DISKUSI terang-terangan mengenai aktivitas seksual pada wanita post MI hingga kini masih belum terlalu banyak, dan beberapa di antaranya masih memberikan hasil yang membingungkan untuk para pasien. Para pasien wanita ini memiliki ketakutan untuk melanjutkan aktivitas seksual post MI, dan mereka sangat menginginkan penjelasan langsung dari dokter mereka, mengenai kapan mereka dapat memulai kembali aktivitas seksual dan apakah aktivitas itu tidak berbahaya untuk jantung mereka.
Menurut Emily Abramsohn untuk heartwire, “sebenarnya ketakutan ini dirasakan baik pria dan wanita. Ketakutan akan mengalami serangan jantung kembali saat aktivitas seksual. Namun wanita juga menunjukkan motivasi mereka untuk kembali ke aktivitas seksual mereka layaknya orang normal dan tidak distigma sebagai pasien jantung.”
Dari semua wanita yang diwawancara, mayoritas memulai aktivitas seksual lagi sekitar 4 minggu post MI, walaupun mereka tetap dibayangi rasa takut. Dalam waktu 6 bulan, hanya satu orang yang tidak aktif secara seksual.
Studi ini dipublikasikan pada 24 Juli 2013 di Journal of the American Heart Association. Abramsohn, bersama Dr. Stacy Lindau (University of Chicago), mewawancarai 17 wanita dengan satu partner seksual dalam Translational Research Investigating Underlying Disparities in Acute Myocardial Infarction Patients’ Health Status (TRIUMPH) registry. Wawancara dilakukan untuk memberikan pengertian yang lebih baik mengenai aktivitas seksual post MI.
Baik AHA (American Heart Association), ACC (American College of Cardiology), dan ESC (European Society of Cardiology) merekomendasikan kepada para dokter untuk memberikan konseling kepada pasien mereka akan kemampuan untuk melanjutkan kembali aktivitas seksual mereka.
AHA menyatakan, pada pasien yang kondisinya cukup stabil, aktivitas seksual dapat dimulai sekitar 10 hari post MI. Dalam sebuah jurnal yang dipublikasikan tahun 2012, AHA menyatakan bahwa aktivitas seksual aman untuk mayoritas pasien, dan dokter sebaiknya mengupayakan diskusi yang baik seputar hal ini dengan pasien. Menurut AHA kembali, yang perlu mendapat perhatian adalah pasien dengan kondisi yang tidak stabil atau gejala berat. Pasien ini harus distabilisasi terlebih dahulu dengan pengobatan, sebelum dapat melakukan aktivitas seksual.
Abrahmsohn mengatakan, walaupun terdapat rekomendasi AHA dan rekomendasi serupa lainnya dari ESC, dari studi ini ditemukan bahwa diskusi antara para pasien wanita dengan dokter tersebut dirasa oleh pasien samar-samar atau membingungkan.
Dokter-dokter ini mungkin merasa ragu untuk membahas topik seputar aktivitas seksual karena mereka bingung harus merujuk kemana jika terdapat keluhan. University of Chicago, sebagai contohnya, memiliki Program in Integrative Sexual Medicine for Women and Girls with Cancer, yang memfokuskan pada identfikasi dan pengobatan disfungsi seksual pada wanita dengan kanker. Program seperti ini mungkin tidak terdapat pada pasien wanita khusus berpenyakit jantung, atau mungkin para dokter yang tidak menyadari terdapat program-program rehabilitasi jantung di sekitar mereka, di mana program rehabilitasi itu dapat mencakup isu seputar aktivitas seksual pasca MI.
Dalam jurnal TRIUMPH sebelumnya, sebuah analisis kualitatif, salah satu predictor hilangnya aktivitas seksual post MI ternyata adalah sangat kurangnya konseling dari dokter. Hilangnya aktivitas seksual didefinisikan sebagai aktivitas yang lebih jarang atau tidak sama sekali pada wanita yang sebelumnya aktif secara seksual. Tujuh belas wanita dalam analisis itu menganggap bahwa cardiologist adalah anggota tim medis yang paling penting untuk memberikan konseling pada pasien seputar melanjutkan kembali aktivitas seksual mereka post MI.
Banyak pasien yang menganggap bahwa cardiologist-lah yang seharusnya memulai pembicaraan seputar aktivitas seksual post MI ini karena mereka menganggap cardiologist lah yang paling mengerti tentang kesehatan jantung. Ini adalah sebuah catatan penting bagi seorang cardiologist. Membuka pembicaraan dan memberikan informasi mengenai keamanan kembali ke kehidupan seksual, seperti level exertion yang jantung mereka dapat pikul, bagi pasien wanit post MI sudah sangat berarti penting.
Dwita Rian Desandri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar