pita deadline

pita deadline

Kamis, 12 Desember 2013

Liputan 25th WECOC: A Quarter Century of Achievement In Cardiovascular Science and Technology

Minggu 10 November 2013, bertempat di ruang Mutiara 1 Hotel Ritz Carlton Kuningan Jakarta, telah diadakan workshop on heart failure dengan tema tantangan klinis pada gagal jantung sebagai bagian dari acara 25th Weekend Course On Cardiology (WECOC). Para pembicaranya yang sudah dikenal handal dibidangnya, yaitu dr Erwinanto SpJP, dr Nani Hersunarti SpJP(K) dan Dr dr Bambang B Siswanto SpJP(K).
Sebagai pembicara pertama, dr Erwinanto SpJP membicarakan pendekatan klinis dalam menangani gagal jantung akut. Gagal jantung masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pada klinis yang menjadi topik adalah gagal jantung akut karena prognosisnya yang  buruk.
Gagal jantung akut didefinisikan onset baru atau rekurensi perburukan gejala dan tanda gagal jantung yang membutuhkan pertolongan segera. Walaupun demikian  belum ada defines universal mengenai kondisi gagal jantung akut. Pasien mungkin akan muncul dengan kondisi yang beragam dari edema pulmoner yang mengancam nyawa atau syok kardiogenik sampai ke kondisi hanya edema perifer.
Kondisi gagal jantung dapat dibagi menjadi tujuh keadaan, acute de novo, gagal jantung akut dekompensata, gagal jantung akut hipertensif, edema pulmoner, syok  kardiogenik, high output failure dan gagal  jantung kanan. 
Tujuan dari pengobatan gagal jantung akut adalah untuk memperbaiki gejala dan menstabilkan kondisi hemodinamik pasien. Terapi tradisional seperti oksigen, diuretik loop, nitrat dan morfin masih tetap dipakai pada terapi awal sampai sekarang. Walaupun vasodilator seperti nitrogliserin mengurangi preload dan afterload serta meningkatkan isi sekuncup, tidak terdapat bukti yang nyata mengurangi dispnea atau memperbaiki hasil keluaran.
Vasodilator mungkin lebih berguna pada pasien dengan hipertensi. Penggunaan inotropik seperti dobutamin seharusnya digunakan pada pasien dengan penurunan berat cardiac output sehingga perfusi organ dapat tercapai. Obat-obat vasopressor dengan kemampuan vasokonstriksi arteri  perifer seperti norepinefrin diberikan pada pasien dengan hipotensi berat.
Pembicara kedua dr. Nani SpJP (K) membicarakan tentang pengobatan volume overload pada resistensi diuretik. Dimana keadaan volume overload merupakan manifestasi tersering dari gagal jantung dekompensasi. Interaksi Antara disfungsi ginjal dan fungsi jantung sangatlah penting dalam mekanisme patofisiologi yang menyebabkan kongesti.
Tujuan pemberian diuretik adalah untuk mencapai keadaan yang euvolumia dengan pemberian dosis yang terendah yang mungkin dapat diberikan. Perkumpulan gagal jantung Amerika merekomendasikan diuretik loop pada dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan diuresis yang cukup hingga mencapai status volum yang optimal.
Sindroma resistensi diuretik tidak terdefinisi dengan baik, dimana diduga jika terjadi edema perifer yang masih nampak walau telah diberikan dosis diuretik loop yang adekuat, terdapat pada 30% pasien dengan gagal jantung tingkat lanjut. Hal ini mungkin diakibatkan oleh karena terjadinya edema intestinal, penurunan sekresi  diuretic serta retensi garam post diuretik.
Adapun beberapa manajemennya adalah, kurangi asupan garam < 2 gram/hari, restriksi cairan 1-1.5 liter/hari, hindari penggunaan NSAID, pemberian diuretic infus kontinu 3  mg/jam sampai 10-20 mg/jam, kombinasi dengan hidroklorotiazid 25 – 100 mg, penggunaan dopamine dosis renal 2.5 mcg/kg/menit, dapat diberikan nitrat jika tekanan darah > 110 mmHg.
Dan pembicara terakhir Dr dr Bambang B Siswanto SpJP(K), membicarakan aritmia pada gagal jantung, dengan aritmia terbanyak adalah fibrilasi atrium (AF), disusul dengan PVC serta non sustained VT. AF  dapat menyebabkan perburukan gagal jantung, juga dapat memicu gagal jantung pada pasien asimptomatik disfungsi ventrikel kiri, dan akan meningkatkan risiko tromboemboli.
AF dalam gagal jantung, kita harus mencari penyebab timbulnya seperti hipertiroid, kelainan elektrolit, hieprtensi yang tidak terkontrol serta penyakit katup mitral. Kita juga harus mencari faktor penyebabnya seperti riwayat pembedahan, PPOK atau asma, iskemia miokard akut ataupun alcohol. Serta kita harus memberikan profilaksis tromboembolisme.
ESC merekomendasikan untuk mengatur denyut jantung pada pasien gagal jantung simptomatik, disfungsi sistolik ventrikel kiri, persisten atau permanen AF dan tanpa bukti dekompensasi akut dapat diberikan beta blocker, sementara alternatifnya dapat diberikan digoksin ataupun amiodaron.
Adapun target denyut jantung berdasarkan studi AF-CHF adalah 80 kali per menit pada saat istirahat dan 110 kali per menit pada saat tes jalan 6 menit. Adapun kontrol ritme ternyata tidak lebih superior dari  kontrol denyut jantung. Kontrol ritme baik pada pasien dengan sebab sekunder yang reversible (hipertiroid) dan penyebab yang nyata seperti pneumonia. Adapun obatnya dalah amiodaron, sementara pasien dengan gagal jantung akut lebih baik dilakukan kardioversi emergensi pada kondisi hemodinamik tidak stabil.
Aritmia ventrikuler sering kali terjadi pada ventrikel kiri yang mengalami dilatasi dan penurunana fraksi ejeksi. Aritmia ventrikuler mungkin akan asimptomtik atau simptomatik (palpitasi, pusing, pre sinkop atau sinkop dan perburukan gagal jantung). PVC frekuen dan non sustained VT dihubungkan dengan kaluaran yang buruk pada gagal jantung.                      
(SL Purwo)

Kardiologi Kuantum (23): Hati Nurani Adalah Suara Kebenaran, Benarkah?


“Through pride we are ever deceiving ourselves. But deep down below the surface of the average conscience a still, small voice says to us, something is out of tune.”
~ C.G. Jung ~

Salam Kardio. Amatlah menarik kalau menjelang akhir tahun 2013 kolom Kardiologi Kuantum membicarakan hati nurani yang sering dianggap sebagai suara hati yang harus diikuti dengan penuh semangat, karena ia adalah sejatinya kebenaran. Rasanya tidak demikian, masih memerlukan pertimbangan fikiran dan perasaan kita. Jung sendiri masih memandang bahwa hati nuranipun bertingkat-tingkat dari permukaan kesadaran manusia sampai yang terdalam yang sering disebut-sebut sebagai pusat arketip.
Hati nurani berasal dari kata bahasa Latin Conscientia yang berarti kesadaran. Conscientia terdiri dari dua kata yaitu CON dan SCIRE. Con berarti bersama-sama dan Scire berarti mengetahui. Jadi Conscientia  berarti mengetahui secara bersama-sama/turut mengetahui. Artinya, bukan saja saya mengenal seseorang tetapi saya juga turut mengetahui bahwa sayalah yang mengenal. Atau, sambil mengenal, saya (subyek) sadar akan diri (obyek) sebagai subyek yang mengenal. Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan dua arti dan makna hati nurani yaitu: 1. Arti luas: Hati nurani berarti kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam hati manusia; 2. Arti sempit: Hati nurani berarti penerapan kesadaran moral diatas dalam situasi konkret.
Kembali kepada pertanyaan apakah hati nurani itu suara kebenaran? Nah, benar-tidaknya hati nurani itu dapat dibuktikan secara empiris berdasarkan norma obyektif yang ada di masyarakat, hati nurani  menjadi benar atau keliru/tidak cocok ketika berhadapan dengan norma masyarakat. Mestinya secara moralpun dapat dipastikan kepastiannya setelah dicocokkan dengan yang ada di masyarakat, bila masih bimbang dan ragu dapat didiskusikan dengan peer grupnya. Di sini kardiologi kuantum mengikuti apa yang disarankan oleh Alfred Adler agar norma di dalam masyarakat (social feeling) dijadikan sebagai acuan sebab kalau terlalu sering/banyak perbedaannya dapat menjadi gangguan kejiwaan yang dimulai sebagai stres atau neurosis.
Peranannya dengan perbuatan kita berdasarkan perjalanan sang waktu ia dapat berperanan sebelum terjadinya suatu perbuatan untuk menyuruh kearah perbuatan yang baik atau melarangnya untuk perbuatan-perbuatan yang buruk. Pada saat rangkaian perbuatan kita sedang berlangsung ia masih dapat menyuruh atau melarang. Konon sesudah perbuatan kita selesai dilaksanakan pun masih dapat memberikan peranannya untuk memuji jika perbuatan itu baik dan menyesal jika perbuatan itu buruk. Hati nurani dapat berperanan dalam menyadarkan manusia akan eksistensi, nilai-nilai dan harga dirinya.
Hati nurani dalam kehidupan kita sehari-hari dapat dipakai sebagai pegangan, pedoman atau norma yang nyata yang sudah ada di masyarakat ideal. Norma ini telah disampaikan oleh mereka yang berkompeten termasuk apa yang telah disampaikan oleh orang yang secara psikologis dianggap oleh kardiologi kuantum sebagai psikolog yang “berkelas super” yaitu para nabi/utusan Tuhan. Pedoman atau norma tersebut dapat dipakai sebagai acuan apakah tindakan itu baik atau buruk. Mengapa Nabi berkelas super karena pesan-pesan yang disampaikannya diikuti oleh jutaan manusia selama ribuan tahun. Walaupun Sigmun Freud tidak percaya kepada Tuhan dan Alfred Adler tidak dapat merumuskan konsep metafisika ketuhanan di dalam candra jiwanya namun Alfred Adler secara jujur mengakui adanya dampak positif peranan agama di dalam kehidupan masyarakat. Freud menganggap penghormatan seorang manusia kepada agama adalah  mirip dengan penghormatan seorang anak terhadap bapaknya.
Dalam kehidupan sehari-hari ditemukan banyak pengalaman hidup. Ada beberapa hal yang mungkin dapat kita pakai  sebagai pegangan atau panduan hidup. Jika kita merasa bahwa hati nurani sudah benar dan pasti maka perbuatan yang baik dapat dan harus dilakukan dan perbuatan buruk harus dielakkan. Sekiranya keyakinan kita bahwa hati nurani belum jelas benar kepastiannya maka harus dipilih perbuatan yang minimalis/minus-malum yaitu perbuatan yang paling sedikit keburukannya. Jika menyangkut penyakit, bencana alam/peperangan dan kematian maka keselamatan nyawa harus didahulukan.

Mengapa Hati Nurani Dapat Menjadi Jahat?
Hati Nurani adalah candra manusia dan candra dunia karena berkembang dalam pertemuannya dengan dunia luar (tempat bercampurnya kenyataan baik, buruk dan kejahatan) serta dunia dalamnya manusia (sentra-sentra vitalitas) baik yang sadar maupun yang tidak sadar. Hati Nurani disimpan dalam angan-angan manusia dalam arti sempit yang bersifat asadar, tetapi berbeda tempat dengan nafsu-nafsu yang juga bersifat asadar. Hati Nurani dapat dikatakan sebagai lapis dalam dari dunia aku, dan dapat merekam warisan kuno yang disampaikan secara turun temurun sebagai konsep yang disebut filogenetis. Menjadi jelas bahwa ia memiliki sumber kejahatan yang didapat dari pertemuannya dengan dunia nyata di dalam masyarakat. Kardiologi kuantum juga menganggap hati nurani   sejajar dengan konsep Superego (Freud), Rasa Kemasyarakatannya Adler, dan Persona-nya Jung.
Bagian terdalam dari manusia setelah hati nurani adalah suatu alam sejati ialah pusat imateri sebagai pusat kebenaran. Hati nurani secara “pasif” artinya dapat memohon saja tetapi tidak dapat memaksa untuk mendapat informasi yang benar dari Sang Kebenaran itu sendiri. Jelas bahwa Hati nurani bukan Sang Kebenaran, yang paling benar. Ada interaksi psikis antara dunia aku dengan dunia luar, dan karena pengaruh-mempengaruhi ini yang berupa kontak dan pertemuan, maka berkembanglah angan-angan, perasaan dan nafsu-nafsu. Bertumpuk-tumpuklah pengalaman orang dan masyarakat. Orang yang mengalami beribu-ribu kejadian, beribu-ribu suka dan duka, mengumpulkan bahan untuk membentuk suatu konsepsi dan gambaran bagaimana ia harus hidup dan bagaimana ia harus  memandang dunia sekitarnya. Ia membentuk suatu candra manusia dan suatu candra dunia. Candra dunia dan candra manusia ini menjadi pedomannya, polanya, bagaimana ia harus menolong dirinya sebaik-baiknya, apa yang harus ia perbuat untuk menyelamatkan eksistensinya dan keseimbangannya. Candra dunia dan candra manusia ini ialah hati nuraninya.
Ada automatisme di dalam diri manusia, yang terjadi karena penerangan angan-angan oleh hati nurani. Automatisme ini seolah-olah meletakkan kaca di muka angan-angan kita sendiri, perasaan dan keinginan kita sehingga kita dapat melihat sendiri keadaan kita yang rusak. Kaca ini adalah ’kaca ajaib’, sebab kekurangan yang dilihat itu di satu pihak selalu cukup besar untuk menyuruh orang menyadari diri dan mendorong dia berbuat, tetapi di pihak lain tidak cukup besar untuk membuat dia berputus asa atau untuk dirasakan sebagai trauma.
Menjadi sadarnya perbedaan antara gambaran keadaan diri pada suatu ketika dengan gambaran yang dari hati nurani, menimbulkan rasa bersalah yang harus ditebus dengan salah satu cara. Penebusan dosa berupa keharusan untuk mengarahkan diri, menyerahkan diri, mengorbankan diri kepada candra manusia idealnya, yang mempunyai kewibawaan tertentu. Rasa berdosa ini adalah pencurahan rasa tanggung jawab, yang memancar dari hati nurani.
Demikianlah Kardiologi Kuantum berusaha mengupas tentang hati nurani yang statusnya asadar merupakan hasil interaksinya dengan dunia luar, informasi  turun-temurun yang filogenetis, bahkan  kemungkinan adanya intervensi dari Sadar Kolektif Dinamis di dalam pusat imateri berupa suatu intuisi atau ilham. Terima kasih dan Salam Kuantum.

 Hati nurani dalam status asadar terletak diantara 3-sentra vitalitas (IAngan-angan, IIPerasaan, dan IIINafsu-nafsu) dan sentra vitalitas ke-IV adalah IVTripurusa sebagai pusat imateri. TreFoil, TriAspect (Tripurusa), merupakan pusat hidupnya Alam Sejati di dalam diri manusia. Ketiga aspek tersebut adalah TheSource (Suksma Kawekas) sebagai aspek (sadar kolektif) statis; sumber hidup dan asal mula hidup, TheForce (Suksma Sejati) adalah aspek dinamis; yang meng-hidup-i, dan TheSelf yang di-hidup-i. (Purwowiyoto BS. Candra Jiwa Indonesia Warisan Ilmiah Putra Indonesia. Penerbit H&B PERKI, Jakarta 2012)

Budhi S Purwowiyoto

New Long-Term Treatment Data Confirms Consistent Benefit and Safety Profile of Pradaxa® Beyond 6 Years

  • Pradaxa® (dabigatran etexilate) is the only novel oral anticoagulant with more than 6 years of long-term data supporting its beneficial role for stroke prevention in atrial fibrillation1
  • The efficacy and safety profiles of both doses of Pradaxa® during up to 6.7 years of extended treatment remain consistent with the pivotal results seen in the registration trial RE-LY®1,2,3
  • Presented during the American Heart Association’s Scientific Sessions, new data add to the body of evidence for Pradaxa®
Ingelheim, Germany, 19 November 2013 – Results from a new combined analysis of the pivotal Phase III RE-LY® trial and its extension study RELY-ABLE® show that, in long-term treatment, the efficacy and safety profiles of both doses of Pradaxa® (dabigatran etexilate, 150mg bid and 110mg bid) remain consistent with the results seen in the 18,000 patient-strong RE-LY® registration trial.1,2,3 The new data were presented during the American Heart Association’s  Scientific Sessions 2013.
“This is important news for physicians and patients who use either dose of dabigatran etexilate to reduce the lifetime risk of stroke associated with atrial fibrillation,” said Prof. Michael D. Ezekowitz, Thomas Jefferson Medical College, Philadelphia, USA. “They can feel reassured that dabigatran etexilate will provide sustained stroke prevention and a favourable long-term safety profile.”
The combined analysis includes all patients from RE-LY® and RELY-ABLE® who were treated with either Pradaxa® 150mg bid or Pradaxa® 110mg bid. Median follow-up lasted an average of 4.6 years, with maximum follow-up extending to 6.7 years in several hundred patients. The new findings show that for Pradaxa®:1
  • The rates of stroke or systemic embolism were 1.25 and 1.54 percent / year on dabigatran 150mg bid and 110mg bid respectively
    • The rates of ischaemic stroke were 1.03 and 1.29 percent / year on dabigatran 150mg bid and 110mg bid respectively
    • The rates of haemorrhagic stroke were 0.11 and 0.13 percent / year on dabigatran 150mg bid and 110mg bid respectively
  • The rates of major haemorrhage were 3.34 and 2.76 percent / year on dabigatran 150mg bid and 110mg bid respectively
  • The safety profile was consistent over time, with no new safety issues identified compared to the original RE-LY® results.






Prof. Dr. Klaus Dugi


“These unique long-term treatment results presented during the AHA Scientific Sessions show consistent safety and efficacy profiles for both doses of Pradaxa® over more than 6 years of clinical follow-up,” said Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Among the novel oral anticoagulants, such long-term data are only available for Pradaxa®. Especially for a chronic condition that requires life-long treatment like stroke prevention in atrial fibrillation, results such as these provide key insights for physicians and patients.”
The favourable efficacy-safety profile of Pradaxa® is supported by safety assessments from regulatory authorities including the European Medicines Agency and the U.S. Food and Drug Administration (FDA).4,5 Clinical experience with Pradaxa® continues to grow and equates to over two million patient-years in all licensed indications to date.6 Pradaxa® is the longest studied novel oral anticoagulant.6
Pradaxa® is currently approved in over 100 countries worldwide for the prevention of stroke and systemic embolism in patients with non-valvular atrial fibrillation and for the primary prevention of venous thromboembolism following total hip replacement or total knee replacement surgery.6,7

(SPONSORED ARTICLE)

References
  1. Ezekowitz M, et al. RE-LY and RELY-ABLE: Long-term Follow-up of Patients With Non-valvular Atrial Fibrillation Receiving Dabigatran Etexilate for Up to 6.7 Years. Oral presentation #10684 on Monday 18 November 2013 at the American Heart Association’s Scientific Sessions, Dallas, Texas, USA.
  2. Connolly SJ, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med. 2009;361:1139-51.
  3. Connolly SJ, et al. Newly identified events in the RE-LY trial. N Engl J Med. 2010;363:1875-6.
  4. FDA Drug Safety Communication: Update on the risk for serious bleeding events with the anticoagulant Pradaxa (dabigatran) – 2 November 2012 http://www.fda.gov/Drugs/drugsafety/ucm326580.htm Last accessed 11 November 2013.
  5. European Medicines Agency Press release - 25 May 2012: EMA/337406/2012. European Medicines Agency updates patient and prescriber information for Pradaxa. http://www.ema.europa.eu/ema/index.jsp?curl=pages/news_and_events/news/2012/05/news_detail_001518.jsp&mid=WC0b01ac058004d5c1 Last accessed 11 November 2013.
  6. Boehringer Ingelheim data on file.
  7. Pradaxa® European Summary of Product Characteristics 2013.

Natrium Klorida vs Natrium Bikarbonat dalam Prevensi Nefropati Terkait Media Kontras

Perubahan akut pada fungsi renal akibat media kontras radiografi biasanya bersifat ringan dan sementara, tetapi dapat menghasilkan disfungsi ginjal yang menetap dan membutuhkan terapi pengganti ginjal.
Nefropati terkait kontras (CIN) merupakan penyebab tersering gagal ginjal onset dini pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dengan risiko tertinggi pada pasien yang sebelumnya dengan gangguan fungsi ginjal.
Hal ini dihubungkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas di rumah sakit serta jangka panjang, peningkatan perkembangan penyakit ginjal kronis dan tingginya biaya perawatan.
Karena tidak ada terapi spesifik untuk CIN dan penyakit ini merupakan iatrogenic, prevensi merupakan  hal terpenting. Patofisiologi CIN tidak  dipahami secara sempurna tetapi mungkin terdapat vasokonstriksi akut yang menghasilkan hipoperfusi ginjal, hipoksia memicu stress oksidatif dan radikal bebas menghasilkan   suasana asam medulla renalis.
Beberapa pendekatan telah diajukan untuk mencegah terjadinya CIN dengan target pada pato mekanismenya. Satu hari pemberian natrium klorida 0.9% secara umum diterima dalam penggunaan klinis praktis dalam mencegah dan dianggap sebagai tolak ukur pencegahan CIN.
Studi terbaru telah mengevaluasi pemberian natrium bikarbonat lebih superior dibandingkan pemberian natrium klorida 0.9%. berdasarkan hipotesis alkalinisasi  tubulus renal dengan bikarbonat mungkin akan mengurangi jejas renal.
Studi oleh Merten et al. memperlihatkan pemberian natrium bikarbonat selama 7 jam, nampaknya lebih superior dari pemberian 7 jam natrium klorida 0.9%. Akan tetapi, pemberian 24 jam natrium klorida 0.9% untuk menunjang suatu dugaan bahwa dengan pemanjangan pemberiannya mungkin merupakan mekanisme yang   efektif, namun hal tersebut belum pernah dilakukan.
Sehingga dilakukanlah studi oleh Klima et al, untuk membandingkan pembe-rian natrium klorida 0.9% selama 24 jam dengan natrium bikarbonat untuk mencegah CIN. Studi ini merupakan studi prospektif, randomisasi yang dilakukan selama Maret 2005 sampai Desember 2009, melibatkan 258 pasien konsekutif dengan insufisienfi renal yang menjalani prosedur kontras intra vaskuler.
Pasien dirandomisasi untuk diberikan   intravena natrium klorida 0.9% 1cc/kg/jam (kelompok A) selama 12 jam sebelum dan sesudah atau natrium bikarbonat (166 mEq/L) 3 cc/kg (kelompok B) selama 1 jam sebelum dan 1 cc/kg/jam selama 6 jam setelah tindakan atau pemberian natirum bikarbonat (166 mEq/L) 3 cc/kg (kelompok C) selama 20 menit   sebelum tindakan ditambahkan natrium bikarbonat tablet (500 mg setiap 10 kg).
Hasil keluaran primer berupa perubahan estimasi nilai filtrasi glomerulus (eGFR) dalam 48 jam setelah tindakan. Sedangkan hasil keluaran sekunder berupa perkembangan CIN. Perubahan maksimum eGFR secara signifikan lebih besar pada kelompok B dibandingkan dengan kelompok A [perbedaan rerata -3.9 (95% CI -6.8 sampai -1) cc/menit/1.73m2; p = 0.009] dan sama diantara kelompok C dan B [perbedaan    rerata 1.3 (95% CI,  -1.7 – 4.3) cc/kg/1.73m2, p = 0.39]. Insidensi CIN secara signifikan lebih rendah pada kelompok A (1%) dibandingkan kelompok B (9%, p = 0.02) dan sama diantara kelompok B dan C (10%, p = 0.9).
(Eur H Journal 2012; 2-9)
SL Purwo

Kateterisasi Jantung: Seuntai Sejarah Panjang (1)

“Khairunnaas anfa’uhum linnaas” 
 (Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain)
(Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
“Where’s the glory in repeating what others have done?” (Rick Riordan)


Perkembangan Kardiologi
Kardiologi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran dan ranting ilmu pengetahuan tentu saja tidak lepas dari sifat ilmu pengetahuan itu sendiri yang dinamis. Kedinamisan ilmu kedokteran tercapai, salah satunya, karena adanya penemuan-penemuan teori, metode, terapi, dan alat-alat. Begitu pun kardiologi, ia sudah sedemikian berkembangnya di era nanotechnology ini. Buah pikiran dari para cerdik cendekia seakan menjadi gaya dorong bagi bahtera kardiologi untuk bertolak dari zaman William Harvey, orang pertama yang menjelaskan sirkulasi darah,1 ke zaman transplantasi jantung sekarang ini. Karya-karya para pakar terwujud dalam bentuk yang beraneka ragam dan penemuan modalitas diagnostik adalah satu di antaranya.

Penemuan Terbesar Ketujuh dalam Kardiologi
Salah satu modalitas diagnostik yang penting dalam kardiologi adalah pemeriksaan kateterisasi jantung. Pemeriksaan ini terutama berguna dalam aspek evaluasi  hemodinamika yaitu untuk mengukur tekanan intrakardiak, saturasi darah dalam ruang-ruang jantung, serta cardiac output.2 Sukar dibayangkan bagaimana kita bisa mengukur ketiganya sekaligus tanpa modalitas ini. Tak heran, menjelang awal dekade ini, kateterisasi jantung dinobatkan dalam sebuah artikel menjadi salah satu dari sepuluh penemuan terbesar dalam   kardiologi pada abad ke-20. Ya, pada tahun 2002, Nirav J. Mehta dan Ijaz A. Khan dari Division of Cardiology, Creighton University School of Medicine menempatkan kateterisasi jantung pada urutan ketujuh di antara jajaran penemuan-penemuan kardiologi yang luar biasa abad kemarin.3

Sejarah Awal
Sejarah kateterisasi jantung, angioplasti, dan intervensi-intervensi kateter lainnya adalah perjalanan spektakuler yang  diwarnai oleh kisah orang yang bertindak jenius tanpa gentar akan risiko sekaligus kisah kemujuran dalam menemukan sesuatu yang tak terduga sebelumnya akan menjadi suatu tiang pancang historis.4 Menemukan sesuatu yang baru lalu mencetak sekaligus merintis kejayaan adalah apa yang telah ditorehkan para founding father kardiologi intervensi. Ini sangat sejalan  dengan kutipan Rick Riordan di atas; mencetak kesuksesan tidak bisa dicapai dengan mengulang apa yang telah diperbuat oleh orang lain.
Waktu yang tidak singkat, sekitar empat ratus tahun, telah dilewati untuk mengubah secara bertahap metode kateterisasi jantung sampai akhirnya menjadi semaju sekarang ini.5 Dengan kata lain, metode ini telah ber-evolusi.5 Salah satu langkah besar yang mengawali evolusi ini adalah terdeskripsikannya sirkulasi darah manusia oleh sang pionir, William Harvey, pada tahun 1628.5 Beliau adalah seorang dokter Inggris.1 Selanjutnya, pada tahun 1706, Raymond de Vieussens, seorang profesor anatomi dari Prancis, untuk pertama kali menggambarkan struktur ruang dan pembuluh darah jantung.1
Setelah pijakan awal yang dirintis oleh Harvey dan de Vieussens, usaha konkret untuk melakukan kateterisasi jantung dilakukan oleh Stephen Hales, seorang pendeta sekaligus ilmuwan Inggris, pada tahun 1711.1,4 Beliau melakukan kateterisasi biventrikular pada kuda.4 Dua puluh dua tahun kemudian, kira-kira seabad setelah deskripsi monumental Harvey, Hales untuk pertama kali mengukur tekanan darah arterial.1,5 Ini menjadi tonggak penting berikutnya dalam sejarah perkembangan kateterisasi jantung.5 Harvey dan Hales telah menjadi tokoh utama pada dua momen penting yang menjadi milestone tidak hanya perkembangan kateterisasi tetapi juga kardiologi.
Langkah konkret Hales diikuti oleh kemunculan tindakan kateterisasi-kateterisasi eksperimental lain pada abad ke-19.4 Claude Bernard, seorang peneliti fisiologi ternama dari Prancis, pada tahun 1844, menggunakan kateter untuk merekam tekanan intrakardiak pada hewan.3 Beliaulah yang menciptakan istilah kateterisasi jantung.3 Pencapaian ilmiah beliau bersama ilmuwan-ilmuwan lain, seperti Carl Ludwig dan Etienne-Jules Marey, menjadi tanda adanya masa keemasan perkembangan fisiologi kardiovaskular pada abad tersebut.5
Kateterisasi jantung manusia semakin berkembang selama abad ke-20.5 Langkah dramatis diambil oleh Werner Forssmann pada tahun 1929.4,5
(Bersambung ke sini)

Referensi: 
  1. History of the heart [Internet]. 2013 [cited 2013 Nov 18]. Available from: http://www.fi.edu/learn/heart/history/firsts.html.
  2. Braunwald E, Gorlin R, McIntosh HD, Ross RS, Rudolph AM, Swan HJ. Cooperative study on cardiac catheterization. Summary. Circulation 1968 May;37(5 Suppl): III93-101. 
  3. Mehta NJ, Khan IA. Cardiology's 10 greatest discoveries of the 20th century. Tex Heart Inst J 2002;29(3):164–71. 
  4. Mueller RL, Sanborn TA. The history of interventional cardiology: cardiac catheterization, angioplasty, and related interventions. Am Heart J 1995 Jan;129(1):146-72. 
  5. Bourassa MG. The history of cardiac catheterization. Can J Cardiol 2005 Oct;21(12):1011-4.

Rabu, 11 Desember 2013

Dari kasus Dewa Ayu: Stop Kriminalisasi Dokter!!!

Ratusan dokter yang tergabung dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi (POGI), Sulut melakukan aksi solidaritas dokter di halaman kantor DPR Provinsi Sulut, kota Manado, Sulawesi Utara, Senin (18/11). Sejumlah dokter mengancam akan melakukan mogok kerja. Puluhan dokter di Gorontalo membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan kepada dr Dewa Ayu. Sejumlah dokter yang tergabung dalam IDI Kudus berdoa saat menuntut pembebasan dr Ayu. Reaksi keras dari para dokter itu adalah bentuk solidaritas profesi terhadap dokter Dewa Ayu yang ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara sejak 8 November lalu atas putusan Mahkamah Agung, nomor 365.K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2012. Selain itu para dokterpun menuntut stop kriminalisasi dokter atas tindakan medisnya.
Atas kejadian itu, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin mengharapkan dokter tidak melakukan mogok kerja karena ditahannya seorang dokter.
"Kami mengharapkan dokter tidak melakukan mogok kerja, karena kerja dokter adalah pelayanan," kata Zaenal di Jakarta, Senin (18/11).
Dia menambahkan, jika dokter melakukan mogok kerja maka masyarakat akan kesulitan mendapat pelayanan kesehatan.
Kasus ini berawal dari tindakan Sectio Caesaria Sito terhadap pasien bernama Julia Fransiska Makatey (25) pada 2010 di Rumah Sakit Prof. Kandou Manado yang dilakukan oleh dr Dewa Ayu Sasiary Prawani SpOG bersama dua rekannya dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian. Ketiga dokter spesialis kandungan tersebut melakukan tindakan itu karena riwayat gawat   janin, setelah sebelumnya pasien dirujuk ke puskesmas. Beberapa hari setelah dilakukan operasi, pasien meninggal dunia akibat masuknya angin ke jantung atau emboli udara. Kasus ini dibawa ke Pengadilan Negeri Manado sebagai  tindakan malpraktek. Disini, ketiganya divonis tidak bersalah. Tapi, di tingkat kasasi, ketiga dokter itu dianggap melakukan kealpaan yang menyebabkan pasien meninggal.
Zaenal berkeyakinan para dokter tersebut tidak bersalah, karena sudah berupaya maksimal menyelamatkan pasien.
"Kami (IDI) menyatakan menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap dokter", ujar Zaenal. "Pada prinsipnya kasus yang terjadi di Manado jadi pertanyaan bagi profesi kita."
IDI akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) pada peristiwa penahanan itu.
"Kasus ini harus dituntaskan, jika tidak, bisa mengganggu dunia kesehatan," jelas dia.
Jika tidak diselesaikan, lanjut dia, maka tidak akan ada lagi dokter yang mau mengerjakan kasus gawat darurat. Bayang-bayang ancaman penjara ini dikhawatirkan akan menyebabkan para dokter waswas ketika melakukan tindakan medis berisiko —padahal sangat diperlukan.
"Kasus gawat darurat itu, potensinya sangat kecil," ujarnya sembari menyatakan IDI fokus dalam urusan hukum.
IDI berjanji untuk berjuang membebaskan dokter Ayu dari tahanan dan dua dokter lainnya dari jerat hukum.
Koordinator Penasihat Hukum pada Tim Penanganan dan Pertimbangan Masalah Hukum Tertentu Kementerian Kesehatan Amir Hamzah Pane mengatakan: "Kalau dalam menjalankan profesinya tidak pantas dipidana, karena tujuannya mulia menyelamatkan nyawa pasien."
Dokter bisa dipidana jika unsur hukumnya terpenuhi misalnya melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau transplantasi ginjal dengan tujuan menjual ginjal tersebut.
"Kalau dalam konteks profesi tidak bisa, kalau pasien meninggal itu risiko medis," jelas Amir.
Amir juga menilai dokter yang melakukan kerja dalam tim tidak bisa dipidana sendirian.
Dia berharap polisi dan jaksa berkonsultasi terlebih dahulu dengan komite medik sebelum memperkarakan tenaga kesehatan.
Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Prof Dr Laila Marzuki SH MH mengatakan penahanan dr Dewa Ayu tidak pantas dilakukan karena tidak ada kelalaian dalam penanganan pasien.
"Tidak pantas ditahan karena tidak ada unsur kelalaian," ujar dia dalam seminar di Kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jakarta, Senin (18/1).
Dia menambahkan, pasien tersebut meninggal karena emboli udara atau masuknya udara ke jantung. "Itu diluar perkiraan dari seorang dokter," jelas dia.
Kasus emboli udara, lanjut dia, sudah terjadi sejak dulu, bahkan ada perempuan yang tewas setelah melakukan hubungan badan akibat masuknya udara ke jantung.
"Kasus seperti itu, sudah lama terjadi. Dan diluar prediksi dokter," kata dia.*

Kamis, 31 Oktober 2013

Rawat Jalan Dini Pasien Infark Elevasi Segmen ST Pasca Intervensi Koroner Perkutan Primer

INTERVENSI koroner perkutan primer (IKPP) secara signifikan mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien infark miokard elevasi segmen ST (IMEST) dibandingkan dengan pemberian trombolisis dan lebih disarankan untuk tindakan  reperfusi.
Panduan klinis menyebutkan bahwa lama rawat di rumah sakit pasien yang dirawat dengan IKPP oleh sebab IMEST berkurang oleh karena penurunan komplikasi post infark yang dini (seperti aritmia, gagal jantung, iskemia rekuren dan kematian) serta memperbaiki stratifikasi risiko pasien IMEST, tidak terdapat rekomendasi mengenai durasi rawat inap yang tepat post tindakan IKPP.
Beberapa studi menunjukkan aman untuk memulangkan pasien IMEST dalam waktu tiga atau empat hari setelah dilakukannya IKPP. Walau demikian, studi yang menilai keamanan dan kelayakan rawat inap yang singkat setelah IKPP sangatlah sedikit dan kurangnya nilai kekuatan penelitiannya.
Dilakukanlah studi oleh Noman et al. untuk menilai keamanan rawat jalan yang singkat pada pasien IMEST yang telah dilakukan IKPP dengan menganalisis mortalitas dini dan jangka panjang setelah pasien dirawat jalan.
Analisis restrospektif dari 2448 pasien IMEST yang dilakukan IKPP yang selamat sampai pasien dirawat jalan. Mortalitas oleh sebab apapun setelah dirawat jalan dilaporkan pada hari 1, 7 dan 30 serta follow up jangka panjang. Total 1542 pasien (63%) dirawat jalan dalam dua hari (kelompok rawat jalan dini) dan 906 pasien (37%) setelah dua hari (kelompok rawat jalan lanjut).
Kedua kelompok, tidak terdapat kematian pada hari 1 setelah dirawat jalan. Mortalitas kelompok rawat jalan dini dan lanjut muncul pada hari ke 7 dengan 0 dan 4 pasien (0.04%) dan diantara hari ke 7 dan 30 terdapat 11 (0.7%) dan 11 pasien (1.2%). Selama rerata follow up 584 hari, 178 pasien (7.3%) meninggal; 67 pasien pada kelompok rawat jalan dini (4.3%) dan 111 pasien pada kelompok rawat jalan lanjut (12.3%).
Seperti yang diprediksikan, kelompok rawat jalan dini dan lanjut berbeda dalam banyak hal yang dapat diprediksikan dalam beberapa harapan hidup. Sebagai contoh, kelompok rawat jalan dini lebih banyak  terdapat pada usia muda dan sedikit komorbid serta sedikit penyakit kompleks dan IKPP dilakukan lebih sering pada radial. 
Panduan klinis mengenai manajemen IMEST menyebutkan bahwa lama rawat yang singkat (kira-kira 72 jam) sangat beralasan pada pasien dengan risiko rendah walau bukti klinis sangatlah terbatas.
Studi ini menyimpulkan bahwa rawat jalan dini (dalam 2 hari) adalah aman dan laik pada pasien-pasien dengan risiko rendah. Rawat jalan dini juga mungkin membantu mengurangi biaya perawatan kesehatan di setiap instansi kesehatan. (Eur H Journal: Acute Cardiovasc Care; 2013: 2(3): 262-9)
SL Purwo

Galeri Foto

Acara Pelepasan Dokter Spesialis Kardiovaskular, pada 24 September 2013 bertempat di RSJPD Harapan Kita Jakarta

 

Kardiologi Kuantum (22): Tri Hita Karana, Pemali, dan Asketisme Kurban

“The ideas of the moral order and of God belong to the ineradicable substrate of the human soul.” ~C.G. Jung, Dreams~ 

Salam Kardio. Baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka konferensi internasional Tri Hita Karana Pembangunan Berkelanjutan yang berfokus pada pariwisata, sebagai bagian aktivitas KTT APEC 2013, di Nusa Dua, Bali, Minggu siang. Selanjutnya ANTARA News memberitakan bahwa “Tri Hita Karana adalah filosofi masyarakat Bali di mana manusia harus menjaga tiga elemen keharmonisan, yaitu manusia dengan lingkungan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan, jika ketiganya tercapai maka kemakmuran akan terwujud,” kata Yudhoyono. 
Pariwisata dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan dan merata —salah satu tiga pilar yang diusung Indonesia— menarik perhatian para anggota ekonomi KTT APEC 2013. Isu ini cukup sentral karena bisa mendorong berbagai sektor lain bergerak bersama. Disayangkan, ketiga elemen Tri Hita Karana itu, belum bisa diseimbangkan saat ini. Beberapa aktivitas perekonomian masih berbenturan dengan keberlangsungan kelestarian lingkungan hidup. Oleh sebab itu, Presiden RI menyerukan setidaknya ada empat aksi bersama yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan elemen tersebut, terutama di bidang ekonomi dan lingkungan. 
Pertama, negara-negara harus siap beradaptasi dan berkembang menghadapi perubahan yang ada, terutama dalam hal lingkungan hidup. Kedua, negara-negara harus jujur dalam mengenali kekuatan dan kekurangan dalam menghadapi isu lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Ketiga, negara-negara harus mempercepat integrasi antara kebutuhan lingkungan yang lestari terhadap strategi pembangunan. Keempat, pemerintah dan para pemangku kepentingan lain harus menjalin kerjasama. “Kurangi persaingan geopolitikal yang ada, keempat aksi bersama itu dapat diterapkan dalam sektor pariwisata sehingga generasi mendatang masih dapat menikmati keindahan alam yang sekarang ada,” kata Presiden. 
Pemali, adalah larangan-larangan yang seyogyanya diikuti oleh manusia untuk dicegah karena akan menyebabkan rusaknya lingkungan, ketidak harmonisan hubungan sesama manusia dan akhirnya manusia akan semakin jauh dari Tuhannya. Ajakan hidup sehat sebenarnya sudah mengandung larangan untuk tidak memanfaatkan hasil bumi yang merusak tubuh seperti tembakau untuk merokok, ganja dan kokain untuk mabuk-mabukan termasuk alkohol yang seyogyanya bermanfaat untuk sektor kesehatan malah digunakan untuk merusak tubuh. Ketika minuman yang memabukkan itu dipakai oleh pengendara mobil menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang kerap kali merenggut banyak nyawa. Kenyataannya masih saja harus dibuat aturan-aturannya agar diikuti dan disertai dengan ancaman-ancaman bila melanggarnya. 
Setiap negara tentu saja memiliki undang-undang yang mengatur tentang hubungan manusia dengan lingkungannya untuk menjaga kelestarian kehidupan bersama. Peraturan-peraturan daerah banyak diterbitkan untuk mengatur ulah manusia tentang bagaimana harus membuang sampah serta masalah kebersihan lainnya. Dilarang merokok di tempat-tempat umum, di pompa-pompa bensin bahkan tentang bahaya merokok sudah dicantumkan di bungkus rokoknya itu sendiri. Kenyataannya manusia masih banyak yang melanggarnya dengan semua konsekwensinya. Melanggar undang-undang negara dan segala peraturannya adalah persoalan yang luas, mulai yang sederhana sampai yang serius seperti keinginan untuk melepaskan diri dari suatu negara. Sebaiknya setiap warga negara mematuhi undang-undang dan peraturannya agar tercapai harmoni diantara warga negara dengan pemerintahannya yang memang mendapat amanah untuk melindungi warga negaranya dengan peraturan yang adil, seadil-adilnya. 
Pemali yang paling mudah dilanggar didalam kehidupan bermasyarakat adalah cekcok yang berkelanjutan. Jaman sekarang percekcokan dari hal-hal yang sepele sering menjadi tawuran. Masih di bulan Oktober 2013 ketika tulisan ini dibuat tawuran antara pelajar sekolah bukan lagi dengan senjata tajam dan tumpul diantara mereka, sudah ada yang menyiramkan air keras ke bus yang sedang berjalan dan berakhir dengan korban anggota masyarakat umum. Tentu saja pelakunya ditangkap aparat keamanan untuk diminta pertanggung jawabannya di depan hukum. Percekcokan tersebut akan lebih indah bila itu dilakukan di dalam forum-forum diskusi yang terpimpin dan dikelola dengan baik. Percekcokan yang lebih keras diselesaikan dan disalurkan dalam olah raga bela diri, tinju, dan olahraga yang dinamis lainnya seperti badminton, tenis dan sebagainya. 
Jenis pemali unik yang tidak kalah pentingnya di lingkungan kita yang akhir-akhir ini menjadi marak adalah pelampiasan hawa nafsu luamah (sahwat, seks) terhadap lawan jenis. Sebenarnya pelampiasan hawa nafsu ini menjadi “lumrah” ketika dilaksanakan dalam koridor pernikahan. Pernikahan yang indah bukan karena diselenggarakan dengan penuh kemewahan tetapi justru karena kesederhanaannya. Cinta yang dibangun antara laki-laki dan perempuan, direstui oleh kedua orangtua dari kedua fihak yang terlibat dan disahkan oleh peraturan agama dan atau negara. Pengesahan oleh peraturan negara menjadi sangat penting untuk melindungi anak-anak yang dilahirkan ada yang mengasuhnya secara hukum sehingga masih terlindungi oleh hukum ahli waris sekiranya orang tuanya meninggal dunia. 
Tidak hanya artis yang kurang berhati-hati dalam hal sahwat bahkan orang berpendidikan tinggi, berkedudukan tinggi sampai mereka yang tergolong pendeta dan ulama. Ada kalanya ketidakhati-hatiannya itu berakhir diujung kematian akibat penyakit HIV Aids, lebih sulitnya lagi HIV Aids jaman sekarang dapat ditularkan juga di luar hubungan seksual. Sekiranya perserongan tersebut menghasilkan anak-anak yang memiliki masalah hukum bukan karena kesalahannya sendiri, semoga anak-anak tersebut masih mendapatkan kasih sayang yang memadai dan pendidikan yang mencukupi dari yang terlibat. Masyarakat akan ikut menderita sekiranya banyak anak-anaknya yang dilahirkan dengan proses yang menyimpang tersebut. Ambil contoh di kampung-kampung ibukota yang dihuni oleh turis-turis hitam dari benua Afrika dan kebetulan terdapat banyak anak-anak kecil yang kulitnya hitam legam padahal kedua orang tua mereka berkulit sawo matang, apakah kita masih dapat tersenyum? 
Dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan akan terlihat harmonis apabila tercapai kesepakatan secara sukarela diantara manusia untuk saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Sangat menyedihkan ketika melihat dalam surat kabar cetak maupun elektronik dalam satu agama saja ketika beribadah dipisahkan oleh sekat padahal sukunya sama dan menyebut nama Tuhannya dalam istilah yang sama pula. Sudah terlalu banyak konflik SARA yang secara kebetulan kita ketahui. 
Asketisme kurban. Masih di bulan yang sama, ASEP SALAHUDIN, Esais dan Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya di akhir tulisannya merenungkan spirit berkurban pada Idul Adha tahun ini diharapkan bisa menyelesaikan persoalan bangsa, agar kehidupan kembali menemukan adabnya. Bukankah semangat berkorban yang diteladankan manusia pergerakan yang membuat Republik ini bisa keluar dari jerat kolonialisasi? Berkorban bukan hanya benda, raga, bahkan nyawa. 
Termasuk berkorban dengan menjatuhkan pilihan hidup asketik. Hatta yang tidak terbeli sepatu Bally, Natsir yang jasnya robek, Bung Karno yang masih punya utang 80 gulden kepada Karim Oei, Agus Salim yang hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lain sampai akhir hayatnya, Syahrir yang apa adanya, Tan Malaka yang jarang berganti pakaian, dan lain sebagainya. Kepada mereka, penghormatan tulus segenap rakyat dipersembahkan. Kepada keluhuran budi, sikap jujur, akal sehat, gaya hidup yang halal, dan satunya kata dengan perbuatan. Mereka dengan gemilang telah sukses menyembelih “hasrat kebinatangan” ketika diberi amanah menjadi penyelenggara negara. Walaupun mereka tidak berkali-kali naik haji, tidak terlampaui fasih melapalkan teks kitab suci. 
Demikianlah hubungan antara manusia dengan lingkungan, antar sesamanya dan kebaktiannya kepada Tuhan YME seperti yang terasa dalam Tri Hita Karana masih memerlukan penjelasan. Menjadi lebih jelas ketika disandingkan dengan konsep Pemali yang berlawanan itu dan diakhiri dengan semangat menyembelih “hasrat kebinatangan” manusia ketika berhubungan dengan sesamanya. Salam Kuantum. 
Budhi S. Purwowiyoto

Application submitted to the European Medicines Agency (EMA) for use of Pradaxa® in treatment of deep vein thrombosis (DVT) and pulmonary embolism (PE) and prevention of recurrent DVT and PE

  • Data show Pradaxa® is as effective as the standard of care while offering safety advantages in the treatment of acute and the prevention of recurrent DVT and PE1,2,3
  • Pradaxa® is already approved for the prevention of stroke and systemic embolism in patients with non-valvular atrial fibrillation and for the primary prevention of venous thromboembolic events in patients undergoing elective total hip replacement or total knee replacement surgery4
  • In-market experience with Pradaxa® already spans over 1.6 million patient-years in all currently licensed indications in over 100 countries worldwide5

Ingelheim, Germany, June 24, 2013 – Boehringer Ingelheim today announced the submission of an application to the European Medicines Agency (EMA) for use of Pradaxa® (dabigatran etexilate) for the treatment of acute deep vein thrombosis (DVT) and pulmonary embolism (PE) and the prevention of recurrent DVT and PE.*
 






Professor Klaus Dugi, 
Corporate Senior Vice President Medicine, 
Boehringer Ingelheim




“Given the risk of potentially fatal consequences and recurrences of a deep vein thrombosis or pulmonary embolism, there is a need for safe and effective therapies to improve outcomes for patients,” said Professor Klaus Dugi, Corporate Senior Vice President Medicine, Boehringer Ingelheim. “Our studies have demonstrated that Pradaxa® offers an effective treatment with significant safety benefits compared to warfarin both for acute treatment as well as in the long-term prevention of recurrent events. We are convinced that this treatment option can provide benefits to patients with acute DVT or PE, or those at risk of recurrent DVT and PE.”
The EMA submission is based on the results of four global Phase III studies investigating the efficacy and safety of Pradaxa® in the treatment of acute DVT and PE and in secondary prevention of recurrent DVT and PE.1,2,3 In these studies, Pradaxa® was proven to be as effective as warfarin, with lower rates of clinically relevant bleeding (which includes major bleeding) and total bleeding for patients with DVT or PE.1,2,3 When compared to placebo, Pradaxa® prevented nine out of ten episodes of recurrent DVT and PE.1 The results of the RE-COVER®, RE-MEDYTM and RE-SONATE® studies have been published in the New England Journal of Medicine.1,2 All studies are part of the extensive RE-VOLUTION® clinical trial programme investigating Pradaxa® in multiple indications.
Pradaxa® is already widely approved for the prevention of stroke and systemic embolism in patients with non-valvular atrial fibrillation and for the primary prevention of venous thromboembolic events in patients undergoing elective total hip replacement and total knee replacement surgery.4 In-market experience with Pradaxa® already spans over 1.6 million patient-years in all currently licensed indications in over 100 countries worldwide.5
Pradaxa® is currently not approved for the acute treatment or prevention of recurrent DVT and PE.

SPONSORED ARTICLE
References

  1. Schulman S, et al. Extended Use of Dabigatran, Warfarin or Placebo in Venous Thromboembolism. N Engl J Med. 2013;368:709-18.
  2. Schulman S, et al. Dabigatran versus Warfarin in the Treatment of Acute Venous Thromboembolism. N Engl J Med. 2009;361:2342-52.
  3. Schulman S, et al. A Randomized Trial of Dabigatran Versus Warfarin in the Treatment of Acute Venous Thromboembolism (RE-COVER II). 2011;118: Oral presentation from Session 332: Antithrombotic Therapy 1. Presented on 12 December at the American Society of Hematology (ASH) Annual Meeting 2011.
  4. Pradaxa® European Summary of Product Characteristics 2013.
  5. Boehringer Ingelheim. Data on file.

Nefropati Terkait Warfarin

PENINGKATAN kreatinin serum > 0.3mg/dl pada pasien dengan pemberian warfarin serta nilai INR > 3 disebut dengan nefropati terkait  warfarin (WRN).
Studi pertama mengenai WRN adalah studi biopsi ginjal pada pasien koagulopati warfarin yang berkembang menjadi AKI tanpa penyebab yang jelas. Temuan biopsi ginjal mengindikasikan AKI disebabkan oleh perdarahan glomerulus yang luas menyebabkan obstruksi akibat terbentuknya silinder sel darah merah.
Studi lainnya yang menggunakan 103 pasien CKD yang diobati dengan warfarin dengan INR > 3, ditemukan 37% pasien mengalami peningkatan kreatinin serum > 0.3mg/dl yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pasien-pasien tersebut mengalami perburukan CKD.
Studi kohort lainnya juga memperlihatkan 4006 pasien dengan INR > 3, 20.5% akan berkembang menjadi WRN (peningkatan kreatinin serum > 0.3mg/dl dengan INR > 3 tanpa adanya bukti perdarahan).
WRN dihubungkan dengan penurunan angka harapan hidup, sesuai dengan beberapa laporan sebelumnya tentang peningkatan nilai mortalitas pada pasien hemodialisis kronis yang diberikan warfarin. Nilai mortalitas dihubungkan dengan komorbid lainnya seperti diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskuler.
Beberapa mekanisme terjadinya WRN diantaranya pengobatan dengan obat yang cenderung meningkatkan tekanan hidrostatik glomerular dihubungkan dengan peningkatan risiko WRN. Sebagai tambahan, terapi tambahan aspirin juga dihubungkan dengan peningkatan risiko WRN. Kedua temuan tersebut konsisten menyatakan bahwa terjadi perdarahan glomerulus yang menyebabkan obstruksi tubulus yang mungkin menjadikan mekanisme dominan terjadinya AKI terkait WRN.  
Warfarin digunakan secara luas sebagai anti koagulan untuk mengobati komplikasi thrombosis. Sekarang ini, lebih dari 30 juta penggunaan resep untuk warfarin setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Banyak studi memperlihatkan bukti yang nyata bahwa koagulopati warfarin dihubungkan dengan peningkatan substansial risiko AKI dan mortalitas akut, terutama pasien CKD. Mekanisme yang pasti mengenai pathogenesis terjadinya WRN ini belumlah jelas, dibutuhkan studi lebih lanjut. (Kidney International 2011; 80: 181-9)
SL Purwo

Keamanan Penggunaan Ivabradin IV pada Pasien IMAEST dengan IKPP: Studi Awal

TAKIKARDIA merupakan masalah tersering yang muncul pada keadaan akut dari infark miokard akut elevasi segmen ST (IMAEST), dimana dihubungkan dengan aktivasi sistem saraf simpatis akibat nyeri atau sebagai fenomena kompensasi dari komplikasi gagal jantung akut.
Hal tersebut dapat meningkatkan imbalans diantara tersedianya oksigen terhadap daerah yang berisiko (kekurangan oksigen akibat oklusi dari arteri yang mengalami infark) dan kebutuhan oksigen miokard, dimana keduanya memainkan peranan penting.
Sehingga diperlukan obat penurun denyut jantung, secara teori yang sangat menonjol dan diperlukan karena sudah terbukti di studi-studi klinis adalah penggunaan beta blocker, dimana obat tersebut dapat mengurangi daerah luasnya infark dan menurunkan mortalitas kardiovaskular.
Walau demikian, beberapa studi tidak memperlihatkan hal serupa, studi COMMIT (Clopidogrel and Metoprolol In Myocardial Infarction) tidak memperlihatkan penurunan pada mortalitas. Lainnya, penggunaan awal beta blocker intravena dihubungkan dengan mortalitas awal, terutama pada pasien gagal jantung akut dengan peningkatan risiko syok kardiogenik.
Obat penurun denyut jantung mempunyai efek terhadap tekanan darah dan fungsi ventrikel seperti ivabradin mungkin memiliki peranan pada keadaan ini. Dilakukanlah studi VIVIFY (eValuation of the IntraVenous If inhibitor ivabradine after ST-segment elevation mYocardial infarction) dengan tujuan primer untuk mengetahui efek ivabradin intravena terhadap denyut jantung dan parameter hemodinamik setelah tindakan intervensi koroner perkutan (IKP).
Sementara tujuan sekunder berupa untuk menilai keamanan dan toleransi ivabradin terhadap keadaan ini, serta efek penurunan denyut jantung terhadap luasnya infark.
Studi ini merupakan studi multisenter, dengan pasien usia 40 – 80 tahun yang dirandomisasi setelah sukses dilakukan IKPP dalam enam jam onset IMAEST. Pasien dalam keadaan sinus ritme dan denyut jantung > 80 kali per menit, tekanan darah sistolik > 90 mmHg.
Dikelompokkan dalam 2 kelompok (rasio 2:1) yaitu kelompok ivabradin intravena (n = 82) (5mg bolus selama 30 detik, diikuti 5mg infus selama 8 jam) atau kelompok placebo (n = 42). Keluaran prmier berupa denyut jantung dan tekanan darah. Pada kedua kelompok, denyut jantung mengalami penurunan dalam 8 jam, dengan kecepatan penurunan yang nyata pada kelompok ivabradin dibandingkan placebo (22.2 ±1.3 vs 8.9±1.8 bpm, p < 0.0001).
Selama studi berlangsung tidak terdapat perbedaan tekanan darah pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan penanda biologis jantung (CKMB, troponin T dan I). ekokardiografi dilakukan untuk menilai fungsi ventrikel, didapatan volum ventrikel kiri lwbih kecil pada kelompok ivabradin baik untuk volum akhir diastolic ventrikel kiri (LVEDV) (87.1±28.2 vs 117.8±21.4 cc, p = 0.01) dan volum akhir sistolik ventrikel kiri (LVESV) (42.5±19 vs 59.1±11.3cc, p = 0.03) tanpa perbedaan pada perubahan volum atau fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Dapat ditarik kesimpulan, ivabradin intravena mungkin mempunyai nilai potensial untuk IMEST, dengan menurunkan denyut jantung tanpa menurunkan tekanan darah atau hemodinamik. (Eur H Jour: Acute Cardiovasc Care 2013; 2(3): 270-9)
SL Purwo

PMCA: Target Potensial Terapi Kardiovaskular Masa Depan

BARU-baru ini, di RS Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, telah diselenggarakan guest lecture (kuliah tamu) dengan materi yang cukup menarik berjudul Fixing the Broken Heart: Targeting the Membran Calcium Channel. Kuliah tamu ini menampilkan dr. Delvac Oceandy, Ph.D sebagai pembicara. Acara ini diselenggarakan pada hari Jumat, 20 September 2013 pagi di Ruang Konferensi RSJPD Harapan Kita dan cukup menarik perhatian para residen serta staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.
Pihak Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI bukan tanpa alasan dalam mengundang sang pembicara. Di samping temanya yang cukup menggelitik dan berkaitan dengan masalah dasar fisiologi kardiovaskular, sang pembicara juga tidak kalah “menggelitik”. Pria muda asli Indonesia ini memang punya prestasi yang tidak bisa dianggap remeh. Beliau adalah penerima penghargaan Highest Scoring Abstract Presented dari European Society of Cardiology (ESC) pada ajang ESC Annual Congress di Munich pada tahun 2012, Young Investigator Award 1st Winner dari organisasi yang sama pada tahun 2006, dan Eumorphia Young Scientist Communication Award pada 2006.1
Pada acara ini sempat dipaparkan peran PMCA (plasma membrane Ca2+-ATPases) dalam bidang kardiovaskular. Paparan tersebut sekaligus menanggapi pertanyaan sederhana tetapi berbobot dari Prof. dr. Harmani Kalim, MPH, Sp.JP (K), FIHA tentang perbedaan PMCA1 dan PMCA4 (isoform-isoform dari PMCA) menjelang akhir acara. Pembicara menjelaskan bahwa PMCA1 dan PMCA4 memiliki lokasi yang berbeda pada membran sel serta efek-efek seluler yang berbeda pula. Topik biomolekuler yang cukup menarik ini telah menggugah penulis untuk mengangkatnya pada artikel pendek ini.
PMCA adalah suatu protein transporter membran plasma semua sel eukariot dan berfungsi untuk mengeluarkan ion kalsium dari sitoplasma ke kompartemen ekstraseluler.2-5 Dengan perannya sebagai pompa kalsium tersebut, PMCA menjadi salah satu regulator utama konsentrasi ion kalsium intraseluler.3,6 PMCA sendiri sebenarnya memiliki empat isoform yaitu PMCA1 sampai dengan PMCA4. Isoform-isoform tersebut diekspresikan di banyak organ, termasuk jantung, saraf, otot, dan sel astrosit otak.7,8 Dua isoform dari PMCA yang berperan penting terhadap regulasi fisiologis sistem kardiovaskular adalah PMCA1 dan PMCA4, khususnya subtipe PMCA4b yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan enzim nitric oxyde (NO) synthase. Interaksi ini akan menyebabkan berkurangnya produksi NO oleh enzim tersebut.3,9 Sedangkan dua isoform lainnya, PMCA2 dan PMCA3, karena bersifat lebih cepat teraktivasi, banyak terdapat pada sel yang eksitabel seperti sel saraf dan sel otot.7
Dalam artikel-artikel yang ditulis oleh Delvac Oceandy, dkk dapat disimpulkan bahwa, di sel-sel yang eksitabel (seperti sel otot jantung dan otot skelet), PMCA dianggap mempunyai peran minor dalam homeostasis kalsium (yaitu regulasi konsentrasi global kalsium intraseluler) bila dibandingkan dengan pompa NCX (sodium-calcium exchanger), suatu sistem pompa pemindah ion kalsium yang lain.5,10 Namun, ada bukti yang menunjukkan peran penting PMCA dalam transduksi sinyal. Contoh secara khusus, di aspek fisiologi jantung, adalah modulasi jalur penyinyalan nNOS (neuronal NO synthase) oleh PMCA4b.10 Selain itu, bukti mutakhir juga menunjukkan fungsi penting PMCA dalam memerantarai kontraktilitas jantung dan tonus vaskular.5
Sebagai target penemuan obat baru, bila dibandingkan dengan kanal influks ion kalsium, PMCA masih tertinggal jauh. Hal ini terutama karena kurangnya pemahaman mendetail tentang struktur dan fungsi spesifiknya.4
Dugaan adanya peran penting PMCA pada jaringan jantung mencakup keterlibatannya pada patofisiologi hipertensi dan hipertrofi. Peran PMCA pada hipertensi terutama berdasarkan pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan nNOS, zat yang telah terbukti berperan pada siklus eksitasi-kontraksi miosit jantung (Barouch et al., 2002; Sears et al., 2003). Interaksi ini diperantarai oleh pengikatan domain PDZ.11 PDZ sendiri adalah domain interaksi protein yang sering mengenali motif-motif asam amino rantai pendek pada ujung C protein-protein target.12 Bukti-bukti menunjukkan bahwa inhibisi nNOS (enzim yang tergantung ion kalsium dan kalmodulin) disebabkan karena ia disekuestrasi oleh PMCA pada lingkungan yang rendah kalsium. Bukti-bukti itu meliputi: 1) inhibisi tidak muncul jika yang diuji adalah mutan-mutan nNOS; 2) inhibisi juga tidak muncul jika yang diuji adalah PMCA4b yang sedikit memiliki domain PDZ; dan 3) ekspresi berlebihan PMCA4b yang mengalami mutasi pada Asp672Glu (sehingga mengurangi aktivitas pompa sebesar kira-kira 90%) ternyata tidak menyebabkan inhibisi nNOS. Bagaimanapun, peran PMCA pada hipertensi ini masih memerlukan penelitian lebih jauh.11
Selain PMCA4b, isoform lain, PMCA1, juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian hipertensi. Ketiadaan PMCA1 pada mencit percobaan menyebabkan peningkatan ion kalsium basal, peningkatan ion kalsium (karena stimulasi epinefrin) pada sel-sel otot polos vaskular, vasokonstriksi arteri, dan peningkatan tekanan darah sistolik pada kondisi istirahat. Dapat disimpulkan bahwa kurangnya ekspresi dan fungsi PMCA1 pada pembuluh darah adalah faktor risiko terjadinya hipertensi.4
Adapun kontribusi biomolekuler PMCA pada proses hipertrofi adalah terkait perannya dalam menghambat aktivasi nuclear factor of activated T-cell (NFAT). Peningkatan level kalsium intraseluler yang lama dalam miosit jantung akan menimbulkan hipertrofi. Peningkatan jangka panjang dari ion kalsium-kalmodulin intraseluler ini akan mengaktifkan kalsineurin yang kemudian mendefosforilasi faktor transkripsi NFAT sehingga mengaktifkan NFAT (Molkentin et al., 1998). Aktivitas PMCA4b yang meningkat akan menyebabkan rekrutmen kalsineurin ke membran plasma (suatu lingkungan rendah kalsium) sehingga menghambat aktivasi NFAT.11
Tidak hanya itu, ternyata PMCA juga punya peran penting pada salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yaitu diabetes melitus (DM) tipe 2. DM tipe 2 merupakan penyakit kronis dimana terjadi peningkatan ion kalsium di berbagai tipe sel termasuk platelet (Balasubramanyam et al., 2001; Li et al., 2001). Peningkatan kalsium intraseluler ini akan menyebabkan agregasi dan hiperaktivitas platelet dan turut berkontribusi pada terjadinya komplikasi kardiovaskular kronis (Carr, 2001). Terjadi pula penurunan signifikan protein PMCA bersamaan dengan peningkatan level fosforilasi tirosin pada residu 76 (Rosado et al., 2004), suatu peristiwa fosforilasi yang menghambat aktivitas pompa kalsium tersebut (Wan et al., 2003). Hal ini menunjukkan bahwa PMCA terlibat dalam aktivasi platelet dan jumlahnya yang menurun turut berperan pada terjadinya komplikasi berat akibat DM tipe 2.11
Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan bahwa ketidaktepatan ekspresi, mutasi, dan ketiadaan PMCA terkait dengan kondisi-kondisi patologis seperti hipertensi, rendahnya densitas tulang, infertilitas pada laki-laki, berkurangnya pendengaran, serta ataksia serebelar.4
Dari paparan di atas dapat diketahui adanya dua hal penting yaitu: 1) mekanisme kerja PMCA dalam pencegahan kondisi-kondisi patologis kardiovaskular; serta 2) dampak negatif abnormalitas biomolekuler PMCA pada sistem kardiovaskular (bahkan sistem organ lain). Kedua hal tersebut telah menjadikan PMCA suatu target potensial terapi kardiovaskular di masa mendatang. Kuncinya adalah dengan memodulasi isoform-isoform PMCA secara selektif lewat penemuan suatu aktivator atau inhibitor spesifik PMCA.4 Saat ini, setelah lebih dari 50 tahun sejak PMCA ditemukan pertama kali pada membran sel darah merah, studi-studi lebih mendalam pada aspek biokimiawi, seluler, serta fisiologinya terus dilakukan demi menemukan terobosan baru dalam terapi kardiovaskular.3 Semoga kelak upaya-upaya ini membuahkan hasil yang bermanfaat bagi umat manusia.
Andy Kristyagita

REFERENSI:
  1. http://www.cardiovascular.manchester.ac.uk/staff/delvacoceandy.
  2. Jensen TP, Buckby LE, Empson RM. Expression of plasma membrane Ca2+-ATPase family members and associated synaptic proteins in acute and cultured organotypic hippocampal slices from rat. Brain Research. Developmental Brain Research. 2004; 152(2): 129–36.
  3. Strehler EE, Zacharias DA. Role of alternative splicing in generating isoform diversity among plasma membrane calcium. Physiological Reviews. 2001;  81(1): 21–50.
  4.  Strehler EE. Plasma membrane calcium ATPases as novel candidates for therapeutic agent development. J Pharm Pharmaceut Sci. 2013; 16(2): 190-206.
  5. Mohamed TM, Baudoin-Stanley FM, Abou-Leisa R, Cartwright E, Neyses L, Oceandy D. Measurement of plasma membrane calcium-calmodulin-dependent ATPase (PMCA) activity. Methods Mol Biol. 2010; 637: 333-42.
  6. http://www.phosphosite.org/proteinAction.do?id=2290&showAllSites=true.
  7.  Jensen TP, Filoteo A, Knopfel T, Empson RM. Pre-synaptic plasma membrane Ca2+ ATPase isoform 2a regulates excitatory synaptic transmission in rat hippocampal CA3. Journal of Physiology. 2006: Published online ahead of print. 17170045. Retrieved 2007-01-13.
  8. Fresu L, Dehpour A, Genazzani AA, Carafoli E, Guerini D. Plasma membrane calcium ATPase isoforms in astrocytes. Glia. 1999; 28(2): 150–5.
  9. Schuh K, Uldrijan S, Telkamp M, Rothlein N, Neyses L. The plasma membrane calmodulin–dependent calcium pump: a major regulator of nitric oxyde synthase. Journal of Cell Biology. 2001; 155(2): 201–5.
  10. Oceandy D, Stanley PJ, Cartwright EJ, Neyses L. The regulatory function of plasma-membrane Ca2+-ATPase (PMCA) in the heart. Biochem Soc Trans. 2007 Nov; 35(5): 927-30.
  11. Carafoli E, Brini M. Calcium signalling and disease: molecular pathology of calcium. Springer 2007; 370-2.
  12. Lee HJ, Zheng JJ. PDZ domains and their binding partners: structure, specificity, and modification. Cell Communication and Signaling. 2010; 8: 8. 

Dabigatran vs Warfarin pada Pasien dengan Katup Mekanik

PENGGANTIAN katup jantung prostetik direkomendasikan pada beberapa pasien dengan penyakit jantung katup yang berat dan dikerjakan pada beberapa ratusan ribuan pasien di seluruh dunia setiap tahunnya.
Katup mekanik lebih tahan lama dibandingkan katup bioprostetik tetapi membutuhkan antikoagulan seumur hidupnya. Penggunaan antagonis vitamin K memberikan proteksi yang terbaik dalam menghindari komplikasi tromboemboli pasien katup jantung mekanik, tetapi membutuhkan restriksi pada makanan, alkohol dan obat-obatan serta pemantauan koagulasi seumur hidup.
Karena keterbatasan antagonis vitamin K, banyak pasien yang memilih menggunakan bioprostetik dibandingkan katup mekanik, walau risiko lebih tinggi pada gagalnya katup premature yang membutuhkan pengulangan operasi pada penggunaan katup bioprostetik.
Dabigatran etexilate merupakan preparat oral inhibitor thrombin secara langsung yang efektif sebagai antikoagulan pengobatan pasien fibrilasi atrium pada studi RE-LY. Berdasarkan data ini dan adanya hasil yang memuaskan pada studi binatang, dimana menunjukkan adanya keuntungan dabigatran dalam mencegah thrombosis katup, dilakukanlah studi RE-ALIGN.
Tujuan utama studi ini adalah untuk melakukan validasi preparat baru untuk pemberian dabigatran dalam mencegah komplikasi tromboemboli pasien dengan katup jantung mekanik.
Studi validasi dosis fase dua, menggunakan dua kelompok, yang dilakukan penggantian katup aorta atau mitral dalam tujuh hari terakhir dan yang dilakukan penggantian paling tidak tiga bulan terakhir.
Pasien dikelompokkan secara random dengan rasio 2:1 utntuk diberikan dabigatran atau warfarin. Pemilihan dosis awal dabigatran (150, 220 atau 300 mg dua kali sehari) didasarkan atas fungsi ginjal.
Dosis disesuaikan untuk mendapatkan tingkat plasma yang palin sedikit 50 ng per milliliter. Dosis warfarin disesuaikan untuk mempertahankan rasio yang normal secara internasional sebesar dua sampai tiga atau 2.5 sampai 3.5 sebagai dasar risiko tromboemboli. Hasil akhir primer didasarkan pada tingkat plasma dabigatran.
Studi ini dihentikan secara premature setelah mendapatkan 252 pasien dikarenakan tinggi kejadian tromboemboli dan perdarahan di antara pasien yang menggunakan dabigatran. Pada analisa pengobatan, dosis penyesuasian atau penghentian dabigatran dibutuhkan pada 52 dari 162 pasien (32%).
Stroke iskemik atau tidak spesifik terjadi pada 9 pasien (5%) kelompok dabigatran dan tidak ada yang terkena pada pasien kelompok warfarin. Perdarahan mayor terjadi pada 7 pasien (4%) dan 2 pasien (2%). Semua pasien dengan perdarahan mayor terdapat perdarahan perikard.
Kebanyakan kejadian tromboemboli terjadi pada kelompok dabigatran populasi A (pasien yang memulai penggunaan obat ini dalam waktu 7 hari setelah operasi katup), sedikit kejadian pada populasi B (pasien dengan implantasi katup lebih dari 3 bulan sebelum randomisasi).
Kejadian perdarahan yang berlebihan di antara pasien yang mendapatkan dabiga-tran terjadi pada ke dua populasi tersebut. Kemungkinan yang mungkin adalah terjadinya peningkatan komplikasi tromboemboli dengan dabigatran termasuk ketidakadekuatan tingkat plasma dari obat tersebut dan mekanisme aksi yang berbeda dari warfarin.
Nilai plasma dabigatran populasi A lebih rendah selama beberapa minggu pertama setelah operasi dan penurunan nilai setelah operasi katup mungkin mencetuskan formasi awal dari sumbatan darah yang secara klinis tidak bermanifestasi sampai nantinya akan muncul manifestasinya.
Perbedaan mekanisme aksi dari dabigatran dan warfarin mungkin juga berperan dalam terjadinya thrombosis pada temuan studi ini. Pasien dengan fibrilasi atrium, terbentuknya thrombin di LAA pada aliran yang lemah, kondisi low-shear dimana pembentukan thrombin dipercaya sebagai pemicu stasis dan disfungsi endotel.
Pasien dengan katup jantung mekanik, aktivasi koagulasi dan pembentukan thrombin terjadi karena pelepasan faktor jaringan dari kerusakan jaringan selama operasi mungkin berperan sebagian dari risiko   tinggi komplikasi tromboemboli dini.
Sebagai tambahan, pembentukan trombi dapat dipicu oleh terpaparnya darah terhadap permukaan artifisial daun katup mekanik dan cincin jahitan, dimana menginduksi aktivasi jalur koagulasi.
Kebanyakan thrombin pada pasien dengan katup jantung prostetik nampaknya akan meningkat pada cincin jahitan, dimana tidak terjadi endoteliasisasi paling tidak selama beberapa minggu. Dipikirkan bahwa thrombin yang terbentuk pada cincin jahitan menjadi lebih sedikit trombogenik ketika jaringan endotel yang terbentuk di antaranya.
Warfarin lebih efektif dibandingkan darbigatran dalam menyupresi aktivasi koagulasi karena inhibisi aktivasi baik koagulasi yang terinduksi faktor jaringan (oleh inhibisi sintesis faktor koagulasi VII) dan koagulasi terinduksi kontak jalur oleh penghambatan sintesis faktor X dan thrombin pada jalur umum.
Hasil dari studi ini mngindikasikan dabigatran tidak sesuai sebagai obat alternatif warfarin untuk mencegah komplikasi tromboemboli yang membutuhkan antikoagulan setelah implantasi katup jantung prostetik.
 Rivaroxaban telah berhasil diujicoba untuk tindakan prevensi komplikasi tromboemboli dihubungkan dengan katup jantung mekanik pada studi pre klinik, tetapi temuan klinis tidak menunjukkan bukti keamanan dan kefektifan pemberian dosis tersebut.
Sebagai kesimpulan, hasil dari studi fase ke dua mengindikasiakn dabigatran tidak seefektif seperti warfarin untuk mencegah komplikasi tromboemboli pasien dengan katup jantung mekanik dan dihubungkan dengan peningkatan risiko perdarahan. Penggunaan dabigatran tidak memiliki nilai positif dan dihubungkan dengan peningkatan risiko pada pasen dengan katup jantung mekanik. (N Engl J Med 2013.DOI: 10.1056/NEJMoa1300615)
SL Purwo