Gambar 1. Distribusi kematian akibat penyakit kardioserebrovaskular: serangan jantung, stroke dan penyakit kardiovaskular lain, pada laki-laki (A) dan perempuan (B).
(dikutip dari: Causes of death 2008, World Health Organization)
Salah satu proses patologi yang mendasari PKSV adalah atherosklerosis. Proses ini dimulai sejak masa kanak-kanak dan dipacu pembentukannya oleh berbagai faktor risiko, yaitu: merokok, kurang aktifitas fisik, diet yang tidak sehat, hipertensi, diabetes, dislipidemia, obesitas, konsumsi alkohol, kemiskinan, status pendidikan yang rendah, usia tua, gender laki-laki, unsur genetik dan faktor psikologis.
Hipertensi merupakan faktor risiko PKSV yang sangat penting dan menjadi salah satu penyebab kematian prematur. Diperkirakan saat ini ada sekitar 970 juta penderita hipertensi di dunia, tersebar 330 juta di negara berpenghasilan tinggi dan 640 juta di negara berpenghasilan rendah-sedang (negara berkembang). Menurut Riset Dasar Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2008), di Indonesia prevalensi hipertensi usia diatas 18 tahun mencapai 29%, dan hanya seperempat bagian saja yang berobat teratur.
Menurut ramalan World Health Organization (WHO) pada tahun 2025 nanti akan ada 1,56 milliar penderita hipertensi. Dalam buku Global Atlas on Cardiovascular Disease Prevention and Control (2011) WHO melaporkan bahwa, hipertensi diperkirakan mengakibatkan 7,5 juta kematian di seluruh dunia (12,8% dari seluruh kematian) dan menyebabkan 57 juta DALYS atau 3,7% dari DALYS total.
Selain hipertrofi ventrikel kiri yang berlanjut dengan kegagalan jantung, hipertensi juga dapat mengakibatkan komplikasi vaskular yang fatal seperti diseksi aorta dan penyakit jantung koroner. Hipertensi dilaporkan menjadi penyebab 50% stroke iskemik dan sebagian besar stroke hemoragik.
Akhir-akhir ini semakin besar perhatian para klinisi terhadap sindroma kardiorenal (cardiorenal syndrome/CRS), yaitu kondisi di mana disfungsi jantung dan ginjal mengakibatkan peningkatan kegagalan masing-masing organ tersebut dan membuat prognosis pasien lebih buruk. Pasien dengan gagal jantung akut 27-45% mengalami penurunan akut fungsi ginjal. Semakin banyaknya populasi usia tua dan prosedur invasif terhadap berbagai kasus penyakit jantung yang berhasil memperpanjang hidup pasien, menambah jumlah kasus dengan kombinasi gagal jantung dan gagal ginjal.
Pasien CRS diklasifikasikan dalam 5 kelompok, yaitu: tipe 1–gagal jantung akut yang menimbulkan disfungsi ginjal, tipe 2–gagal jantung kongestif/kronis yang menimbulkan perburukan fungsi ginjal, tipe 3–gangguan ginjal akut mengakibatkan disfungsi jantung, tipe 4–penyakit ginjal kronis mengakibatkan gagal jantung, dan tipe 5–kondisi sistemik mengakibatkan disfungsi jantung dan ginjal.
Penyakit jantung hipertensi dan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang normal, sering dijumpai pada pasien dengan penyakit ginjal stadium lanjut. Salah satu studi membuktikan bahwa pasien dengan creatinine clearance < 24 mL/menit, 45% mengalami hipertrofi ventrikel kiri secara ekhokardiografis. Pasien dengan gangguan renal yang disertai hipertrofi ventrikel kiri, mengalami kejadian koroner dan uremia lebih tinggi dibanding pasien dengan tebal ventrikel kiri yang normal; pasien demikian juga cenderung mengalami gagal jantung. Insufisiensi kardiorenal bukan sekedar suatu asosiasi penyakit jantung dengan penyakit ginjal saja. Hipertensi menimbulkan kerusakan aterosklerosis yang luas, dan diabetes mellitus merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian gagal jantung dan gagal ginjal. Pasien CRS sangat dipengaruhi oleh interaksi neurohumoral, hemodinamik dan berbagai faktor lain yang masih terus diteliti.
Pada pasien gagal jantung, disfungsi renal dapat terjadi akibat penyakit ginjal, kelainan hemodinamik atau keduanya. Penurunan curah jantung dan hipotensi akibat pompa jantung yang buruk, mengaktivasi neurohumoral yang menimbulkan retensi cairan dan vasokontriksi. Tetapi proses lain yang lebih kompleks seperti aktivasi sistim renin-angiotensin, nitric oxide, spesies oxygen reaktif, inflamasi, anemia dan sistim saraf simpatis juga harus diperhitungkan. Studi terakhir menemukan keterkaitan peningkatan tekanan intra-abdominal dengan penurunan laju filtrasi glomerular. Konsep bahwa kongesti vena dan bukan aliran darah arterial yang menjadi mediator kegagalan kardiorenal (Gambar 2) semakin banyak mendapat dukungan.
Mencermati hal-hal tersebut diatas, maka kita harus sadar bahwa apabila upaya prevensi dan promosi PKSV tidak digarap dengan serius, akan terjadi lonjakan kasus PKSV yang sangat menakutkan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Tentu saja biaya yang harus dikeluarkan juga akan sangat membebani biaya kesehatan dan berpotensi menambah kemiskinan di negara yang sudah miskin.
Oleh sebab itu, dalam United Nation Summit di New York September 2011 yang lalu, bersama-sama negara lain, Indonesia ikut memperjuangkan agar Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Ketua PERKI yang juga Ketua Aliansi Nasional Pencegahan dan Pengendalian PTM ikut bergabung sebagai delegasi Indonesia. Perjuangan ini tidak sia-sia, PTM diterima sebagai target MDGs, dan akan menjadi prioritas kesehatan tiap negara.
Inisiasi PERKI untuk membentuk Aliansi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular memang sangat strategis, sebab penyakit jantung dan pembuluh darah, otak dan ginjal saling terkait sejak awal hingga penanganan akhir yang multidisiplin. Kolaborasi dokter spesialis jantung, spesialis saraf, spesialis penyakit dalam yang mendalami ginjal dan diabetes mutlak diperlukan. Kolaborasi ini menyangkut upaya prevensi primer, sekunder dan tersier, serta tatalaksana kasus kardio-serebro-renal yang kompleks.
Ketua PP PERKI
Dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP(K), FIHA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar