PERKI, Kolegium dan pemerintah harus bahu membahu memperbaiki layanan jantung anak. Pengadaan SDM pediatrik sangat perlu digalakkan.
DUNIA keilmuan kardiologi kembali menghadapi acara istimewa tahun ini: Kongres Perhimpunan Kardiak Pediatrik Asia Pasifik ke-7 atau The 7th Congress of Asia Pacific Pediatric Cardiac Society (APPCS). Kali ini Indonesia mendapat kehormatan sebagai tuan rumah kongres yang berlangsung tiap dua tahun tersebut yang diadakan di Bali pada 30 Agustus – 1 September 2018.
Panitia APPCS 2018 mengharapkan kehadiran setidaknya 700 anggota yang terdiri dari para profesional dan ilmuwan dari seluruh pelosok negara-negara Asia Pasifik. Panitia bahkan harus mengundurkan tenggat waktu penyerahan abstrak hingga akhir April.
“Semua kumpul di APPCS 2018, ada dokter bedah anak, dokter jantung, dokter anak, anastesi, termasuk pakar-pakar pediatrik dari luar negeri,” kata Prof dr Ganesja Harimurti, SpJP(K) yang bertindak sebagai anggota Dewan Penasehat Panitia Penyelenggara, APPCS 2018. Saat ini untuk menyambut APPCS 2018, segala sesuatunya telah dipersiapkan. Mulai dari sponsorship, lokasi, akomodasi hingga masalah keilmuan. “Di sana kita akan mengadakan pertukaran dan mengupdate ilmu-ilmu pediatrik, bagaimana tantangan dan solusinya,” kata Ganesja.
Tema pertemuan ilmiah kali ini pun cocok untuk kondisi tatalaksana pelayanan kardiologi pediatrik di Indonesia, yakni “Progress and Harmony Towards Equal Care for Children with Cardiac Problems". Pemerataan layanan kesehatan jantung anak di Indonesia memang harus terus digalakkan. Sebenarnya, menurut Ganesja, dari segi perkembangan dan tindakan kardiologi pediatrik Indonesia tak kalah dengan di Luar Negeri. Namun pada sisi pelayanan terhadap masalah jantung anak, masih banyak sekali yang harus diperbaiki.
Layanan Kardiologi Pediatrik
“Lihat saja kondisi pasien-pasien jantung anak di Indonesia, masih memprihatinkan. Perhatian terhadap kardiologi pediatrik memang masih sangat rendah, tenggelam dibandingkan dengan penyakit jantung koroner,” tutur Ganesja saat ditemui Inaheartnews. Perhatian masyarakat dan pemerintah lebih banyak kepada masalah jantung dewasa. “Misalnya sangat jarang ada pemberitaan atau pembahasan kasus jantung anak jadi headline di TV atau media massa. Tapi kalau ada yang terkena stroke, banyak yang membahas,” katanya.
Padahal, kejadian jantung bawaan cukup banyak untuk menjadi perhatian kalangan profesi, pemerintah dan masyarakat umum. “Saya dan kawan-kawan pernah mengadakan penelitian pada 1996. Kita dapatkan dari seribu kelahiran, terdapat sembilan bayi diantaranya mengidap jantung bawaan,” kata Ganesja. Data-data itu diambil dari tujuh rumah sakit besar di Indonesia.
“Kalau kita lihat dari sisi angka kelahiran di Indonesia saat ini, maka itu artinya setidaknya ada 40.000 bayi yang menderita kelainan jantung per tahunnya. Dari jumlah itu, sekitar 9% meninggal pada awal kehidupan. Sisanya bisa kita lihat, sebanyak 50%, sekitar 18.000 bayi memerlukan intervensi dari dokter,” kata profesor dengan pengalaman pediatrik hampir 4 dekade ini.
Untuk kejadian jantung anak di RSJ Harapan Kita saja, lanjut Ganesja, terdapat 1.000 - 1.200 kasus per tahun yang menjalani operasi, kemudian ada tambahan lagi sekitar 200 anak yang intervensi non bedah. “Jadi hanya sekitar 1.500 anak yang tertangani di RSJ Harapan Kita. Sisanya mereka ke RSCM, RS Surabaya, Semarang, Yogyakarta dan Bandung. Tapi itu pun tidak banyak. Lantas bagaimana dengan ribuan anak lainnya? Mereka pada kemana?” tanya Ganesja.
Apalagi, kini dengan bantuan BPJS Kesehatan, banyak orangtua dapat membawa anaknya untuk ditindak. “Tetapi tetap saja sumber daya manusia (SDM) yang menangani terbatas. Banyak orangtua dari daerah yang membawa anaknya ke Jakarta. Tapi seberapa banyak yang bisa kita tampung?” katanya.
Bahkan yang membuat miris, kini antrean tindakan bedah jantung anak menjadi panjang tak karuan. “Sekarang mereka harus antri selama 2 tahun untuk dioperasi di RSJ Harapan Kita,” katanya. Ganesja mengaku pihak rumah sakit sudah berupaya maksimal mengatasi hal ini. “Saat ini kita telah melaksanakan hingga 4 operasi dalam sehari. Tapi pasien masih terus membludak. Jadi ini harus menjadi perhatian semua pihak,” katanya.
Kadang-kadang karena lamanya menunggu,lanjut Ganesja, ada anak yang tiba giliran, dipanggil untuk operasi ternyata sudah tiada. “Jadi ini tidak bisa lama-lama. Penanganan terhadap hal ini harus cepat. Seperti itulah gambaran kondisi darurat yang terjadi,” katanya.
Perkembangan Kardiologi Pediatrik Indonesia
Salah satu penyebab masih sedikitnya SDM kardiologi pediatrik adalah peminat terhadap ilmu ini masih kurang. “Banyak yang menganggap, bidang kardiologi pediatrik kurang basah secara finansial dibandingkan dengan bidang jantung koroner. Jadi memang belum mencapai harapan," kata Ganesja tersenyum.
Padahal berkembangnya cabang kardiologi pediatrik tentu berawal dari sang induk, dunia kardiologi Indonesia. “Perkembangan jantung anak memang agak unik. Sebetulnya kita sebagai SpJP memang menangani pasien jantung dari pediatrik hingga geriatri. Begitu setidaknya paradigma yang terjadi ketika itu,” katanya.
Kardiologi Indonesia pada awalnya berkembang di Jakarta dan Surabaya, lebih tepatnya di RS Cipto Mangunkusumo. “Perkembangan itu lebih pesat lagi saat kita pindah ke RS Harapan Kita pada 1985. Tapi dulu pelayanan terhadap jantung anak memang tidak sekomprehensif seperti sekarang. Dulu kita terkotak-kotak. Tiap-tiap tindakan dilakukan pada bagian-bagian yang terpisah,” kata Ganesja.
Dalam perkembangannya, Ganesja berpikir penanganan kardiologi pediatrik seperti ini kurang sempurna. “Soalnya mereka yang mengkateter jantung orang dewasa belum tentu memahami ilmu kateter jantung pada anak,” katanya.
Sebab itulah, manajemen rumah sakit saat itu kemudian mengirim Ganesja ke London untuk memperdalam jantung anak, pada 1979. Disana, Ganesja bertemu dengan rekan-rekan sejawat. Ternyata mereka menangani kasus jantung anak secara terpadu. Mulai dari diagnostik, kateterisasi, ekokardiografi hingga perawatan paska bedah.
“Ketika itu saya minder sekali… kok kita tidak seperti itu. Saya pulang ke Jakarta dan lapor kepada Departemen Kardiologi yang waktu itu dipimpin dokter Sukaman. Beliau setuju sekali untuk mengembangkan sistem yang terpadu. "Oke kamu belajar lagi dan mengembangkan," kata ibu dua anak ini.
Pada 1985, Ganesja disekolahkan lagi untuk memperdalam kardiologi pediatrik ke Tokyo, Jepang. Sepulangnya dari sana, mulailah dibangun pelayanan kardiologi anak yang lebih terpadu. “Sebelumnya saya sudah sounding dengan Prof Lily (Prof dr Lily I Rilantono, SpJP(K)) berangan-angan dan ancang-ancang membangun divisi pediatric cardiology terpadu. Mulai dari poliklinik, perawatan, ekokardiologi dan katerisasi yang khusus,” kata Ganesja.
Perhatian terhadap Kardiologi Pediatrik
Kini setelah pindah ke RSJ Harapan Kita, angan-angan itu pelan-pelan mulai terwujud. Tapi perjuangan tentu tidak selesai sampai di sini, karena masih banyak yang harus diperbaiki dan dicapai.
“Salah satu mimpi saya adalah pemerataan pelayanan kardiologi anak di seluruh Indonesia, di semua daerah atau sentra sama derajatnya. Jadi pasien dari Papua tidak perlu lagi datang Jakarta, tetapi bisa ke sentra pendidikan di Makassar,” katanya.
Saat ini Indonesia telah memiliki 13 pusat pendidikan SpJP, yang tersebar di Aceh, Padang, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Bali, Malang, Manado dan Makassar. “Nah, mimpi saya itu semua pusat pendidikan ini mempunyai pelayanan kardiologi anak yang equal, sehingga semua rakyat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat pelayanan kesehatan,” tutur Ganesja.
Langkah awal apa yang sebaiknya dilakukan untuk mewujudkannya? “Minimal PERKI dan Kolegium harus selalu mengingatkan daerah dan kolega lainnya bahwa pelayanan kardiovaskular itu termasuk pelayanan kardiologi anak. Maaf-maaf saja, sekarang pelayanan kesehatan yang satu ini memang sering dilupakan,” kata Ganesja tegas. Dari situlah kemudian bisa bahu membahu dengan pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan layanan yang merata. [Tim InaHeartnews]