MENDAPATKAN suatu isolasi vena pulmonalis permanen dengan prosedur tunggal merupakan tantangan tersendiri dalam ablasi fibrilasi atrium (AF).
Kateter ablasi konvensional didesain untuk memberikan energi radio frekuensi pada tempat-tempat tertentu seperti pada jalur lambat untuk kasus aritmia re entri dengan angka keberhasilan cukup tinggi.
Ablasi kateter untuk pasien AF memerlukan lesi yang extensif dan angka keberhasilannya ekivalen, hal ini mungkin karena keterbatasan pada kateternya.
Navigasi kateter menggunakan robot telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan kateter manual seperti ketepatan gerakan untuk menempatkan pada lesi tertentu dan posisi kateter yang stabil untuk mempertahankan kontak jaringan selama dilakukannya tindakan ablasi.
Pada studi yang menggunakan hewan percobaan, terdapat penurunan yang cepat dan besar pada amplitude elektrogram yang menggunakan ablasi robot dibandingkan dengan manual.
Hal ini juga dihubungkan dengan hasil yang konsisten pada transmuralitas pemeriksaan makroskopik dari lesi yang menggunakan robot.
Walaupun demikian, ini tidak meningkatkan angka keberhasilan pada ablasi robot kasus AF di beberapa studi klinis non randomisasi dibandingkan pendekatan manual yang konvensional.
Penjelasan yang mungkin dapat diterima adalah kebanyakan pemakai robot ini mengurangi kekuatan radio frekuensi dan durasi dibandingkan dengan setting manual, dikarenakan ketakutan jika meningkatkan stabilitas kateter akan menyebabkan peningkatan energi yang menghasilkan peningkatan risiko perforasi dan injuri esophageal.
Untuk mengetahui pemilihan tingkat energy atau keterbatasan manuver robot di atrium kiri yang dapat berakibat pada kualitas lesi ablasi robot pada manusia, dilakukanlah studi oleh Kodjojo et al.
Dua puluh pasien secara random dilakukan ablasi AF menggunakan robot atau manual dengan setting standar radio frekuensi di empat institusi (30W 60 detik manual, 25W 30 detik robot, R 30).
Kelompok terpisah dari 10 pasien konsekutif menjalani ablasi robot dengan peningkatan durasi radio frekuensi, 25 W selama 60 detik (R 60).
Lesi-lesi ditandai dengan pemetaan elektro anatomi sebelum dan setelah ablasi untuk mengukur jarak pergerakan dan perubahan amplitude elektrogram bipolar selama radio frekuensi.
Total dari 1108 lesi dilakukan pemeriksaan (761 dengan robot, 347 secara manual). Suatu korelasi diidentifikasikan antara atenuasivoltase dan pergerakan kateter selama radio frekuensi (Spearman rho -0.929, p < 0.001).
Kateter ablasi lebih stabil selama radio frekuensi menggunakan robot; 2.9 ± 2.3 mm (R 30) dan 2.6 ± 2.2 (R 60), keduanya secara signifikan lebih sedikit dibandingkan kelompok manual dan R 30.
Akan tetapi, terdapat peningkatan atenuasisinyal pada kelompok R 60 (52.4 ± 19.4%) dibandingkan dengan manual (47.7 ± 25.4%, p = 0.01).
Ketika prosedur tersebut dilakukan dengan anestesi umum dan pemberian sedasi secara sadar, dilakukan analisis terpisah, terdapat perbaikan terhadap atenuasisinyal pada kelompok R 60 yang hanya secara signifikan terdapat pada prosedur yang menggunakan anestesi umum.
Ablasi menggunakan robot dengan sistem Hansen memiliki kemampuan menghasilkan atenuasi elektrogram local yang lebih besar dibandingkan manual dengan ketepatan seleksi parameter radio frekuensi. Penggunaan anestesi umum nampaknya membantu dalam mencapai keuntungan tersebut dan studi-studi randomisasi diperlukan untuk menilai hasil keluaran klinis. (Europace 2013; 15: 41-7)
Kateter ablasi konvensional didesain untuk memberikan energi radio frekuensi pada tempat-tempat tertentu seperti pada jalur lambat untuk kasus aritmia re entri dengan angka keberhasilan cukup tinggi.
Ablasi kateter untuk pasien AF memerlukan lesi yang extensif dan angka keberhasilannya ekivalen, hal ini mungkin karena keterbatasan pada kateternya.
Navigasi kateter menggunakan robot telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan kateter manual seperti ketepatan gerakan untuk menempatkan pada lesi tertentu dan posisi kateter yang stabil untuk mempertahankan kontak jaringan selama dilakukannya tindakan ablasi.
Pada studi yang menggunakan hewan percobaan, terdapat penurunan yang cepat dan besar pada amplitude elektrogram yang menggunakan ablasi robot dibandingkan dengan manual.
Hal ini juga dihubungkan dengan hasil yang konsisten pada transmuralitas pemeriksaan makroskopik dari lesi yang menggunakan robot.
Walaupun demikian, ini tidak meningkatkan angka keberhasilan pada ablasi robot kasus AF di beberapa studi klinis non randomisasi dibandingkan pendekatan manual yang konvensional.
Penjelasan yang mungkin dapat diterima adalah kebanyakan pemakai robot ini mengurangi kekuatan radio frekuensi dan durasi dibandingkan dengan setting manual, dikarenakan ketakutan jika meningkatkan stabilitas kateter akan menyebabkan peningkatan energi yang menghasilkan peningkatan risiko perforasi dan injuri esophageal.
Untuk mengetahui pemilihan tingkat energy atau keterbatasan manuver robot di atrium kiri yang dapat berakibat pada kualitas lesi ablasi robot pada manusia, dilakukanlah studi oleh Kodjojo et al.
Dua puluh pasien secara random dilakukan ablasi AF menggunakan robot atau manual dengan setting standar radio frekuensi di empat institusi (30W 60 detik manual, 25W 30 detik robot, R 30).
Kelompok terpisah dari 10 pasien konsekutif menjalani ablasi robot dengan peningkatan durasi radio frekuensi, 25 W selama 60 detik (R 60).
Lesi-lesi ditandai dengan pemetaan elektro anatomi sebelum dan setelah ablasi untuk mengukur jarak pergerakan dan perubahan amplitude elektrogram bipolar selama radio frekuensi.
Total dari 1108 lesi dilakukan pemeriksaan (761 dengan robot, 347 secara manual). Suatu korelasi diidentifikasikan antara atenuasivoltase dan pergerakan kateter selama radio frekuensi (Spearman rho -0.929, p < 0.001).
Kateter ablasi lebih stabil selama radio frekuensi menggunakan robot; 2.9 ± 2.3 mm (R 30) dan 2.6 ± 2.2 (R 60), keduanya secara signifikan lebih sedikit dibandingkan kelompok manual dan R 30.
Akan tetapi, terdapat peningkatan atenuasisinyal pada kelompok R 60 (52.4 ± 19.4%) dibandingkan dengan manual (47.7 ± 25.4%, p = 0.01).
Ketika prosedur tersebut dilakukan dengan anestesi umum dan pemberian sedasi secara sadar, dilakukan analisis terpisah, terdapat perbaikan terhadap atenuasisinyal pada kelompok R 60 yang hanya secara signifikan terdapat pada prosedur yang menggunakan anestesi umum.
Ablasi menggunakan robot dengan sistem Hansen memiliki kemampuan menghasilkan atenuasi elektrogram local yang lebih besar dibandingkan manual dengan ketepatan seleksi parameter radio frekuensi. Penggunaan anestesi umum nampaknya membantu dalam mencapai keuntungan tersebut dan studi-studi randomisasi diperlukan untuk menilai hasil keluaran klinis. (Europace 2013; 15: 41-7)
SL Purwo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar