pita deadline
Kamis, 30 Juli 2015
Jumat, 24 April 2015
The 2nd InaHRS: All about Cardiac Arrhythmias and Device Therapy
PERTEMUAN ilmiah kedua dari Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) yang dinanti-nantikan akhirnya kembali diselenggarakan pada 6 - 7 Desember 2014, bertempat di Ritz Carlton Hotel, Mega Kuningan, Jakarta. Sesuai dengan tema “Everything You Want to Know about Cardiac Arrhythmias and Device Therapy”, acara yang diketuai oleh Dr. Dicky A. Hanafy, SpJP(K) ini menyajikan program-program ilmiah yang berkualitas dalam bidang gangguan irama jantung (cardiac arrhythmias) serta tatalaksana terbarunya.
The 2nd InaHRS berlangsung meriah selama dua hari, acara yang diselenggarakan terdiri dari workshop, simposium serta tidak ketinggalan presentasi poster. Pada hari pertama acara dimulai dengan lima topik workshop yang berlangsung paralel di dua tempat. Empat workshop diadakan di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan dengan topik antara lain “Atrial Fibrillation”, “Holter and Cardiac Monitoring”, “Fast Conclusion in Emergency Arrhythmias” serta “Electrophysiology Study and AVNRT Ablation”. Sedangkan satu topik lainnya, “Permanent Pace Maker (PPM)”, diadakan di RSPAD Gatot Subroto dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Setiap ruangan workshop dipadati oleh sekitar 20-30 peserta yang sangat antusias dalam bidang keilmuan yang diminatinya tersebut.
Acara inti berupa simposium dilanjutkan pada hari pertama setelah acara makan siang. Pembicara dan peserta dari berbagai wilayah di Indonesia serta belahan bumi lainnya antara dari Australia, Korea dan Singapura turut hadir dan meramaikan acara ilmiah tersebut. Topik yang disajikan sangat menarik serta menyeluruh, satu persatu masalah gangguan irama jantung turut menjadi bahan diskusi, mulai dari pendekatan tatalaksana klinis dari bradikadia, atrial fibrilasi, metode kontrol heart rate pada gagal jantung, ventricular premature beats hingga pembahasan mengenai Sudden Cardiac Death dan Syncope.
Topik simposium lainnya yang tidak kalah menarik adalah debat tentang tatalaksana dari Idiopathic Ventricular Premature Beat, apakah obat-obatan antiaritmia ataukah radiofrequency ablation yang lebih superior. Berbagai topik tentang device therapy terkini seperti Left Atrial Appendage (LAA) Occluder sebagai pencegahan stroke pada Atrial Fibrilasi dan Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) dengan Quadripolar Technology dan Multi-Point Pacing juga tidak ketinggalan untuk menjadi perbincangan hangat dalam acara ilmiah ini.
Sebuah sesi interaktif dan menarik “Unknown ECG dan Intracardiac Tracing” menjadi pertanda dari berakhirnya The 2nd InaHRS. Sesi ini berhasil menjadi penutup yang sangat berkesan dalam acara kali ini. Semua peserta mendapat materi handout berupa gambaran elektrokardiogram (EKG) unik yang dipresentasikan oleh para pembicara dan panelist. Debat serta berbagai perbedaan pendapat terus menghujani satu persatu kasus yang dibawakan, sungguh merupakan forum yang sangat hidup dan bermanfaat.
Penyelenggaraan The 2nd InaHRS ditutup dengan pengumuman pemenang poster serta acara door prize. Kesuksesan dalam acara kali ini tak lepas dari kerja keras panitia serta dukungan dari perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia (PERKI) serta para sejawat kardiologi di seluruh pelosok Indonesia dan mitra sponsor yang dengan semangat dan tidak henti-hentinya berjuang untuk memajukan penatalaksaan penyakit dalam bidang kardiovaskular di Indonesia untuk kedepannya, khususnya dalam bidang aritmia jantung.
The 2nd InaHRS berlangsung meriah selama dua hari, acara yang diselenggarakan terdiri dari workshop, simposium serta tidak ketinggalan presentasi poster. Pada hari pertama acara dimulai dengan lima topik workshop yang berlangsung paralel di dua tempat. Empat workshop diadakan di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan dengan topik antara lain “Atrial Fibrillation”, “Holter and Cardiac Monitoring”, “Fast Conclusion in Emergency Arrhythmias” serta “Electrophysiology Study and AVNRT Ablation”. Sedangkan satu topik lainnya, “Permanent Pace Maker (PPM)”, diadakan di RSPAD Gatot Subroto dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Setiap ruangan workshop dipadati oleh sekitar 20-30 peserta yang sangat antusias dalam bidang keilmuan yang diminatinya tersebut.
Acara inti berupa simposium dilanjutkan pada hari pertama setelah acara makan siang. Pembicara dan peserta dari berbagai wilayah di Indonesia serta belahan bumi lainnya antara dari Australia, Korea dan Singapura turut hadir dan meramaikan acara ilmiah tersebut. Topik yang disajikan sangat menarik serta menyeluruh, satu persatu masalah gangguan irama jantung turut menjadi bahan diskusi, mulai dari pendekatan tatalaksana klinis dari bradikadia, atrial fibrilasi, metode kontrol heart rate pada gagal jantung, ventricular premature beats hingga pembahasan mengenai Sudden Cardiac Death dan Syncope.
Topik simposium lainnya yang tidak kalah menarik adalah debat tentang tatalaksana dari Idiopathic Ventricular Premature Beat, apakah obat-obatan antiaritmia ataukah radiofrequency ablation yang lebih superior. Berbagai topik tentang device therapy terkini seperti Left Atrial Appendage (LAA) Occluder sebagai pencegahan stroke pada Atrial Fibrilasi dan Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) dengan Quadripolar Technology dan Multi-Point Pacing juga tidak ketinggalan untuk menjadi perbincangan hangat dalam acara ilmiah ini.
Sebuah sesi interaktif dan menarik “Unknown ECG dan Intracardiac Tracing” menjadi pertanda dari berakhirnya The 2nd InaHRS. Sesi ini berhasil menjadi penutup yang sangat berkesan dalam acara kali ini. Semua peserta mendapat materi handout berupa gambaran elektrokardiogram (EKG) unik yang dipresentasikan oleh para pembicara dan panelist. Debat serta berbagai perbedaan pendapat terus menghujani satu persatu kasus yang dibawakan, sungguh merupakan forum yang sangat hidup dan bermanfaat.
Penyelenggaraan The 2nd InaHRS ditutup dengan pengumuman pemenang poster serta acara door prize. Kesuksesan dalam acara kali ini tak lepas dari kerja keras panitia serta dukungan dari perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia (PERKI) serta para sejawat kardiologi di seluruh pelosok Indonesia dan mitra sponsor yang dengan semangat dan tidak henti-hentinya berjuang untuk memajukan penatalaksaan penyakit dalam bidang kardiovaskular di Indonesia untuk kedepannya, khususnya dalam bidang aritmia jantung.
Stephanie Salim
Ujian Panel Nasional Kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Ujian Oral Nasional telah dilaksanakan pada tanggal 17
Januari 2015 di Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNUD, Bali dan
pada tanggal 17-18 Januari 2015 di Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK
USU, Medan. Peserta Ujian Oral Nasional Kolegium adalah peserta yang telah
lulus Ujian Tulis CBT / Ujian Tulis sebelumnya. Di FK USU Medan peserta yang
ikut Ujian Oral ada 18 orang dengan 10 penguji. Sedangkan di FK UNUD, Bali peserta
yang ikut ujian oral nasional ada 8 orang dengan 5 orang penguji.
Nama-nama Peserta yang telah lulus Ujian Oral Nasional 17-18 Januari 2015 tersebut adalah :
Nama-nama Penguji Ujian Oral Nasional 17-18 Januari 2015 adalah:
Ujian Oral Nasional diadakan 4 kali setahun di daerah-daerah yang berbeda dan dibagi menjadi 2 bagian yaitu Indonesia Wilayah Barat dan Indonesia Wilayah Timur. Untuk Ujian Tulis Nasional (Computerized Base Test) On Line berikutnya yaitu tanggal 9 Maret 2015 dan Ujian Oral Nasional berikutnya yaitu tanggal 28 Maret 2015 akan diadakan di Bagian Kardiologi & Kedokteran Vaskular FK UNAIR, Surabaya dan di Bagian Kardiologi & Kedokteran Vaskular FK UNPAD, Bandung.
Nama-nama Peserta yang telah lulus Ujian Oral Nasional 17-18 Januari 2015 tersebut adalah :
- Dr. Artha Hot Gumanti Yolanda Sinaga (FK USU)
- Dr. Donny Yugo Hermanto (FK UI)
- Dr. Fajar Ashari (FK UNPAD)
- Dr. Rosmaliana (FK USU)
- Dr. Sulistiowati (FK UI)
- Dr. Teuku Bob Haykal (FK USU)
- Dr. Dyna Evalina Syahrul (FK UI)
- Dr. Yuke Sarastri (FK USU)
- Dr. Siska Yulianti (FK UI)
- Dr. Rinelia Minaswary (FK USU)
- Dr. Suci Indriani (FK UI)
- Dr. Susiyanti (FK UNAND)
- Dr. Tengku Winda Ardani (FK USU)
- Dr. Danayu Sanny Prahasti (FK UI)
- Dr. Teuku Realsyah, SpPD (FK USU)
- Dr. Muh. Barri Fahmi Harmani (FK UI)
- Dr. Puspita Sari Bustanul (FK UI)
- Dr. Dini Rostiati (FK UNPAD)
- Dr. Sany R. Suwardana (FK UNUD)
- Dr. Zulfahmi (FK UGM)
- Dr. Nyoman Sukami Artadana (FK UNUD)
- Dr. Agus Probo Suyono (FK UNDIP)
- Dr. I Kadek Susila Surya Darma (FK UNUD)
- Dr. Ida Bagus Rangga Wibhuti (FK UNUD)
- Dr. Rizki Amalia Gumilang (FK UGM)
- Dr. Eko Saputra (FK UNUD)
Nama-nama Penguji Ujian Oral Nasional 17-18 Januari 2015 adalah:
- Prof. Dr. Harmani Kalim, SpJP, FIHA
- Prof. Dr. Ganesja M. Harimurti, SpJP, FIHA
- Dr. RWM. Kaligis, SpJP, FIHA
- Prof. Dr. A. Afif Siregar, SpA, SpJP, FIHA
- Dr. Toni Mustahsani Aprami, SpPD, SpJP, FIHA
- Dr. Sunarya Soerianata, SpJP, FIHA
- Dr. Poppy S. Roebiono, SpJP, FIHA
- Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP, FIHA
- Dr. Eko Antono, SpJP, FIHA
- Dr. Masrul, SpPD, SpJP, FIHA
- DR. Dr. Anwar Santoso, SpJP, FIHA
- Prof. Dr. I Wayan Wita, SpJP, FIHA
- DR. Dr. Iwan Dakota, SpJP, FIHA
- Dr. Hariadi Hariawan, SpPD, SpJP, FIHA
- Dr. Sodiqur Rifqi, SpJP, FIHA
Ujian Oral Nasional diadakan 4 kali setahun di daerah-daerah yang berbeda dan dibagi menjadi 2 bagian yaitu Indonesia Wilayah Barat dan Indonesia Wilayah Timur. Untuk Ujian Tulis Nasional (Computerized Base Test) On Line berikutnya yaitu tanggal 9 Maret 2015 dan Ujian Oral Nasional berikutnya yaitu tanggal 28 Maret 2015 akan diadakan di Bagian Kardiologi & Kedokteran Vaskular FK UNAIR, Surabaya dan di Bagian Kardiologi & Kedokteran Vaskular FK UNPAD, Bandung.
Penyakit Jantung Didapat pada Pasien Dewasa dengan Penyakit Jantung Kongenital
PASIEN dewasa dengan penyakit jantung kongenital memiliki peningkatan risiko mengalami penyakit jantung didapat yang sebanding dengan populasi umum. Penyakit jantung didapat seperti penyakit jantung koroner, atau komplikasi non-kardiak seperti penyakit ginjal kronik merupakan kondisi yang harus diperhatikan sebagai sekuel dari penyakit jantung kongenital.
Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Beberapa faktor ditemukan berperan penting terhadap timbulnya PJK pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital. Pada beberapa kasus transposisi arteri besar yang dioperasi saat kecil, ditemukan juga kelainan pada arteri koroner. Selain itu, pada Sindrom Eisenmenger, gejala angina dan iskemia miokard dapat timbul karena kompresi ekstrinsik pada ostium koroner sinistra oleh dilatasi arteri pulmonal. Beberapa prosedur operasi untuk penyakit jantung kongenital (misalnya reimplantasi arteri koroner dalam prosedur arterial switch untuk koreksi transposisi arteri besar; contoh lainnya adalah replacement truncus aorta pada Sindrom Marfan) dapat menimbulkan efek samping pada arteri koroner.Lebih jauh lagi, pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital mungkin pula ditemukan aterosklerosis.
Faktor Risiko Kardiovaskular
Faktor Risiko Kardiovaskular seperti hipertensi arterial dan hiperlipidemia berperan penting dalam perkembangan penyakit aterosklerosis. Pada sebuah studi yang meneliti prevalensi faktor risiko tersebut pada 141 pasien dewasa dengan PJ Kongenital dan PJ Koroner, didapatkan bahwa sebagian besar pasien (82%) memiliki satu atau lebih faktor risiko yaitu hipertensi arterial sistemik (53%) dan hiperlipidemia (25%). Sebuah studi dari Belgia yang meneliti 1976 pasien dewasa dengan PJ Kongenital, melaporkan hanya sekitar 20% tanpa faktor risiko kardiovaskular. Median usia pada penelitian tersebut adalah 26 tahun; hal ini menunjukkan perlunya pencegahan lebih dini.
Prevalensi hipertensi arterial pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital berkisar antara 30% dan 50%. Beberapa pasien dewasa dengan PJ Kongenital dengan defek jantung kongenital tertentu lebih rentan mengalami hipertensi. Pada sebuah studi, ditemukan bahwa prevalensi hipertensi ditemukan lebih tinggi pada pasien koarktasio aorta (45%) dibandingkan dengan VSD (16%).
Di lain hal, penelitian mengenai obesitas masih kontradiktif. Sebuah studi di Belgia menyatakan bahwa prevalensi obesitas pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital lebih tinggi dibanding populasi umum. Namun, studi di Belanda menemukan hal yang sebaliknya dimana proporsi pasien dewasa dengan PJ Kongenital dengan obesitas atau overweight lebih kecil dibandingkan populasi umum. Obesitas pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital dapat disebabkan oleh kehidupan sedenter dan kurangnya olahraga. Faktor berikutnya adalah dislipidemia. Walaupun belum banyak penelitian terkait faktor ini, sebuah studi melaporkan prevalensi dislipdemia pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital usia tua sebesar 27%. Pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital dan PJ Koroner, prevalensi hiperlipidemia adalah antara 10 – 75% tergantung dari tipe defek jantung kongenital.
Di lain hal, penelitian mengenai obesitas masih kontradiktif. Sebuah studi di Belgia menyatakan bahwa prevalensi obesitas pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital lebih tinggi dibanding populasi umum. Namun, studi di Belanda menemukan hal yang sebaliknya dimana proporsi pasien dewasa dengan PJ Kongenital dengan obesitas atau overweight lebih kecil dibandingkan populasi umum. Obesitas pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital dapat disebabkan oleh kehidupan sedenter dan kurangnya olahraga. Faktor berikutnya adalah dislipidemia. Walaupun belum banyak penelitian terkait faktor ini, sebuah studi melaporkan prevalensi dislipdemia pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital usia tua sebesar 27%. Pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital dan PJ Koroner, prevalensi hiperlipidemia adalah antara 10 – 75% tergantung dari tipe defek jantung kongenital.
Terakhir, faktor risiko yang cukup penting adalah diabetes mellitus. Dua studi melaporkan prevalensi diabetes pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital sekitar 3%, namun tidak berbeda dengan prevalensi pada kelompok kontrol (tanpa penyakit jantung kongenital).
Manifestasi Klinis
Gejala klinis PJK pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital tidak berbeda dengan gejala angina pada umumnya. Sebuah studi pada 250 pasien dewasa dengan PJ Kongenital yang menjalani angiografi koroner (dengan indikasi selain PJK),melaporkan sebanyak 10% pasien memiliki PJK. Pada studi ini, PJK tidak ditemukan pada pasien dengan usia di bawah 40 tahun. Di lain hal, penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian oleh Yelonetsky et al Dimana terdapat 14% pasien dewasa dengan PJ Kongenital dibawah usia 40 tahun mengalami PJK (atau PJK Prematur). Penelitian besar lainnya di Amerika Serikat melaporkan bahwa infark miokard merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital non-sianotik.
Risiko PJK pada Beberapa Jenis Penyakit Jantung Kongenital
Pada pasien dengan kelainan jantung sianotik, ditemukan beberapa faktor anti-aterosklerosis, seperti hiperbilirubinemia, hipokolestrolemia, peningkatan regulasi NO, dan faktor lainnya. Dalam penelitiannya, Giannakoulas et al melaporkan bahwa tidak ada pasien dengan kelainan jantung sianotik yang mengalami PJK bermakna. Hal ini didukung oleh Fyfe et al yang melaporkan juga tidak menemukan adanya PJK dengan obstruksi pada pasien dengan kelainan jantung sianotik, Namun, pasien dengan kelainan jantung sianotik masih harus diawasi untuk PJK, karena sebuah penelitian oleh Yelonetsky et al melaporkan bahwa ditemukan PJK pada 7 pasien dengan Sindrom Eisenmenger.
Pada pasien dengan koarktasio aorta, risiko terjadinya PJK tidak jauh berbeda dengan risiko kardiovaskular yang ditemukan pada populasi umum. Sebuah penelitian yang menggunakan basis data dari kota Quebec melaporkan bahwa ditemukan prevalensi PJK dan stroke yang lebih tinggi pada pasien dengan koarktasio aorta dibandingkan pasien dewasa dengan PJ Kongenital lainnya.
Penyakit Jantung Didapat lainnya
Aritmia yang dialami pasien dewasa dengan PJ Kongenital dapat berupa bradiaritmia atau takiaritmia (atrial atau ventrikular). Bradiaritmia biasanya disebabkan oleh disfungsi nodus SA atau abnormalitas konduksi atrioventrikular. Etiologi dari aritmia yang dialami dapat berupa sikatriks pasca operasi, abnormalitas struktural yang menetap, dan komorbiditas lainnya. Aritmia biasanya diperberat oleh gangguan hemodinamik dan disfungsi sistolik. Disfungsi diastolik dapat pula ditemukan pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital, seperti pada pasien penyakit jantung pada umumnya. Faktor risiko timbulnya disfungsi diastolik pada pasien ini antara lain umur, hipertensi arterial,obesitas, dan diabetes. Disfungsi diastolik berhubungan dengan aritmia atrial, khususnya atrial fibrilasi.
Pasien dengan tetralogi Fallot memiliki risiko tinggi mengalami aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak; berhubungan dengan abnormalitas struktural, disfungsi ventrikel, dan sikatriks pasca operasi. Penyakit jantung iskemik dapat pula menjadi faktor penyebab aritmia ventrikel pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital.
Gagal jantung pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital lebih sering disebabkan oleh disfungsi ventrikel kanan, disfungsi katup atau aliran pirau, daripada oleh disfungsi sistolik ventrikel kiri. Prevalensi gagal jantung kronik tertinggi didapatkan pada pasien dengan anatomi kompleks seperti ventrikel tunggal fisiologis (single ventricle physiology) atau transposisi arteri besar (transposition of the great arteries). Gagal jantung umumnya disebabkan oleh patofisiologi defek jantung kongenital, yaitu ventrikel kanan sistemik pada transposisi arteri besar, serta faktor lain seperti sianosis yang berkepanjangan dan riwayat operasi jantung sebelumnya. Disfungsi diastolik pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital juga dapat memicu terjadinya gagal jantung. Giannakoulas et al meneliti hubungan antara PJK, ukuran ventrikel sistemik, dan gangguan fungsional pada pasien PJK. Dia melaporkan bahwa PJK berperan dalam timbulnya dilatasi ventrikel dan keterbatasan fungsional. Sampai saat ini belum ada terapi berbasis-bukti yang baik untuk gagal jantung pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital, karena beberapa studi yang dilakukan sejauh ini merupakan studi kecil, tidak disamarkan dan masih menunjukkan hasil yang kontradiktif.
Pasien Dewasa dengan PJ Kongenital di Masa Depan
Pencegahan primer merupakan pendekatan utama untuk mencegah timbulnya PJK pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital. Pasien ini harus menerapkan gaya hidup sehat, tidak merokok, dan mengontrol tekanan darah secara teratur. Jika ada kecurigaan terhadap PJK, dapat dilakukan pemeriksaan dengan EKG atau dengan stress perfusion cardiovascular MRI. Namun, interpretasi EKG dengan latihan/beban menjadi sulit karena dapat disamarkan oleh temuan abnormal seperti bundle branch block yang berhubungan dengan kelainan struktural dan kelainan akibat operasi sebelumnya. Sebagai alternatif, pada pasien tersebut dapat dilakukan stress perfusion cardiovascular MRI. Skema di bawah ini dapat digunakan untuk panduan diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung didapat pada pasien dewasa dengan PJ Kongenital. (Tutarel Oktay . Acquired Heart Conditions in Adults With Congenital Heart Disease : A Growing Problem.2014. Available at: http://medscape.com)
Gambar 1. Skema diagnosis dan tatalaksana pasien dewasa dengan PJ Kongenital dengan kecurigaan PJK
dr. Rissa Ummy Setiani
Dokter Umum PTT Puskesmas Baso
Kabupaten Agam, Sumatera Barat
Penambahan Nilai Prognostik Skor Kalsium Arteri Koroner pada Koronarografi dengan Tomografi Komputer
Coronary Computed Tomography Angiography (CCTA) muncul sebagai pendekatan
diagnostik alternatif terhadap angiografi koroner invasif pada CAD. Uji Coronary Artery Calcium Score (CACS)
dilakukan secara ekstensif pada subjek asimptomatik sebagai petanda untuk
penyakit arteri koroner subklinik. Pengkajian dari CACS telah menunjukkan
kemampuan prediktif yang mampu melengkapi dan independen untuk kejadian jantung
(cardiac event) lanjutan yang bukan
hanya suatu uji fungsional pada pasien simptomatik dengan dan tanpa diketahui
penyakit arteri koroner. Tujuan objektif dari studi Kongkiat Chaikriangkrai dkk
ini adalah untuk menguji kemampuan prognostik tambahan dari
CACS yang lebih dari CCTA itu sendiri pada pasien simptomatik tanpa diketahui penyakit
jantung koroner yang menjalani pemeriksaan CCTA. Pasien-pasien simptomatik
tanpa diketahui PJK, baik dengan pemeriksaan CACS dan CCTA secara independen
berhubungan dengan peningkatan kejadian jantung dan evaluasi dengan CACS
sebagai tambahan penilaian dari CCTA secara keseluruhan akan meningkatkan
kemampuan prediksi untuk kejadian jantung kedepannya dibandingkan dengan
penilaian CCTA sendiri.
Temuan utama pada studi ini adalah bahwa pertama,CACS memiliki nilai independen dan menambah nilai prognostik
lebih dari hanya penilaian CCTA stenosis pada pasien simtomatik tanpa diketahui
CAD sebelumnya. CACS secara independen berkaitan dengan angka kejadian jantung
bahkan setelah penyesuaian terhadap faktor risiko klinikal dan stenosis koroner
dari CCTA. Kedua, studi ini menunjukkan bahwa CACS memberikan tambahan nilai
prognostik yang lebih dari CCTA stenosis dan faktor risiko klinik. Temuan pada
studi ini memberikan bukti bahwa risiko serangan jantung masa depan berhubungan
dengan derajat stenosis luminal dan kalsifikasi koroner yg dideteksi dengan
CACS.
CACS secara relatif merupakan tes kuantitatif yg hasilnya dapat di reproduksi yang mana analisis CCTA pada praktek klinik sehari2 nampaknya dianggap terbaik untuk tes semi-kuantitatif. CACS lebih mudah dan lebih divalidasi dibandingkan analisis plak burden atau tipe plak dengan CCTA. Dari perspektif klinis nilai prognostik dari CACS memiliki implikasi yang potensial terhadap strategi manajemen yaitu 1. Agresifitas therapi medis pada sejumlah kecil pasien dengan normal CCTA tetapi positif CACS, 2. Pertimbangkan angiografi invasif pada pasien dengan 50% stenosis tetapi CACS-nya tinggi (>400) untuk menyingkirkan pengecilan arti stenosis CCTA, dan 3. Pertimbangan angiografi invasif pada pasien dengan kemungkinan revaskularisasi pada pasien dengan stenosis >50% stenosis dan peningkatan nilai CACS (>400)
Kesimpulan, Pasien-pasien simptomatik tanpa diketahui PJK, baik CACS dan CCTA secara independen berhubungan dengan peningkatan kejadian jantung dan evaluasi dengan CACS sebagai tambahan penilaian dari CCTA meningkatkan kemampuan prediksi untuk kejadian jantung kedepannya dibandingkan dengan penilaian CCTA sendiri. (Journal of the American College of Cardiology 2015 in press)
Temuan utama pada studi ini adalah bahwa pertama,
CACS secara relatif merupakan tes kuantitatif yg hasilnya dapat di reproduksi yang mana analisis CCTA pada praktek klinik sehari2 nampaknya dianggap terbaik untuk tes semi-kuantitatif. CACS lebih mudah dan lebih divalidasi dibandingkan analisis plak burden atau tipe plak dengan CCTA. Dari perspektif klinis nilai prognostik dari CACS memiliki implikasi yang potensial terhadap strategi manajemen yaitu 1. Agresifitas therapi medis pada sejumlah kecil pasien dengan normal CCTA tetapi positif CACS, 2. Pertimbangkan angiografi invasif pada pasien dengan 50% stenosis tetapi CACS-nya tinggi (>400) untuk menyingkirkan pengecilan arti stenosis CCTA, dan 3. Pertimbangan angiografi invasif pada pasien dengan kemungkinan revaskularisasi pada pasien dengan stenosis >50% stenosis dan peningkatan nilai CACS (>400)
Kesimpulan, Pasien-pasien simptomatik tanpa diketahui PJK, baik CACS dan CCTA secara independen berhubungan dengan peningkatan kejadian jantung dan evaluasi dengan CACS sebagai tambahan penilaian dari CCTA meningkatkan kemampuan prediksi untuk kejadian jantung kedepannya dibandingkan dengan penilaian CCTA sendiri. (Journal of the American College of Cardiology 2015 in press)
Hari
Indratno dan Budhi S. Purwowiyoto
Penyalahgunaan Aspirin pada 1 dari 10 Pasien Risiko Rendah di Klinik Jantung
Lebih dari 10 % pasien yang merupakan perwakilan sampel dari poliklinik jantung di Amerika Serikat mengkonsumsi aspirin dengan “tidak tepat” untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular; hal tersebut dikarenakan risiko 10 tahun mereka untuk terserang penyakit kardiovaskular kurang dari 6% menurut penelitian terbaru.
Penelitian tersebut, dipublikasikan pada 20 Januari 2015 oleh Journal of the American College of Cardiology, menemukan bahwa pengunaan aspirin yang tidak tepat dalam berbagai praktik kardiologi bervariasi mulai 0% hingga 70%.
Karena aspirin tersedia luas di pasaran, tidak semua penyalahgunaan aspirin dikarenakan oleh peresepan aspirin; dalam beberapa kasus, pasien seringkali memutuskan untuk mengkonsumsinya sendiri, ujar penulis senior Dr Salim S Virani (Michael E DeBakey Veterans Affairs Medical Center, Houston, TX) kepada Heartwire.
Bagi kardiolog, pesan yang disampaikan yaitu “bagi semua pasien yang diresepkan aspirin (untuk pencegahan primer) atau mereka yang mengkonsumsi aspirin sendiri, harus dibiasakan memperhitungkan risiko penyakit kardiovaskularnya dalam 10 tahun, kemudian berdiskusi dengan pasien tentang risiko dan keuntungannya” ujar beliau.
Riset ini mengidentifikasi sebuah bagian penting untuk perbaikan kualitas, yang mempunyai efek bermakna. Aspirin digunakan oleh sekitar 36% populasi di Amerika Serikat, beliau menambahkan “Pengunaan aspirin dengan lebih ilmiah berpotensi untuk memperbaiki keluaran kardiovaskular dan mencegah kerugian yang disebabkan oleh medikamentosa pada semua pasien yang datang ke klinik kami.”
Studi lebih lanjut dibutukan untuk menginvestigasi luasnya variasi praktek penggunaan aspirin yang tidak tepat untuk pencegahan primer pada pasien risiko rendah dan untuk mengevaluasi keuntungan dari pengunaan aspirin pada pasien dalam terapi statin, penulis pertama Dr Ravi S Hira (Baylor College of Medicine, Houston, Texas) dan kolega menambahkan.
Para peneliti mengidentifikasi 254.399 pasien yang berkunjung pada 119 klinik kardiologi Amerika Serikat yang merupakan bagian dari National Cardiovascular Disease Registry Practice Innovation and Clinical Excellence (PINNACLE) dan memakai aspirin selama bulan Januari 2008 hingga Juni 2013. Kriteria eksklusi sampel antara lain pasien yang memakai aspirin untuk prevensi sekunder penyakit kardiovaskular dan yang menggunakan warfarin, clopidogrel, ticlopidine, dan atau kombinasi aspirin-dipiridamol lepas lambat.
Hira dkk menggunakan kalkulator risiko Framingham (berdasarkan usia, jenis kelamin, hipertensi, diabetes, merokok, kolesterol total dan HDL, tekanan darah sistolik, dan obat-obatan hipertensi) untuk menghitung risiko 10 tahun pasien untuk penyakit kardiovaskular.
Hingga tiga-perempat pasien (72,9%) memiliki variabel yang tidak lengkap, terutama kadar kolesterol, sehingga hanya terdapat 68.808 pasien yang skor risikonya dapat dihitung.
Para peneliti memakai risiko “konservatif” penyakit kardiovaskular 10 tahun kurang dari 6% sebagai indikator penyalahgunaan aspirin untuk pencegahan penyakit kardiovaskular primer, meskipun menurut beberapa pedoman, penggunaan yang tidak tepat terjadi pada risiko dibawah 10 %, tegas Virani.
Mereka menemukan bahwa 11,6% pasien yang menggunaan aspirin memiliki risiko penyakit kardiovaskular 10 tahun kurang dari 6%.
Pasien yang mengggunakan aspirin dengan tidak tepat jika dibandingkan dengan yang seharusnya cenderung lebih muda (usia rata-rata 49,9 tahun dibandingkan 65,9) dan lebih sering wanita (79,7% dibadingkan 52,6%).
Adjusted median rate ratio (MRR) untuk penggunaan aspirin yang tidak sesuai dalam berbagai praktik klinik yang berbeda adalah 1,63, yang berarti terdapat kemungkinan 63% bahwa jika ada dua pasien “identik” yang tampak di dua tempat praktik berbeda, satu pasien mungkin telah menggunakan aspirin dengan tidak tepat.
Setelah peneliti mengeksklusi wanita dengan usia lanjut dan pasien dengan diabetes (yang lebih diuntungkan jika mendapat aspirin) serta menyingkirkan penggunaan statin – yang meningkat selama periode studi – penggunaan yang tidak sesuai dan MRR relatif tidak berubah.
Studi Menekankan Pentingnya untuk Memperhitungkan Risiko yang Mendasari
Diminta untuk berpendapat, Dr. Francisco Lopez-Jimenez (Mayo Clinic, Rochester, MN) berkata bahwa “Pesan yang paling penting adalah untuk mengenal bahwa ada masyarakat yang mengkonsumsi aspirin percaya bahwa mereka sedang melindungi dirinya dari serangan jantung saat sesungguhnya mereka sedang memaparkan dirinya terhadap risiko [perdarahan] dari aspirin dan mungkin sekali tidak ada keuntungannya sama sekali. Hal tersebut mungkin mewakili jutaan orang lainnya, seiring dengan luasnya penggunaan aspirin” tegas beliau.
Menurut Lopez, tulisan tersebut sangat baik dalam menekankan bahwa klinisi wajib menentukan risiko dasar pasien untuk mengalami kejadian kardiovaskular. “Mungkin salah satu cara untuk menilai risiko tersebut adalah dengan menggunakan AHA pooled-cohort calculator,” yang juga memperhitungkan ras sama halnya dengan petanda risiko Framingham, sarannya.
Pada sebuah editorial serupa[2], Dr. Freek WA Verheught (Radboud University, Amsterdam, Netherland) menyatakan bahwa hasil karya Hira et al “unik dan penting,” karena hampir seluruh uji klinis yang melihat bahwa penggunaan aspirin sebagai pencegahan primer penyakit kardiovasular dilakukan pada praktek dokter umum.
Walaupun “Ahli jantung biasanya mendapatkan pasien dengan penyakit jantung simptomatik, yang dalam pencegahan primer, namun mungkin juga ada pasien tanpa penyakit jantung koroner yang menemui ahli jantung untuk alasan lainnya, seperti nyeri dada atipikal, aritmia, atau gagal jantung dan mereka dengan risiko kejadian koroner,” kata beliau.
“Karena itu, pada praktek kardiologi penting bahwa faktor risiko harus dinilai dan mulailah terapi profilaksis yang tepat,” menurut beliau, sesuai dengan penelitian penulis dan Lopez.
Risiko perdarahan ekstrakranial yang terkait aspirin “mungkin akibat strategi pencegahan lainnya [termasuk statin] seringkali diterapkan dan digunakan secara luas pada praktik kardiologi,” menurut Verheugt. “Karena itu, penggunaan aspirin harus dihindari, terutama pada populasi pasien yang lebih muda, seperti yang didemonstrasikan pada studi sekarang”. (Ref: Marlene Busko. Misguided Aspirin Use in 1 in 10 Low-Risk Heart-Clinic Patients: Study. Medscape. Jan 12, 2015.)
Stephanie Salim
Referensi:
1. Hira RS, Kennedy K, Nambi V, et al. Frequency and practice-level variation in inappropriate aspirin use for the primary prevention of cardiovascular disease: insights from the National Cardiovascular Disease Registry's Practice Innovation and Clinical Excellence Registry. J Am Coll Cardiol 2015; 65:111–21. Abstract.
2. Verheugt FWA. The role of the cardiologist in the primary prevention of cardiovascular disease with aspirin. J Am Coll Cardiol 2015; 65:122–23. Editorial
Optimalisasi Pengobatan Tekanan Darah dengan Fixed-Dose Combination Perindopril / Amlodipine pada pasien dengan Hipertensi Arterial
MESKIPUN pemahaman dan kesadaran tentang
peranan hipertensi pada penyakit kardiovaskuler terus – menerus meningkat, World Health Organization (WHO) membuat
hipertensi sebagai faktor resiko mortalitas nomer 1 dengan 13% kematian di
dunia yang disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan hipertensi.[1]
Tentunya, pasien dengan hipertensi tidak terkontrol akan rutin ditemukan pada
praktek kedokteran sehari-hari dan akan terus menjadi tantangan bagi banyak
dokter.
Sekarang banyak diketahui bahwa banyak pasien yang memerlukan 2 atau lebih obat anti-hipertensi untuk mencapai dan menjaga tekanan darah agar terkontrol.[2] Oleh karena itu, terapi kombinasi telah didukung sepenuhnya oleh pedoman sebagai lini pertama dan lini kedua terapi alternatif. Belakangan ini, pedoman telah menetapkan bahwa strategi dengan memilih kombinasi penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dengan penghambat kanal kalsium (CCB) atau diuretik harus lebih diutamakan agar memaksimalkan cara kerja dan jalur molekuler mereka yang sinergis atau sejalan.[3] Khususnya, kombinasi penghambat Angiotension Converting Enzyme (ACE) seperti perindopril, dengan CCB dihidropiridin seperti amlodipine, diharapkan memberikan perbaikan tekanan darah dan luaran kardiovaskuler, sembari meningkatkan aliran vena dan menurunkan kejadian oedema pada pengobatan amlodipine.[4,5] Selanjutnya, pedoman telah mendukung formulasi pil tunggal (Single pill) yang diyakini akan meningkatkan kepatuhan minum obat dan menurunkan kejadian kesalahan dalam pengobatan.
Pengobatan hipertensi dengan perindopril / amlodipine belakangan ini diakui dengan bentuk Fixed-Dose Combination (FDC), sesuai dengan rekomendasi pedoman dan didukung dengan hasil studi ASCOT (Anglo-Scandinavian Cardiac Outcome Trial) dan dengan data tambahan yang menjelaskan setiap obat sebagai monoterapi. [3-6] Pada studi ASCOT, pengobatan pada pasien hipertensi dengan kombinasi CCB (amlodipine) dan penghambat ACE (perindopril) dengan jelas menurunkan mortalitas dan kejadian kardiovaskuler dibandingkan dengan pengobatan dengan penyekat reseptor beta-adrenergik atau strategi dengan diuretik tiazid.[7] Selanjutnya, amlodipine, yang mana juga digunakan untuk mengurangi nyeri dada pada pasien penyakit arteri koroner, telah menunjukkan penurunan tekanan darah dan kejadian kardiovaskuler pada pasien hipertensi dengan atau tidak adanya penyakit arteri koroner.[8-11] Perindopril telah menunjukkan penurunan tekanan darah secara efektif, memperbaiki fungsi endotel dan abnormalitas dari struktur dan fungsi pembuluh darah yang berkaitan dengan hipertensi untuk memperlambat aterosklerosis dan mortalitas kardiovaskuler secara signifikan pada banyak pasien.
Pengobatan dengan fixed-dose combination menggunakan penghambat Angiotension-Converting Enzyme (ACE), seperti perindopril ditambah dengan penghambat kanal kalsium (CCB), seperti amlodipine, telah didukung oleh pedoman karena mereka memperbaiki kontrol tekanan darah dan luaran kardiovaskuler pada pasien hipertensi, sementara itu juga dapat ditoleransi dan ditaati dengan baik oleh pasien.
Berdasarkan Studi SYMBIO (StudY of optiMized Blood pressure lowering therapy with fixed cOmbination perindopril / amlodipine), studi ini untuk mengetahui kenyataan pada praktek klinis pada efek penurunan tekanan darah dan toleransi perindopril / amlodipine FDC pada pasien yang pernah diobati dengan penghambat ACE dan / atau CCB namun hipertensinya tidak terkontrol dan pada hipertensi yang terkontrol namun tidak toleran pada pengobatan penghambat ACE dan / atau CCB yang sebelumnya, dokter internis dan dokter umum di Slovakia diminta untuk mempertimbangkan pendaftaran pada pasien hipertensi yang diobati dengan penghambat ACE dan / atau CCB (terutama amlodipine) untuk hipertensi dan yang telah diobati dengan perindopril / amlodipine FDC oleh dokter. Pasien tersebut adalah pasien yang memiliki hipertensi yang tidak terkontrol secara adekuat (TDS/TDD > 140 / 90 atau > 130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes melittus tipe 2 atau dengan resiko tinggi kardiovaskuler[2]) atau pasien dengan tekanan darah terkontrol dalam pengobatan namun dengan pernah memiliki gejala yang dicurigai akibat toleransi buruk pada pengobatan penghambat ACE dan / atau CCB yang sebelumnya. Pasien dengan diekslusi apabila: mereka berumur kurang dari 18 tahun; memiliki hipersensitivitas atau tidak toleran pada perindopril atau amlodipine; memiliki infak miokard akut atau stroke akut dalam < 3 bulan; terdiagnosa atau dicurigai memiliki hipertensi sekunder; memiliki penyakit serius yang mempengaruhi prognosis; atau kontraindikasi pada pengobatan (seperti kehamilan dan wanita menyusui).
Sekarang banyak diketahui bahwa banyak pasien yang memerlukan 2 atau lebih obat anti-hipertensi untuk mencapai dan menjaga tekanan darah agar terkontrol.[2] Oleh karena itu, terapi kombinasi telah didukung sepenuhnya oleh pedoman sebagai lini pertama dan lini kedua terapi alternatif. Belakangan ini, pedoman telah menetapkan bahwa strategi dengan memilih kombinasi penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dengan penghambat kanal kalsium (CCB) atau diuretik harus lebih diutamakan agar memaksimalkan cara kerja dan jalur molekuler mereka yang sinergis atau sejalan.[3] Khususnya, kombinasi penghambat Angiotension Converting Enzyme (ACE) seperti perindopril, dengan CCB dihidropiridin seperti amlodipine, diharapkan memberikan perbaikan tekanan darah dan luaran kardiovaskuler, sembari meningkatkan aliran vena dan menurunkan kejadian oedema pada pengobatan amlodipine.[4,5] Selanjutnya, pedoman telah mendukung formulasi pil tunggal (Single pill) yang diyakini akan meningkatkan kepatuhan minum obat dan menurunkan kejadian kesalahan dalam pengobatan.
Pengobatan hipertensi dengan perindopril / amlodipine belakangan ini diakui dengan bentuk Fixed-Dose Combination (FDC), sesuai dengan rekomendasi pedoman dan didukung dengan hasil studi ASCOT (Anglo-Scandinavian Cardiac Outcome Trial) dan dengan data tambahan yang menjelaskan setiap obat sebagai monoterapi. [3-6] Pada studi ASCOT, pengobatan pada pasien hipertensi dengan kombinasi CCB (amlodipine) dan penghambat ACE (perindopril) dengan jelas menurunkan mortalitas dan kejadian kardiovaskuler dibandingkan dengan pengobatan dengan penyekat reseptor beta-adrenergik atau strategi dengan diuretik tiazid.[7] Selanjutnya, amlodipine, yang mana juga digunakan untuk mengurangi nyeri dada pada pasien penyakit arteri koroner, telah menunjukkan penurunan tekanan darah dan kejadian kardiovaskuler pada pasien hipertensi dengan atau tidak adanya penyakit arteri koroner.[8-11] Perindopril telah menunjukkan penurunan tekanan darah secara efektif, memperbaiki fungsi endotel dan abnormalitas dari struktur dan fungsi pembuluh darah yang berkaitan dengan hipertensi untuk memperlambat aterosklerosis dan mortalitas kardiovaskuler secara signifikan pada banyak pasien.
Pengobatan dengan fixed-dose combination menggunakan penghambat Angiotension-Converting Enzyme (ACE), seperti perindopril ditambah dengan penghambat kanal kalsium (CCB), seperti amlodipine, telah didukung oleh pedoman karena mereka memperbaiki kontrol tekanan darah dan luaran kardiovaskuler pada pasien hipertensi, sementara itu juga dapat ditoleransi dan ditaati dengan baik oleh pasien.
Berdasarkan Studi SYMBIO (StudY of optiMized Blood pressure lowering therapy with fixed cOmbination perindopril / amlodipine), studi ini untuk mengetahui kenyataan pada praktek klinis pada efek penurunan tekanan darah dan toleransi perindopril / amlodipine FDC pada pasien yang pernah diobati dengan penghambat ACE dan / atau CCB namun hipertensinya tidak terkontrol dan pada hipertensi yang terkontrol namun tidak toleran pada pengobatan penghambat ACE dan / atau CCB yang sebelumnya, dokter internis dan dokter umum di Slovakia diminta untuk mempertimbangkan pendaftaran pada pasien hipertensi yang diobati dengan penghambat ACE dan / atau CCB (terutama amlodipine) untuk hipertensi dan yang telah diobati dengan perindopril / amlodipine FDC oleh dokter. Pasien tersebut adalah pasien yang memiliki hipertensi yang tidak terkontrol secara adekuat (TDS/TDD > 140 / 90 atau > 130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes melittus tipe 2 atau dengan resiko tinggi kardiovaskuler[2]) atau pasien dengan tekanan darah terkontrol dalam pengobatan namun dengan pernah memiliki gejala yang dicurigai akibat toleransi buruk pada pengobatan penghambat ACE dan / atau CCB yang sebelumnya. Pasien dengan diekslusi apabila: mereka berumur kurang dari 18 tahun; memiliki hipersensitivitas atau tidak toleran pada perindopril atau amlodipine; memiliki infak miokard akut atau stroke akut dalam < 3 bulan; terdiagnosa atau dicurigai memiliki hipertensi sekunder; memiliki penyakit serius yang mempengaruhi prognosis; atau kontraindikasi pada pengobatan (seperti kehamilan dan wanita menyusui).
Figur
1.
Tekanan darah setelah 1 bulan dan 3 bulan pengobatan dengan
perindopril/amlodipine. (a) TDS dam
TDD pada seluruh kohort; (b) TDS
dinyatakan dengan tingkat dari hipertensi. Terdapat tiga tingkatan hipertensi
menurut definisi pedoman hipertensi ESC/ESH 2007.[2] Mean dan
standar deviasi dilaporkan; analisis dilakukan pada populasi yang ditujukan
untuk diobati. Pada figur 1a jumlah pasien terhadap TDS digambarkan pada aksis
x; jumlah pasien terhadap TDD sama + 5 pasien. Angka pada figur 1b
sesuai dengan jumlah pasien pada setiap subgroup pada baseline. BP = Blood pressure;
DBP = Diastolic BP; HTN = Hypertension; SBP = Systolic BP. * p < 0,0001
vs baseline.
Figur
2.
Persentase pasien yang mencapai tekanan darah target dari waktu ke waktu oleh
tingkatan hipertensi. Nilai target dan kelompok berdasarkan keparahan
didefiniskan menurut pedoman hipertensi ESC/ESH 2007.[2] Tekanan
darah target didefiniskan sebagai TDS/TDS < 140/90 mmHg atau < 130/80
mmHg pada pasien diabetes mellitus tipe II atau dengan resiko tinggi
kardiovaskuler. Analisa dilakukan pada populasi yang ditujukan untuk diobati.
Angka sesuai dengan jumlah pasien setiap subgroup pada baseline. Pasien yang mencapai TD target saat baseline (n=140) tidak digambarkan. BP = Blood pressure; DBP = Diastolic
BP; HTN = Hypertension; SBP = Systolic BP.
Keamanan dan toleransi
Pengobatan dengan FDC perindopril/amlodipine dapat ditoleransi dengan baik. Setelah 3 bulan pengobatan, efek samping yang paling sering terjadi adalah oedema tungkai (5,4%), dispneu (1,8%), sakit kepala (1,2%), batuk (1%) dan vertigo (1%). Tidak ditemukan adanya efek samping yang serius.
Jumlah pasien yang menderita edema tungkai akibat amlodipine menurun dari 163 dari 1085 pasien (15%) hingga 86 pasien (7,9%) setelah 1 bulan, pada pengobatan perindopril.
Pada SYMBIO sebuah studi fase IV, longitudinal selama 3 bulan mengenai pengobatan optimisasi dengan FDC perindopril/amlodipine menghasilkan penurunan signifikan secara klinis dan statistik pada tekanan darah pasien dengan insufisiensi kontrol hipertensi dan atau toleransi buruk pada pengobatan sebelumnya dengan ACE inhibitor dan atau CCB. Perubahan secara signifikan pada tekanan darah tercatat tanpa memperhatikan keparahan baseline dan pengobatan baseline. Target tekanan darah dicapai 74% populasi dari keseluruhan pasien, 84% pasien dengan hipertensi tingkat 1, dan 52% pasien dengan hipertensi tingkat 3. Pengobatan cukup bisa ditoleransi dan berhubungan dengan 58% penurunan jumlah pasien dengan edema tungkai akibat amlodipin.
Pentingnya kontrol tekanan darah secara berkala untuk kesehatan jantung jangka panjang sudah diketahui dengan baik.[ Selanjutnya, data dari studi jangka panjang sebelumnya menyimpulkan bahwa keuntungan studi jangka panjang akan dihasilkan dari pengobatan dengan FDC perindopril/amlodipin. Pada percobaan ASCOT-BPLA,[7] pengobatan 5 tahun dengan amlodipin/perindopril menyebabkan penurunan signifikan secara statistik pada mortalitas kardiovaskular (24%), stroke (23%), total kejadian kardiovaskular dan prosedur (16%), gagal jantung (16%), kejadian koroner total (13%), dan kematian akibat semua sebab (11%) dibandingkan pengobatan atenolol/bendroflumethiazide. Kemudian secara jangka panjang, pasien yang diobati dengan FDC perindopril/amlodipin diharapkan mengalami peningkatan morbiditas kardiovaskular dan mortalitas yang berhubungan dengan penurunan tekanan darah dari efek spesifik perindopril/amlodipin.
Pada studi sekarang, dimana 77% pasien diobati dengan ACE inhibitor atau kombinasi dengan CCB sebelum kriteria inklusi, penggantian pengobatan baseline ACE inhibitor/amlodipin dengan kombinasi pasti perindopril/amlodipin menyebabkan penurunan signifikan pada tekanan darah. Hasil ini mungkin bisa dijelaskan perbedaan relevan secara klinis pada profil ACE inhibitor yang berbeda. Tentu saja karena ACE inhibitor memiliki farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda, profil efikasi dan tolerabilitas diharapkan berbeda juga. Contohnya perindopril dimana telah didemonstrasikan efikasi antihipertensinya selama 24 jam dengan pengobatan 1 kali sehari. Dengan rasio menuju puncak 75-100%, perindopril menunujukkan bahwa ia memiliki efikasi 24 jam ketika ditambahkan CCB kerja panjang amlodipin dengan rasio menuju puncak 87%.[19]
KESIMPULAN
Data dari studi ini mendemostrasikan bahwa pada praktek klinik sehari-hari di Slovakia, perindopril/amlodipin FDC cukup efektif dan memiliki toleransi baik pada penurunan tekanan darah hingga mencapai target tekanan darah yang direkomendasi pada pasien yang memiliki banyak faktor resiko dan komorbiditas. Meskipun terbukti bahwa keuntungan pada penggunaan amlodipin/perindopril pada pasien hipertensi yang bebas dari penyakit jantung terhadap morbiditas dan mortalitas,[18] studi tambahan untuk jangka panjang yang spesifik pada FDC perindopril/amlodipin dibutuhkan, untuk menunjukkan penurunan tekanan darah pada studi ini dan disimpukan menjadi penurunan morbiditas kardiovaskular dan peningkatan kelangsungan hidup. Meskipun demikian, data perindopril/amlodipin yang ada disini digabungkan dengan data yang membuat tentang amlodipin dan perindopril menunjukkan bahwa perindopril/amlodipin FDC sangat efektif dan mudah digunakan sebagai pilihan pengobatan jangka panjang untuk hipertensi arterial. (Refferensi dapat dilihat di sini)
Pengobatan dengan FDC perindopril/amlodipine dapat ditoleransi dengan baik. Setelah 3 bulan pengobatan, efek samping yang paling sering terjadi adalah oedema tungkai (5,4%), dispneu (1,8%), sakit kepala (1,2%), batuk (1%) dan vertigo (1%). Tidak ditemukan adanya efek samping yang serius.
Jumlah pasien yang menderita edema tungkai akibat amlodipine menurun dari 163 dari 1085 pasien (15%) hingga 86 pasien (7,9%) setelah 1 bulan, pada pengobatan perindopril.
Pada SYMBIO sebuah studi fase IV, longitudinal selama 3 bulan mengenai pengobatan optimisasi dengan FDC perindopril/amlodipine menghasilkan penurunan signifikan secara klinis dan statistik pada tekanan darah pasien dengan insufisiensi kontrol hipertensi dan atau toleransi buruk pada pengobatan sebelumnya dengan ACE inhibitor dan atau CCB. Perubahan secara signifikan pada tekanan darah tercatat tanpa memperhatikan keparahan baseline dan pengobatan baseline. Target tekanan darah dicapai 74% populasi dari keseluruhan pasien, 84% pasien dengan hipertensi tingkat 1, dan 52% pasien dengan hipertensi tingkat 3. Pengobatan cukup bisa ditoleransi dan berhubungan dengan 58% penurunan jumlah pasien dengan edema tungkai akibat amlodipin.
Pentingnya kontrol tekanan darah secara berkala untuk kesehatan jantung jangka panjang sudah diketahui dengan baik.[ Selanjutnya, data dari studi jangka panjang sebelumnya menyimpulkan bahwa keuntungan studi jangka panjang akan dihasilkan dari pengobatan dengan FDC perindopril/amlodipin. Pada percobaan ASCOT-BPLA,[7] pengobatan 5 tahun dengan amlodipin/perindopril menyebabkan penurunan signifikan secara statistik pada mortalitas kardiovaskular (24%), stroke (23%), total kejadian kardiovaskular dan prosedur (16%), gagal jantung (16%), kejadian koroner total (13%), dan kematian akibat semua sebab (11%) dibandingkan pengobatan atenolol/bendroflumethiazide. Kemudian secara jangka panjang, pasien yang diobati dengan FDC perindopril/amlodipin diharapkan mengalami peningkatan morbiditas kardiovaskular dan mortalitas yang berhubungan dengan penurunan tekanan darah dari efek spesifik perindopril/amlodipin.
Pada studi sekarang, dimana 77% pasien diobati dengan ACE inhibitor atau kombinasi dengan CCB sebelum kriteria inklusi, penggantian pengobatan baseline ACE inhibitor/amlodipin dengan kombinasi pasti perindopril/amlodipin menyebabkan penurunan signifikan pada tekanan darah. Hasil ini mungkin bisa dijelaskan perbedaan relevan secara klinis pada profil ACE inhibitor yang berbeda. Tentu saja karena ACE inhibitor memiliki farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda, profil efikasi dan tolerabilitas diharapkan berbeda juga. Contohnya perindopril dimana telah didemonstrasikan efikasi antihipertensinya selama 24 jam dengan pengobatan 1 kali sehari. Dengan rasio menuju puncak 75-100%, perindopril menunujukkan bahwa ia memiliki efikasi 24 jam ketika ditambahkan CCB kerja panjang amlodipin dengan rasio menuju puncak 87%.[19]
KESIMPULAN
Data dari studi ini mendemostrasikan bahwa pada praktek klinik sehari-hari di Slovakia, perindopril/amlodipin FDC cukup efektif dan memiliki toleransi baik pada penurunan tekanan darah hingga mencapai target tekanan darah yang direkomendasi pada pasien yang memiliki banyak faktor resiko dan komorbiditas. Meskipun terbukti bahwa keuntungan pada penggunaan amlodipin/perindopril pada pasien hipertensi yang bebas dari penyakit jantung terhadap morbiditas dan mortalitas,[18] studi tambahan untuk jangka panjang yang spesifik pada FDC perindopril/amlodipin dibutuhkan, untuk menunjukkan penurunan tekanan darah pada studi ini dan disimpukan menjadi penurunan morbiditas kardiovaskular dan peningkatan kelangsungan hidup. Meskipun demikian, data perindopril/amlodipin yang ada disini digabungkan dengan data yang membuat tentang amlodipin dan perindopril menunjukkan bahwa perindopril/amlodipin FDC sangat efektif dan mudah digunakan sebagai pilihan pengobatan jangka panjang untuk hipertensi arterial. (Refferensi dapat dilihat di sini)
Evan Hindoro, Arlis Karlina
Kombinasi Antibiotik dan Spirinolakton Meningkatkan Kejadian Kematian Mendadak pada Usia Lanjut
Peresepan antibiotik
yang sering digunakan seperti trimetroprim-sulfametoksazol bersamaan dengan
spirinolakton, diuretik yang digunakan untuk pasien dengan gagal jantung, dapat
meningkatkan risiko pasien usia lanjut untuk kematian mendadak, berdasarkan hasil
penelitian di Kanada. Penelitian tersebut dipublikasikan online tanggal 2
Februari 2015 oleh Canadian Medical Association Journal (CMAJ).
Para peneliti yang dipimpin oleh Tony Antoniou, PhD, dari St. Michael's Hospital di Toronto, Ontario, Canada, memeriksa data pasien berusia 66 tahun atau lebih yang diterapi dengan spirinolakton selama tahun 1994 hingga 2011. Analisis data berasal dari resep pasien, perawatan di rumah sakit dan catatan asuransi kesehatan, termasuk juga data demografik dasar dari kantor catatan kependudukan Ontario. Dari kelompok 206.319 pasien yang diteliti, 11.968 meninggal mendadak dan 349 meninggal dalam waktu 14 hari saat diresepkan satu dari lima antibiotik.
Secara garis besar, 29.141 penggunaan trimetroprim-sulfametoksazol pada pasien yang diresepkan spirinolakton terkait dengan 215 kematian dalam 14 hari, dengan nilai persentase 0,74%.
Pasien yang diresepkan trimetroprim-sulfametoksazol telah mempunyai risiko lebih dari dua kali (adjusted odds ratio [OR], 2.46; 95% dengan confidence interval [CI], 1.55 - 3.90) untuk kematian mendadak dibandingkan pasien yang diresepkan amoksilin, antibiotik yang umum lainnya.
Diantara antibiotic lainnya dalam penelitian, ciprofloxacin (adjusted OR, 1.55; 95% CI, 1.02 - 2.38) dan nitrofurantoin (adjusted OR, 1.70; 95% CI, 1.03 - 2.79) juga menunjukkan peningkatan risiko dibandingkan dengan amoksisilin, walaupun risikonya berkurang pada nitrofurantoin pada analisis selanjutnya. Norfloxacin (adjusted OR, 0.86; 95% CI, 0.47 - 1.58) menunjukkan tidak ada risiko.
Lebih dari 20 juta peresepan trimetroprim tercatat di America Serikat setiap tahunnya. Obat tersebut paling sering digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih dalam kombinasi dengan sulfametoksazol.
Penulis menyatakan bahwa trimetroprim-sulfametoksazol dan spirinolakton merupakan obat yang sering diresepkan, dan tinggi kecenderungannya untuk diresepkan bersamaan. Mereka juga menyampaikan bahwa dokter mungkin meremehkan bahayanya pada pasien dengan penyakit jantung, menyalahkan kematian akibat penyakit jantung, dibandingkan hiperkalemia.
Claudene George, MD, RPh, assistant professor of clinical medicine, geriatrik, di Albert Einstein College of Medicine, Bronx, New York, memberitahu Medscape Medical News bahwa hasil penelitian menjadi peringatan dan mereka akan merubah praktek peresepannya.
"Saya akan berpikir dua kali saat mempertimbangkan pilihan antibiotik untuk pasien dengan spirinolakton,” kata beliau. “Jika pilihan yang cocok tidak tersedia, maka kadar kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor ketat selama terapi.”
Dr. George menyampaikan bahwa penisilin dan sefalosporin mungkin merupakan alternative antibiotic yang cocok. Ciprofloxacin biasanya merupakan alternative yang baik “tetapi juga terkait dengan peningkatan risiko dari kematian jantung mendadak, yang cukup mengejutkan,” ujarnya.
Jika tidak ada alternatif lain yang cocok, dokter harus mengawasi kadar kalium dan mempertimbangkan klirens kreatinin pasien saat obat tersebut digunakan secara bersamaan.
Dr. George menambahkan bahwa awalnya beliau berpikir bahwa fungsi ginjal memainkan peran penting yang menyebabkan hiperkalemia dan kematian mendadak, sesuatu yang tidak digali dalam penelitian.
Pada studi sebelumnya, Dr. Antoniou dan kolega menemukan bahwa trimetroprim-sulfametoksazol, dikombinasi dengan spirinolakton, mencetuskan hiperkalemia lebih dari 12 kali dibandingkan amoksisilin.
"Kami menemukan bahwa trimetoprim–sulfametoksazol terkait dengan peningkatan risiko bermakna dari kematian mendadak pada pasien usia lanjut yang menggunakan spirinolakton, sebuah temuan yang diduga akibat hiperkalemia yang dicetuskan trimetroprim. Kami juga menemukan bahwa terdapat kaitan klinis yang cukup penting pada ciprofloxacin dan kemungkinan nitrofurantoin,” penulis menyimpulkan. “Ketika tepat secara klinis, klinisi harus mempertimbangkan alternatif antibiotik lain pada pasien dalam terapi spirinolakton” (Antibiotic, Spironolactone Combo Ups Sudden Death in Elderly. Medscape. Feb 03, 2015)
Para peneliti yang dipimpin oleh Tony Antoniou, PhD, dari St. Michael's Hospital di Toronto, Ontario, Canada, memeriksa data pasien berusia 66 tahun atau lebih yang diterapi dengan spirinolakton selama tahun 1994 hingga 2011. Analisis data berasal dari resep pasien, perawatan di rumah sakit dan catatan asuransi kesehatan, termasuk juga data demografik dasar dari kantor catatan kependudukan Ontario. Dari kelompok 206.319 pasien yang diteliti, 11.968 meninggal mendadak dan 349 meninggal dalam waktu 14 hari saat diresepkan satu dari lima antibiotik.
Secara garis besar, 29.141 penggunaan trimetroprim-sulfametoksazol pada pasien yang diresepkan spirinolakton terkait dengan 215 kematian dalam 14 hari, dengan nilai persentase 0,74%.
Pasien yang diresepkan trimetroprim-sulfametoksazol telah mempunyai risiko lebih dari dua kali (adjusted odds ratio [OR], 2.46; 95% dengan confidence interval [CI], 1.55 - 3.90) untuk kematian mendadak dibandingkan pasien yang diresepkan amoksilin, antibiotik yang umum lainnya.
Diantara antibiotic lainnya dalam penelitian, ciprofloxacin (adjusted OR, 1.55; 95% CI, 1.02 - 2.38) dan nitrofurantoin (adjusted OR, 1.70; 95% CI, 1.03 - 2.79) juga menunjukkan peningkatan risiko dibandingkan dengan amoksisilin, walaupun risikonya berkurang pada nitrofurantoin pada analisis selanjutnya. Norfloxacin (adjusted OR, 0.86; 95% CI, 0.47 - 1.58) menunjukkan tidak ada risiko.
Lebih dari 20 juta peresepan trimetroprim tercatat di America Serikat setiap tahunnya. Obat tersebut paling sering digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih dalam kombinasi dengan sulfametoksazol.
Penulis menyatakan bahwa trimetroprim-sulfametoksazol dan spirinolakton merupakan obat yang sering diresepkan, dan tinggi kecenderungannya untuk diresepkan bersamaan. Mereka juga menyampaikan bahwa dokter mungkin meremehkan bahayanya pada pasien dengan penyakit jantung, menyalahkan kematian akibat penyakit jantung, dibandingkan hiperkalemia.
Claudene George, MD, RPh, assistant professor of clinical medicine, geriatrik, di Albert Einstein College of Medicine, Bronx, New York, memberitahu Medscape Medical News bahwa hasil penelitian menjadi peringatan dan mereka akan merubah praktek peresepannya.
"Saya akan berpikir dua kali saat mempertimbangkan pilihan antibiotik untuk pasien dengan spirinolakton,” kata beliau. “Jika pilihan yang cocok tidak tersedia, maka kadar kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor ketat selama terapi.”
Dr. George menyampaikan bahwa penisilin dan sefalosporin mungkin merupakan alternative antibiotic yang cocok. Ciprofloxacin biasanya merupakan alternative yang baik “tetapi juga terkait dengan peningkatan risiko dari kematian jantung mendadak, yang cukup mengejutkan,” ujarnya.
Jika tidak ada alternatif lain yang cocok, dokter harus mengawasi kadar kalium dan mempertimbangkan klirens kreatinin pasien saat obat tersebut digunakan secara bersamaan.
Dr. George menambahkan bahwa awalnya beliau berpikir bahwa fungsi ginjal memainkan peran penting yang menyebabkan hiperkalemia dan kematian mendadak, sesuatu yang tidak digali dalam penelitian.
Pada studi sebelumnya, Dr. Antoniou dan kolega menemukan bahwa trimetroprim-sulfametoksazol, dikombinasi dengan spirinolakton, mencetuskan hiperkalemia lebih dari 12 kali dibandingkan amoksisilin.
"Kami menemukan bahwa trimetoprim–sulfametoksazol terkait dengan peningkatan risiko bermakna dari kematian mendadak pada pasien usia lanjut yang menggunakan spirinolakton, sebuah temuan yang diduga akibat hiperkalemia yang dicetuskan trimetroprim. Kami juga menemukan bahwa terdapat kaitan klinis yang cukup penting pada ciprofloxacin dan kemungkinan nitrofurantoin,” penulis menyimpulkan. “Ketika tepat secara klinis, klinisi harus mempertimbangkan alternatif antibiotik lain pada pasien dalam terapi spirinolakton” (Antibiotic, Spironolactone Combo Ups Sudden Death in Elderly. Medscape. Feb 03, 2015)
Rendy Suherman Sidik
Kardiologi Kuantum (ke-32): Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity)
Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika
tan hana dharma mangrwa. (It is said that the well-known Buddha and
Shiva are two different substances. They are indeed different, yet how is it possible to recognise their
difference in a glance, since the truth of Jina (Buddha) and the truth of Shiva is one. They are
indeed different, but they are of the same kind, as there is no duality in
Truth). ~Dr. Soewito
Santoso*)
SALAM KARDIO. Hari-hari ini para dokter dan
petugas kesehatan lainnya di Timur tengah pastilah sedang sibuk-sibuknya
bekerja karena ada eskalasi pertempuran dengan masuknya kombatan Koalisi
baru Yordania yang telah menganggap
perangnya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) adalah perangnya sendiri
bersamaan dengan Koalisi USA, Inggris dan teman-temannya. ISIS diketahui telah
membantai Shiah, Sunni, dan Kurdi di
Siria dan Iraq. Setelah Letnan Muath Al Kassasbeh seorang Pilot F-16 Yordania
dibakar hidup-hidup dan Haruna Yukawa (42) dibunuh dengan keji, dan jurnalis
Jepang Kenji Goto (47) dipotong lehernya, dan Kayla Moeller (26) diperkirakan diculik ISIS pada 4 Agustus
2013 di kota Aleppo, usai bekerja di sebuah rumah sakit yang dikelola lembaga Doctors Without Borders asal Spanyol.Banyak pemimpin
dunia terperangah dan merasa kebi-ngungan melihat sepak terjang ISIS yang saat
ini telah menguasai sepertiga wilayah Syria dan Iraq. Dari kacamata ideal Unity in diversity sering terlihat betapa sulitnya menyatukan perbedaan berbagai kelompok sekalipun esensi
syahadat/ kredo/ pahuger-an-nya sama
dalam satu religi, mungkin politik dengan keinginan memaksakan kehendaknya
dalam memperebutkan kekuasaanlah yang membedakannya. Mereka berpesta-pora
kekerasan berdarah-darah orang lain masih menebak-nebak apa yang diperjoangkan,
yang pasti orang-orang kesehatan dan kemanusiaanlah yang “mencuci”
piring-piringnya. Boleh jadi kalau diperiksa oleh dokter yang mengikuti pola
diagnosis Freud pastilah banyak diantara mereka yang kurang sehat jiwanya,
entah depresi, paranoid maupun neurotik.
Adalah kenyataan bahwa Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan, namun umat Islam di Indonesia menempati posisi yang terbesar jumlahnya. Di dunia yang sedang bergolak memperebutkan kekuasaan ini populasi muslim di Indonesia menduduki posisi terbesar jumlahnya diharapkan pemikirannya pun dapat dijadikan juga sebagai referensi terbesar di dunia. Islam di Indonesia harus mampu menunjukkan diri sebagai Islam yang moderat dan toleran. Islam yang mampu menjaga kebersamaan dan kedamaian adalah Islam yang menjadi jalan tengah arus pemikiran solusi peradaban dunia. Itulah yang menjadi harapan Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla ketika menyampaikan pidato pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Senin (9/II-2015). “Pemikiran-pemikiran Islam yang baik harus menjadi referensi dunia, yakni Islam yang moderat, Islam yang jadi jalan tengah,” demikian menurut beliau. Pertemuan ini difahami sebagai pertemuan puncak para ulama, cendekiawan, pengusaha, dan perwakilan ormas Islam se-Indonesia, dihadiri sekitar 400 peserta.
Ada baiknya para dokter dan siapa saja juga belajar dari alam, alam semesta seakan-akan membuka dirinya bahwa ia memang tidak memiliki (kesadaran) ego tetapi sebaliknya dan pasti memiliki ke(tidak) sadaran kolektif. Tentu saja pemahaman ini terasa pas bagi para dokter yang mengkritisi pemikiran Dokter Sigmun Freud bahwa ketidak sadaran atau kesadaran yang berbau kolektif; dalam pemahaman atheis, Kesadaran Kolektif (Tuhan) memang dianggap tidak ada. Tengoklah keatas, pertama, sepertinya langit maha mengayomi dan tanpa pilih kasih, memayungi menerima semua di bawahnya. Oleh karena itu dapat dimengerti orang-orang Tiongkok sejak dulu banyak yang menganggap bahwa Langit-lah yang menjadi Tuhan (Sang Ti); kasihnya tidak memilih. Kedua, ada langit di atas sana, maka di bawah ini ada bumi yang berfungsi mendukung semua kehidupan di atasnya, juga tidak pilih kasih walaupun ia di-“sakiti” oleh petani. Tanahnya dicangkul, diluku dan di garu di bolak-balik tanahnya, tetap mendukung petani untuk memberikan hasil pertanian yang bermanfaat sesuai keinginan petaninya, yaitu ketika yang ditanam padi maka akan menghasilkan padi juga, bukan jagung.
Ketiga, matahari dan rembulan juga menerangi tanpa pilih kasih. Konon, sebagian besar nenek-moyang bangsa Jepang termasuk menyembah, mengagungkan Matahari, ini dapat dilihat dari benderanya yang bergambar matahari di tengahnya dan berwarna merah dengan dasar putih. Menurut catatan Wikipedia, bendera ini secara resmi disebut Nisshōki (日章旗, "bendera simbol matahari") dalam bahasa Jepang, namun secara umum dikenal sebagai Hinomaru (日の丸 ?, "lingkaran matahari). Bendera lingkaran matahari dipakai sebagai bendera nasional untuk kapal-kapal dagang berdasarkan Maklumat No. 57 tahun 3 Meiji (dikeluarkan pada 27 Februari 1870), dan sebagai bendera nasional yang digunakan oleh Angkatan Laut menurut Maklumat No. 651 tahun 3 Meiji (dikeluarkan pada 27 Oktober 1870). Apakah nenek moyang Jepang menganggap bahwa panas matahari akan menguapkan air, dan uap air ini diatas sana akan menjadi awan dan menurunkan hujan yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan sehingga mereka mengagungkannya, wallahu a’lam, tetapi setiap bangsa, setiap religi selalu ada yang di agungkannya. Orang Jawa menyebut matahari sebagai Srengenge, orang Sunda menyebutnya Panon Poek, orang Inggris menyebut The Sun dan orang Belanda menyebutnya sebagai De Zon, padahal itu-itu juga yang ditunjuk. Mataharinya satu tetapi setiap suku, setiap bahasa menyebutnya berlainan, walaupun bermacam-macam nama, maknanya satu jua pemaknaan ini tercakup di dalam pengertian unity in diversity, bhinneka tunggal ika.
Di dalam forum KTT ASEAN ke-25 di Nay Pyi Taw Myanmar, Kamis 13 November 2014 yang lalu, Presiden Jokowi menyebutkan betapa posisi jalur laut Indonesia sangat strategis sehingga RI akan fokus memilih menjadi negara maritim. Indonesia menganggap KTT Asia Timur berperanan penting bagi keamanan, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi di kawasan pantas untuk menyampaikan gagasannya tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Pada abad ke-21 ini sedang terjadi pergeseran pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia dari Barat ke Asia Timur. Pertumbuhan ekonomi di kawasan ini yang rata-rata 7% pertahun, dengan total GDP sekitar USD 40 trilyun menempatkan Asia Timur paling dinamis secara ekonomi dengan 40% perdagangan dunia terjadi di kawasan ini.
Jalur laut yang menghubungkan dua samudra strategis—Hindia dan Pasifik—merupakan jalur penting lalu-lintas perdagangan dunia. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah “lorong” lalu lintas maritim dunia yang di dalamnya menyimpan potensi kekayaan besar—energi dan sumberdaya laut lainnya—yang akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan. Indonesia berada tepat di tengah-tengah proses perubahan strategis itu, terbuka peluang peranannya baik secara geografis, geo-politik, maupun geo-ekonomi. Ada lima pilar yang diajukan beliau yang dimulai dari 1. membangun kembali budaya maritim pada 17 ribu pulaunya, 2. pembangunan kedaulatan pangan laut melalui industri perikanan dan nelayan sebagai pilar utamanya, 3. prioritas pembangunan infrastruktur maritim, Tol Laut, industri perkapalan sampai pariwisata maritim, 4. diplomasi maritim yang mempersatukan kawasan untuk menghilangkan konflik di laut, pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut, dan akhirnya, 5. pembangunan kekuatan pertahanan maritim untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim NKRI.
Dengan menjadi satunya samudera Pacifik, Atlantik, Arctik, dan Hindia antara lain melalui Terusan Nicaragua yang akan dibuat oleh Tiongkok. Sementara itu disebelah tenggara Terusan Nicaragua yaitu terusan Panama dan nun jauh di sana Terusan Suez terlihat juga gerak pembangunannya untuk meningkatkan kemampuan transitnya sebanyak duakali telah terasa telah menyatukan 4 samudera dan 5 benua, menjadikan kita semua bersaudara, maka Poros Maritim Indonesia menjadi komplemen maritim dunia bagi unity in diversity. Semoga Tuhan YME mengabulkannya, amin. Salam Kuantum
Adalah kenyataan bahwa Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan, namun umat Islam di Indonesia menempati posisi yang terbesar jumlahnya. Di dunia yang sedang bergolak memperebutkan kekuasaan ini populasi muslim di Indonesia menduduki posisi terbesar jumlahnya diharapkan pemikirannya pun dapat dijadikan juga sebagai referensi terbesar di dunia. Islam di Indonesia harus mampu menunjukkan diri sebagai Islam yang moderat dan toleran. Islam yang mampu menjaga kebersamaan dan kedamaian adalah Islam yang menjadi jalan tengah arus pemikiran solusi peradaban dunia. Itulah yang menjadi harapan Bapak Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla ketika menyampaikan pidato pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Senin (9/II-2015). “Pemikiran-pemikiran Islam yang baik harus menjadi referensi dunia, yakni Islam yang moderat, Islam yang jadi jalan tengah,” demikian menurut beliau. Pertemuan ini difahami sebagai pertemuan puncak para ulama, cendekiawan, pengusaha, dan perwakilan ormas Islam se-Indonesia, dihadiri sekitar 400 peserta.
Ada baiknya para dokter dan siapa saja juga belajar dari alam, alam semesta seakan-akan membuka dirinya bahwa ia memang tidak memiliki (kesadaran) ego tetapi sebaliknya dan pasti memiliki ke(tidak) sadaran kolektif. Tentu saja pemahaman ini terasa pas bagi para dokter yang mengkritisi pemikiran Dokter Sigmun Freud bahwa ketidak sadaran atau kesadaran yang berbau kolektif; dalam pemahaman atheis, Kesadaran Kolektif (Tuhan) memang dianggap tidak ada. Tengoklah keatas, pertama, sepertinya langit maha mengayomi dan tanpa pilih kasih, memayungi menerima semua di bawahnya. Oleh karena itu dapat dimengerti orang-orang Tiongkok sejak dulu banyak yang menganggap bahwa Langit-lah yang menjadi Tuhan (Sang Ti); kasihnya tidak memilih. Kedua, ada langit di atas sana, maka di bawah ini ada bumi yang berfungsi mendukung semua kehidupan di atasnya, juga tidak pilih kasih walaupun ia di-“sakiti” oleh petani. Tanahnya dicangkul, diluku dan di garu di bolak-balik tanahnya, tetap mendukung petani untuk memberikan hasil pertanian yang bermanfaat sesuai keinginan petaninya, yaitu ketika yang ditanam padi maka akan menghasilkan padi juga, bukan jagung.
Ketiga, matahari dan rembulan juga menerangi tanpa pilih kasih. Konon, sebagian besar nenek-moyang bangsa Jepang termasuk menyembah, mengagungkan Matahari, ini dapat dilihat dari benderanya yang bergambar matahari di tengahnya dan berwarna merah dengan dasar putih. Menurut catatan Wikipedia, bendera ini secara resmi disebut Nisshōki (日章旗, "bendera simbol matahari") dalam bahasa Jepang, namun secara umum dikenal sebagai Hinomaru (日の丸 ?, "lingkaran matahari). Bendera lingkaran matahari dipakai sebagai bendera nasional untuk kapal-kapal dagang berdasarkan Maklumat No. 57 tahun 3 Meiji (dikeluarkan pada 27 Februari 1870), dan sebagai bendera nasional yang digunakan oleh Angkatan Laut menurut Maklumat No. 651 tahun 3 Meiji (dikeluarkan pada 27 Oktober 1870). Apakah nenek moyang Jepang menganggap bahwa panas matahari akan menguapkan air, dan uap air ini diatas sana akan menjadi awan dan menurunkan hujan yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan sehingga mereka mengagungkannya, wallahu a’lam, tetapi setiap bangsa, setiap religi selalu ada yang di agungkannya. Orang Jawa menyebut matahari sebagai Srengenge, orang Sunda menyebutnya Panon Poek, orang Inggris menyebut The Sun dan orang Belanda menyebutnya sebagai De Zon, padahal itu-itu juga yang ditunjuk. Mataharinya satu tetapi setiap suku, setiap bahasa menyebutnya berlainan, walaupun bermacam-macam nama, maknanya satu jua pemaknaan ini tercakup di dalam pengertian unity in diversity, bhinneka tunggal ika.
Di dalam forum KTT ASEAN ke-25 di Nay Pyi Taw Myanmar, Kamis 13 November 2014 yang lalu, Presiden Jokowi menyebutkan betapa posisi jalur laut Indonesia sangat strategis sehingga RI akan fokus memilih menjadi negara maritim. Indonesia menganggap KTT Asia Timur berperanan penting bagi keamanan, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi di kawasan pantas untuk menyampaikan gagasannya tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Pada abad ke-21 ini sedang terjadi pergeseran pusat gravitasi geo-ekonomi dan geo-politik dunia dari Barat ke Asia Timur. Pertumbuhan ekonomi di kawasan ini yang rata-rata 7% pertahun, dengan total GDP sekitar USD 40 trilyun menempatkan Asia Timur paling dinamis secara ekonomi dengan 40% perdagangan dunia terjadi di kawasan ini.
Jalur laut yang menghubungkan dua samudra strategis—Hindia dan Pasifik—merupakan jalur penting lalu-lintas perdagangan dunia. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah “lorong” lalu lintas maritim dunia yang di dalamnya menyimpan potensi kekayaan besar—energi dan sumberdaya laut lainnya—yang akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan. Indonesia berada tepat di tengah-tengah proses perubahan strategis itu, terbuka peluang peranannya baik secara geografis, geo-politik, maupun geo-ekonomi. Ada lima pilar yang diajukan beliau yang dimulai dari 1. membangun kembali budaya maritim pada 17 ribu pulaunya, 2. pembangunan kedaulatan pangan laut melalui industri perikanan dan nelayan sebagai pilar utamanya, 3. prioritas pembangunan infrastruktur maritim, Tol Laut, industri perkapalan sampai pariwisata maritim, 4. diplomasi maritim yang mempersatukan kawasan untuk menghilangkan konflik di laut, pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut, dan akhirnya, 5. pembangunan kekuatan pertahanan maritim untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim NKRI.
Dengan menjadi satunya samudera Pacifik, Atlantik, Arctik, dan Hindia antara lain melalui Terusan Nicaragua yang akan dibuat oleh Tiongkok. Sementara itu disebelah tenggara Terusan Nicaragua yaitu terusan Panama dan nun jauh di sana Terusan Suez terlihat juga gerak pembangunannya untuk meningkatkan kemampuan transitnya sebanyak duakali telah terasa telah menyatukan 4 samudera dan 5 benua, menjadikan kita semua bersaudara, maka Poros Maritim Indonesia menjadi komplemen maritim dunia bagi unity in diversity. Semoga Tuhan YME mengabulkannya, amin. Salam Kuantum
(Budhi S. Purwowiyoto)
*) Santoso, Soewito Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana 975:578. New Delhi International Academy of Culture
Kamis, 15 Januari 2015
Penyakit Arteri Koroner Nonobstruktif Berkaitan dengan Peningkatan Progresif Angka Infark Miokard dan Mortalitas dalam 1 Tahun
Diterjemahkan dari heartwire oleh Arindya Rezeky
PENYAKIT arteri koroner nonobstruktif berhubungan dengan peningkatan risiko infark miokard dalam 1 (satu) tahun dibandingkan dengan individu tanpa adanya gangguan koroner, berdasarkan hasil analisis besar yang dilakukan pada pasien di sistem kesehatan Veteran Affairs (VA).
Beberapa peneliti juga melakukan obsevasi secara progresif bahwa terdapat angka yang lebih tinggi pada individu yang mengalami infark dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif pada satu, dua, atau tiga pembuluh darah, hal tersebut menunjukkan bahwa setelah pemeriksaan dasar karakteristik pasien, penyakit koroner nonobstruktif berkaitan dengan peningkatan risiko infark miokard secara signifikan dalam 1 tahun dibandingkan pasien tanpa penyakit arteri koroner.
Ketua peneliti dr. Thomas Maddox (Pusat Medis Denver VA, CO) mengatakan bahwa hasil tersebut berbanding lurus dengan dasar biologis dari penyakit arteri koroner dan konsisten dengan studi biologik sebelumnya yang mengatakan bahwa mayoritas kejadian infark miokard berkaitan dengan stenosis nonobstruktif.
Beliau mengatakan bahwa ketika klinisi melakukan angiografi koroner, fokus pada umumnya adalah melihat penyakit obstruktif untuk menentukan penyebab angina dan untuk menentukan apakah pasien merupakan kandidat untuk dilakukan PCI elektif. Namun, menurut Maddox hal ini menjadi suatu “pesan” penting yang disampaikan untuk kardiologis, dokter layanan primer, atau pasien yang dilakukan angiogram koroner dengan hasil hanya stenosis nonobstruktif.
Untuk pasien-pasien ini, “Memang benar bahwa stenosis nonobstruktif mungkin tidak menyebabkan nyeri dada dan mungkin anda bukan kandidat untuk dilakukan PCI, tapi itu bukan berarti anda baik-baik saja”, kata Maddox. “Hanya saja anda tidak perlu PCI pada saat itu. Hal yang anda butuhkan adalah pencegahan farmakoterapi dengan statin dan aspirin. Jika anda perokok, berhentilah merokok. Semua gaya hidup sehat yang kita tahu dapat membantu”
Studi ini dipublikasikan pada 5 November 2014 oleh Journal of the American Medical Association.
Analisi Besar dari VA Healthcare Database
Peneliti-peneliti mengumpulkan data penyakit nonobstruktif setelah adanya program Clinical Assessment, Reporting, and Tracking (CART) VA. Program CART merekam data anatomik dari seluruh angiogram koroner dan menelusuri hasil longitudinal.
Studi termasuk 37.674 individu yang menjalani angiografi elektif untuk penyakit arteri korner pada tahun 2007-2012. Semua pasien tidak ada yang terdiagnosis memliki gangguan arteri korener sebelumnya. Lebih dari setengah pasien pada studi memiliki penyakit arteri koroner obstruktif (55.4%), sementara 22.3% memiliki penyakit nonobstruktif. Penyakit arteri koroner nonobstruktif adalah terdapat satu atau lebih stenosis ≥ 20% tapi <70%. Penyakit arteri koroner obstruktif adalah terdapat stenosis ≥ 70%, atau ≥ 50% jika stenosis terjadi pada left main coronary artery (LMCA).
“Kami melihat banyak dari penyakit arteri koroner nonobstruktif pada populasi kateter —pada data kami seperempat pasien— dan saya pikir semua orang sadar, berdasarkan biologis penyakit koroner, hal ini dapat berujung terhadap infark miokard dan kematian,” ucap Maddox terhadap heartwire. “Akan tetapi, tidak ada yang meneliti hal ini karena banyaknya formulir registrasi pada lab kateterisasi, dengan cara mereka dikumpukan, termasuk pasien yang hanya memiliki bukti adanya penyakit obstruktif. Hasilnya adalah kita buta terhadap hasil pada populasi ini”
Dalam analisis mereka, terjadinya infark miokard dalam 1 tahun, angka kejadian adalah 0.11% tanpa penyakit arteri korener, 0.24% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif satu pembuluh darah, 0.56% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif dua pembuluh darah, dan 0.59% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif tiga pembuluh darah. Angka terjadinya infark juga meningkat secara progresif pada individu dengan penyakit arteri korner obstruktif pada satu, dua dan tiga pembuluh darah (atau LMCA)
Berdasarkan mortalitas, angka juga menunjukkan peningkatan secara progresif pada tipe penyakit arteri koroner dan luasnya. Pada pasien tanpa adanya penyakit arteri koroner, mortalitas dalam 1 tahun adalah 1.38%, dimana individu dengan gangguan atteri koroner nonobstruktif pada satu, dua, atau tiga pembuluh darah, angka mortalitas dalam 1 tahun adalah 2.02%, 1.50%, dan 2.72%. Pada suatu model multivariat, hanya penyakit arteri koroner nonobstruktif dengan tiga pembuluh darah yang berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas dalam 1 tahun.
Risiko terjadinya infark miokard dalam 1 tahun, sama halnya dengan risiko mortalitas, yaitu terdapat peningkatan secara progresif pada penyakit arteri koroner yang luas daripada peningkatan tiba-tiba antara nonobstruktif dan obstruktif. Hasil tersebut “menunjukkan adanya keterbatasan dari karakteristik dikotom pada penyakit arteri koroner dari angiografi menjadi obstruktif dan nonobstruktif untuk memprediksi infark”
Terhadap heartwire, Maddox, seorang preventif karodiologis, mengatakan bahwa ketika beliau menerima hasil kateter yang menunjukkan adanya penyakit nonobstruktif, beliau akan mengatakan pada pasiennya “ada hal yang harus dilakukan” dan pasien tersebut memiliki suatu penyakit yang perlahan tumbuh. “Suatu hari anda akan memiliki stent atau suatu hari anda akan mengalami nyeri dada yang berkaitan dengan hal tersebut”, katanya, “Dan bahkan hari ini, anda dapat menderita serangan jantung, jadi mari kita mencari cara untuk menurunkan risiko tersebut” Pada tahap selanjutnya, Maddox mengatakan bahwa hasil ini harus dikonfirmasi ulang pada pasien wanita (karena hampir 98% pada populasi VA adalah pria), walaupun beliau tidak meyakini bahwa proses biologis penyakit arteri koroner akan jauh berbeda dan penyakit arter koroner nonobstruktif hampir memiliki risiko infark yang sama. Beliau juga ingin adanya studi-studi —dengan modifikasi gaya hidup atau intervensi obat— yang diberikan terhadap pasien dengan penyakit nonobstruktif untuk menentukan apakah intervensi ini dapat mengurangi risiko infark miokard.*
PENYAKIT arteri koroner nonobstruktif berhubungan dengan peningkatan risiko infark miokard dalam 1 (satu) tahun dibandingkan dengan individu tanpa adanya gangguan koroner, berdasarkan hasil analisis besar yang dilakukan pada pasien di sistem kesehatan Veteran Affairs (VA).
Beberapa peneliti juga melakukan obsevasi secara progresif bahwa terdapat angka yang lebih tinggi pada individu yang mengalami infark dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif pada satu, dua, atau tiga pembuluh darah, hal tersebut menunjukkan bahwa setelah pemeriksaan dasar karakteristik pasien, penyakit koroner nonobstruktif berkaitan dengan peningkatan risiko infark miokard secara signifikan dalam 1 tahun dibandingkan pasien tanpa penyakit arteri koroner.
Ketua peneliti dr. Thomas Maddox (Pusat Medis Denver VA, CO) mengatakan bahwa hasil tersebut berbanding lurus dengan dasar biologis dari penyakit arteri koroner dan konsisten dengan studi biologik sebelumnya yang mengatakan bahwa mayoritas kejadian infark miokard berkaitan dengan stenosis nonobstruktif.
Beliau mengatakan bahwa ketika klinisi melakukan angiografi koroner, fokus pada umumnya adalah melihat penyakit obstruktif untuk menentukan penyebab angina dan untuk menentukan apakah pasien merupakan kandidat untuk dilakukan PCI elektif. Namun, menurut Maddox hal ini menjadi suatu “pesan” penting yang disampaikan untuk kardiologis, dokter layanan primer, atau pasien yang dilakukan angiogram koroner dengan hasil hanya stenosis nonobstruktif.
Untuk pasien-pasien ini, “Memang benar bahwa stenosis nonobstruktif mungkin tidak menyebabkan nyeri dada dan mungkin anda bukan kandidat untuk dilakukan PCI, tapi itu bukan berarti anda baik-baik saja”, kata Maddox. “Hanya saja anda tidak perlu PCI pada saat itu. Hal yang anda butuhkan adalah pencegahan farmakoterapi dengan statin dan aspirin. Jika anda perokok, berhentilah merokok. Semua gaya hidup sehat yang kita tahu dapat membantu”
Studi ini dipublikasikan pada 5 November 2014 oleh Journal of the American Medical Association.
Analisi Besar dari VA Healthcare Database
Peneliti-peneliti mengumpulkan data penyakit nonobstruktif setelah adanya program Clinical Assessment, Reporting, and Tracking (CART) VA. Program CART merekam data anatomik dari seluruh angiogram koroner dan menelusuri hasil longitudinal.
Studi termasuk 37.674 individu yang menjalani angiografi elektif untuk penyakit arteri korner pada tahun 2007-2012. Semua pasien tidak ada yang terdiagnosis memliki gangguan arteri korener sebelumnya. Lebih dari setengah pasien pada studi memiliki penyakit arteri koroner obstruktif (55.4%), sementara 22.3% memiliki penyakit nonobstruktif. Penyakit arteri koroner nonobstruktif adalah terdapat satu atau lebih stenosis ≥ 20% tapi <70%. Penyakit arteri koroner obstruktif adalah terdapat stenosis ≥ 70%, atau ≥ 50% jika stenosis terjadi pada left main coronary artery (LMCA).
“Kami melihat banyak dari penyakit arteri koroner nonobstruktif pada populasi kateter —pada data kami seperempat pasien— dan saya pikir semua orang sadar, berdasarkan biologis penyakit koroner, hal ini dapat berujung terhadap infark miokard dan kematian,” ucap Maddox terhadap heartwire. “Akan tetapi, tidak ada yang meneliti hal ini karena banyaknya formulir registrasi pada lab kateterisasi, dengan cara mereka dikumpukan, termasuk pasien yang hanya memiliki bukti adanya penyakit obstruktif. Hasilnya adalah kita buta terhadap hasil pada populasi ini”
Dalam analisis mereka, terjadinya infark miokard dalam 1 tahun, angka kejadian adalah 0.11% tanpa penyakit arteri korener, 0.24% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif satu pembuluh darah, 0.56% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif dua pembuluh darah, dan 0.59% dengan penyakit arteri koroner nonobstruktif tiga pembuluh darah. Angka terjadinya infark juga meningkat secara progresif pada individu dengan penyakit arteri korner obstruktif pada satu, dua dan tiga pembuluh darah (atau LMCA)
Berdasarkan mortalitas, angka juga menunjukkan peningkatan secara progresif pada tipe penyakit arteri koroner dan luasnya. Pada pasien tanpa adanya penyakit arteri koroner, mortalitas dalam 1 tahun adalah 1.38%, dimana individu dengan gangguan atteri koroner nonobstruktif pada satu, dua, atau tiga pembuluh darah, angka mortalitas dalam 1 tahun adalah 2.02%, 1.50%, dan 2.72%. Pada suatu model multivariat, hanya penyakit arteri koroner nonobstruktif dengan tiga pembuluh darah yang berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas dalam 1 tahun.
Risiko terjadinya infark miokard dalam 1 tahun, sama halnya dengan risiko mortalitas, yaitu terdapat peningkatan secara progresif pada penyakit arteri koroner yang luas daripada peningkatan tiba-tiba antara nonobstruktif dan obstruktif. Hasil tersebut “menunjukkan adanya keterbatasan dari karakteristik dikotom pada penyakit arteri koroner dari angiografi menjadi obstruktif dan nonobstruktif untuk memprediksi infark”
Terhadap heartwire, Maddox, seorang preventif karodiologis, mengatakan bahwa ketika beliau menerima hasil kateter yang menunjukkan adanya penyakit nonobstruktif, beliau akan mengatakan pada pasiennya “ada hal yang harus dilakukan” dan pasien tersebut memiliki suatu penyakit yang perlahan tumbuh. “Suatu hari anda akan memiliki stent atau suatu hari anda akan mengalami nyeri dada yang berkaitan dengan hal tersebut”, katanya, “Dan bahkan hari ini, anda dapat menderita serangan jantung, jadi mari kita mencari cara untuk menurunkan risiko tersebut” Pada tahap selanjutnya, Maddox mengatakan bahwa hasil ini harus dikonfirmasi ulang pada pasien wanita (karena hampir 98% pada populasi VA adalah pria), walaupun beliau tidak meyakini bahwa proses biologis penyakit arteri koroner akan jauh berbeda dan penyakit arter koroner nonobstruktif hampir memiliki risiko infark yang sama. Beliau juga ingin adanya studi-studi —dengan modifikasi gaya hidup atau intervensi obat— yang diberikan terhadap pasien dengan penyakit nonobstruktif untuk menentukan apakah intervensi ini dapat mengurangi risiko infark miokard.*
Michael O'Riordan
10th Asian Interventional Cardiovascular Therapeutics
10th Asian Interventional Cardiovascular Therapeutics (AICT) telah diselenggarakan di Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta pada tanggal 27-29 November 2014. Lebih dari 500 peserta dari seluruh Asia berpartisipasi dalam acara internasional tahunan kardiologi ini. Tepat setelah dibuka secara simbolis dengan opening ceremony, disajikan empat kelompok presentasi di setiap ballroom berupa berbagai topik seputar dunia intervensi jantung dan pembuluh darah, termasuk Update in Mitral Clip, Complications in Coronary Intervention, Imaging and Physiology Summit for Complex Lession Intervention, Complex PCI, serta Live demo dari berbagai pusat jantung di Asia.
Hari pertama perhelatan AICT ke-10 ini ditutup dengan acara makan malam bersama (gala dinner) yang diselenggarakan di Hotel JW Marriott.
Hari kedua AICT ke-10 dimulai dengan 4 topik utama dalam setiap ballroom. Salah satu topik yang menarik adalah mengenai upaya meningkatkan pelayanan terhadap kasus ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) dengan menciptakan sebuah STEMI Networks. Dipimpin oleh dr. Sunarya Soerinata SpJP(K) dan Sameer Mehta, MD, dalam diskusi ini, semua peserta diajak untuk membahas tentang prosedural terapeutik pada kasus STEMI kompleks. Selain itu tidak kalah penting, juga dibahas mengenai tantangan untuk meningkatkan manajemen prehospital terhadap kasus STEMI guna meningkatkan proses rujukan pasien dan meminimalisir keterlambatan.
Setelah istirahat makan siang, pertemuan ilmiah dilanjutkan dengan sesi yang berbeda seperti sesi CTO, Imaging for Cardiovascular Interventional, Serious Complication in Cardiovascular Intervention dan live demo.
Hari terakhir AICT ke-10 ini dilanjutkan dengan pertemuan ilmiah setengah hari. Joint Session AICT-EuroPCR menjadi sebagian besar bagian dari acara pada kongres hari ke-3 ini, hingga acara penutupan.*
Hari pertama perhelatan AICT ke-10 ini ditutup dengan acara makan malam bersama (gala dinner) yang diselenggarakan di Hotel JW Marriott.
Hari kedua AICT ke-10 dimulai dengan 4 topik utama dalam setiap ballroom. Salah satu topik yang menarik adalah mengenai upaya meningkatkan pelayanan terhadap kasus ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) dengan menciptakan sebuah STEMI Networks. Dipimpin oleh dr. Sunarya Soerinata SpJP(K) dan Sameer Mehta, MD, dalam diskusi ini, semua peserta diajak untuk membahas tentang prosedural terapeutik pada kasus STEMI kompleks. Selain itu tidak kalah penting, juga dibahas mengenai tantangan untuk meningkatkan manajemen prehospital terhadap kasus STEMI guna meningkatkan proses rujukan pasien dan meminimalisir keterlambatan.
Setelah istirahat makan siang, pertemuan ilmiah dilanjutkan dengan sesi yang berbeda seperti sesi CTO, Imaging for Cardiovascular Interventional, Serious Complication in Cardiovascular Intervention dan live demo.
Hari terakhir AICT ke-10 ini dilanjutkan dengan pertemuan ilmiah setengah hari. Joint Session AICT-EuroPCR menjadi sebagian besar bagian dari acara pada kongres hari ke-3 ini, hingga acara penutupan.*
Kardiologi Kuantum (31): Transplantasi Jantung "Mati"
"If you would indeed behold the spirit of death, open your heart wide unto the body of life. For life and death are one, even as the river and the sea are one." - Kahlil Gibran
SALAM KARDIO. Hari Jumat, 24 Oktober 2014 media di Australia mengumumkan langkah kemajuan para peneliti dan ahli bedah jantungnya dalam transplantasi jantung terhadap 2 pasien dengan menggunakan jantung donor yang sudah berhenti berdenyut. Penemuan ini membuka kemungkinan lebih banyak pasien yang dapat ditolong setelah sekian lama menunggu transplantasi jantung. Setelah jantung tersebut dibuk-tikan mati selama 20 menit sebelum di resusitasi menggunakan cairan khusus baru kemudian di transplantasikan ke tubuh pasien. Peneliti memperkirakan akan menolong lebih banyak pasien sampai 30%. Teknik ini dikembangkan oleh Institut Riset Jantung Victor Chang dan Rumah Sakit St Vincent di Sydney.
Secara tradisionil, jantung donor dipersiapkan setelah terjadi kematian batang otak, tetapi jantung masih berdenyut. Jika denyut jantung berhenti, terjadi kekurangan pasokan oksigen. Kekurangan oksigen ini menyebabkan kerusakan dan kematian sel-sel jantung, sehingga transplantasi tersebut menjadi tidak ideal. Oleh karena itu, dibutuh-kan jantung yang masih berfungsi, di simpan di dalam es, dan di cangkokkan ke penerimanya dalam waktu 4 jam untuk menjaga kualitas jaringannya. Sementara itu pada organ ginjal dan liver telah dapat dilakukan setelah kematian sedangkan pada jantung tidak pernah.
Tim riset tersebut dipimpin oleh Professor Bob Graham, Direktur Eksekutif dari Institut Victor Chang menyatakan bahwa salah satu pasien donor telah kehilangan sebagian besar otaknya. Yang menyedihkan adalah sebagian kecil masih berfungsi sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai suatu kematian. Keluarganya diberi tahu bahwa pasien calon donor ini tidak mempunyai harapan hidup lagi. Setelah keluarganya setuju, semua bantuan hidup termasuk mesin pernafasan dihentikan, sementara itu tampak jantungnya berhenti berdenyut perlahan-lahan dalam waktu 15 menit. Secara hukum ditunggu lagi selama 5 menit dan dipastikan benar-benar berhenti baru jantungnya dikeluarkan dan diletakkan dalam boks peralataan yang dapat memasukkan darah yang mengandung oksigen. Pelan-pelan jantung berdenyut kembali, kehangatan-nya dapat dijaga, diberi cairan pendukungnya, dan jantungnya dapat dibawa bersama dengan tempatnya tersebut. Di manakah kunci keberhasilannya? Apakah terletak pada cairan pendukungnya atau pada boks peralatannya yang dapat menyalurkan darah, cairan pendukung dan kemampuan menghangatkannya? Menurut Bob Graham kedua-duanya sama pentingnya karena secara aktual dapat terlihat awal jantung berdenyut dan berfungsi dengan baik akan lebih meyakinkan ahli bedah.
Definisi kematian adalah matinya batang otak yang diperlihatkan oleh 2 elektroenfalogram, suatu rekaman aktivitas gelombang otak dalam 24 jam. Pada keadaan ini pasien di klasifikasikan sebagai meninggal, semua bantuan hidup masih dapat diberikan sampai jantungnya dapat diambil. Jantungnya masih berdenyut dan tekanan darahnya masih baik, ia masih mendapatkan oksigen kemudian jantungnya diambil, diletakkan dalam es dan dibawa ke penerimanya. Dengan sistim Dr Graham dapat meningkatkan jumlah donor sebesar 20-30% dari sebelumnya. Sekarang jantungnya dapat dipertahankan dalam waktu lebih lama. Sebagai perbandingan, kita hanya dapat mempertahankan dalam waktu 4 jam saja di dalam es, sehingga donor jantung hanya memungkinkan diperoleh pada jarak antara kota Queensland sampai Sydney. Sekarang memungkinkan mendapatkan donor di seluruh benua Australia, mendapatkan waktu pencocokan lebih baik sehingga sehingga persiapan dapat diperbaiki sejak awal untuk proses jangka panjangnya.
Lompatan panjang ini bukan hanya bermanfaat bagi Australia saja tetapi juga untuk seluruh dunia bahkan definisi kematian bukan hanya mati batang otak tetapi adalah mati jantung. Di negara-negara yang sebelumnya tidak memungkinkan dilakukannya transplantasi jantung karena definisi kematiannya adalah matinya jantung dan bukan mati batang otak seperti Jepang, Vietnam dan negara-negara lainnya. Secara potensial terbuka kemungkinan untuk melakukannya dengan metode ini.
Kedua pasien yang dioperasi oleh ahli bedah jantung Peter MacDonald dan Kumud Dhital dalam keadaan sangat baik. Pasien pertama Michelle Gribilar, wanita berumur 57 tahun dari Sydney, sudah keluar dari rumah sakit. Pasien kedua Jan Damen menerima jantung 2 minggu sebelum berita ini dirilis, memerlukan waktu perawatan lebih pendek. Pada donor pasien yang pertama awalnya kelihatan penampilan jantungnya sangat buruk ketika diangkat. Setelah dimasukkan dalam “kotak [mesin] Graham” pelan-pelan jantungnya kembali berdenyut dan pada pemeriksaan histologi pada biopsi jantungnya dan ekhokardiogram memperlihatkan fungsi jantung yang normal. Ini merupakan lopatan kedepan yang spektakuler sehingga dapat menolong kira-kira 30-40% pasien yang belum tertolong pada saat ini. Tim Dr Graham memerlukan waktu 12 tahun untuk mengembangkan cairan dan pompa yang menjaga oksigenisasi jantung, mengurangi kerusakan dan mempertahan-kan jaringan. Jantung yang tadinya berwarna biru saat diambil dari donor kembali lagi menjadi berwarna pink dan organ tersebut diresusitasi menjadi berdenyut kembali. Keadaan ini sangat penting karena berdenyutnya kembali jantung di dalam kotaknya yang khusus tersebut merupakan indikator yang baik yang menjamin jantung berfungsi kembali setelah di transplantasikan kepada penerimanya.
Prof. Mohamed Omar Salem menulis bahwa banyak kebudayaan berpendapat bahwa jantung merupakan sumber emosi, semangat dan kebijaksanaan. Bahkan masyarakat menggunakannya sebagai perasaan atau sensasi cinta dan suasana emosi lainnya di area jantung. Riset selanjutnya menunjukkan bahwa jantung dapat berkomu-nikasi dengan otak yang secara meyakinkan menentukan bagaimana kita menerima dan bereaksi terhadap dunia. Kelihatannya jantung memiliki logikanya sendiri yang sering berbeda dari pengarahan sistim saraf otonom. Bahkan Lacey dan Lacey, 1978 berpendapat bahwa jantung memberikan pesan yang berarti kepada otak, tidak hanya untuk dimengerti saja tetapi juga seyogyanya diikuti pesannya.
Setelah risetnya yang mendalam, Dr Armour (1994) memperkenalkan konsep “otak [di dalam] jantung” fungsionil. Risetnya menguak bahwa jantung memiliki sistim saraf intrinsik yang kompleks dan istimewa yang dapat dikualifikasikan sebagai ‘otak kecil.’ Otak kecil dalam jantung tersebut merupakan kerjasama dari beberapa tipe neuron, neurotransmitter, protein-protein dan sistim pendukungnya seperti pada otak. Sistim tersebut mampu bekerja mandiri seperti otak kepala untuk belajar, mengingat, dan bahkan merasa dan bersensasi. Sistim saraf jantung terdiri dari kira-kira 40.000 neuron, Dr. Armour (1991) menyebutnya sebagai neurit sensori. Informasi dari jantung termasuk sensasi perasaan dikirimkan ke otak melalui beberapa sistim saraf aferen. Jalur saraf aferen ini memasuki otak melalui medulla, dan secara bertingkat masuk ke pusat otak yang lebih tinggi yang berpengaruh terhadap persepsi, membuat keputusan dan proses kognitif lainnya. Riset membuktikan bahwa jantung mengkomunikasikan informasi ke otak dan seluruh tubuh melalui interaksi gelombang elektromagnetik. Jantung menghasilkan area gelombang elektromagnetik yang berirama kuat dan menyeluruh. Komponen magnetiknya lebih kuat 500 kali dibandingkan dengan area magnetik dari otak yang dapat diteteksi beberapa kaki dari badan. McCraty, Bradley dan Tomasino (2004) dalam jurnal alternatif dan kedokteran komplementer menduga bahwa lapangan megnetik jantung berfungsi sebagai gelombang pembawa informasi yang menyediakan sinyal sinkronisasi global untuk seluruh tubuh. Agak sulit dicerna bahwa pengaruh elektromagnetik atau sistim komunikasi ‘energetik’ tersebut beroperasi selapis di bawah kesadaran (awareness). Interaksi energetik berkontribusi pada atraksi atau penolakan yang terjadi di antara pribadi-pribadi, dan pengaruhnya di dalam hubungan sosial.
Candra Jiwa Indonesia berani berpendapat bahwa ketiga fungsi angan-angan manusia memang bekerja di dua organ yaitu otak dan jantung manusia. Cipta (pangaribawa) yang berkemampuan membentuk gambar-gambar fikiran dan nalar (prabawa) yang menghubung-hubungkan informasi gambar-gambar tersebut bekerja di otak. Proses interaksi antara cipta dan nalar tersebut disimpulkan oleh pengertian (pangerti, kamayan) yang tempat kerja, dan penyimpanan hasil kerjanya di jantung. Petanyaannya adalah bagaimana bila jantungnya diganti dengan jantung orang lain, apakah proses dan memorinya menjadi lain? Penulis berusaha menjawab kemungkinannya bisa saja terjadi dinamika informasi karena bekerjanya seperti sistim “cloud” pada beberapa komputer yang bersinergi, sehingga informasi tersebut selalu tersimpan di “awan” begitu salah satu komputer itu rusak dan memerlukan perbaikan atau penggantian. Sistim tersebut digunakan di dalam dunia maya internet sebagai tempat penyimpanan data di dunia maya tersebut yang dapat diakses dari mana saja kita berada, mengguna-kan komputer apa saja yang beroperasi di dunia maya tersebut. Nah, transplantasi jantung ini memunculkan suatu teori baru yang disebut oleh Kate Ruth Linton sebagai “memori seluler” pada jantung transplantasi. Salam Kuantum.
Secara tradisionil, jantung donor dipersiapkan setelah terjadi kematian batang otak, tetapi jantung masih berdenyut. Jika denyut jantung berhenti, terjadi kekurangan pasokan oksigen. Kekurangan oksigen ini menyebabkan kerusakan dan kematian sel-sel jantung, sehingga transplantasi tersebut menjadi tidak ideal. Oleh karena itu, dibutuh-kan jantung yang masih berfungsi, di simpan di dalam es, dan di cangkokkan ke penerimanya dalam waktu 4 jam untuk menjaga kualitas jaringannya. Sementara itu pada organ ginjal dan liver telah dapat dilakukan setelah kematian sedangkan pada jantung tidak pernah.
Tim riset tersebut dipimpin oleh Professor Bob Graham, Direktur Eksekutif dari Institut Victor Chang menyatakan bahwa salah satu pasien donor telah kehilangan sebagian besar otaknya. Yang menyedihkan adalah sebagian kecil masih berfungsi sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai suatu kematian. Keluarganya diberi tahu bahwa pasien calon donor ini tidak mempunyai harapan hidup lagi. Setelah keluarganya setuju, semua bantuan hidup termasuk mesin pernafasan dihentikan, sementara itu tampak jantungnya berhenti berdenyut perlahan-lahan dalam waktu 15 menit. Secara hukum ditunggu lagi selama 5 menit dan dipastikan benar-benar berhenti baru jantungnya dikeluarkan dan diletakkan dalam boks peralataan yang dapat memasukkan darah yang mengandung oksigen. Pelan-pelan jantung berdenyut kembali, kehangatan-nya dapat dijaga, diberi cairan pendukungnya, dan jantungnya dapat dibawa bersama dengan tempatnya tersebut. Di manakah kunci keberhasilannya? Apakah terletak pada cairan pendukungnya atau pada boks peralatannya yang dapat menyalurkan darah, cairan pendukung dan kemampuan menghangatkannya? Menurut Bob Graham kedua-duanya sama pentingnya karena secara aktual dapat terlihat awal jantung berdenyut dan berfungsi dengan baik akan lebih meyakinkan ahli bedah.
Definisi kematian adalah matinya batang otak yang diperlihatkan oleh 2 elektroenfalogram, suatu rekaman aktivitas gelombang otak dalam 24 jam. Pada keadaan ini pasien di klasifikasikan sebagai meninggal, semua bantuan hidup masih dapat diberikan sampai jantungnya dapat diambil. Jantungnya masih berdenyut dan tekanan darahnya masih baik, ia masih mendapatkan oksigen kemudian jantungnya diambil, diletakkan dalam es dan dibawa ke penerimanya. Dengan sistim Dr Graham dapat meningkatkan jumlah donor sebesar 20-30% dari sebelumnya. Sekarang jantungnya dapat dipertahankan dalam waktu lebih lama. Sebagai perbandingan, kita hanya dapat mempertahankan dalam waktu 4 jam saja di dalam es, sehingga donor jantung hanya memungkinkan diperoleh pada jarak antara kota Queensland sampai Sydney. Sekarang memungkinkan mendapatkan donor di seluruh benua Australia, mendapatkan waktu pencocokan lebih baik sehingga sehingga persiapan dapat diperbaiki sejak awal untuk proses jangka panjangnya.
Lompatan panjang ini bukan hanya bermanfaat bagi Australia saja tetapi juga untuk seluruh dunia bahkan definisi kematian bukan hanya mati batang otak tetapi adalah mati jantung. Di negara-negara yang sebelumnya tidak memungkinkan dilakukannya transplantasi jantung karena definisi kematiannya adalah matinya jantung dan bukan mati batang otak seperti Jepang, Vietnam dan negara-negara lainnya. Secara potensial terbuka kemungkinan untuk melakukannya dengan metode ini.
Kedua pasien yang dioperasi oleh ahli bedah jantung Peter MacDonald dan Kumud Dhital dalam keadaan sangat baik. Pasien pertama Michelle Gribilar, wanita berumur 57 tahun dari Sydney, sudah keluar dari rumah sakit. Pasien kedua Jan Damen menerima jantung 2 minggu sebelum berita ini dirilis, memerlukan waktu perawatan lebih pendek. Pada donor pasien yang pertama awalnya kelihatan penampilan jantungnya sangat buruk ketika diangkat. Setelah dimasukkan dalam “kotak [mesin] Graham” pelan-pelan jantungnya kembali berdenyut dan pada pemeriksaan histologi pada biopsi jantungnya dan ekhokardiogram memperlihatkan fungsi jantung yang normal. Ini merupakan lopatan kedepan yang spektakuler sehingga dapat menolong kira-kira 30-40% pasien yang belum tertolong pada saat ini. Tim Dr Graham memerlukan waktu 12 tahun untuk mengembangkan cairan dan pompa yang menjaga oksigenisasi jantung, mengurangi kerusakan dan mempertahan-kan jaringan. Jantung yang tadinya berwarna biru saat diambil dari donor kembali lagi menjadi berwarna pink dan organ tersebut diresusitasi menjadi berdenyut kembali. Keadaan ini sangat penting karena berdenyutnya kembali jantung di dalam kotaknya yang khusus tersebut merupakan indikator yang baik yang menjamin jantung berfungsi kembali setelah di transplantasikan kepada penerimanya.
Prof. Mohamed Omar Salem menulis bahwa banyak kebudayaan berpendapat bahwa jantung merupakan sumber emosi, semangat dan kebijaksanaan. Bahkan masyarakat menggunakannya sebagai perasaan atau sensasi cinta dan suasana emosi lainnya di area jantung. Riset selanjutnya menunjukkan bahwa jantung dapat berkomu-nikasi dengan otak yang secara meyakinkan menentukan bagaimana kita menerima dan bereaksi terhadap dunia. Kelihatannya jantung memiliki logikanya sendiri yang sering berbeda dari pengarahan sistim saraf otonom. Bahkan Lacey dan Lacey, 1978 berpendapat bahwa jantung memberikan pesan yang berarti kepada otak, tidak hanya untuk dimengerti saja tetapi juga seyogyanya diikuti pesannya.
Setelah risetnya yang mendalam, Dr Armour (1994) memperkenalkan konsep “otak [di dalam] jantung” fungsionil. Risetnya menguak bahwa jantung memiliki sistim saraf intrinsik yang kompleks dan istimewa yang dapat dikualifikasikan sebagai ‘otak kecil.’ Otak kecil dalam jantung tersebut merupakan kerjasama dari beberapa tipe neuron, neurotransmitter, protein-protein dan sistim pendukungnya seperti pada otak. Sistim tersebut mampu bekerja mandiri seperti otak kepala untuk belajar, mengingat, dan bahkan merasa dan bersensasi. Sistim saraf jantung terdiri dari kira-kira 40.000 neuron, Dr. Armour (1991) menyebutnya sebagai neurit sensori. Informasi dari jantung termasuk sensasi perasaan dikirimkan ke otak melalui beberapa sistim saraf aferen. Jalur saraf aferen ini memasuki otak melalui medulla, dan secara bertingkat masuk ke pusat otak yang lebih tinggi yang berpengaruh terhadap persepsi, membuat keputusan dan proses kognitif lainnya. Riset membuktikan bahwa jantung mengkomunikasikan informasi ke otak dan seluruh tubuh melalui interaksi gelombang elektromagnetik. Jantung menghasilkan area gelombang elektromagnetik yang berirama kuat dan menyeluruh. Komponen magnetiknya lebih kuat 500 kali dibandingkan dengan area magnetik dari otak yang dapat diteteksi beberapa kaki dari badan. McCraty, Bradley dan Tomasino (2004) dalam jurnal alternatif dan kedokteran komplementer menduga bahwa lapangan megnetik jantung berfungsi sebagai gelombang pembawa informasi yang menyediakan sinyal sinkronisasi global untuk seluruh tubuh. Agak sulit dicerna bahwa pengaruh elektromagnetik atau sistim komunikasi ‘energetik’ tersebut beroperasi selapis di bawah kesadaran (awareness). Interaksi energetik berkontribusi pada atraksi atau penolakan yang terjadi di antara pribadi-pribadi, dan pengaruhnya di dalam hubungan sosial.
Candra Jiwa Indonesia berani berpendapat bahwa ketiga fungsi angan-angan manusia memang bekerja di dua organ yaitu otak dan jantung manusia. Cipta (pangaribawa) yang berkemampuan membentuk gambar-gambar fikiran dan nalar (prabawa) yang menghubung-hubungkan informasi gambar-gambar tersebut bekerja di otak. Proses interaksi antara cipta dan nalar tersebut disimpulkan oleh pengertian (pangerti, kamayan) yang tempat kerja, dan penyimpanan hasil kerjanya di jantung. Petanyaannya adalah bagaimana bila jantungnya diganti dengan jantung orang lain, apakah proses dan memorinya menjadi lain? Penulis berusaha menjawab kemungkinannya bisa saja terjadi dinamika informasi karena bekerjanya seperti sistim “cloud” pada beberapa komputer yang bersinergi, sehingga informasi tersebut selalu tersimpan di “awan” begitu salah satu komputer itu rusak dan memerlukan perbaikan atau penggantian. Sistim tersebut digunakan di dalam dunia maya internet sebagai tempat penyimpanan data di dunia maya tersebut yang dapat diakses dari mana saja kita berada, mengguna-kan komputer apa saja yang beroperasi di dunia maya tersebut. Nah, transplantasi jantung ini memunculkan suatu teori baru yang disebut oleh Kate Ruth Linton sebagai “memori seluler” pada jantung transplantasi. Salam Kuantum.
Budhi S. Purwowiyoto
Risiko Kardiovaskuler Lipoprotein A (Hasil Studi Prospektif Bruneck 15-Tahun)
LIPOPROTEIN(a), yang biasanya disingkat Lp (a) dan diucapkan sebagai lipoprotein “little” merupakan Low Density Lipoprotein (LDL). Seperti pada semua lipoprotein terdiri dari sebuah inti dari molekul cholesteryl ester (CE), trigliserida, satu lapis permukaan fosfolipid, molekul kolesterol yang tidak teresterifikasi, dan semuanya dibungkus dengan satu molekul apolipoprotein B-100 (apoB100). Menempel pada apo B100 melalui ikatan disulfide adalah glikoprotein seperti plasminogen disebut dengan apoprotein (a) atau disebut dengan apo (a). Lp(a) tidak mempunyai fungsi fisiologis tetapi diduga merupakan faktor risiko genetik terkuat untuk penyakit kardiovaskuler. Kadar Lp (a) dalam sirkulasi sebagian besar ditentukan secara genetic terutama melalui gen LPA. Jumlahnya dapat meningkat pada individu karena adanya pengulangan angka pada Kringle IV type 2 (KIV-2) dan adanya bermacam polimorfisme nukleotida tunggal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa Lp (a) merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskuler. Namun, apakah Lp(a) memodifikasi penilaian risiko klinis belum sepenuhnya dimengerti. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah Lp (a) meningkatkan prediksi risiko kejadian penyakit kardiovaskuler.
Penelitian Peter Willeit dkk tersebut dilakukan pada tahun 1995 dengan mengukur kadar Lp (a) pada 826 laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 45-84 tahun dari populasi umum. Kejadian Penyakit kardiovas-kulernya kemudian dicatat setelah tindak lanjut lebih dari 15 tahun. Hasil yang didapatkan adalah dalam model yang telah disesuaikan dengan variabel-variabel pada Framingham Risk Score (FRS) dan Reynolds Risk Score (RRS), rasio hazard (HR) untuk kejadian penyakit kardiovaskuler adalah 1,37 per 1-SD lebih tinggi dari ukuran Lp (a) (SD=32 mg/dl) dan 2,37 jika dibandingkan dengan 5 angka teratas kuintil dengan kuintil lainnya. Penambahan Lp (a) ke RRS meningkatkan indeks C sebesar 0,016.
Dari 502 subyek yang tetap bebas dari penyakit kardiovaskuler, 82 diantaranya dilakukan pengklasifikasian ulang menjadi risiko rendah dan 49 diantaranya menjadi risiko yang lebih tinggi. Sedangkan 148 subyek yang berkembang menjadi penyakit kardiovaskuler, 18 orang diklasifikasikan ulang menjadi risiko lebih tinggi dan 17 diantaranya menjadi risiko lebih rendah. Pada subyek dengan risiko sedang (15%=<30%) pengklasifikasian akhir akibat peningkatan Lp (a) adalah 22,5% untuk bukan kasus, 17,1% untuk kasus, dan 39,6% pada keseluruhannya. Ukuran Allel spesifik Lp(a) tidak menambah kemampuan prediksi dari FRS atau RRS atau Lp (a). Sebagai kesimpulan Peningkatan Lp (a) memprediksi hasil akhir penyakit kardiovaskuler dalam periode 15 tahun dan meningkatkan prediksi risiko penyakit kardiovaskuler. (J Am Coll Cardiol 2014; 64: 851–60)
Penelitian Peter Willeit dkk tersebut dilakukan pada tahun 1995 dengan mengukur kadar Lp (a) pada 826 laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 45-84 tahun dari populasi umum. Kejadian Penyakit kardiovas-kulernya kemudian dicatat setelah tindak lanjut lebih dari 15 tahun. Hasil yang didapatkan adalah dalam model yang telah disesuaikan dengan variabel-variabel pada Framingham Risk Score (FRS) dan Reynolds Risk Score (RRS), rasio hazard (HR) untuk kejadian penyakit kardiovaskuler adalah 1,37 per 1-SD lebih tinggi dari ukuran Lp (a) (SD=32 mg/dl) dan 2,37 jika dibandingkan dengan 5 angka teratas kuintil dengan kuintil lainnya. Penambahan Lp (a) ke RRS meningkatkan indeks C sebesar 0,016.
Dari 502 subyek yang tetap bebas dari penyakit kardiovaskuler, 82 diantaranya dilakukan pengklasifikasian ulang menjadi risiko rendah dan 49 diantaranya menjadi risiko yang lebih tinggi. Sedangkan 148 subyek yang berkembang menjadi penyakit kardiovaskuler, 18 orang diklasifikasikan ulang menjadi risiko lebih tinggi dan 17 diantaranya menjadi risiko lebih rendah. Pada subyek dengan risiko sedang (15%=<30%) pengklasifikasian akhir akibat peningkatan Lp (a) adalah 22,5% untuk bukan kasus, 17,1% untuk kasus, dan 39,6% pada keseluruhannya. Ukuran Allel spesifik Lp(a) tidak menambah kemampuan prediksi dari FRS atau RRS atau Lp (a). Sebagai kesimpulan Peningkatan Lp (a) memprediksi hasil akhir penyakit kardiovaskuler dalam periode 15 tahun dan meningkatkan prediksi risiko penyakit kardiovaskuler. (J Am Coll Cardiol 2014; 64: 851–60)
Hari Yudha & Budhi SP
Perbandingan Skor Risiko Framingham, SCORE dan Model Prediksi Kardiovaskular WHO/ISH pada Populasi Asia
MODEL prediktor risiko kardiovaskular digunakan untuk kemudahan klinis dalam mengidentifikasi dan manajemen populasi berisiko tinggi, serta mengkomunikasikan risiko tersebut secara efekif. Jurnal ini meneliti validitas dan utilitas dari 4 model prediktor risiko kardiovaskular pada populasi Asia di negara berkembang. Data diambil dari survey berbasis populasi nasional dari 14.863 partisipan yang berusia 40-65 tahun. Skor risiko Framingham, SCORE (Systematic Coronary Risk Evaluation) pada daerah berisiko tinggi dan rendah serta model WHO/ISH dianalisis. Keluaran utama dari penelitian ini adalah mortalitas kardiovaskular dalam 5 tahun. Diskriminasi kemudian dihitung pada keseluruhan model kemudian dilakukan kalibrasi pada model SCORE.
Faktor risiko kardiovaskular cenderung tinggi pada perokok 20%, obesitas 32%, hipertensi 55%, diabetes mellitus 18% dan hiperkolestrolemia 34%. FRS dan SCORE-tinggi dan rendah menunjukkan keunggulan dalam stratifikasi risiko. FRS dan SCORE tinggi dan rendah juga merupakan diskriminan bagus untuk mortalitas kardiovaskular, area dibawah kurva ROC (AUC) 0.768. Model WHO/ISH menunjukkan diskriminasi yang buruk, AUC 0.613.
Model Prediksi risiko kardiovaskular pada sumber informasi terbatas peranannya sangat penting. Model tersebut seharusnya dapat membedakan secara memadai antara risiko kardiovaskular rendah dan tinggi untuk mengoptimalkan terapi pada kelompok yang besar. Model prediksi kardiovaskuler WHO/ISH telah direkomendasikan untuk stratifikasi faktor risiko negara-negara dengan sumber data yang kurang memadai. Keinginan utama yang terkandung dalam rekomendasi ini adalah tidak terdapatnya hasil penelitian yang terkait dengan daftar ada-tidaknya hasil kolesterol. Model WHO/ISH yang digunakan pada studi ini memasukkan angka kolesterol total, namun tidak dapat menstratifikasi risiko kardiovaskular secara akurat.
Studi ini menggarisbawahi bahwa model WHO/ISH harus divalidasi sekiranya akan dipakai untuk menghitung stratifikasi risiko kardiovaskular. Implikasi penggunaan prediksi risiko WHO/ISH tanpa validasi dapat mencemaskan. Pada populasi Malaysia, model WHO/ISH secara tidak tepat mengkategorikan sebagian besar masyarakat berada pada risiko kardiovaskular yang rendah. Masalah ini membahayakan prevensi, kontrol dan monitoring penyakit jantung ketika sumber daya dan dana diarahkan ke skrining individu dengan risiko tinggi dengan kemungkinan teridentifikasi lebih rendah, sehingga yang terobati lebih sedikit akibatnya banyak terjadi komplikasi. Ketika kendala tingginya angka kejadian dan kematian akibat penyakit jantung di negara berkembang bisa lebih tinggi atau lebih rendah, klasifikasi yang salah tentang kehadiran risiko kardiovaskular pada periode yang menentukan untuk memulai atau meningkatkan strategi penanggulangannya tidak dapat diterima, ini akan mengganggu upaya pencegahan.
Sebagai kesimpulan, Model FRS dan SCORE-tinggi dapat digunakan untuk mengidentifikasi risiko tinggi kardiovaskular pada populasi Malaysia. Model SCORE-tinggi memprediksi risiko lebih akurat pada laki-laki namun underestimate pada wanita. (Intern J. Cardio. 176 (2014) 211–218)
Faktor risiko kardiovaskular cenderung tinggi pada perokok 20%, obesitas 32%, hipertensi 55%, diabetes mellitus 18% dan hiperkolestrolemia 34%. FRS dan SCORE-tinggi dan rendah menunjukkan keunggulan dalam stratifikasi risiko. FRS dan SCORE tinggi dan rendah juga merupakan diskriminan bagus untuk mortalitas kardiovaskular, area dibawah kurva ROC (AUC) 0.768. Model WHO/ISH menunjukkan diskriminasi yang buruk, AUC 0.613.
Model Prediksi risiko kardiovaskular pada sumber informasi terbatas peranannya sangat penting. Model tersebut seharusnya dapat membedakan secara memadai antara risiko kardiovaskular rendah dan tinggi untuk mengoptimalkan terapi pada kelompok yang besar. Model prediksi kardiovaskuler WHO/ISH telah direkomendasikan untuk stratifikasi faktor risiko negara-negara dengan sumber data yang kurang memadai. Keinginan utama yang terkandung dalam rekomendasi ini adalah tidak terdapatnya hasil penelitian yang terkait dengan daftar ada-tidaknya hasil kolesterol. Model WHO/ISH yang digunakan pada studi ini memasukkan angka kolesterol total, namun tidak dapat menstratifikasi risiko kardiovaskular secara akurat.
Studi ini menggarisbawahi bahwa model WHO/ISH harus divalidasi sekiranya akan dipakai untuk menghitung stratifikasi risiko kardiovaskular. Implikasi penggunaan prediksi risiko WHO/ISH tanpa validasi dapat mencemaskan. Pada populasi Malaysia, model WHO/ISH secara tidak tepat mengkategorikan sebagian besar masyarakat berada pada risiko kardiovaskular yang rendah. Masalah ini membahayakan prevensi, kontrol dan monitoring penyakit jantung ketika sumber daya dan dana diarahkan ke skrining individu dengan risiko tinggi dengan kemungkinan teridentifikasi lebih rendah, sehingga yang terobati lebih sedikit akibatnya banyak terjadi komplikasi. Ketika kendala tingginya angka kejadian dan kematian akibat penyakit jantung di negara berkembang bisa lebih tinggi atau lebih rendah, klasifikasi yang salah tentang kehadiran risiko kardiovaskular pada periode yang menentukan untuk memulai atau meningkatkan strategi penanggulangannya tidak dapat diterima, ini akan mengganggu upaya pencegahan.
Sebagai kesimpulan, Model FRS dan SCORE-tinggi dapat digunakan untuk mengidentifikasi risiko tinggi kardiovaskular pada populasi Malaysia. Model SCORE-tinggi memprediksi risiko lebih akurat pada laki-laki namun underestimate pada wanita. (Intern J. Cardio. 176 (2014) 211–218)
Habibie Arifianto & Budhi SP
Langganan:
Postingan (Atom)