral dan perencanaan nasional pencegahan dan pengobatan NCD serta implementasinya - pada tahun 2013; persiapan membuat laporan tentang komitmen terhadap pelaksanaan deklarasi sebagai dasar evaluasi yang menyeluruh - pada tahun 2014. Banyak hal yang harus kita kerjakan dalam upaya pencegahan NCD, khususnya pencegahan terhadap penyakit kardiovaskuler; ini memerlukan kerja keras kita semua.
Pada tanggal 28 Oktober 2011 DPR mengesahkan Undang-undang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS). Setelah 66 tahun merdeka, akhirnya Pemerintah melaksanakan amanat Pasal 28 ayat (3) dan 34 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Dengan disahkannya UU BPJS, maka per 1 Januari 2014 nanti setiap warga negara Indonesia mempunyai jaminan asuransi kesehatan. Kemanapun mereka berobat asalkan itu rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta yang bekerjasama dengan PT Askes, tidak akan dikenakan biaya. Tentu bagi yang mempunyai penghasilan tetap dan layak, akan dikenakan kewajiban membayar premi seperti halnya pegawai negeri, sedangkan bagi yang tak mampu Pemerintah yang akan menanggungnya. PT Askes sebagai provider jasa asuransi kesehatan pegawai negeri dipercaya menjadi provider asuransi kesehatan nasional. Untuk itu, PT Askes akan berubah bentuk dari perseroan terbatas dibawah BUMN menjadi badan hukum publik yang mengelola dana amanat di bawah BPJS.
PT Askes sadar bahwa beban biaya pelayanan kardiovaskular akan sangat besar dan mendominasi biaya kesehatan. Oleh karena itu, program promosi dan prevensi, deteksi dini dan sistim rujukan pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif kini mereka persiapkan. Khusus untuk bidang kardiovaskuler PERKI membantu sepenuhnya. Film pendek (filler) prevensi penyakit kardiovaskuler dari PT Askes akan segera beredar, dibintangi oleh Prof. Budi Setianto dan artis Veliza.
Lalu, cukup layakkah tarif pelayanan yang akan dibayarkan oleh PT Askes? Center for Casemix Kementerian Kesehatan telah menghasilkan tarif-tarif layanan yang akan diberlakukan sebagai tarif untuk asuransi kesehatan nasional. Tarif dikemas dalam paket-paket yang dikelompokkan sesuai pengelompokan Ina-CBG (Indonesian Case Base Group), ciptaan United Nation University yang ada di Kuala Lumpur. Mencermati rendahnya tarif yang dihasilkan oleh center for Casemix, PERKI meminta penyesuaian (ajustment). Semoga upaya ini berhasil, sehingga pelayanan kardiovaskuler di daerah dapat maju pesat, dan dokter SpJP serta dokter spesialis Bedah Toraks Kardiovaskuler (SpBTKV) lebih bergairah untuk bekerja di daerah.

Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA
Ketua PP PERKI

Kamis, 10 November 2011

Patogenesis OSA dan CSA pada Pasien dengan HF: Perpindahan Cairan Anggota Gerak Bawah di Malam Hari

“Perpindahan cairan dari kaki yang terjadi malam hari pada penderita laki-laki dengan gagal jantung menyebabkan peningkatan lingkar leher dan penurunan PCO2, dengan hasil akhir terjadinya OSA dan CSA”
OBSTRUCTIVE sleep apnea (OSA) disebabkan oleh obstruksi berulang saluran nafas bagian atas dan central sleep apnea (CSA) terjadi akibat pengurangan intermiten PCO2 yang terjadi pada pusat pernafasan di bawah ambang apnea.
Dibandingkan populasi umum, OSA dan CSA lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan gagal jantung (HF), dimana akan meningkatkan angka mortalitas mereka.
Pasien dengan HF dapat terjadi OSA, CSA maupun keduanya, yang mana dapat beralih dari satu gangguan tidur apnea ke tipe yang lain, begitu juga sebaliknya.
Dapat dilihat bahwa gangguan tidur ini berhubungan satu dengan yang lain, sehingga dapat dicari kesamaan patogenesisnya.
Dilakukanlah studi oleh Yumino dkk., yang menganalisis perpindahan cairan dari kaki yang terjadi malam hari dapat meningkatkan lingkar leher dengan hasil akhir penyempitan dan peningkatan kolaps faring.
Perpindahan cairan dari kaki ke leher inilah yang meningkatkan obstruksi faring berulang, mungkin saja terjadi pada pasien HF, dikarenakan pada dasarnya pasien tersebut terjadi retensi cairan di kaki, patogenesis ini dapat dimengerti pada kejadian OSA.
CSA terjadi pada pasien HF karena stimulasi iritasi reseptor di paru akibat dari kongesti paru, nilai PCO2 berkebalikan dengan tekanan baji paru. Pada kondisi ini, terjadi peningkatan ventilasi yang menyebabkan PCO2 di bawah ambang apnea.
Studi ini menggunakan 57 pasien HF (EF =< 45%), dihitung perubahan volume cairan pada kaki dan lingkar leher sebelum dan sesudah pemeriksaan polisomnografi, juga dilakukan pengukuran PCO2 transkutan selama tindakan polisomnografi. Pasien dibagi dalam kelompok dominan obstruksi (=> 50% obstruksi apnea dan hipopnea) dan dominan sentral (> 50% kejadian sentral). Pasien dengan OSA mendapatkan CPAP (continuous positive airway pressure), sementara CSA tidak.
Pada kelompok dominan obstruksi terjadi hubungan yang terbalik antara perubahan volume cairan kaki dengan lingkar leher pada malam hari (r = - 0,780, p < 0,001) dan index apnea-hipopnea (r = - 0,881, p < 0,001) tetapi tidak terjadi pada nilai PCO2. Kelompok dominan sentral memperlihatkan penurunan volume cairan kaki malam hari yang dihubungkan secara terbalik dengan index apnea-hipopnea (r = -0,919, p < 0,001) dan perubahan lingkar leher malam hari (r = - 0,569, p < 0,009).
CPAP dapat menurunkan kejadian OSA yang dihubungkan dengan pencegahan terjadinya peningkatan lingkar leher malam hari (p < 0,001).
Temuan studi ini menunjukkan bahwa perpindahan cairan anggota gerak bawah yang terjadi pada malam hari sebagi konsep pathogenesis yang menyatukan kejadia OSA, CSA, ataupun keduanya pada pasien HF.
(Circulation 2010; 121: 1598-1605)
SL Purwo

Don’t worry be happy

JUDUL tulisan ini diambil dari judul publikasi penelitian dari European Heart Journal edisi bulan Mei 2010. Judul lengkapnya adalah: “Don’t worry be happy: positive affect and reduced 10-year incident coronary heart disease: the Canarian Nova Scotia Health Survey.” Penelitian ini membuktikan bahwa afek positif pada pasien, secara independen menurunkan risiko kejadian penyakit jantung koroner dalam 10 tahun dengan Hazard Ratio (HR) 0,78 (CI 0,63-0,96; p=0,02). Yang dijadikan end-point studi ini adalah kejadian iskemik jantung fatal dan non-fatal selama 10 tahun observasi. Metode yang dilakukan adalah mengukur afek responden dengan skala 1 sampai 5 saat diwawancarai perawat yang telah dilatih untuk mewawancarai dengan struktur tipe A. Grup yang dijadikan pembanding dinilai skala depresi, kekerasan dan kecemasan, yang ketiganya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Studi ini melibatkan jumlah pasien yang besar yaitu total 1739 dewasa (862 laki-laki dan 877 perempuan) dan diobservasi dalam waktu yang cukup lama.
Hasil penelitian ini mengingatkan kita untuk tetap memperhatikan kondisi mental pasien, kemudian membantu pasien kita selain memotivasi untuk mengatasi stres, namun kita tambahkan lagi dengan pesan untuk selalu berafek positif, don’t worry be happy!
(Eur Heart J 2010 May; 31(9): 1065-1070)
Sony HW

Senin, 07 November 2011

Jalan Tiap Sabtu Pagi Bersama Dokter

GAYA hidup sehat, yaitu olahraga teratur dan kebiasaan makan sehat, sangat penting dalam pencegahan penyakit jantung koroner; namun masih banyak pasien kesulitan konsisten menjalani gaya hidup sehat. Dalam usaha memberi teladan, David Sabgir, MD, FACC, meluncurkan program Walk with a Doc, suatu program komunitas yang membantu pasien memperbaiki kesehatan mereka melalui olahraga dan berbagi pengetahuan. Sebuah artikel di Cardiology Magazine (www.cardiosource.org/cardiologymagazine) menjelaskan sebuah program dimana beberapa orang dokter berkumpul tiap sabtu pagi di taman lokal untuk berjalan bersama pasien dan berdialog dalam menekuni gaya hidup sehat.

Program Walk with a Doc diluncurkan di Colombus, Ohio (Amerika Serikat), Walk with a Doc membantu menutup celah antara perintah dokter dan perubahan gaya hidup bagi pasien. Awalnya kurang dari 5% pasien yang dapat mencapai target olahraga 150 menit per minggu, ungkap Sabgir. Melalui kabar dari mulut ke mulut dan selebaran dari pasiennya, ia mengorganisir jalan bersama pertama kali di taman lokal yang berhasil mengajak 100 orang. Respon setelah itu lebih besar lagi. Dalam 7 tahun terakhir, Walk with a Doc telah menyebar hingga di 35 lokasi sekitar negara bagian, dengan 50 lokasi lagi akan segera meluncur dan 150 lagi menunjukkan ketertarikan yang kuat.

Bagaimana dengan kita?

Apakah kita sudah menjalani atau merencanakan program Jalan pagi bersama pasien kita?

Apakah kita memiliki metode untuk membantu pasien kita konsisten menjalani gaya hidup sehat?

Apa tantangan utama yang dihadapi dalam memastikan pasien kita mendengarkan rekomendasi kita?

Courtney Stuntz -Cardiosource.org forums

Rabu, 26 Oktober 2011

Konseling Genetik untuk Orang Dewasa dengan Kelainan Jantung Bawaan


“SELAMAT pagi Dokter!“ seorang lelaki dewasa muda disertai seoarng wanita masuk ke dalam ruang praktek dokter di RSJHK.
“Selamat pagi, oh Anton (nama samaran)“ rupanya dokter telah mengenal lama sang pemuda. “Silahkan duduk“ sang dokter berdiri, berjabat tangan dengan keduanya, lalu semuanya duduk pada kursi yang tersedia.
“Apa kabar Anton, biasanya sama Ibu ya?“ dokter mulai membuka pembicaraan. “Alhamdulillah baik Dok, Mamah di rumah. Ya biasanya dulu dianter mamah, tetapi Anton sudah bekerja sekarang, dan Anton mempunyai rencana menikah. Anton kan pernah dioperasi 15 tahun yang lalu, sehingga ingin mengetahui bagaimana kemungkinan anak-anak Anton jika kami menikah.“ begitu ia bertutur. “Oh lupa ini Sri tunangan Anton. Anton bawa biar mendengarkan penjelasan dokter.“
“Alhamdulillah Anton sehat, berarti operasi penutupan VSDnya sukses, berarti jantung Anton seperti orang normal. Baik sekali Sri dibawa. Jika Sri sendiri atau keluarganya tidak ada yang menderita kelainan jantung bawaan maka kemungkinan anak-anak Anton mempunyai hal sama ada, tetapi prosentasenya kecil.” Dokter menjelaskan. Setelah diperiksa ulang memang VSD Anton sudah tertutup berkat operasi, dan Sri tidak menderita kelainan jantung. Selang beberapa tahun Anton, Sri dan kedua putrinya datang berkunjung ke Poli Jantung, sekaligus ingin meyakinkan apakah kedua putrinya sehat. Alhamdulillah kedua putrinya tidak menderita kelainan jantung bawaan.
Masa kini kemajuan ilmu kedokteran, khususnya gemetika semakin dikenal sebagai salah satu faktor yang berperan dengan timbulnya penyakit atau kelainan. Salah satu kelainan yang dibawa sejak dalam kandungan adalah kelainan Jantung Bawaan.
Sebagai orang tua yang telah lama menunggu kelahiran putra atau putrinya sudah tentu akan bertanya-tanya. Dua pertanyaan yang umumnya ditanyakan bila sang anak menderita kelainan jantung bawaan adalah :
Mengapa kelainan itu bisa terjadi?
Apakah kelainan itu akan terjadi kembali?
Pertanyaan yang sama akan disampaikan pula oleh seseorang yang kebetulan menderita kelainan jantung manakala ia akan mendapat keturunan. Konseling genetik dapat membantu menjawab pertanyaan tersebut dan menyampaikan berbagai hal berkaitan dengan berkeinginan mulai membina keluarga.

Apa yang terjadi saat konseling Genetik?
Tujuan yang ingin dicapai pada konseling genetik untuk orang dewasa dengan kelainan jantung bawaan adalah untuk memperkirakan kemungkinan anak-anak keturunannya akan mengalami hal yang sama. Besarnya kemungkinan untuk mempunyai kelainan jantung bawaan sangat tergantung pada penyebabnya.
Seorang konselor genetika akan berupaya menentukan apa penyebab dari kelainan jantung bawaan penderita berdasarkan riwayat medis dan riwayat keluarga serta melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan genetik dapat diambil dari contoh darah penderita akan membantu menentukan apa penyebab kelainan jantung tersebut. Ada kalanya sangat bermanfaat bila memperoleh contoh darah dari anggota keluarga untuk pemeriksaan genetik, terutama apabila anggota keluarganya mempunyai kelainan jantung juga.

Penyebab Kelainan Jantung

1. Tidak diketahui: Kita tidak mengetahui penyebab pasti dari sebagian besar kelainan jantung bawaan. Mungkin sekali berhubungan dengan kombinasi faktor genetika yang multipel dan faktor lingkungan. Umumnya antara 2-15% faktor keluarga berhubungan dengan kemungkinan timbulnya kelainan jantung bawaan. Beasarnya kemungkinan tergantung pada jenis kelainan dan apakah di keluarga anda ada juga yang mengidap kelaian bawaan.

2. Sindroma Genetik: Sebagian orang dengan kelainan jantung bawaan mempunyai kondisi genetik yang spesifik yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Mereka mungkin mengetahui atau tidak mengetahui kondisi tersebut. Kemungkinan bagi anak-anaknya untuk mempunyai kondisi tersebut sagat besar bisa mencapai 50%. Kondisi tersebut sangat bervariasi dalam tingkat berat-ringannnya kelainan, sehingga mungkin saja anak-anak tersebut kurang dianggap serius atau mungkin malahan lebih serius dibanding orang tuanya.

3. Terpapar dengan lingkungan: Kelainan jantung bawaan juga dapat disebabkan oleh sang ibu saat kehamilan terpapar dengan infeksi atau obat. Dalam kondisi tersebut kemungkinan mengalami cacat bawaan pada bayi yang dikandungnya tidak lebih dari rata-rata orang pada umumnya.

Siapa yang harus mendapatkan Konseling Genetik?
Konseling genetika akan sangat menolong bagi siapapun yang mempunyai kelainan jantung bawaan yang ingin mengetahui penyebab dan seberapa besar kemungkinan anak-anaknya akan mempunyai kelainan yang sama. Konseling genetik sangat sesuai bagi laki-laki maupun wanita dengan kelainan jantung bawaan. Kemungkinan seorang anak akan mempunai kelainan jantung bawaan meningkat manakala ibu atau ayahnya mempunyai kelainan jantung bawaan.
Konseling genetik sangat penting jika seseorang diantara keluarga anda mempunyai kelainan jantung bawaan, atau Anda sendiri atau seseorang di antara keluarga mempunyai kelainan bawaan lainnya, tuli sejak lahir, gangguan psikiatris, penyakit liver atau gangguan kemampuan belajar.

Kapan waktu yang tepat untuk Konseling Genetik?
Waktu terbaik untuk memperoleh konseling Genetik yaitu sebelum anda hamil. Saat tersebut anda akan mengetahui seberapa besar risiko kemungkinan anaknya mempunyai kelainan sebelum hamil. Anda pun akan mengetahui bahwa ada pemeriksaan khusus diperlukan sebelum hamil. Seandainya Anda sudah hamil dan belum melakukan konseling, tetap saja konseling genetika akan menolong Anda semasa kehamilan.

Saat Hamil
Apabila suatu penyebab genetika ditemukan yang berhubungan dengan kelainan jantung, anda dapat melakukan tes genetika saat hamil untuk melihat apakah sang jabang bayi mempunyai kondisi kelainan genetika yang dapat diturunkan. Dalam banyak kasus, adalah sangat baik untuk dilakukan pemeriksaan fetal -echocardiogrmi oleh seorang dokter spesialis Jantung Anak yang sangat pakar dalam melihat kelainan jantung kongenital memakai tehnik pencitraan. Pemeriksaan tersebut sangat baik dilakukan pada saat umur kehamilan 18 minggu.

Turut serta dalam Riset
Masih sangat banyak yang belum kita ketahui bagaimana kelainan jantung bawaan terjadi. Kemungkinan besar riset yang akan datang mampu menemukan jawaban atas penyebab kelainan jantung bawaan. Sebagai seorang dewasa yang mengidap kelainan jantung bawaan, Anda dapat menolong untuk meningkatkan pengertian atau memperbaiki cara menangani kelainan dengan ikut secara aktif dalam program riset. Partisipasi Anda akan menolong keluarga Anda dan keluarga lainnya untuk memahami kelainan jantung bawaan yang mereka idap dan seberapa besar kemungkinan kelainan tersebut akan terjadi dalam keluarga. Tanyakan kepada Koselor Genetika tentang riset yang sedang berlangsung sehingga Anda dapat berpartispasi didalamnya.
Anton yang mengidap kelainan jantung bawaan telah dibetulkan lewat pembedahan, ia menikah dengan seorang wanita sehat tanpa kelainan, demikian juga keluarganya. Ia dikarunia Allah SWT dua putri yang cantik. Filusuf Iqbal menuturkan “Do'a akan mengubah taqdir Allah“. Anton berdoa kepada sang Khaliq, dan Sang Khaliq memberi jodoh seorang wanita sehat, dan dua anaknya wanita pula, sehat.
(http://www.americanheart.org
presenter.jhtml?identifier=11083AHA,
Last updated 09/22/09)
Dede Kusmana

Registri Nasional Mencatat Inefisiensi Angiografi Diagnostik

HAMPIR dua-pertiga dari 400.000 pasien yang menjalani angiografi koroner diagnostik elektif pada 601 rumah sakit Amerika Serikat ternyata tidak mengidap penyakit arteri koroner obstruktif.
Ini bukan penggunaan yang efisien atas sumber-sumber layanan kesehatan, dan suatu faktor yang nyata pada kinerja yang buruk ini adalah rendahnya nilai prediktif positif dari metode uji-beban non-invasif untuk iskhemia miokard. Hal ini disampaikan oleh Dr. Manesh R. Patel pada sesi ilmiah tahunan the American Heart Association.
Panduan praktis klinik merekomendasikan pencatatan iskhemia melalui uji beban non-invasif sebelum mempertimbangkan angiografi koroner diagnostik. Hal ini dikerjakan pada 84% kasus pada serial ini, yang diambil dari the American College of Cardiology National Cardiovascular Data Registry. Namun demikian nilai prediktif positif (the positive predictive value) uji non-invasif hanya 41% menurut Dr. Patel dari Duke University, Durham, NC.
Dia melaporkan 397.954 pasien stabil tanpa riwayat sindroma koroner akut atau revaskularisasi koroner yang menjalani angiografi koroner diagnostik selama 2004-2008 dan dimasukkan ke dalam registri nasional komprehensif.
Penyakit arteri koroner obstruktif (coronary artery disease =CAD) dideteksi pada 37,5% pasien yang didasarkan pada setidak-tidaknya stenosis 50% left main artery atau stenosis 70% atau lebih pembuluh darah utama.
Pada pasien dengan obstruksi CAD, 14% memiliki skor rendah risiko Framingham, 59% pada skor moderate risiko Framingham, dan 27% pada risiko tinggi. Diantara pasien-pasien yang ditemukan tidak mengidap CAD signifikan, 39% memiliki risiko rendah skor Framingham, 52% memiliki risiko moderate skor Framingham, dan sisanya memiliki risiko tinggi skor Framingham.
Diantara 69% subyek yang dirujuk untuk angiografi sesudah uji beban positif, 41% terbukti mengidap CAD obstruktif. Dari 12% pasien yang dikirim untuk angiografi diagnostik sesudah uji beban negatif, 28% ditemukan mengidap CAD obstruktif.
Sebanyak total 16% pasien-pasien dalam serial besar ini dirujuk untuk angiografi diagnostik tanpa uji-beban sebelumnya, mungkin karena pada saat evaluasi klinik dokternya meyakini bahwa mereka memiliki kemungkinan tinggi mengidap CAD signifikan. Ternyata pada angiografi, hanya 35% dari kelompok ini terbukti mengidap CAD obstruktif.
Dengan demikian, baik hasil skor risiko Framingham maupun hasil uji-beban bukanlah pegangan yang berguna untuk menentukan siapa yang harus menjalani angiografi diagnostik. Demikian pula keluhan pasien, bukan pegangan yang berguna. Sebagai contoh, 44% pasien yang ditemukan mengidap CAD obstruktif ternyata mengidap angina stabil, meskipun 27% diantaranya tidak. Nyeri dada atipikal, yang dilaporkan oleh 37% pasien yang dirujuk untuk angiografi, ada pada 25% dari mereka yang mengidap CAD obstruktif dan pada 44% yang tidak mengidap CAD obstruktif. Secara kasar 30% dari pasien yang dirujuk untuk angiografi tidak mengalami gejala iskhemia; mereka memiliki kemungkinan yang sama untuk mengidap CAD obstruktif atau tidak.
Penyulit angiografi diagnostik terjadi pada 1,6% kasus, termasuk sebanyak 0,28% untuk penyulit vaskular, 0,12% untuk gagal ginjal, 0,62% untuk perdarahan dan 0,08% untuk stroke.
(MD Consult, News, January 5, 2009)
Cholid T Tjahjono

Pengaruh Usia, Diagnosis, dan Pembedahan Sebelumnya pada Anak dan Dewasa dengan Kelainan Kongenital yang Menjalani Transplantasi Jantung

Survival pada bulan ke 3 paska transplantasi jantung secara bermakna lebih buruk pada pasien dengan penyakit jantung kongenital versus anak-anak dengan kardiomiopati.

Survival jangka panjang pada anak dan dewasa dengan penyakit jantung kongenital jelas semakin bertambah baik seiting dengan kemajuan pembedahan dan terapi medis. Walaupun ada kemajuan ini, sejumlah pasien dengan penyakit jantung kongenital yang kompleks akan sangat memerlukan transplantasi jantung untuk gagal jantung tahap akhir. Kemampuan menangani transplantasi jantung dengan penyakit jantung kongenital kompleks telah menjadi suatu evolusi. Riwayat transplantasi untuk penyakit jantung kongenital pertama kali dilaporkan tahun 1967.
Walaupun penyakit jantung kongenital telah diidentifikasi sebagai faktor irisko untuk satu tahun kehadapan setelah transplantasi.namun penelitian yang mengidentifikasi faktor risiko spesifik akan hasil yang buruk setelah transplantasi untuk penyakit jantung kongenital pada populasi kombinasi dewasa dan anak-anak belum pernah dilakukan.
Lamour dan kawan-kawan melakukan penelitian dengan metoda analisis retrospektif yang menggabungkan data yang berasal dari catatan Pediatric Heart Transplant Study (PHTS) dan The Cardiac Transplant Research Database (CTRD). Populasinya terdiri dari 7.345 pasien berusia < 18 years yang mendapat transplantasi di 35 senter dari Januari 1990 hingga Desember 2002. Populasi PHTS terdiri dari 923 pasien < 18 tahun pada saat terdaftar untuk transplantasi jantung. Penelitian multisenter besar ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil setelah transplantasi jantung pada 488 anak-anak > 6 bulan dan juga orang dewasa dan mengidentifikasi faktor risiko untuk mortalitas fase dini dan konstan.
Sebanyak 366 pasien dengan usia < 6 bulan dikeluarkan dari penelitian ini. Sisanya yang 20%, beberapa diantaranya terdaftar untuk transplantasi jantung dan menjalani terapi paliatif sementara menunggu organ donor. Keunikan kelompok bayi ini dianggap tidak digeneralisir pada keseluruhan kohort pediatrik dan dewasa dengan penyakit jantung kongenital yang menjalani transplantasi.
Hasilnya, ujar Lamour dan kawan-kawan, pasien dengan diagnosis penyakit jantung kongenital yang menjalani transplantasi jantung berhasil diidentifikasi. Variabel donor serta resipien berganda juga diuji dalam mengidentifikasi faktor risiko untuk survival setelah transplantasi. Variabel penerima termasuk diagnosis penyakit jantung kongenital, variabel donor termasuk data EKG dan angiografik, penyebab kematian, dukungan inotropik, dan ketidaksesuaian cytomegalovirus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Kaplan-Meier survival, model hazard nonparametrik dan parametrik. Survival dibandingkan diantara pasien dengan penyakit jantung kongenital dan juga kardiomiopati usia < 18 dan > 18 tahun. Faktor risiko untuk kematian diantara pasien dengan penyakit jantung kongenital diidentifikasi dengan menggunakan analisis multivariat dalam ranah hazard parametrik.
Lamour dan kawan-kawan lebih jauh melaporkan bahwa median usia pada transplantasi jantung adalah 12,4 tahun. Diagnosis primer termasuk ventrikel tunggal (36%), d-transposition arteri besar (12%), lesi pada saluran keluar ventrikel kanan (10%), l-transposition arteri besar (8%), defek ventrikular/atrial septal (8%), obstruksi saluran keluar ventrikel kiri (8%), dan yang lain (18%). Sebanyak 93% pasien sedikitnya pernah mengalami satu kali operasi sebelum transplantasi jantung. Survival pada bulan ke 3 paska transplantasi jantung secara bermakna lebih buruk pada pasien dengan penyakit jantung kongenital versus anak-anak dengan kardiomiopati, tapi tidak pada orang dewasa dengan kardiomiopati (berturut-turut 86%, 94%, and 91%).
Mereka juga melaporkan bahwa tidak ada perbedaan dalam kondisi survival 3 bulan diantara 3 kelompok. Sementara survival lima tahun mencapai 80%. Fakto risiko untuk kematian pertama pada penerima organ dengan usia yang lebih tua, donor organ yang berusia lebih tua dengan waktu iskemik yang lebih lama, dan pra transplantasi jantung Fontan. Survival yang diramalkan pada pasien Fontan lebih rendah (77% dan 70% pada 1 dan 5 tahun) versus pasien non-Fontan (88% and 81% pada 1 dan 5 tahun). Faktor risiko untuk motalitas fase konstan termasuk usia penerima yang lebih muda, gradient transpulmonal yang lebih tinggi, ketidaksesuaian cytomegalovirus pada transplantasi jantung.
Dalam analisis yang dilakukan oleh Lamour dan kawan-kawan, survival kondisonal pada pasien yang berhasil selamat untuk 3 bulan pertama setelah transplantasi jantung tidak berbeda diantara seluruh kelompok, menunjukkan peningkatan risiko mortalitas yang kelihatannya berhubungan dengan masalah peri-transplantasi.
Beberapa pusat penelitian telah mengidentifikasi tak ada peningkatan risiko dini setelah transplantasi untuk penyakit jantung kongenital dibanding dengan kondisi lain. Namun, sayangnya kekuatan analisis ini dibatasi oleh jumlah sampel yang lebih kecil.
(J Am Coll Cardiol 2009; 54: 160-5)
Mahdi J