TANGGAL 16 November merupakan hari yang bersejarah bagi Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI), karena pada tanggal tersebut 54 tahun yang lalu PERKI dilahirkan. Adalah dr. Gan Tjong Bing, seorang Internist Cardiologist lulusan Belanda yang berfikiran visioner, mendeklarasikan berdirinya PERKI. Ia sendiri menjabat sebagai sekretaris Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) yang didirikan beberapa jam lebih awal. Dalam pidatonya dengan jujur ia mengatakan bahwa, ilmu kardiologi demikian luasnya, dan tak mungkin dikuasai oleh seorang yang menyandang brevet Internist.
Sejak itulah secara konsisten ia mengembangkan profesi kardiologi. Pada tahun 1966 dibantu oleh dr. Ong Kee Hian, ia menerbitkan buku berjudul: PENJAKIT DJANTUNG. Buku yang diterbitkan oleh Yajasan Kardiologi Indonesia pada 1967 itu, kini melengkapi koleksi The National Library of Australia. Memang, saat itu penyakit jantung reumatik paling menonjol, tapi belajar dari pengalamannya di Europa, diprediksikan prevalensi penyakit jantung koroner akan meningkat cepat di Indonesia. Ia menyadari, dengan penduduk yang begitu besar, Indonesia pasti akan memerlukan banyak ahli jantung dan kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secepatnya. Terobosan harus dibuat untuk mengantisipasi kebutuhan ahli jantung yang siap melayani masyarakat Indonesia yang demografinya tidak sesederhana negeri Belanda.
Perjuangan untuk mengembangkan pendidikan ahli jantung memang bukan hal yang mudah, hambatan demi hambatan harus ia lalui. Profesi yang baru ini pun tak menjanjikan jaminan hidup yang layak bagi dirinya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menerima tawaran kembali ke negeri kincir angin. Meskipun demikian, dr. Gan Tjong Bing telah berbuat sesuatu untuk Indonesia. Jasanya selalu dikenang oleh lima ratusan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, yang kini tersebar di seluruh Indonesia.
Perjuangan mengembangkan pelayanan dan profesi kardiologi kemudian diteruskan oleh dr. Sukaman, didukung oleh mitra kerjanya seorang ahli bedah jantung dr. Iwan Santoso. Beberapa ahli jantung muda (dr. Ranti, dr. Luthfi, dr. Tagor, dr. Asikin Hanafiah dan dr. Lily Rilantono) ikut mendampingi perjuangannya di kala itu. Dr. Sukaman adalah penggagas berdirinya Asean Federation of Cardiology, oleh karena itu SUKAMAN LECTURE selalu menghiasi acara ilmiah organisasi kardiologi negara-negara anggota Asean yang jumlahnya terus bertambah. Perannya dalam mendirikan Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dan Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita juga sangat dominan. Konsep pelayanan kardiovaskuler holistik yang berwawasan nasional sudah ada dibenaknya, oleh karena itu rumah sakit ini disebut juga Pusat Kesehatan Jantung Nasional (PKJN).
Dr. Sukaman memang seorang pejuang tanpa pamrih. Pembawaannya tenang dan berwibawa, tak banyak bicara, tetapi hangat dalam persahabatan.”Ketika itu aku harus naik kereta api ke Jogya untuk bergabung dengan suami yang sedang berjuang, dia yang mengantarkan aku ke stasiun dengan menggendong Niesye anakku yang masih balita. Kereta begitu penuh, kami harus berdesak-desakan untuk mencapai kursi yang sudah dipesan. Aku menyuruhnya segera turun, karena kereta sudah hampir jalan, namun dengan tenang ia menolak. Don’t worry……, aku bisa turun di Bekasi katanya, ketika kereta mulai berjalan. Sukaman memang seorang sahabat yang setia”, kenang ibu Eri Sudewo istri sahabat dr. Sukaman dalam perjuangan dan kolega yang sama-sama belajar di Swedia.
Kini, apa yang dikatakan oleh dr. Gan Tjong Bing memang terasa sekali kebenarannya. Ilmu dan teknologi di bidang kardiovaskuler maju begitu pesat, penyakitnya pun menjadi top sebagai penyebab kematian. Subspesialisasi kardiovaskuler berkembang, sehingga tak seluruhnya dapat dikuasai secara mendalam oleh seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP). Subspesialisasi ini memerlukan tambahan pendidikan untuk mencapai kepakaran yang sejati. Ada delapan bidang subspesialisasi yang berkembang di Indonesia saat ini: intervensi, aritmia dan elektrofisiologi, klinikal dan perawatan intensif kardiovaskuler, ekokardiografi, pencitraan kardiovaskuler, vaskuler, penyakit jantung bawaan dan rehabilitasi jantung. Masih ada subspesialisasi lain yang sudah berkembang di negara-negara maju namun belum dikembangkan di Indonesia.
Masyarakat mulai merasakan, betapa pentingnya kehadiran seorang SpJP di wilayahnya, mereka semakin memahami bahwa kematian akibat serangan jantung bisa terjadi tiba-tiba di mana saja, tanpa pandang sosial ekonomi dan usia. Kematian mendadak selebriti muda seperti Adji Masaid membuat praktek SpJP mendadak ramai oleh kedatangan kelompok muda usia yang dibayangi ketakutan dan ingin check up jantung.
Pola makan sehat seperti makan buah dan sayur lima kali sehari dan banyak makan makanan berserat, kurang dipahami oleh masyarakat kita. Mereka mengira sayur yang dibubuhi santan kental, juga merupakan sayur yang sehat untuk disantap. Belum lagi makanan cepat saji resepasing, yang tumbuh menjamur di kota-kota besar. Olah raga 30 menit atau jalan kaki 3 km setiap hari, hanya taat diikuti oleh sebagian kecil masyarakat. ”Harus berangkat pagi sekali supaya tak terhambat kemacetan lalu lintas, dan sampai rumah sudah larut malam”, itulah alasan klasik yang sering kita dengar. Kondisi-kondisi seperti ini membuat prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas semakin meningkat.
Obesitas sentral berhubungan erat dengan sindroma metabolik yang ditandai hipertensi, dislipidemia dan diabetes mellitus, kelainan-kelainan yang sangat berperan dalam proses atherosklerosis. Sayangnya, tak banyak kolega yang menyediakan alat pengukur berat badan, tinggi badan dan lingkar perut di tempat prakteknya. Kawasan Sulawesi Utara – Manado dan sekitarnya adalah daerah dengan prevalensi obesitas sentral tertinggi di Indonesia (lingkar perut >80 cm pada perempuan dan > 90 cm pada laki-laki). Upaya kolega kita memberikan ceramah kesehatan jantung dan pembuluh darah di pemerintah daerah, ibu-ibu Dharma Wanita bahkan di gereja-gereja belum cukup. Sekolah-sekolah harus juga dijangkau, karena di sana seringkali obesitas sudah mulai terjadi. Belum lagi kebiasaan merokok yang sulit dicegah pada sebagian besar pria Indonesia, terlebih-lebih dengan maraknya promosi industri rokok yang bermodal besar. Rupa-rupanya setoran cukai rokok yang mencapai 50 triliun rupiah membuat pemerintah enggan untuk menanda tangani konvensi anti tembakau.
Pelatihan khusus untuk petugas penyuluh kesehatan tentang kesehatan kardiovaskuler perlu digalakan, bukan saja di Manado, tetapi juga di wilayah Indonesia lainnya. Tentu harus ada kerjasama yang baik antara PERKI cabang/komisariat dengan pemerintah daerah dan YJI setempat. Karena strok juga mempunyai latar belakang penyebab yang sama, maka gerakan pencegahan penyakit jantung dan pembuluh darah perlu dilaksanakan bersama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (PERDOSSI) dan Yayasan Strok Indonesia di wilayah masing-masing. Di tingkat pusat, PERKI dan YJI menginisiasi pembentukan Aliansi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Non Communicable Disease/NCD), dimana kanker, penyakit paru obstruktif kronik dan diabetes merupakan sasaran utamanya selain penyakit kardiovaskuler. Berbagai organisasi profesi kedokteran dan lembaga swadaya masyarakat terkait bergabung, bersama menyatukan langkah. Upaya pencegahan dan pengendalian NCD memang terkait satu sama lain, kolaborasi diharapkan akan memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Dewasa ini pencegahan dan pengendalian NCD memang bukan prioritas, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Akibatnya, anggaran yang disediakan untuk program ini sangat kecil, karena tidak termasuk dalam target Millenium Development Goals (MDGs), seperti HIV. Padahal para ahli kesehatan masyarakat menyadari, bahwa sekitar dua pertiga kematian dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular. Berbeda dengan negara-negara maju, mereka faham sekali betapa besar kerugian yang diderita oleh negara akibat kenaikan prevalensi penyakit tidak menular. Bukan saja karena ongkos pengobatannya sangat besar, tetapi juga karena kerugian akibat hilangnya produktifitas pasien yang umumnya masih menjadi tulang punggung keluarga. Betapa tidak, seorang pasien yang harus menjalani bedah pintas koroner menghabiskan sekitar 60–80 juta rupiah, pemasangan 1 stent 40 juta, 2 stent 60 juta, 3 stent 80 juta. Hal yang sama dengan pengobatan kanker, kesemuanya memerlukan obat dan peralatan medis import yang mahal harganya. Lalu, pantaskah barang-barang penyambung nyawa itu dianggap sebagai barang mewah yang harus dikenai pajak tinggi?
Prevalesi NCD di negara berkembang terus meningkat, tetapi di negara maju justru turun. Penurunan ini terjadi berkat upaya pencegahan dan pengendalian NCD yang sangat agresif, didukung oleh anggaran yang memadai. WHO meramalkan bahwa 80% kematian akibat NCD akan terjadi di negara-negara berkembang. Tentu kemajuan terapi ikut berperan, intervensi dini pada pasien penyakit jantung koroner dan revaskularisasi cepat ketika terjadi infark miokard akut berhasil mengurangi angka kematian, menurunkan masa rawat pasien dan mengurangi komplikasi yang memerlukan penangan mahal dan kronik. Pengorganisasian jejaring yang kuat, sangat menentukan keberhasilan ini. Kolaborasi antara pelayanan primer, sekunder dan tersier sudah terstruktur; pelayanan pra rumah sakit termasuk paramedik dan sarananya dipersiapkan sungguh-sungguh, sehingga layanan ini berjalan sesuai protokol. Kesemuanya dapat terlaksana karena para dokter SpJP memahami benar, bahwa pada hakekatnya keberadaan mereka adalah untuk menurunkan prevalensi penyakit kardiovaskuler, mengupayakan agar pasien dengan penyakit kardiovaskuler dapat dideteksi dini dan bagi yang mengalami serangan sindroma koroner akut mendapat penanganan awal sebagaimana mestinya. Membagi ilmu dan menyerahkan sebagian kewenangannya kepada dokter di pelayanan primer adalah suatu keniscayaan.
Kemenangan perjuangan untuk memasukkan NCD ke dalam target MDGs telah dicapai pada tanggal 19-20 September 2011 yang lalu, dalam United Nation summit di New York. Presiden dan utusan berbagai negara anggota PBB secara serentak memberikan dukungan untuk memasukkan NCD ke dalam target post MDGs 2015. Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri Kesehatan, masing-masing beserta stafnya. President Indonesian Heart Association yang juga menjadi Ketua Aliansi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular ikut hadir di sana. Menteri Luar Negeri Marty M. Natalegawa yang mewakili Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menyatakan: “non-communicable diseases were affecting mostly working-age adults, eroding the most productive generation in the world today, thus reducing the gross domestic product of low to middle-income countries by as much as 5 per cent. “This is one reason why poverty is so wide-spread,” he said. “In our view, prevention is the key to resolving it. Prevention is and will be our priority.” Akhirnya, semua negara serentak menyatakan bahwa, NCD bukan hanya penting untuk kesehatan, tetapi juga untuk kelangsungan perkembangan suatu bangsa. Oleh karena itu, prevensi NCD mutlak diperlukan dan harus mendapat prioritas.
Ada dua kewajiban yang kini harus kita laksanakan bersama. Pertama mensosialisasikan deklarasi yang telah disepakati di UN summit itu, kepada seluruh lapisan masyarakat, para akademisi, organisasi profesi, media massa dan tentu saja pemerintah di berbagai lini. Kedua, mendorong terealisasinya empat hal yang telah disepakati, yaitu: terwujudnya kerangka pemantauan global terhadap keberhasilan pencapaian target global dan indikator nasional NCD serta faktor risikonya - pada akhir tahun 2012; persiapan langkah-langkah kerjasama multisektoral - selesai pada akhir tahun 2012; pemantapan kebijakan multisektoral dan perencanaan nasional pencegahan dan pengobatan NCD serta implementasinya - pada tahun 2013; persiapan membuat laporan tentang komitmen terhadap pelaksanaan deklarasi sebagai dasar evaluasi yang menyeluruh - pada tahun 2014. Banyak hal yang harus kita kerjakan dalam upaya pencegahan NCD, khususnya pencegahan terhadap penyakit kardiovaskuler; ini memerlukan kerja keras kita semua.
Pada tanggal 28 Oktober 2011 DPR mengesahkan Undang-undang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS). Setelah 66 tahun merdeka, akhirnya Pemerintah melaksanakan amanat Pasal 28 ayat (3) dan 34 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Dengan disahkannya UU BPJS, maka per 1 Januari 2014 nanti setiap warga negara Indonesia mempunyai jaminan asuransi kesehatan. Kemanapun mereka berobat asalkan itu rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta yang bekerjasama dengan PT Askes, tidak akan dikenakan biaya. Tentu bagi yang mempunyai penghasilan tetap dan layak, akan dikenakan kewajiban membayar premi seperti halnya pegawai negeri, sedangkan bagi yang tak mampu Pemerintah yang akan menanggungnya. PT Askes sebagai provider jasa asuransi kesehatan pegawai negeri dipercaya menjadi provider asuransi kesehatan nasional. Untuk itu, PT Askes akan berubah bentuk dari perseroan terbatas dibawah BUMN menjadi badan hukum publik yang mengelola dana amanat di bawah BPJS.
PT Askes sadar bahwa beban biaya pelayanan kardiovaskular akan sangat besar dan mendominasi biaya kesehatan. Oleh karena itu, program promosi dan prevensi, deteksi dini dan sistim rujukan pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif kini mereka persiapkan. Khusus untuk bidang kardiovaskuler PERKI membantu sepenuhnya. Film pendek (filler) prevensi penyakit kardiovaskuler dari PT Askes akan segera beredar, dibintangi oleh Prof. Budi Setianto dan artis Veliza.
Lalu, cukup layakkah tarif pelayanan yang akan dibayarkan oleh PT Askes? Center for Casemix Kementerian Kesehatan telah menghasilkan tarif-tarif layanan yang akan diberlakukan sebagai tarif untuk asuransi kesehatan nasional. Tarif dikemas dalam paket-paket yang dikelompokkan sesuai pengelompokan Ina-CBG (Indonesian Case Base Group), ciptaan United Nation University yang ada di Kuala Lumpur. Mencermati rendahnya tarif yang dihasilkan oleh center for Casemix, PERKI meminta penyesuaian (ajustment). Semoga upaya ini berhasil, sehingga pelayanan kardiovaskuler di daerah dapat maju pesat, dan dokter SpJP serta dokter spesialis Bedah Toraks Kardiovaskuler (SpBTKV) lebih bergairah untuk bekerja di daerah.
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA
Ketua PP PERKI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar