Kematian seseorang yang berarti bagi seorang manusia umumnya akan mengakibatkan stress psikologis yang akut. Walau seiring berjalannya waktu mereka akan beradaptasi, namun terdapat peningkatan risiko mortalitas yang tiba-tiba tinggi pada hari dan minggu – minggu pertama pasca kehilangan. Namun hubungan sebab akibat antara kedua hal ini belum pernah diteliti dengan sistematis. Sebuah jurnal AHA terbaru diluncurkan 9 Januari 2012 lalu. Yang menarik dari jurnal ini adalah karena jurnal ini meneliti mengenai peningkatan risiko infark miokard pada pasien dalam beberapa hari setelah kematian seseorang yang berarti dalam kehidupannya.
Penelitian menggunakan metode case-crossover, varian dari kasus-kontrol. Studi ini sering dipakai jika ingin meneliti hubungan antara sebuah pajanan yang transien (dalam hal ini kematian seseorang yang disayangi) yang bersifat perubahan drastis yang mempengaruhi kejadian akut. (dalam hal ini infark miokard non-fatal). Penelitian ini membandingkan laporan subyek yang kehilangan seseorang yang disayangi beberapa hari sebelum onset MI sebagai kasus, dan laporan subyek yang sama periode 1 – 6 bulan sebelum onset MI sebagai kontrol. Metode self-matching ini mengeliminasi berbagai confounding sebab kasus dan kontrol adalah subyek yang sama dalam faktor risiko, aktivitas fisik dan obat-obatan yang dikonsumsi. Periode kontrol dipilih waktu 1 – 6 bulan (31 – 180 hari sebelum onset MI) dimaksudkan untuk mengurangi recall bias, karena pada periode ini subyek dianggap masih dapat mengingat dan melaporkan dengan jelas jika ia mengalami kehilangan seseorang yang disayangi.
Dari 1985 peserta, 270 orang melaporkan kematian seseorang yang disayangi dalam 6 bulan sebelum onset MI. Dari 270 orang tersebut, 19 orang mengalami MI dalam kurun waktu 24 jam setelah kehilangan, 7 orang dalam 24-48 jam, 5 orang dalam 48 – 72 jam, 21 orang dalam 4-7 hari setelah kehilangan. Dari 19 orang yang mengalami MI dalam 24 jam, dikatakan orang yang kehilangan tersebut bersifat moderately dan extremely meaningful.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa incidence rate ratio (IRR) terjadi MI didapatkan paling tinggi pada kurun waktu 24 jam setelah kehilangan yaitu 21.1 (95% CI 13.1 – 34.1). IRR menurun secara progresif seiring bertambahnya hari setelah kehilangan orang yang disayangi, menjadi 5.8 pada hari ke-7 (95% CI 3.7 – 9.2), tapi peningkatan yang signifikan tetap ada selama kurang lebih satu bulan setelah kematian orang yang disayangi.
Studi ini juga menunjukkan bahwa pria lebih rapuh untuk terjadi penurunan kualitas kesehatan daripada wanita terkait kehilangan orang yang disayangi. Begitu pula kaum muda ternyata lebih rapuh daripada kaum yang lebih tua. Risiko juga dilaporkan meningkat pada mereka yang merasakan amarah, anxietas, atau depresi sekitar 2 jam sebelum onset (semua p < 0.001)
Karena hasil penelitian menunjukkan bahwa asosiasi terkuat antara kehilangan dan onset MI adalah dalam hitungan hari setelah kehilangan, dapat disimpulkan bahwa onset MI bukanlah diakibatkan konsumsi obat kardiovaskular yang terlewat. Tidak juga ada yang melaporkan lupa untuk mengonsumsi beta-blocker yang dapat menyebabkan rebound dari hipertensi.
Stress emosional atau fisik dapat menyebabkan gejala – gejala yang mirip dengan infark miokard akut, seperti nyeri dada, elevasi segmen ST, dan peningkatan CK dan troponin. Sindrom yang bernama stress cardiomyopathy atau Takotsubo cardiomyopathy atau broken heart syndrome ini menyebabkan disfungsi ventrikel kiri yang berat namun bersifat transien dan akan pulih dalam beberapa hari sampai minggu. Tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa kasus infark miokard dalam penelitian ini mungkin sebenarnya adalah Takotsubo cardiomyopathy.
Studi ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, karena hanya 19 dari 270 orang yang melaporkan onset MI terjadi 24 jam setelah kehilangan orang yang disayangi, maka tidak dapat dievaluasi apakah hubungan tertentu antara yang meninggal dan yang ditinggalkan dapat menyebabkan variasi dalam hasil penelitian. Kedua, dapat terjadi overestimasi dari IRR karena subyek yang mengalami pajanan dalam periode kasus akan bercerita lebih detil dan mengeluarkan emosinya lebih daripada pajanan yang terjadi pada periode kontrol. Ketiga, beberapa subyek mungkin saja salah melaporkan detil waktu terjadinya kehilangan, namun kehilangan seseorang yang disayangi adalah sebuah kejadian yang jarang terlupakan, sehingga kemungkinan besar detil waktu yang dilaporkan memang benar adanya. Keempat, karena studi case-crossover menggunakan subyek sebagai kontrol-nya sendiri, maka perancu faktor risiko yang bersifat kronik dapat disingkirkan, namun kita tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya pemicu lain yang terjadi bersamaan dengan kematian seseorang yang disayangi.
(Mostofsky E, et al. http://circ.ahajournals.org/content/early/2012/01/09/CIRCULATIONAHA.111.061770)
Dwita RD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar