WORKSHOP 22nd Asmiha, tanggal 4 April 2013, di Ritz Carlton, tentang gagal jantung dengan tiga pembicara, dr Nani Hersunarti SpJP(K), Dr dr Bambang Budi Siswanto SpJP(K) dan dr Erwinanto SpJP. Mereka membicarakan mengenai resistensi diuretik, pemberian ventilasi non invasif pada gagal jantung akut dan sindroma kardiorenal.
Dr Nani Hersunarti SpJP(K), memulai persentasinya dengan prevalensi angka kejadian gagal jantung dekompensasi akut (ADHF) yang melebihi 1 juta pasien perawatan dan menghabiskan 12 Milyar setiap tahunnya, sementara di Indonesia, didapatkan sekitar 1.687 kasus ADHF setiap tahunnya dan menyumbangkan mortalitas sebesar 6,7%.
Pasien ADHF yang datang ke RS memiliki gejala volume overload dan kongesti dengan hasil keluaran yang buruk. Diperlukan suatu peran diuretik untuk mengatasinya. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai dan mempertahankan kondisi euvolemia dengan dosis yang relatif kecil.
Perkumpulan gagal jantung Amerika merekomendasikan diuretik loop untuk diberikan pada pasien tersebut. Furosemid dapat diberikan 20-40 mg, 1-2 kali pemberian IV, dengan dosis maksimal 600 mg. Jika terdapat resistensi dapat diberikan kombinasi dengan HCT 1-2 x 25 mg dengan dosis maksimal 200 mg.
Resistensi diuretik sampai saat ini belum terdefinisi dengan baik, ditandai dengan edema perifer yang masih nampak walau telah diberikan dosis diuretik loop yang adekuat. Biasanya terdapat pada 30% pasien advance heart failure. Dapat juga didefinisikan sebagai kondisi dimana diuretik gagal mengontrol retensi cairan dan garam walau telah diberikan dosis yang tepat. Atau dapat dikatakan tetap terdapat kongesti paru persisten dengan atau tanpa perburukan fungsi ginjal meskipun telah diberikan diuresis.
Sehingga dapat dikatakan resistensi diuretik diakibatkan oleh karena penurunan absorbsi diuretik akibat edema intestinal, kurangnya sekresi diuretik pada lumen tubulus dan adanya retensi garam post diuretik.
Adapun penanganannya berupa penilaian status volum pasien yang dapat dilihat dari JVP, edem perifer, pemeriksaan paru, abdomen, liver. Kemudian dapat kita nilai compliance pasien dari penilaian pengukuran respon urin terhadapa diuretik. Restriksi carian dan natrium, diet rendah garam < 2 gram/hari, restriksi cairan 1-1,5 liter/hari dan pembatasan penggunaan NSAIDs.
Selain itu dapat dilakukan penyesuaian dosis diuretik, dengan cara dinaikan dosis diuretik ataupun interval pemberiannya dapat diseringkan, juga diberikan secara kontinu (3 mg / jam, namun seringkali dapat mencapai dosis 10-20 mg/ hari). Dosis pemberian dapat diberikan 2,5 kali dari dosis oral. Dosis diuretik bolus mungkin dapat dihubungkan dengan peningkatan resistensi diuretik akibat periode panjang tingkat obat subterapeutik.
Infus kontinu dihubungkan dengan penurunan konsentrasi plasma yang mungkin dapat dihubungkan dengan rendahnya insidens efek samping lainnya (ototoksisitas). Pemberian diuretik loop pada pasien gagal jantung mungkin akan meningkatkan kreatinin sesaat, jangan menunda pemberiaan diuretik loop.
Kombinasi dengan hidroklorotiazid 25-100 mg memperlihatkan perbaikan klinis pada pasien gagal jantung yang berat dan memperbaiki gangguan fungsi ginjal. Dosis rendah dopamin (2,5 mcg/kg/menit) memiliki aktivitas arteriodilator renal dan menghasilakn natriuresis. Penggunaan nitrat diutamakan pada pasien gagal jantung dengan hipertensi dan harus dimonitor.
Kesimpulannya, resistensi diuretik merupakan masalah tersering pada pasien gagal jantung, kita seharusnya memahami mekanisme dan penyebab resistensi diuretik, obat-obatan yang menggangu fungsi ginjal seharusnya dihentikan serta penggunaan diuretik yang tepat guna dapat memperbaiki klinis pasien.
Dr. dr. Bambang Budi Siswanto SpJP(K), memberikan materi mengenai ventilasi non invasif pada gagal jantung akut. Diawali dengan edema pulmonum yang menjadi manifestasi tersering pada pasien gagal jantung dan memberikan prognosis yang tidak baik.
Terapi standar pasien gagal nafas akut yang tidak responsive dengan terapi konservatif sering kali membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Ventilasi non invasif merupakan pemberian ventilasi mekanik ke paru menggunakan tehnik yang tidak membutuhkan endotrakeal, dengan prinsip dasar pemberian tekanan positif intermiten pada saluran nafas, peningkatan tekanan transpulmonal dan pengembangan paru.
Adapun tujuan ventilasi non invasif dibagi menjadi dua, jangka pendek dan panjang. Jangka pendek (keadaan akut) adalah mengurangi gejala, mengurangi usaha nafas, memperbaiki pertukaran gas, mengoptimalkan kenyamanan pasien, meminimalkan risiko dan mencegah intubasi. Sedangkan manfaat jangka panjang adalah memperbaiki durasi dan kualitas tidur, memaksimalkan kualitas hidup, meningkatkan satus fungsional dan memperpanjang harapan hidup.
Peranan ventilasi non invasif pada gagal jantung akut dan edem pulmonal akut adalah untuk memperbaiki saturasi oksigen sistemik dengan memberikan oksigen aliran tinggi melalui masker muka, mengurangi preload dan afterload ke dua ventrikel dengan kombinasi morfin, diuretik dan nitrat.
Tekanan positif memperbaiki ventilasi yang bertolak belakang dengan patofisiologi akut kardiogenik edema pulmonal, dimana tekanan positif membuka dan mengatasi kolaps alveoli, meningkatkan kapasitas residual fungsional, menurunkan ruang rugi, menurunkan pintas intra pulmonal dan meningkatkan volum tidal. Ventilasi non invasif direkomendasikan oleh panduan klinis ESC gagal jantung akut dan kronik tahun 2012 pada pasien edema paru akut.
Kriteria selektif penggunaan ventilasi tekanan positif pada pasien kondisi akut adalah pasien dengan diagnosis yang tepat, distress respirasi sedang sampai berat, takipnea, penggunaan otot tambahan atau paradox abdominal, gangguan gas darah (pH < 7.35, PaCO2 > 45 mmHg, atau PaO2/FiO2 < 200). Adapun kontraindikasinya adalah henti nafas, secara medis tidak stabil, ketidakmampuan melindungi jalan nafas, sekresi yang berlenihan, agitasi yang tidak koperatif, masker yang tidak pas dan adanya operasi jalan nafas atas serta gastro intestinal.
Kesimpulannya, ventilasi non invasif memberikan hasil klinis yang baik ketika diberikan pada pasien yang tepat. Selain itu juga, memperbaiki ventilasi dan performans kardiak, dihubungkan dengan penurunan yang signifikan dalam penggunaan intu-basi endotrakeal.
Topik terakhir membicarakan sindroma kardiorenal pada gagal jantung yang dibawakan oleh dr Erwinanto SpJP. Sindroma kardiorenal didefinisikan sebagai kondisi akut atau kronik dimana terjadi penurunan fungsi organ yang mungkin disebabkan oleh jantung atau ginjal.
Sindroma kardiorenal tipe 1 merupakan perburukan fungsi kardiak akut yang mengakibatkan injuri ginjal akut. Sementara, tipe 2 disebabkan oleh abnormalitas kronik fungsi kardiak yang menyebabkan perburukan CKD. Tipe 3 merupakan perburukan akut fungsi ginjal yang menyebabkan disfungsi akut kardiak. Tipe 4, yang menjadi masalah adalah gangguan kronis ginjal (CKD) mengakibatkan penurunan fungsi jantung. Sementara tipe terakhir, tipe 5 adalah adanya kombinasi disfungsi kardiak dan renal akibat dari gangguan sistemik secara akut atau kronik.
Pada kondisi ADHF akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal dengan manifestasi AKI dan jika berlangsung kronis akan menyebabkan CKD. Keadaan kronis gangguan jantung juga akan menyebabkan makin berkembangnya CKD. Adapun kondisi yang mungkin timbul pada sindroma kardiorenal adalah hipotensi, volum overload, ataupun syok kardiogenik.
Diperlukan penanganan yang optimal seperti fluid challenge, pemberian inotropik, pemberian diuretik loop, ultrafiltrasi dan penggunaan ACE atau BB. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, sindroma kardiorenal yang terjadi pada pasien gagal jantung dapat mengakibatkan disfungsi pada ginjal dengan manifestasi klinis yang beragam.
Dari ketiga topik tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa gangguan dari gagal jantung cuku bervariasi ada dengan resistensi diuretik ataupun sindroma kardirenal serta diperlukan penanganan dari gagal jantung yang tepat guna, seperti dapat diberikan ventilasi non invasif.
Dr Nani Hersunarti SpJP(K), memulai persentasinya dengan prevalensi angka kejadian gagal jantung dekompensasi akut (ADHF) yang melebihi 1 juta pasien perawatan dan menghabiskan 12 Milyar setiap tahunnya, sementara di Indonesia, didapatkan sekitar 1.687 kasus ADHF setiap tahunnya dan menyumbangkan mortalitas sebesar 6,7%.
Pasien ADHF yang datang ke RS memiliki gejala volume overload dan kongesti dengan hasil keluaran yang buruk. Diperlukan suatu peran diuretik untuk mengatasinya. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai dan mempertahankan kondisi euvolemia dengan dosis yang relatif kecil.
Perkumpulan gagal jantung Amerika merekomendasikan diuretik loop untuk diberikan pada pasien tersebut. Furosemid dapat diberikan 20-40 mg, 1-2 kali pemberian IV, dengan dosis maksimal 600 mg. Jika terdapat resistensi dapat diberikan kombinasi dengan HCT 1-2 x 25 mg dengan dosis maksimal 200 mg.
Resistensi diuretik sampai saat ini belum terdefinisi dengan baik, ditandai dengan edema perifer yang masih nampak walau telah diberikan dosis diuretik loop yang adekuat. Biasanya terdapat pada 30% pasien advance heart failure. Dapat juga didefinisikan sebagai kondisi dimana diuretik gagal mengontrol retensi cairan dan garam walau telah diberikan dosis yang tepat. Atau dapat dikatakan tetap terdapat kongesti paru persisten dengan atau tanpa perburukan fungsi ginjal meskipun telah diberikan diuresis.
Sehingga dapat dikatakan resistensi diuretik diakibatkan oleh karena penurunan absorbsi diuretik akibat edema intestinal, kurangnya sekresi diuretik pada lumen tubulus dan adanya retensi garam post diuretik.
Adapun penanganannya berupa penilaian status volum pasien yang dapat dilihat dari JVP, edem perifer, pemeriksaan paru, abdomen, liver. Kemudian dapat kita nilai compliance pasien dari penilaian pengukuran respon urin terhadapa diuretik. Restriksi carian dan natrium, diet rendah garam < 2 gram/hari, restriksi cairan 1-1,5 liter/hari dan pembatasan penggunaan NSAIDs.
Selain itu dapat dilakukan penyesuaian dosis diuretik, dengan cara dinaikan dosis diuretik ataupun interval pemberiannya dapat diseringkan, juga diberikan secara kontinu (3 mg / jam, namun seringkali dapat mencapai dosis 10-20 mg/ hari). Dosis pemberian dapat diberikan 2,5 kali dari dosis oral. Dosis diuretik bolus mungkin dapat dihubungkan dengan peningkatan resistensi diuretik akibat periode panjang tingkat obat subterapeutik.
Infus kontinu dihubungkan dengan penurunan konsentrasi plasma yang mungkin dapat dihubungkan dengan rendahnya insidens efek samping lainnya (ototoksisitas). Pemberian diuretik loop pada pasien gagal jantung mungkin akan meningkatkan kreatinin sesaat, jangan menunda pemberiaan diuretik loop.
Kombinasi dengan hidroklorotiazid 25-100 mg memperlihatkan perbaikan klinis pada pasien gagal jantung yang berat dan memperbaiki gangguan fungsi ginjal. Dosis rendah dopamin (2,5 mcg/kg/menit) memiliki aktivitas arteriodilator renal dan menghasilakn natriuresis. Penggunaan nitrat diutamakan pada pasien gagal jantung dengan hipertensi dan harus dimonitor.
Kesimpulannya, resistensi diuretik merupakan masalah tersering pada pasien gagal jantung, kita seharusnya memahami mekanisme dan penyebab resistensi diuretik, obat-obatan yang menggangu fungsi ginjal seharusnya dihentikan serta penggunaan diuretik yang tepat guna dapat memperbaiki klinis pasien.
Dr. dr. Bambang Budi Siswanto SpJP(K), memberikan materi mengenai ventilasi non invasif pada gagal jantung akut. Diawali dengan edema pulmonum yang menjadi manifestasi tersering pada pasien gagal jantung dan memberikan prognosis yang tidak baik.
Terapi standar pasien gagal nafas akut yang tidak responsive dengan terapi konservatif sering kali membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Ventilasi non invasif merupakan pemberian ventilasi mekanik ke paru menggunakan tehnik yang tidak membutuhkan endotrakeal, dengan prinsip dasar pemberian tekanan positif intermiten pada saluran nafas, peningkatan tekanan transpulmonal dan pengembangan paru.
Adapun tujuan ventilasi non invasif dibagi menjadi dua, jangka pendek dan panjang. Jangka pendek (keadaan akut) adalah mengurangi gejala, mengurangi usaha nafas, memperbaiki pertukaran gas, mengoptimalkan kenyamanan pasien, meminimalkan risiko dan mencegah intubasi. Sedangkan manfaat jangka panjang adalah memperbaiki durasi dan kualitas tidur, memaksimalkan kualitas hidup, meningkatkan satus fungsional dan memperpanjang harapan hidup.
Peranan ventilasi non invasif pada gagal jantung akut dan edem pulmonal akut adalah untuk memperbaiki saturasi oksigen sistemik dengan memberikan oksigen aliran tinggi melalui masker muka, mengurangi preload dan afterload ke dua ventrikel dengan kombinasi morfin, diuretik dan nitrat.
Tekanan positif memperbaiki ventilasi yang bertolak belakang dengan patofisiologi akut kardiogenik edema pulmonal, dimana tekanan positif membuka dan mengatasi kolaps alveoli, meningkatkan kapasitas residual fungsional, menurunkan ruang rugi, menurunkan pintas intra pulmonal dan meningkatkan volum tidal. Ventilasi non invasif direkomendasikan oleh panduan klinis ESC gagal jantung akut dan kronik tahun 2012 pada pasien edema paru akut.
Kriteria selektif penggunaan ventilasi tekanan positif pada pasien kondisi akut adalah pasien dengan diagnosis yang tepat, distress respirasi sedang sampai berat, takipnea, penggunaan otot tambahan atau paradox abdominal, gangguan gas darah (pH < 7.35, PaCO2 > 45 mmHg, atau PaO2/FiO2 < 200). Adapun kontraindikasinya adalah henti nafas, secara medis tidak stabil, ketidakmampuan melindungi jalan nafas, sekresi yang berlenihan, agitasi yang tidak koperatif, masker yang tidak pas dan adanya operasi jalan nafas atas serta gastro intestinal.
Kesimpulannya, ventilasi non invasif memberikan hasil klinis yang baik ketika diberikan pada pasien yang tepat. Selain itu juga, memperbaiki ventilasi dan performans kardiak, dihubungkan dengan penurunan yang signifikan dalam penggunaan intu-basi endotrakeal.
Topik terakhir membicarakan sindroma kardiorenal pada gagal jantung yang dibawakan oleh dr Erwinanto SpJP. Sindroma kardiorenal didefinisikan sebagai kondisi akut atau kronik dimana terjadi penurunan fungsi organ yang mungkin disebabkan oleh jantung atau ginjal.
Sindroma kardiorenal tipe 1 merupakan perburukan fungsi kardiak akut yang mengakibatkan injuri ginjal akut. Sementara, tipe 2 disebabkan oleh abnormalitas kronik fungsi kardiak yang menyebabkan perburukan CKD. Tipe 3 merupakan perburukan akut fungsi ginjal yang menyebabkan disfungsi akut kardiak. Tipe 4, yang menjadi masalah adalah gangguan kronis ginjal (CKD) mengakibatkan penurunan fungsi jantung. Sementara tipe terakhir, tipe 5 adalah adanya kombinasi disfungsi kardiak dan renal akibat dari gangguan sistemik secara akut atau kronik.
Pada kondisi ADHF akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal dengan manifestasi AKI dan jika berlangsung kronis akan menyebabkan CKD. Keadaan kronis gangguan jantung juga akan menyebabkan makin berkembangnya CKD. Adapun kondisi yang mungkin timbul pada sindroma kardiorenal adalah hipotensi, volum overload, ataupun syok kardiogenik.
Diperlukan penanganan yang optimal seperti fluid challenge, pemberian inotropik, pemberian diuretik loop, ultrafiltrasi dan penggunaan ACE atau BB. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, sindroma kardiorenal yang terjadi pada pasien gagal jantung dapat mengakibatkan disfungsi pada ginjal dengan manifestasi klinis yang beragam.
Dari ketiga topik tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa gangguan dari gagal jantung cuku bervariasi ada dengan resistensi diuretik ataupun sindroma kardirenal serta diperlukan penanganan dari gagal jantung yang tepat guna, seperti dapat diberikan ventilasi non invasif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar